#PilpresIndonesia- Etika Menuju 2024
Ilustrasi Image by Internet |
#PilpresIndonesia- Etika Menuju 2024
- Sinopsis, Demotion (Demosi/Penurunan pangkat) Jenderal Kunto Arief Bisa Diartikan Jokowi Diametral (Diametrical-yang sama sekali bertentangan) Dengan TNI (Tentara Nasional Indonesia). Beberapa hari lalu, Panglima TNI Laksamana Yudo Margono melakukan mutasi besar di jajaran Angkatan Darat. Sebagian mutasi biasa, tetapi ada diantaranya “mutasi politis”.
- Major Jenderal Kunto Arief Wibowo, digeser. Dari posisi bergengsi (berprestij) sebagai Pangdam (Panglima Daerah) Siliwangi-Provinsi Jawa Barat di Bandung menjadi Wakil Komandan Komando Pembina Doktrin, Pendidikan, dan Latihan Angkatan Darat (Wadankodiklatad). Kebetulan bermarkas di Bandung juga.
- Pemindahan Jenderal Kunto inilah yang saya maksud dengan “mutasi politis”. Mengapa? Sebagian Anda mungkin faham sebabnya. Tapi, tidak salah untuk diingatkan kembali atas tulisan beliau yang dimuat di media Kompas pada 10 April 2023,(Artikel dibawah) yang sangat berani terkait situasi politik belakangan ini. Khususnya mengenai pilpres 2024.
- Inti dari tulisan Kunto Arief adalah kemungkinan pencurangan(cheating/penipuan) Pemilu (pemilihan umum/pilihanraya), termasuk pilpres (PemilihanPresiden) 2024. Singkatnya, Jenderal Kunto memberikan isyarat bahwa TNI akan maju ke depan jika pemilu dan pilpres curang.
- Tulisan Jenderal Kunto itu mendapat respon beragam. Sebagian orang menganggap Kunto menyalahi etika tentang netraliti TNI dalam hal politik. Namun, banyak sekali yang setuju dan memuji keberanian jenderal berbintang dua itu.
- Hari ini, kita tidak lagi membicarakan pro-kontra tulisan mantan Pangdam Siliwangi itu. Yang perlu dicermati dari mutasi politis Jenderal Kunto Arief itu adalah tindakan “pencopotan” beliau dari posisi Panglima Kodam (Panglima Komando Daerah Militer).
- Seperti banyak digunakan media massa, saya setuju dengan diksi “pencopotan” untuk menggambarkan mutasi politis ini. Sebab, mutasi itu sangat terasa sebagai “hukuman” untuk tulisan Jenderal Kunto. Putra Jenderal (Purn) Try Sutrisno –mantan Wapres (Wakil/Timbalan Presiden era Presiden Soeharto)-- itu bisa dikatakan dipindahkan dari shaf (baris) depan TNI ke shaf belakang.
- Intinya, Mayjen Kunto sekarang mengurusi kurikulum diklat TNI. Dia tidak lagi bertaji. Dan, ini yang esensial(pentinga), Jenderal Kunto tidak lagi punya legitimasi untuk menyuarakan keprihatinan pimpinan TNI berkenaan dengan arah politik Presiden Jokowi. Beda dengan posisi Pangdam.[Asyari Usman]
Ilustrasi Image by Internet |
FORTUNA MEDIA - KUALA LUMPUR - MENJELANG tahun 2024, sebagai tahun politik Indonesia, gegap gempitanya sudah mulai terasa sekarang.
Komunikasi politik sudah berlangsung, tidak hanya di level kelompok yang akan bertarung, tapi merembat juga ke masyarakat.
Ilustrasi Image by kompas.com |
Kencangnya suhu yang dibangun serta kuatnya terpaan media, menjadikan komunikasi politik begitu dinamis, 'fluktuatif' (turun naik), sekaligus sarat muatan provokatif.
Andai dinamika terus dibiarkan dan provokasi bebas berkembang,tidak mustahil jadi ancaman pertahanan keamanan Negara kita. Ini perlu diwaspadai.
Sejatinya, berpolitik itu bukan asal bicara, kerana di sana ada suara yang mesti dipertanggungjawabkan.
Namun, politik memang menyangkut suara orang yang mesti dibicarakan. Artinya, politik adalah komunikasi di mana semua orang terlibat dalam proses sosial untuk memahami kepentingan, masalah, otoriti konstitusional, sanksi, sekutu, dan sekaligus musuh.
Itu dikatakan Craig Allen Smith (Smith, 1992), profesor komunikasi politik ketika memulai bahasan mengenai ehwal komunikasi politik mesti dilaksanakan dalam masyarakat yang beradab, tidak asal bicara di dalam berpolitik.
Setiap warga negara mesti dilengkapi dengan pemahaman ketika ingin berpartisipasi dalam pembicaraan politik.
Namun, fikiran Smith pada 1990-an itu, tampaknya masih bergema. Ia menyatakan pentingnya 'interpretive communities in conflict' (tafsiran komuniti dalam konflik) dalam berkomunikasi politik.
Saat itu, Smith mengusulkan pendekatan interpretatif (tafsiran-interpretive) bagi berbagai komuniti politik di dalam berkomunikasi.
Ia menekankan pentingnya memadukan aspek intrapersonal dari proses kognitif (yang berhubung dengan pengartian/persepsi), pengembangan hubungan interpersonal, budaya kelompok dan organisasi, integrasi sosial, dan adaptasi retorika.
Berbagai aspek itu diharapkan akan membawakan perilaku politik yang mencerahkan, bijaksana, tidak responsif, dan lainnya, ketika berkomunikasi.
Pada era kini, berkomunikasi politik harus disadari dan didasari dengan kesadaran tinggi terhadap makna kebersamaan dalam persatuan dan kesatuan kebangsaan Negara kita.
Komunikasi politik kini menjadi "rentan" (prone to/terdedah kepada) dan mudah membawa perpecahan bila tidak disadari dan didasari dengan sikap interpretatif yang baik.
Media sosial kini telah banyak dibahas sebagai sebuah perantara untuk penyusunan agenda politik.
Ketiadaan gatekeeping (yang dulu dimiliki media tradisional) kini di dalam platform digital secara potensial telah meningkatkan kapasiti berbagai orang, pihak, kelompok, dan seterusnya, untuk menjadi aktor yang menyusun berbagai agenda politik.
Gilardi dkk (2022) menyatakan bahwa "kampanye advokasi" (advocacy campaign) jadi alat penting untuk kelompok politik dalam mendorong agenda spesifik mereka.
Hal ini tampaknya cocok bila dikaitkan dengan keadaan sekarang, khususnya di Provinsi Jawa Barat. Pada saat menjelang pemilu ditabuh, kini mulai berloncatan (jump) pernyataan, omongan, statement, dan semacamnya di berbagai ruang publik.
Loncatannya bahkan sudah muncul sampai ke spanduk (banner), poster, dan berbagai medium publik lainnya yang isinya bisa membawa petaka konflik yang meluas.
Dan bila tidak diatasi segera, dengan kesadaran berkebangsaan yang baik, hal itu bisa merusak kedamaian alam ke-Sundaan di Tatars Parahyangan kita.
Dalam konteks berdemokrasi, sah-sah saja semua ingin tampil atau bersuara demi sosok pilihannya terus eksis di mata publik. Elektability (kebolehpilihan) dan popularitinya tetap dijaga.
Namun kerana proses menjaga itu adalah bagian dari bentuk komunikasi politik yang dilakukan, maka sejatinya harus mengikuti rambu-rambu (signs/tanda-tanda) yang ada.
Rambu-rambu itu bisa berupa aturan hukum tertulis, ataupun aturan hukum tidak tertulis yang berdasar pada kata “kepatutan” dan “keetisan”.
Ranah provokasi adalah wilayah yang berbahaya. Provokasi ini bisa dilakukan dengan melempar isu tanpa identiti atau semacam "surat kaleng" (anonymous letter/surat tanpa nama).
Disebabkan, surat itu dibuat dalam bentuk spanduk atau poster atau unggahan di media sosial yang kemudian diviralkan, maka ia tak bisa diabaikan. Efeknya pada publik akan bervariasi.
Wilayah provokasi memang masuk ke daerah ini, memanas-manasi. Provokasi dan geliat komunikasi politik yang kini sudah menjurus ketidak-etisan, harus menjadi perhatian.
Provokasi politik ini menunjukkan secara kuat bahwa iklim demokrasi dan komunikasi politik yang masih memerlukan “terapi”.
Terapi diperlukan kerana pelaku politik masih rendah dan minim dalam pendidikan politik. Sementara pendidikan politik tidak berjalan baik kerana lembaganya sendiri yang memang tidak mahu atau tidak serius melakukan.
Kita tidak mempersoalkan siapapun yang bertarung dan siapapun kontestan (peserta). Selagi memenuhi syarat, silahkan turun ke gelanggang.
Mahu main jujur? Bagus dan memang harus begitu. Mahu main curang? Ada aturan yang akan membatasi.
Ketika permainan curang tersebut sudah membuat penonton heboh atau bahkan membuat penonton menjadi resah dan tidak nyaman. Maka “terapi” khusus harus diterapkan. Aturan hukum akan jadi acuan dan TNI siap tampil sebagai pengawal pada proses itu.
Sebagaimana dikatakan Smith di atas, pada tahun-tahun politik, maka aktiviti komunikasi politik akan semakin kencang.
Sikap beretika, bijaksana, beradab dan tentu saja elegan harus ditunjukkan. Secara formal, posisi ini harus dipegang dan dipertanggungjawabkan oleh partai politik, kerana lembaga inilah yang menjadi wahana formal.
Lembaga inilah yang akan menggodok semua kepentingan politik, sekaligus bertanggungjawab mendewasakan pemilihnya, kadernya, dan publik secara luas.
Akan tetapi, andainya, Parpol (Parti Politik) tidak peduli terhadap itu, maka jelas tubuh Parpol sendiri juga bermasalah dalam mewujudkan komunikasi politik yang beradab.
Alih-alih berharap akan bisa mendewasakan atau mendidik publik dalam berpolitik, justru kekhawatiran “tongkat membawa rebah” yang diperlihatkan.
Semestinya cukup dengan kembali ke Rukun Negara-Pancasila, melihat sisi-sisi yang diharuskan. Keharusan menjaga persatuan kesatuan, keberadaban, dan keadilan serta etika, itu sudah cukup.
Kita sepertinya memerlukan Pancasila dalam politik sekarang ini, kerana situasi politik Indonesia, sedang tidak baik-baik saja.
Akan tetapi, andai ketidakpedulian tetap terjadi dan semakin menguat. Maka demi alasan pertahanan dan keamanan, TNI agaknya harus sedikit maju mengambil posisi. Semoga itu tidak terjadi. [HSZ]
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Etika Menuju 2024",
Sumber: nasional.kompas.com
Editor ; Helmy Network
featured, Pilpres 2024, Pemilu 2024, News & Politics, etika politik,
twitter.com/romymantovani
facebook.com/romyschneider
linkedin.com/in/RyanSchneider
pinterest.com/helmynetwork
RELATED POST
Memotret suara kritis Rakyat Indonesia jelang Pilpres 2024
Watak Dusta Politikus Regime Era Reformasi Bukan Cermin Rakyat Jawa!
Papua New Guinea, Memiliki Suku Paling Ditakuti
5 Etnik Pedalaman Penghasil Wanita Cantik Bagaikan Bidadari
VIDEO
#PRN2023, KISAH DISEBALIK RENCANA HARAMKAN PARTI UMNO-- UNDILAH KERAJAAN PERPADUAN 😘💖🇲🇾
No comments
Post a Comment