Novel - Menantu Dari Desa Part 17

<img src=https://fazryan87.blogspot.com".jpg" alt="Novel - Menantu Dari Desa Part 17">

Novel - Menantu Dari Desa 

Part 17-Torkis, Oh, Torkis

FORTUNA MEDIA -  “Bang, bisa minta tolong,”  kataku pada Bang Torkis, saat itu kami lagi tiduran di kamar.

“Apa itu, Dek Ayu?”

“Itu Kak Yanti, kasihan Bang Bayu, bisa tak buat Kak Yanti pulang?”  kataku seraya mempermainkan kancing bajunya.

“Tidak bisa, Dek, kata Pak Parlindungan hanya bisa yang berhubungan dengan kita,”

“Maksudnya, Bang?”

“Misalnya kau yang lari, Dek, baru bisa kubuat pulang, kalau Istri orang tidak bisa,”

“Oh, gitu, berarti Aku tidak bisa lari ini ya, Bang,”

“Iyalah, hehehe,”😄

“Kasihan Bang Bayu, Bang,”

“Justru lebih kasihan jika Kak Yanti kembali, dia akan menderita punya Istri seperti Kak Yanti, malah lebih bagus Kak Yanti tidak usah datang, ini kerana baru itu, lama-lama Bang Bayu bisa lupa,”

   BACA JUGA
Novel -  Menantu Dari Desa Part 14
Novel - Menantu Dari Desa Part 15
Novel - Menantu Dari Desa Part 16

Mungkin benar juga kata Bang Torkis, Kak Yanti memang lebih baik tidak usah kembali, kerana dia sudah benar-benar berniat meninggalkan Suaminya, mencelakai Aku. Tidak bisa kubayangkan punya Kakak-Ipar seperti itu.

Sesuai rencana kami akan lanjut bulan madu ke Desa Bang Torkis. Ingin juga Aku melihat bagaimana kehidupan Bang Torkis di Desa. 

Kami pun bersiap berangkat, mobil Pajero sudah diservis, supir pun sudah dapat. 

Kata Bang Torkis perjalanan ini akan perlu waktu lima belas jam. Tidak bisa kubayangkan dalam kenderaan selama itu.

Setelah pamit pada Ayah dan Ibu serta Saudara kami pun berangkat. Masuk tol Kota Medan - Kota Tebing Tinggi.

“Bang, Aku ada impian lho yang belum terwujud sampai sekarang,”  kataku pada Bang Torkis ketika kami dalam perjalanan.

“Impian apa itu, Dek, jangan bilang naik haji ya, masa tunggunya lama,”  kata Suami.

“Bukan, Bang, impianku punya kebun bunga, sederhana saja, Aku ingin punya kebun bunga yang di tengahnya ada kolam ikan.”

“Alhamdulillah,”

“Kok Alhamdulillah sih, Bang?”

“Tadinya Aku takut Adek punya impian liburan ke Turkey, rupanya cuma kebun bunga,”

“Ish, Abang,”

“Impian kita hampir sama, Dek, Aku juga ingin punya usaha pembibitan, sudah ada lahan kusiapkan.”

“Wah, cocok, Bang, Abang buat usaha pembibitan, Aku buat taman bunga, di lokasi yang sama,”  kataku riang.

“Iya, Dek, tapi lokasinya jauh dari pemukiman, masih di sekitar Desa memang, di pinggir jalan lintas Sumatera,”

“Tidak apa-apa, Bang, habis bulan madu kita langsung memulai impian kita,”

“Iya, Dek, kita memang cocok ya,”

Mobil terus melaju di jalan mulus bebas hambatan, jalan tol Medan -Tebing Tinggi ini sepanjang seratus kilometer lebih. 

Tiba-tiba mobil kami dipepet avanza hitam, seorang lelaki terlihat di mobil avanza tersebut, dia melambaikan tangan tanda menyuruh berhenti.

Supir kami menghentikan mobil, empat lelaki berbadan besar turun dari Avanza itu, mereka mendekati mobil kami.

“Selamat siang, kami dari kepolisian, mohon maaf ini pemeriksaan, silakan keluar dari mobil,”  kata salah satu di antara mereka.

“Apa perlu, Pak, kalau perlu surat-surat mobil kami kasih,”  Aku yang menjawab, kerana Aku merasa ini aneh.

“Silakan keluar dari mobil, Bu", kami mau melakukan pemeriksaan,”  kata orang yang mengaku Polisi tersebut.

Akhirnya kami turun, Bang Torkis diperiksa, seluruh kantongnya diperiksa polis tersebut. Akan tetapi tentu saja tidak ada apa-apa.

Ketika giliranku diperiksa, Bang Torkis marah.

“Maaf, apa kalian tidak punya polwan, saya tidak izinkan Istri saya kalian pegang,”  kata Bang Torkis.

Polis itu tidak menghiraukan perkataan Bang Torkis, mereka terus saja memeriksa seluruh kantong celanaku. Tiba-tiba polis itu mendapat sesuatu, dia tunjukkan padaku.

“Ini apa?”  katanya seraya menunjukkan sesuatu di tangannya. Barang yang mirip garam di bungkus kecil.

“Tidak tahu, bukan punyaku itu,”  kataku kesal.

“Jadi punya siapa? Kenapa ada di kantongmu?"  Tanya polisi itu lagi.

“Ayo ke kantor,” katanya lagi seraya memborgol tanganku. Ya, Allah, Ada apa ini?

Tiga orang lelaki lalu naik ke mobil kami, satu di antara mereka mengambil alih kemudi.

“Kita damai saja, Pak, tolong,”  kata sopir kami.

“Jangan, jangan mahu damai, kita tak bersalah,” kataku, Aku yakin kami dijebak.

Mobil terus melaju, lalu keluar dari jalan tol. Sopir kami itu kemudian mengambil handphone-nya.

“Lihat ini, Pak, saya sudah rekam ini,”  kata sopir kami. Aku terkejut juga, rekam apa?

“Lihat, ini sudah kukirim ke temanku, jika kami tidak dilepaskan, videonya ini akan tersebar,”

Wah, ternyata diam-diam sopir kami ini pintar juga, dia merekam penggeledahan itu dengan kamera handphone-nya. Ternyata memang benar kami dijebak, ini pasti perbuatan Doli.

“Jika kami ada apa-apa, rekaman ini akan tersebar,”  kata Sopir kami itu lagi. Aku makin salut dengan supir kami ini, beliau sudah berumur, akan tetapi berani adu argumen dengan orang yang mengaku polis tersebut.

Mobil akhirnya berhenti. Bang Torkis sepertinya sudah marah setelah dia lihat rekaman tersebut

“Begini aparat Negara ini, siapa yang suruh kalian, heh?”  kata Bang Torkis.

“Ya, sudah tidak perlu diperpanjang, silakan lanjutkan perjalanan,”  kata salah satu polis tersebut.

“Ini sepuluh juta, tolong lakukan ke orang yang menyuruh kalian seperti yang kalian lakukan pada kami,”  kata Bang Torkis seraya menyerahkan wang segepok.

“Ini tak sebanding,” jawab polis berpakaian preman tersebut.

“Oh, apa biar sebanding, video itu tersebar baru sebanding gitu,”  kataku.

Kami akhirnya melanjutkan perjalanan, polis itu itu sampai memohon pada supir kami supaya rekaman itu dihapus. Ternyata takut juga mereka dengan rekaman, kerana dalam rekaman jelas sekali salah satu di antara mereka memasukkan bungkusan plastik ke kantongku.

“Aku sudah berpengalaman, ini sudah kuduga dari tadi, kerana ketika kita masuk tol, mobil itu sudah mengikuti,”  jelas sopir kami itu ketika kutanya bagaimana dia bisa curiga.

Alhamdulillah, Aku sangat bersyukur sekali, tidak bisa kubayangkan Aku jadi terpidana n4rkoba.

Kami sampai di Desa, sekitar jam sepuluh malam, Pak Parlin dan Bu" Nia menyambut kami dengan riang, begitu Aku masuk rumah. Seorang Ibu memberikan sesuatu ke mulutku, terasa asin, ini pasti garam. Lhah, tidak adakah makanan yang lebih enak?

Kami duduk di dalam rumah, rumah tersebut sudah seperti rumah di kota pada umumnya, lantainya ceramik. Ketika Aku duduk, Ada seorang Ibu menyuguhkan makanan di piring, ini sepertinya enak, mirip kolak. Ternyata santan mentah dan tepung beras mentah.

“Selamat Datang di Rumah,”  kata Bu" Nia seraya memelukku.

Kami pun istirahat, penasaran juga Aku bagaimana polis tersebut, apakah mereka melakukan seperti yang disuruh Bang Torkis, Aku lihat-lihat berita online, tidak ada. 

Penasaran, kuhubungi Naomi mungkin dia tahu. Akan tetapi ternyata dia tidak tahu apa-apa.

Kubuka block Doli, rasa penasaran ini sangat menyiksaku. Ingin tahu juga Aku bagaimana Doli, apakah benar dia yang menyuruh menjebak kami.

(Kasihan dirimu, Doli...) pesanku padanya.

(Kasihan untuk apa?...) Doli membalas dengan cepat, berarti dia belum dikerjai polis itu, jika sudah tertangkap, tidak mungkin dia bisa megang handphone lagi.

(Usahamu untuk balas dendam gagal lagi, kasihan..)

(Sudah, kau menang, Torkis menang, tidak usah ngejek juga..)

(Sudah lah habis duit, eh gagal...)

(Tentang apa ini sebenarnya?”...)

(Kau fikir Aku tidak tahu, kau bayar orang untuk menjebak kami, untung kami punya sopir yang waspada,...)

(Aku memang sakit hati, Ayu, tapi main jebak itu bukan gayaku,...) pesan Doli.

Wah, jika bukan Doli, siapa lagi?

Pagi harinya Aku dibawa Bang Torkis jalan-jalan di seputar Desa, kami naik motor berkeliling. Tiba-tiba rasanya ada yang ingin dikeluarkan, Aku kebelet buang air besar.

“Bang, rasa ini sudah tak tahan, ada hasrat yang harus disalurkan, ingin kumenyendiri, menikmati perpisahan dengan dia yang bulat panjang,”  kataku pada Bang Torkis.

“Apanya yang kau bilang itu, Dek, lagi baca puisi ya?”  jawab Bang Torkis.

Ya, Allah, dia tidak faham ternyata, padahal itu kata puitis yang sering Aku katakan dulu jika ingin buang air besar.

“Aku mahu berak, Bang?”  kataku akhirnya setengah berteriak.

“Oh, ini perpisahan bulat panjang, hahaha,”😄 kata Bang Torkis. 

Dia lalu membelokkan motor dan berhenti di pinggir sungai kecil.

“Mahu mengapa sini, Bang?”

“Tapi mahu buang airnya besar,”

“Di sini?”  tanyaku seraya menunjuk sungai kecil tersebut.

“Iya, Dek.”

Lhah! 😒 [HSZ] 

To be Continued...

Ilustrasi Image; Doc, Romy Mantovani 

Untuk Anda yang belum baca siri Novel yang sebelumnya,

Anda boleh baca disini ; Novel - Menantu Dari Desa

#indonesia, #Novel, #NovelKomedi, #CeritaBersambung, #Cerbung,  #MenantuDariDesa 

No comments