Kejayaan Wahyudin 'Mas Ganteng'Berkat Sokongan Penuh Ibu Bapa Angkatnya
Ketika sedang ke Pasar Jatinegara, Jakarta Timur dia melihat ada orang
asing sedang berjalan-jalan dan dipandu seorang tourist guide perempuan.
Dia tinggalkan dulu karung memulung dan barang jualan lainnya untuk 'merayu'
sang tourist guide agar dia bisa menggantikanya.
Hey Dude, Pada
artikel sebelum ini kisah seorang pemuda tangguh dan tabah bernama
Wahyudin yang saya tulis di postingan berjudul :Wahyudin 'Pemulung Ganteng' Kini Menatap Doctoral Degree ke Luar Negeri.
Anda baca dahulu kisah menariknya disana,sebelum melanjutkan baca kisahnya di postingan ini.
Anda baca dahulu kisah menariknya disana,sebelum melanjutkan baca kisahnya di postingan ini.
Wahyudin diruangan University tempat dia kuliah/foto Detik.com/
Ok kita teruskan saja kisahnya,
"Waktu dulu bangun jam 12 malam, jam 1 siap-siap mulung sampai subuh, sholat subuh terus jam 6 ganti baju sekolah, terus bawa makanan gorengan berjualan keliling komplek. Habis keliling taruh di pos satpam(pengawal keselamatan) untuk titip.Bakinya saya bungkus buat makan di sekolah.Pulang sekolah jam 1 siang,sudah gembala kambing, habis itu langsung berjualan dagang asongan di pinggir jalan," kenang Wahyudin.
"Selepas itu lanjut mulung sampai jam 11 malam. Tidur cuma 2 sampai 3 jam saja. Ketika ke sekolah bawa balsem(bam) sama minyak kayu putih buat disapukan ke mata kan panas jadi tak ngantuk. Saya taak mau ketingggalan pelajaran," tambahnya.
Meski waktunya habis untuk bekerja Wahyudin tetap berprestasi di sekolah. Dia selalu mendapat rangking dan jumlah IP saat S1 pernah mencapai pointer 3,85.
"Perjuangan saya benar-benar berat, tapi saya tak jadikan itu beban justru jadi cambuk untuk jadi pribadi yang lebih baik lagi," katanya.
Baca juga;Salut! Kanak-kanak Ini Sanggup Belajar di Bawah Sinaran Lampu McD.
Menurutnya semangat dia untuk tetap bekerja dan belajar giat adalah kerana ibubapanya, dia ingin merubah nasib keluarga. Selain ibubapa, motivasi Wahyudin rajin dan tekun adalah ibubapa angkat yang selalu memberikan sokongan, bailk itu materi ataupun kasih sayang.
"Ibubapa angkat saya Umi sama abah Husen Alatas dan keluarganya termasuk kakak-kakak angkat saya. Keluarga ustadz Hamzah dan Habib Husen Alhabsyi, itu 3 keluarga yang menjadi role model untuk menata kehidupan saya ke depannya. Mereka memperlakukan saya dengan kasih sayang bukan cuma materi, mereka kasih contoh yang nyata untuk peduli lingkungan," kata pemuda yang aktif di kegiatan sosial ini.
Saat ini setelah Wahyudin tak lagi memulung dan dia bisa S2 di pasca sarjana ITB(Institute Teknologi Bandung) dia juga membangunkan usaha untuk keluarganya. Dulunya ibubapa Wahyudin hanya berpenghasilan pas-pasan kini mereka bisa punya usaha sendiri dan bisa menyimpan uang untuk ditabung.
"Ibubapa saya sudah saya modali buka warung sayuran. Alhamdulillah sekarang kehidupannya jauh lebih baik, bisa pegang uang kan mereka. Saya bikinkan warungnya, modalnya dari ibubapa angkat," jelas Wahyudin.
Wahyudin tak bisa membalas banyak apa yang sudah dilakukan oleh ibubapa angkatnya. Dia berdoa agar mereka semua diberikan kebahagian dan keberkahan hidup.Selain itu dia juga miminta doa kepada semua agar orang ibu angkat dia Umi Alwiyah yang saat ini tengah sakit ginjal bisa segera sembuh.
"Umi Alwiyah saya ini lagi sakit ginjal mau operasi tolong doain semoga Allah sehatkan beliau dan diberikan nikmat sehat panjang umur yang berkah,"ucap Wahyudin.
Kisah sukses Wahyudin.
"Saya lulus dari Universitas Muhammadiyah Prof Dr HAMKA(Uhamka) 2013 akhir, di situ saya memang sebelum lulus sudah dapat beasiswa S2 duluan kerana waktu itu diwawancara Detikcom bulan Mac,belum lulus.Dari saya pribadi setelah muncul pemberitaan diri saya di Detikcom itu,saya banyak dikenal orang dan dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan(Kemendikbud) datang ke rumah saya. Salah satu stafnya berkata, saya dapat beasiswa unggulan walau tanpa tes. Saya boleh kuliah di luar negeri, bebas pilih negara mana saja," tutur Wahyu bersemangat.
Waktu itu yang ada di angan-angan Wahyu hanya satu hal, luar negeri pertama yang ingin dia kunjungi adalah kota Mekah di Arab Saudi untuk beribadah.Namun atas sebab tertentu dia tak mau dan akhirnya memutuskan untuk ambil beasiswa di dalam negeri saja.
Wahyu berkonsultasi kepada pihak kementerian dan itu dikabulkan. Program Magister of Bussiness Administration (MBA) ITB kampus Jakarta dia tunjuk sebagai kelanjutan dari langkahnya,namun harus melalui test.
"Waktu saya mau ke ITB ada test bahasa Inggris dan matematik nilainya 7,8. Toefl-nya harus 475 kalau tidak salah. Saya belum pernah test kerana ibubapa sederhana, tidak pernah kursus bahasa Inggris sama sekali tiba-tiba mau S2 pelajarannya full English," kata Wahyu.
Tapi tak ada halangan yang tak bisa dilalui, fikir dia. Mulailah Wahyu belajar bahasa Inggris di dapur dan ditemani oleh temannya yang bernama Rizky Yusuf.
Awalnya dia hanya belajar tulisan saja, sementara di bangku kuliah dia perlu untuk lancar berkomunikasi. Kursus English Conversation? Mahal!
Akhirnya ketika sedang ke Pasar Jatinegara, Jakarta Timur dia melihat ada orang asing sedang berjalan-jalan dan dipandu seorang tourist guide perempuan. Dia tinggalkan dulu karung memulung dan barang jualan lainnya untuk 'merayu' sang tourist guide agar dia bisa menggantikan.
"Saya bilang sama Mbak tourist guide-nya kalau saya mau kuliah, saya pemulung, saya tak punya uang buat kursus jadi saya mau jadi tourist guide biar praktik langsung buat test temuduga. Sambil becek-becek nyeker (tak beralas kaki, -red) saya keliling-keliling dan jelaskan tentang Jatinegara,kepada pelancong asing itu" kenang Wahyu.
"Bagaimana, Mister? Bahasa Inggris saya jelas tak?" tanya dia waktu itu dan dijawab, "Oh iya, jelas," dalam bahasa Inggris pula.
Rasa percaya diri sedikit meningkat saat itu, tetapi Wahyu masih belum puas. Sedikit berdandan rapi, Wahyu pun memberanikan diri untuk menginjakkan kaki ke Pondok Indah Mall dan ke arena ice skating di Mall Taman Anggrek. Sekedar untuk bertemu bule.(orang putih)
Akhirnya dengan modal berbincamg dengan 3 orang asing, Wahyu lulus test. Sukseslah dia menyandang status sebagai mahasiswa magister ITB.
Sejak kecil dia mengumpulkan uang untuk sekolah, dan kini dia sudah merengkuh magister. Semua itu berawal dari semangat dan karung yang selalu dipikul saat memulung.
"Ketika S2 ini pun prosesnya hampir sama, saya menyamar, saya sembunyikan identiti pemulung saya. Saya pakai baju bagus dibeliin abang angkat saya, Muhammad Habsyi. Selepas semester 2 baru mereka tahu saya pemulung dan mereka semua pada kaget," tutur Wahyu.
"Saya terbiasa dari kecil itu walau pun saya miskin, saya gembel, saya tak mau orang-orang itu merendah-rendahkan saya. Saya selalu menyembunyikan identiti saya, kalau saya sedih saya simpan sendiri kalau bahagia saya share ke orang-orang," ungkap dia melanjutkan.
Berceritalah dia bagaimana dahulu selalu menyembunyikan kad tuntutan yuran SPP hingga S1 dari ibubapa kandungnya. Disembunyikannya kad itu di bawah bantal agar ibunya tak tahu bahwa biaya kuliah per semester adalah Rp 5.250.000.(lima juta dua ratus limapuluh ribu:sekitar seribu lima ratus ringgit)
"Kalau kad bayaran itu tak boleh kasih tahu ibubapa, harus taruh di bawah bantal sendiri, soal bayaran saya harus pening sendiri, nangis sendiri, laporan ke guru BP izin setiap semester itu sudah biasa waktu kuliah di Uhamka. Tapi kalau saya dapat ranking, juara, terpilih jadi pemuda pelopor kota Bekasi itu saya share saya kasih tahu Emak. 'Saya ranking loh, saya dapat juara ini loh Mak'," kata pemuda tersebut.
Ya, buah dari niat membahagiakan ibubapa itu pun amat manis dikecapinya. Kini Wahyu hampir menyelesaikan jenjang magister di ITB.
Baca juga;Putus Sekolah Lebih Awal Sama Bahayanya Dengan Tabiat Merokok.
Di akhir 2013 boleh dikatakan karier sebagai pemulung hampir berakhir. Dia mendapat modal dari seorang Warga Negara Indonesia di Australia sebesar Rp 4 juta yang kemudian dipakai untuk merintis usaha ternak entok (sejenis itik, -red).
"Setelah S2 saya mau ambil S3 gelar PhD ke luar negeri," ucap Wahyu sambil menyunggingkan senyumnya.
____________________
Courtesy to Detik.com/
No comments
Post a Comment