KISAH SUFI, SANG KYAI [39]
KISAH SUFI, SANG KYAI [39]
- Pada siri ke-38 Dalam pengembaraan Sang Kyai di Arab Saudi, beliau telah mendapat seorang murid baru bernama Muhsin dan langsung di bai'ah dan diberikan amalan thariqat Sang Kyai.
- "Saya juga mahu mulai puasa Mas.”
- “Ya bagus, puasa itu untuk tempat lahan ilmu, puasa itu untuk membersihkan tanah hati. Jika mahu ditanami ilmu, maka puasa, seperti tanah mahu ditanami padi maka dibersihkan dari rumput dan batu, juga dicangkul, agar didapat kesuburan yang didapat, biji-biji fadhilah dari Allah akan tumbuh dengan subur, lalu disiram, dipupuk dan diistiqomahi dengan zikir, bila mulai puasa?” tanyaku kemudian.
“Ikhlas itu suatu proses, tidak ada batas akhir suatu keikhlasan seseorang. Tetapi ada batas antara orang itu ikhlas dengan tidak ikhlas, yang penting kita berusaha beramal tidak mengharap balasan dan menjauhkan diri dari pamrih ingin mendapatkan segala sesuatu, selain menjalani perintah Allah Ta'ala. Jadi hilangkan harapan dan tujuan ingin mendapatkan sesuatu. Apapun yang dilakukan atas dasar keinginan maka itu berarti nafsu. Jadi jangan menyandarkan suatu perbuatan ibadah kerana keinginan mendapat sesuatu atau menyandarkan keinginan kita, atau keinginan orang lain. Tetapi lakukan melulu kerana Allah Subhanahu Wa Ta'ala memerintahkan, tanda seorang itu telah menapaki pelataran ikhlas, yaitu hati telah tidak berubah. Ada atau tidak anugerah yang diterima dari Allah Ta'ala saat menjalani ibadah, hati selalu tetap, tidak lalu bersemangat kerana adanya fadhilah yang diterima, dan malas kerana tidak adanya fadhilah. Semangat kerana ada hadiahnya, dan malas kerana tak ada hadiahnya. Dan orang ikhlas itu tidak seperti itu, selalu konsisten, istiqomah, dan berubah-rubah hatinya kerana perubahan keadaan yang dihadapi. Makanya Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan kalau "Al istiqamatu afdholu min alfi karomah". "Istiqomah itu lebih utama dari seribu kekeramatan seorang wali, sebab istiqomah menunjukkan nilai keikhlasan seseorang.” jelasku.
“Wah, berarti jarang orang yang bisa ikhlas dalam menjalankan ibadah?”
“Ikhlas itu bukan sesuatu yang diucap, sebab amaliyah hati, tidak terlihat. Dan tidak teraba, bahkan oleh Malaikat khafdzah yang membawa amal ibadah seseorang ke langit, bisa saja orang yang gembar-gembor itu ikhlas, bisa juga orang yang diam tidak ikhlas, atau sebaliknya, tapi amaliyah yang ikhlas atau tidak itu pasti ada efeknya di jiwa, hati, ruh, dan perbuatan orang yang melakukan amaliyah, sebab amal perbuatan itu kan pasti ada hasilnya. Orang masak beras, hasilnya, beras menjadi nasi. Jika sepuluh tahun dimasak kok tidak jadi nasi, berarti masaknya tidak benar".
"Seperti sholat saja, Allah berfirman dalam Al-qur’an kalau sholat itu bisa mencegah yang menjalankan, mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, perbuatan keji, Ya seperti lisan suka menyumpah. Suka membicarakan aib orang lain, suka mencela, menghasut, mengadu domba, dan tangan suka mencuri, menc0pet, pokoknya orang lain tak aman bila di samping kita. Maka jelas kita masih menjalankan perbuatan keji. Dan perbuatan mungkar atau perbuatan yang menjadi larangan agama, kok perbuatan itu masih kita lakukan sementara kita juga sholat. Maka sholat kita itu pasti, bukan mungkin tapi pasti belum benar, sebagaimana orang memasak beras kok sepuluh tahun dimasak belum juga jadi nasi, bisa jadi kompornya tak nyala, atau hal apapun yang menjadi kendala perbuatan itu dilakukan dengan benar.”
“Oh ya Mas ada temanku dari Maroko mahu main ke kamar Mas Ian boleh?” tanya Muhsin.
“Boleh saja.”
“Soalnya dia juga mahu minta tolong, soal anaknya,”
“Ya, ajak saja kesini.”
“Apa perlu anaknya diajak kesini juga?” tanya Muhsin.
“Tidak perlu…, juga dilihat masalahnya apa dulu…” kataku.
“Oh ya juga ada orang Pakistan yang sudah sepuluh tahun tak punya anak, apa Mas bisa memberi solusi?”
“Coba saja lelakinya suruh bicara denganku, soal solusi itu nanti dilihat apa kasusnya.”
***
Kerana tidak banyak pekerjaan yang ku lakukan. Maka, Aku sering ikut kerja orang lain, kadang memasang wallpaper, atau memasang ternit, atau karpet lantai, atau mengecat pintu dan kusyen. Sehingga Aku sering terlihat kerja dengan banyak orang, bahkan di bagian lain yang bukan bagianku. Sebab pekerja itu dikelompokkan dalam bagian atau section, dan bagianku adalah welfare. Dan Aku sering ikut bagian general services. Kerana sering bekerja dengan pekerja lain. Maka Aku cepat banyak teman dan kenalan, dari orang India, Pakistan, Maroko, Sudan, Yaman, dan Arab, bahkan Bangladesh. Walaupun Aku orangnya tidak banyak bicara, sehari pun bicara bisa dihitung dengan jari. Setiap kerja kebanyakan diam, hanya bicara dengan orang yang ku rasa cocok bisa diajak membahas ilmu dan tukar fikiran. Aku dipasangkan bekerja dengan orang Maroko bernama Muhammad, orangnya tubuhnya besar dan suka berkelahi, baru dua hari lalu dia memukul orang Banggali sampai KO.
Aku lumayan cocok dengan Muhammad sebab kalau ku ajak mengobrol dia memakai bahasa Arab baku, sehingga pembicaraan kami lancar.
Kami sering bersama entah dalam bekerja juga dalam keseharian, Muhammad juga sering main ke kamarku.
“Kamu tahu ilmu dari Kitab Syamsul Ma’arif?” tanya Muhammad suatu hari.
“Tahu…, itu dalam pesantren di Indonesia itu dinamakan ilmu hikmah.” jawabku
“Itu banyak dipelajari di Maroko.” kata Muhammad sambil merontokkan ternit lama kerana kami dapat pekerjaan lembur - overtime merusak internit villa, untuk diganti internit baru.
“Ku dengar Syamsul Ma’arif dilarang dipelajari di Arab Saudi, bahkan kalau ada orang yang membawa kitab Syamsul Ma’arif jika tertangkap polisi akan ditangkap dan yang mengamalkan bisa dihukum pancung.” kataku.
“Iya…, aku dengar juga begitu.” jawab Muhammad
“Ku rasa peraturan Arab Saudi soal itu ada benarnya juga, kerana menyangkut Aqidah, lebih banyak orang yang belajar Kitab Syamsul Ma’arif, Abu Ma’sar Alfalaqi, Aufaq, Syamsul Anwar. Jika tidak kuat Aqidahnya, kebanyakan akan tersesat, artinya akan terseret pada penggantungan diri meminta pada khadam, bukan pada Allah.” kataku.
“Kok bisa seperti itu?” tanya Muhammad,
“Iya kerana khadam yang ada di amalan yang tertera yang akan memberi kekuatan, kekuatan khadam tuju bintang yang jadi sandaran. Jadi kemudian akan dimintai tolong.” jelasku.
“Begitu ya… padahal aku belajar Syamsul Ma’arif sudah lama.”
“Patutlah kau memiliki pukulan yang ampuh.” kataku bercanda.
“Ilmu paling murni itu ilmu thareqat…” kataku.
“Apa yang kamu maksud thareqat yang tasawuf itu.”
“Tasawuf itu tata cara pengalaman Ubudiyah soal hati.” jelasku.
“Dan thareqat itu lebih luas.”
“Bisakah kau jelaskan sedikit padaku, di Maroko juga ada thareqat. Teapi kok orangnya kebanyakan miskin-miskin.” kata Muhammad.
“Thareqat itu jalan menuju Allah Ta'ala, yang punya sanad atau sandaran ilmu yang bersambung dari Nabi Muhammad SAW. Jadi ada ketersambungan guru sampai kepada Nabi, itulah keunggulannya. Sebab jika diumpamakan amaliyah, paralon (pipa air) itu sambungan guru, dan pompa air yang menyala itu diumpamakan amalan kita. Jika dari pompa air itu tidak menyambung kepada sumur, sumur itu umpama Nabi, dan sumber air itu fadhilah dan anugerah Allah.Jjika kita punya amaliyah, tapi tidak menyambung pada Nabi, itu seperti mesin sanyo (mesin pump air) yang kita nyalakan siang malam. Kita amalkan siang malam tapi tidak menyambung ke sumur. Maka sekalipun kita amalkan siang malam. Maka tidak akan keluar airnya, artinya fadhilah Allah tidak akan keluar, sebab tidak menyambung ke sumur, lalu Syamsul Ma’arif itu tidak ada menyambung sanad dari Nabi. Maka tidak ada fadhilah Allah akan keluar. Jadi pentingnya sanad ilmu, juga menentukan hasil pencapaian, yang diraih. Tetapi begitu juga, dalam thareqat itu sekalipun guru Mursyid maka mereka punya kedudukan yang berbeda. Seperti wadah air, guru itu seperti tabung penyimpanan air. Jika dari atas hanya sedikit atau kecil sambungan air. Maka akan sedikit juga paralon di bawahnya akan menerima air dari sambungan atasnya yang sedikit. Maka guru Mursyid yang punya sambungan banyak amat sangat berpengaruh pada besar kecil fadhilah yang dihasilkan murid. Guruku mempunyai sambungan thareqat ke atas sampai kurang lebih 13 jalur, dan tertampung dalam guruku. Maka murid di bawahnya akan banyak mendapat manfaat, kerana aliran fadhilah yang besar.”
“Hm masuk akal juga… Jadi tertarik Aku dengan thareqat, bolehkan Aku belajar lebih banyak lagi?”
“Aku sendiri juga seorang murid, orang yang mencari, dan masih berusaha istiqomah, kita saling berbagi saja.” kataku.
“Baik, tapi aku tetap mahu minta dibimbing.” kata Muhammad.
“Dalam thareqat ada juga kedudukan seorang mursyid itu beda-beda.” jelasku.
“Ada yang seperti itu ya?” tanya Muhammad sambil kami terus bekerja.
“Contoh tahu kan Syeikh Abdul Qadir Jailainai Radhiallahu 'Anhu?”
“Iya tahu…”
“Syeikh Abdul Qadir itu punya kedudukan Sultanul Auliya’, Ghousil a’zam, Quthub, Ahli Talkin, Ahli Silsilah, Ahli Tawasul, Ahli Nasab. Jadi berbagai kedudukan itu menjadi satu. Makanya banyak karamahnya, kerana setiap seseorang punya kedudukan itu maka akan dengan sendirinya mempunyai pakaian kebesaran berbagai atribut dari kedudukan yang dimiliki. Seperti seorang jendral dari sebuah ketentaraan dalam suatu Negara. Jika banyak tanda pangkat disandangnya. Maka akan makin banyak kelebihan yang dimiliki, seperti berhak kemana-mana membawa pistol, membawahi beberapa peleton tentara, Jika kedudukannya cuma penjaga keamanan toko tentu beda.” kataku menjelaskan yang masuk akalnya Muhammad
“Hm… sepertinya juga masuk akal.” kata Muhammad.
“Dalam thareqat juga ada Wakil Talqin, Wakil Bai’at. Jika kita dibai’at atau ditalkin wakil talkin. Maka selamanya kita hanya akan jadi prajurit, dan kerana jadi prajurit maka tak akan meningkat pada kedudukan yang tinggi, sebab hanya prajurit, bisa jadi orang Daerahmu, orang thareqat yang kamu sebut miskin-miskin itu orang yang tidak mempunyai kedudukan. Dalam ketentaraan juga kan orang yang kedudukannya rendah tak punya gaji tinggi.”
“Iya bisa jadi juga.”
“Kalau ku umpamakan, seorang kalau mahu mendapat gaji dari pabrik. Maka jangan hanya mengulurkan tangan di pintu gerbang. Tetapi masuklah ke pabrik, daftar, dan menjadi karyawan, maka pasti akan menerima gaji.” kataku.
“Iya itu benar, lalu apa hubungannya dengan thareqat?” tanya Muhammad tak mengerti.
“Sama pabrik itu ku umpamakan pabrik fadhilah dan rahmat Allah, jika kita cuma minta dan tanpa mengikat diri masuk dalam pabrik fadhilah dan rahmat Allah, cuma wira-wiri di sekitar pabrik, berdo’a. Maka kita sangat jauh kemungkinan akan diijabah do’a kita. Tetapi kalau kita masuk ditalkin dan dibai’at masuk secara resmi ke dalam pabrik. Maka sekalipun tidak minta, sekalipun tidak berdo’a kita akan tetap mendapat gaji bulanan. Apalagi meminta, pasti Allah tidak segan-segan memberi.” jelasku.
“Hemmm… biar ku fikirkan apa yang kau katakan, soalnya aku kurang faham seluruhnya.”
“Sepertinya pekerjaan kita sudah selesai, apa kita pulang dulu?” tanyaku.
“Tidak, nanti menunggu jam pulang bersama pekerja lain, pas jam enam. Ini baru jam lima lebih sedikit.” kata Muhammad.
“Lalu bagaimana jika aku ingin mengamalkan thareqat? Apa yang harus aku lakukan?” tanya Muhammad.
“Sebenarnya harus ditalkin, ditalkin itu penyaringan seorang murid kalau dalam masuk university ya, seperti melakukan pendaftaran dan menjalani seleksi. Setelah selama seleksi itu seorang murid dipantau oleh guru dan ternyata tidak pernah melakukan dosa besar. Maka akan dibai’at, menjadi murid secara resmi.” jelasku.
“Maksudnya dosa besar itu apa saja?” tanya Muhammad.
“Ya, seperti main perempuan, main jvdi, mencuri/m3rampok/mencopet, korupsi, Semua golongan yang mengambil hak orang lain, mabuk-mabukan, mengkonsumsi narkoba,”
“Jika tidak menjalankan dosa berarti kita bisa dibai’at ya?” tanya Muhammad.
“Iya.. tapi kalau jauh sama guru kan juga susah juga.”
“Iya aku juga mahu tanya soal itu, seperti aku di Arab Saudi gini kan jauh, susah jika mahu dibai’at?” kata Muhammad sambil menyalakan rokok putihan.
“Itu bisa menjalankan amaliyah dulu, jadi misal nanti dibai’at atau ditalkin, diri sudah ada tanah tempat menanam ilmu, sebab puasa itu kan membersihkan tanah hati, dari segala penyakit disertai menyuburkannya, dan ditalkin itu guru kita umpama memberi biji ilmu yang kita tanam di hati kita. Jika hati, tanahnya sudah subur maka berbagai macam ilmu yang ditanam akan tumbuh subur.”
“Boleh aku minta amalannya?”
“Iya nanti ku catatkan, sekalipun amalan ini sama dengan amalan dari siapapun, nilainya beda, bukan kerana Aku yang memberi. Tetapi kerana amalan ini ada sanad sambungan guru kepada Nabi Muhammad SAW, dari Malaikat Jibril, dari Allah Ta’ala, Jadi jelas amalan walaupun sama-sama lafaz Allah, yang pemberian dari Allah, beda yang pemberian seorang Ulama atau Kyai, Tetapi tak punya sambungan sanad yang menyambung kepada Allah, Ya, seperti paralon (pipa air) yang ku contohkan masuk kedalam sumur dan menyedot air.”
“Lalu apa amalanku yang dari Syamsul Ma’arif ku hentikan?” tanya Muhammad.
“Ya, dihentikan, sekarang begini saja. Selama ini amalan itu kamu amalkan apa yang kamu dapat? Sudah berapa tahun kamu mengamalkan?"
“Iya sih tak ada yang ku dapat, walau sudah lima tahun aku mengamalkannya.”
“Nah, nanti rasakan, kamu menjalankan amalan puasa yang 21 hari dariku, bandingkan dengan amalan yang kamu jalankan lima tahun…”
“Jadi puasanya 21 hari ya?” tanya Muhammad.
“Iya itu paling dasar, di atasnya ada 41 hari, 3 bulan, 7 bulan.dan seterusnya, Seperti orang sekolah. Maka setiap meningkat ke tahapan di atasnya. Maka akan memiliki kelebihan yang dianugerahkan Allah, entah bisa mengobati orang sakit, entah bisa melihat alam ghaib, mengusir Jin, dan lain-lain. Dan setiap orang berbeda-beda kelebihan yang akan didapat. Tetapi ingat dalam menjalankan jangan mengharap ingin bisa sesuatu, lakukan dengan ikhlas, kerana Allah, amal apapun itu jika tanpa adanya keikhlasan. Maka seperti tubuh tanpa ruh, seperti motor tanpa mesin. Maka tidak bisa pergi kemana-mana. Jika dipaksakan pergi. Maka akan menyusahkan orang yang membawa, begitu juga amal tanpa adanya keikhlasan maka akan menyusahkan orang yang didekat orang yang beramal, Misal memberi wang. Maka wang nanti kan akan diundat-undat, diungkit-ungkit, diminta dikembalikan, bukankah itu menyusahkan pada orang yang didekat.”
“Iya…”
“Jadi amaliyah itu ada zahir ada bathin, keduanya harus saling melengkapi. Jika ingin amal itu sampai pada tujuan, itu namanya asbab. Jadi dalam beramal seseorang itu jika masih dalam kedudukan sebab asbab. Maka dia tak lepas dari sebab, musabab, dan akibat, seperti orang sakit kepala minum para-cetamol lalu penyakitnya sembuh. Padahal sebenarnya yang menyembuhkan Allah Subhanahu Wa Ta'ala, Maka orang tersebut namanya masih menetap di maqam atau kedudukan asbab, artinya segala sesuatunya memerlukan sebab, kenyang sebab makan, dan segala sesuatunya dikaitkan dengan sebab termasuk dalam Ubudiyahnya, kerana dia ibadah, lalu dia menjadi dekat dengan Allah. Tetapi ada juga orang yang sudah tidak tergantung oleh asbab, kerana sudah memandang segala sesuatu itu dikehendaki Allah terjadinya. Dan segala sesuatu itu telah ditaqdirkan terjadi. Maka terjadi, sakit juga, jika Allah menghendaki sembuh. Maka akan sembuh, begitu dalam pemikiran orang yang sudah di kedudukan tanpa sebab, kerana tidak ada selain Allah itu bisa menjadi sebab kepada Allah, kerana kesempurnaannya. Semua menjadi sebab kerana Allah menghendakinya menjadi sebab, Dan Allah itu tidak memerlukan sebab agar sesuatu terjadi. Juga seseorang itu ibadah tidak akan menambah kekayaan Allah Ta'ala. Jika semua orang maksiat juga tidak menjadikan Allah menjadi miskin. Jadi Allah tidak terpengaruh oleh gerak -gerik semua makhluk, kerana semua makhluq itu bergerak dan berhenti atas kehendak Allah. Jadi amal juga tidak bisa mendekatkan atau menjadikan dekat dengan Allah. Jika seseorang itu mengandalkan amalnya sendiri. Maka dia tidak akan kemana-mana, kerana, jika ruhnya dicabut nyatanya berangkat ke kuburan pun harus dipikul ramai-ramai. Menunjukkan bahwa amal kita itu tidak bisa menjadikan kita dekat dengan Allah. Tetapi Allahlah yang menghendaki kita menjadi dekat.”
“Lalu bagaimana kita tahu, misal aku ini, di maqam asbab atau maqam tajrid?”
“Seorang yang menempatkan jati diri itu hanya perlu berusaha istiqomah dalam ibadah, seperti orang yang kerja di pabrik jika dijadwal jamnya, jam 7 masuk dan jam 4 pulang, Ya, harus konsisten. Mengikuti aturan yang ditetapkan untuk dirinya, tanpa melakukan tindakan yang menjadikan absensinya merah. Soal nanti dinaikkan kedudukan menjadi manager itu bukan urusan dia. Sama dengan seorang yang beribadah pada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Ada ibadah pokok. Adalah waktu pokok bekerja, dan ibadah Sunnah adalah waktu lemburan-overtime. Jika seseorang mengandalkan gaji pokok atau penghasilan pokok. Maka dipastikan manusia itu akan merugi. Sebab keperluan itu selalu ada yang tidak diprediksi, Misal sakit perlu obat. Hujan perlu payung. Sama dengan orang yang menyandarkan ibadah pokok. Suatu saat ia bepergian. Maka mengqadha sholat, Jadi orang yang tidak merugi yang selalu sedia payung sebelum hujan, lakukan amal dengan tekun. Maka kemudian seseorang akan meningkat di kedudukan yang ditentukan Allah, dengan sendirinya akan menempati pada kedudukan tanpa sebab. Menyembuhkan penyakit tanpa obat, rezeqi tanpa mencari, dan menempuh tempat yang jauh tanpa proses perjalanan.”
“Oh, sudah habis jamnya..” kata Muhammad. Dan kami pun dijemput mobil pengangkut karyawan untuk kembali ke tempat bagian kami masing-masing melakukan tanda tangan keluar kerja.
Tidak terasa telah hampir dua tahun Aku di Arab Saudi. Waktu berjalan amat cepat, dan sudah sekali Aku pulang cuti, hutangku di PJTKI juga sudah ku lunasi. Malah wangku dikembalikan lagi oleh PJTKI dibelikan emas seharga sepuluh juta dan diserahkan pada Istriku. Aku sudah mahu mengajukan Re-sign, berhenti dari pabrik, Tetapi Aku ingin tunaikan Haji, agar tidak percuma Aku di Arab Saudi, pas musim Haji di tahun pertama dan kedua Aku baru pulang dari Indonesia. Sehingga tidak ada wang untuk biaya tunaikan Haji. Semoga di tahun ketigaku Aku bisa tunaikan ibadah Haji. Sehingga Aku bisa segera pulang ke Indonesia.
Sebenarnya di tahun kedua Muhammad telah membujukku untuk tunaikan ibadah Haji dengan biaya ditanggung dia. Tetapi, Aku orangnya selamanya tak mahu menyusahkan orang lain. Walau saat itu Muhammad memaksa-maksa katanya sebagai tawadhuk murid kepada guru. Tetapi Aku tetap tidak mahu.
***
Pulang kerja Aku langsung mandi. Setelah mandi sholat Maghrib. Bagusnya di Arab Saudi setiap kamar ada kamar mandi dan WC. Jadi setiap orang tidak perlu susah-susah antri. Cuma kamar cuci yang mesinnya hanya satu. Jadi kalau mencuci harus menunggu yang lain selesai. Setelah sholat phone bunyi.
“Halo… Mas, minuman sama ayam bakar ku taruh di pintu, tolong diambil, tadi ku ketuk-ketuk tidak menyahut jadi ku taruh aja di pintu.” suara Muhsin.
“Oh ya… Aku tadi lagi mandi, jadi pintu kamar ku kunci.” jawabku.
Biasa Muhsin membawakanku kalau tidak minuman kaleng (tin), Ya, ayam bakar atau kepala kambing, atau babat sapi, atau kepala ikan laut yang jika dimasak seminggu tidak habis-habis. Sehingga Aku tidak makan di kantin dan memasak sendiri, dia juga aktif membawakan indomie sekardus, juga beras sekarung, kadang meja sampai penuh untuk menaruh makanan.
“Nanti habis sholat Isya’ mahu kesitu.” kata Muhsin lagi.
“Ya..” jawabku. Ada yang mengetuk pintu, ku buka ternyata Amir Khan, orang Pakistan, tidak biasa-biasanya main ke kamarku.
“Silahkan duduk.” kataku dengan bahasa Arab.
“Kok, tak biasanya main ke kamar?”
“Ya., maaf mengganggu Ustaz.” kata Amir Khan, Aku tak tahu kenapa kebanyakan pada memanggilku Ustaz. Padahal sama sekali juga Aku tidak pernah mengajar atau menunjukkan punya ilmu apa-apa.
“Begini Ustaz, saya mahu minta tolong…, sebab saya dengar Ustaz sering dimintai tolong teman-teman.” kata Amir Khan.
“Soal apa itu? Maaf sebenarnya Aku sendiri tak bisa apa-apa, jadi kalau nantinya mengecewakan.” kataku
“Ini soal anak saya di rumah,”
“Memangnya kenapa anaknya?”
“Saya sendiri tidak tahu sebab musababnya Ustaz, Tiba-tiba sekitar sebulan ini anak perempuan saya yang berumur 10 tahun lumpuh, dan tidak bisa berjalan.”
“Makanya itu Ustaz, cerita Istri anak saya itu tidak panas juga tidak sakit, ketika bangun tidur, begitu saja menjadi lumpuh…”
“Ooo begitu, apa bisa di rumah disediakan air?”
“Maksudnya air apa Ustaz?”
“Maksudku air mineral, Ya air itu dibiarkan semalam, biar ku transfer obat ke dalam air tersebut, besok pagi airnya diupayakan diminum, dan dipakai mandi, bagaimana, bisa tidak?”
“Sebentar, saya akan menghubungi Istri saya.” kata Amir Khan, sambil mengeluarkan phone dan menghubungi rumahnya.
“Oh ya sekalian suruh airnya dicampurkan air untuk mengepel rumah.” kataku di antara pembicaraannya dengan istrinya.
“Iya, air sudah disediakan.” jawab Amir Khan.
“Iya nanti ditunggu saja perkembangan selanjutnya.” jelasku.
“Terima kasih Ustaz saya mohon diri dulu..” kata Amir khan.
Selang beberapa saat Muhsin masuk kamar membawa bungkusan makanan.
“Apa itu?” tanyaku menanyakan yang dibawa Muhsin.
“Ini nasi jagung plus ayam, titipan dari orang Maroko, bernama Abduh yang ku mintakan do’a tentang anaknya dulu, Alhamdulillah anaknya sudah baikan dan sehat.” jelas Muhsin.
“Wah, kalau nasi jagung kurang pas kalau tidak pakai sambal, biar Aku bikin sambal sebentar.” kataku segera meramu sambal terasi (belacan) andalan.
“Sepertinya tadi Amir Khan dari sini?” tanya Muhsin.
“Iya, dia meminta dido’akan anaknya sakit di Pakistan sana.” jawabku.
“Ya,. semua orang juga bisa, lha, wong berdo’a saja apa susahnya.” kataku.
“Tapi kan tidak semua diijabah.” jawab Muhsin.
“Semua juga mempunyai hak diijabah yang sama, dan Allah juga memberi hak diijabah yang sama. Cuma manusia sendiri yang menjadikan do’anya terhalang oleh ijabah, nafsunya sendiri yang menjadi penghalang terijabahnya do’a, Aku sendiri kan juga bukan orang hebat, sama doyan-suka nasi jagung, sama doyan bakso, dan sama doyan semua yang halal, Jadi tidak ada bedanya dengan orang lain, sampean atau siapapun.”
“Itulah yang malah sulit membedakan, kerana samanya, Jadi sulit dilihat perbedaannya.” kata Muhsin.
“Kita sebenarnya hanya perlu melakukan cara ibadah yang benar, yang menjauhi yang dilarang dengan benar, memakan makanan yang terjaga kehalalannya, Ya, sebenarnya hanya itu.” kataku sambil memindah sambal yang selesai ku ulek.
Orang Maroko punya tradisi jika hari Juma’at mereka memasak nasi jagung, nasi jagungnya sama dengan masakan Jawa Timur, Aku yang memang suka nasi jagung, walau di Arab Saudi, Jadi hampir setiap hari Juma’at mendapat kiriman nasi jagung dari orang Maroko, kerana mempunyai murid orang Maroko.
***
Besok Aku dikirim ke pabrik baru di Tahamah, perjalanan dari pabrik yang ku tempati ditempuh kira-kira delapan jam. Sore hari pulang kerja Aku cepat-cepat pulang ke kamar. Melewati jalan pintas gerumbul semak perdu, Walau di Arab Saudi kerana kepedulian pabrik. Jadi ada pengolahan air dinamakan water treatmen. Dimana air kotor diolah menjadi air bersih, dan sebagian dipakai menyirami tanaman. Sehingga sekitar pabrik semua tanaman tumbuh subur, kebun mangga ada, kebun jambu, kebun pisang, kebun jeruk-limau. Yang paling menyenangkan di sini burung bebas berkeliaran, bahkan di pohon kadang penuh sarang burung, bergantungan. Dan semua, setiap pagi bernyanyi ramai sekali, Juga setiap ada tiang lampu jalan, pasti ditempati sarang elang, atau bangau, bahkan di atap-atap pabrik, penuh sarang merpati. Cuma teman-temanku pernah mengambil banyak merpati, kerana kalau di sarangnya ditangkap tidak lari. Jadi mengambil merpati sampai dapat setengah karung, hairannya dagingnya rasanya langu, Mungkin yang dimakan bukan biji-bijian jagung. Yang Aku hairan di sini juga ada ayam liar, atau kalau di Indonesia ayam alas, Tetapi bentuknya seperti ayam kalkun, Cuma sebesar ayam kampung, Juga bisa terbang. Jadi sulit untuk menangkapnya, banyak juga ayam liar, kadang mereka berkelompok. Walau tidak pernah hujan, tumbuhan tidak mati kerana setiap pohon mendapat jatah air dari selang/pipa air yang dialirkan sepanjang jalan. Jadi suasana amat rimbun, cuma kalau panas ya, tetap panas, Walau di bawah pohon, sebab panas terbawa hembusan angin,
“Ustaz, terima kasih…” kata suara seseorang di belakangku, ternyata Amir Khan orang Pakistan yang semalam meminta tolong.
“Bagaimana khabar anaknya?” tanyaku masih sambil berjalan, dan Amir Khan berjalan di sampingku.
“Ya, syukur kalau begitu.” jawabku.
“Ustaz, ustaz mahu dibelikan apa? Katakan saja, pasti saya turuti.” kata Amir Khan.
“Aku?” tanyaku.
“Iya..” jawab Amir.
“Wah, Aku tidak ingin beli apa-apa, sudah yang penting anaknya sehat..”
“Tapi saya mahu berterimakasih pada Ustaz..” kata Amir Khan
“Berterima kasih saja pada Allah…, Aku hanya meminta pada-Nya,” jelasku.
“Bolehkah saya menjadi murid Ustaz…?” tanya Amir Khan.
“Ah aku orang bodoh, tak patut diangkat menjadi guru, juga pas kebetulan Aku berdo’a, dan Allah pas menurunkan kemurahannya dan anakmu diberi kesembuhan.” kataku, dan sampai di kamar.
“Terima kasih Ustaz..” kata Amir Khan kerana Aku akan masuk kamar.
“Sama-sama..” jawabku.
Akhirnya berangkat juga ke Tahamah, satu mobil jeep diisi sembilan orang, sepanjang perjalanan hanya pemandangan padang pasir, batu, gunung, dan rumah-rumah di puncak gunung. Sekali waktu berhenti di tempat makan, untuk mengisi perut. Dan di sini ya, paling enak makannya nasi minyak, dan ayam bakar, tanpa rasa apa-apa, beda di Indonesia yang ada aneka makanan pilihan, bahkan bumbunya ayam bakar juga cuma cili utuh, itu juga kalau minta, biasanya cuma dikasih kecap sama irisan bawang bombai. Sebenarnya jika ke pasar Aku lebih suka makan roti canai, atau roti yang kayak martabak tanpa isi telur. Jadi cuma adonan tepung tapi digoreng, Makannya disuwir, dicolek ke kary daging, rasanya sih lumayan, mendekati rasa Rendang Minangkabau, Cuma kebanyakan kunyitnya, Ya, daripada tidak ada, Ya, itu termasuk makanan lazat. Biasanya juga di jalan-jalan ada warung teh plus nyedot sisa, r0kok ala Arab Saudi, dan tehnya dari daun menthol yang direbus, di Arab Saudi namanya daun Nak-Nak, rasanya diminum panas ya, hangat-hangat semriwing.
Jam 2 siang, Aku sampai di pabrik Tahamah, ketemu juga banyak orang Indonesia, dan kumpul sebagian rombonganku yang dahulu berangkat bersama dari Indonesia, Cuma kemudian yang lain dikirim ke pabrik beda Daerah.
Malamnya pada main ke kamarku, mengobrol ngalor-ngidul, Ya, menanyakan khabar dan lain sebagainya.
Pabrik Tahamah adalah pabrik baru yang sebelumnya katakanlah Daerah tanpa penduduk. Hanya wilayah gunung mati. Jadi entah, salah satu gunung dipangkas-dicantas, diledakkan, didatarkan, kemudian dibangun sebuah pabrik, dan segala macam keperluan yang diperlukan pabrik. Sehingga jika mahu ke kota maka amat jauh, di kanan kiri depan belakang, dan kemana arah mata memandang yang ada hanya gunung dan deretan gunung-gunung batu. Pabrik ini seperti sebuah koloni di dunia antah berantah, Tidak seperti di Indonesia yang gunungnya terdiri dari pepohonan dan hutan, kalau di Arab Saudi. Maka gunungnya hanya terdiri dari batu dan batu. Bahkan gunung itu seperti batu yang utuh.
Beberapa hari di Tahamah, bingung juga pertama sebab ternyata soal pekerjaan sama sekali tidak ada, barang-barang yang ku perlukan sama sekali tak tersedia, Di Tahamah hampir-hampir dikuasai oleh orang India, insinyur/enginer dan teknisinya juga orang India, tahulah orang India jika enginer sekalipun belum tentu enginer betul artinya ijazah dari beli. Jadi soal kerja sama sekali tidak mengerti.
Bahkan Aku sendiri ikut dipekerjakan melayani tukang batu. Memang apes/sial kalau bekerja dengan India. Apalagi orang Arab Saudi yang tidak mengerti ijazah palsu atau bukan. Jadi ingat orang India yang kerja di klinik, sakit apapun diberi obat paracetamol, padahal ijazahnya doktor. Ah, tidak tahulah yang penting tidak menyalahi aturan Allah, mahu orang lain menyalahi aturan bukan urusan diri kita.
Untung ada tukang-tukang dari Maroko. Sehingga Aku tidak diminta bekerja berat, kerana tahu menjadi pelayan tukang batu bukan bidangku.
Sementara untuk mulai bekerja di kaligrafi entah harus menunggu kapan. Untuk meminta meterial dan peralatan yang ku perlukan prosesnya sangat ribet. Tidak ada yang mengurus, dan Aku harus mengurus sendiri, mengajukan permintaan kepada bagian yang anehnya semua tak merasa membawahi pekerjaanku, Aku jadi ketawa sendiri, lha, Aku harus minta pada siapa? Sungguh pabrik besar yang semrawut.
Padahal material yang ku perlukan tak seberapa harganya.
Daripada menganggur, mending Aku jadi tukang sapu, Aku tidak rela memakan gaji buta, walau ini pabrik, Tidak rela rasanya tanpa mengeluarkan keringat lalu menerima gaji, biarlah Aku menyapu gudang tiap hari, Sampai sebulan dua bulan, Aku hanya menyapu ruangan yang panjangnya hampir limapuluh meter persegi.
Sampai Muhsin telefon, menanyakan khabarku,
“Bagaimana pekerjaan di sana?” tanya Muhsin.
“Kerja apaan… di sini sampai sekarang cuma jadi tukang sapu..” jawabku.
“Lhoh, saya kira sudah mulai kerja kaligrafi?” tanya Muhsin.
“Ya, Aku mengajukan minta material yang ku perlukan juga belum dikasih, malah sampai sekarang tidak jelas, ini Aku ikut general services apa ikut welfare section, semuanya tidak jelas, jadi Aku cuma jadi tukang sapu.”
“Wah, memang kalau dipegang orang India semua pekerjaan semrawut, Nanti aku menghadap manager.” kata Muhsin.
Handphone pun ditutup, sebenarnya Aku sudah perduli, mahu kerja apa juga, asal tak terlalu berat.
Selama di pabrik baru Aku, ternyata semua orang Indonesia juga terkena penyakit telefon-telefonan sama TKW, Malah ada yang sampai dating, janjian, Padahal di Indonesia punya Anak dan Istri. Ternyatanya semua orang tak tahan banting.
Dulu Aku merasa kaget waktu di Jakarta, melihat teman pesantrenku tidak pada sholat. Padahal mereka lulusan Pesantren Lirboyo. Ada juga yang lulusan Pesantren Sarang Rembang. Tetapi begitu tinggal di Jakarta, Sholat sudah ditinggalkan. Yang baru ku sadari, ternyata setiap tempat itu mempunyai karakter cobaannya sendiri-sendiri, di Arab Saudi mungkin saja sholat dilakukan. Tetapi keluarga di Indonesia kemudian dikhianati.
Aku tak ambil pusing dengan apa yang mereka lakukan, kerana, Aku tahu betul jika Aku mengingatkan mereka. Maka itu sama sekali tidak akan membuat mereka sadar. Malah bisa jadi Aku malah akan dimusuhi.
Ada beberapa orang yang tidak terseret oleh godaan saling telefon dengan TKW, Dan ada dua kelompok yang tidak suka main telefon-an dengan TKW, yang satu berkumpul di kamar yang ada gratis dan sedikit ku ajak mengobrol tentang ilmu.
Dan sebagian meminta amalan, dan menjalankan puasa. Ada salah satu orang meminta satu kamar denganku namanya Lukman, katanya ingin biar bisa lebih dapat ku bimbing.
Aku tahu Lukman mempunyai banyak masalah, di keluarganya. Dan Aku tahu kalau dia ingin sekamar denganku hanya ingin agar bisa ngobrol berdua membicarakan masalahnya. Dan dugaanku tidak meleset. Saat semua orang sudah tidak ada main di kamarku. Lukman mulai mengungkap unek-uneknya padaku.
“Mas…! terus terang aku punya masalah yang ingin ku sampaikan ke Mas Ian…” kata Lukman yang kurus dan tubuhnya ceking, tapi tinggi semampai.
“Masalah apa? Ya, kalau Aku bisa membantu, InsyaAllah akan ku bantu mencarikan solusinya, Tetapi jika Aku tak bisa membantu, ya, Aku minta maaf.” kataku, yang tidur di ranjang satunya.
“Ini yang bisa membantu hanya Mas Ian…,”
“Wah, kok bisa gitu? Kan yang lain banyak teman-teman kita, kenapa musti Aku?” tanyaku hairan.
“Kan Mas Ian yang punya ilmu trawangan, melihat dari jarak jauh.” kata Lukman.
“Wah, kata siapa? Itu mengada-ada…”
“Lha, buktinya kan banyak, misal soal Mas Sarno, terus kemaren kan ada tukang kayu yang pasahnya hilang, kan juga yang nunjukkan ditaruh di atas lemarinya orang Arab kan juga Mas Ian, akhirnya pasahnya ditemukan.”
“Ah itu sih kebetulan, pas tukang kayu orang Indonesia pasahnya hilang, Dan dia habis mengerjain rumahnya orang Arab, Ya ku bilang saja pasahnya di atas lemarinya orang Arab, dan pas kebetulan dicari di atas lemari pas ketemu, jadi bukan berarti Aku bisa trawang atau melihat dari jarak jauh.”
“Ah, Mas saja yang merendah.”
“Bukan, memang Aku tak punya ilmu seperti itu, jika pas kebetulan itu juga kan bukan berarti Aku punya ilmu seperti itu.”
“Jadi Mas Ian tak mahu membantu masalahku?”
“Bukan tak mahu, Aku mahu saja membantu jika Aku mampu, kenapa tak mahu membantu orang lain, tapi itu jika mampu, kalau tidak mampu lalu membantu bukankah akan malah menambah susah saja.”
“Baik begini Mas, aku punya Istri, punya anak satu yang masih kecil.”
“Lalu?”
“Kalau bisa dilihatkan bagaimana Istri saya? Soalnya hati saya tak enak sekali.” kata Lukman.
“Lebih baik bekerja dengan baik, dan tidak terlalu menyangka yang tidak-tidak, hanya akan membuat hati tidak tenang.” nasehatku.
“Ya, tolong dilihatkan Mas..” Lukman merajuk.
Lukman lalu mengeluarkan photo Istri dan anaknya.
“Ini Mas, photo Istriku…” Lukman menyodorkan photo ke arahku.
“Kamu itu hanya rindu pada keluarga, dan semua orang yang bekerja di Arab Saudi itu pasti mengalami cobaan itu, namanya juga jauh dari keluarga. Jadi jangan kemudian menjadikan diri terseret pada prasangka dan bayangan yang membuat diri tidak tenang.”
“Tidak Mas, ini masalahnya lain…”
“Sudahlah tenangkan saja diri, banyak-banyak zikir, minta pada Allah Ta'ala agar hati tenang.” kataku.
Malam itu tetap saja tidak ku jawab kemahuan Lukman, diriku memang serba susah. Apalagi menyangkut rumah tangga orang, Aku sama sekali tidak ingin ikut campur dalam rumah tangga orang. Besoknya pulang kerja seperti biasa banyak orang yang berkumpul di kamarku Ada yang tua ada juga yang muda. Dan setiap waktu ada saja orang yang biasanya tidak pernah ikut main ke kamarku. Lalu tiba-tiba saja main, pasti ada maksudnya. Ini ada tiga orang yang biasanya tidak pernah datang main2 ke kamarku, dan kali ini datang. Ada Iwan, Pak Purwanto, dan Sodikun, Pak Purwanto orangnya sudah umur 50-an tahun. Juga Sodikun sekitar umur 50-an tahun. Dan Iwan masih muda
“Mas… saya mahu ada perlu..” Sodikun mendahului bicara.
“Ada apa Pak ?” tanyaku.
“Ini soal anak perempuan saya.” jawab Sodikun.
“Kenapa anak perempuannya?”
“Anak perempuan saya kemaren dibawa ke hospital, dan divonis mengidap kancer rahim.”
“Hhmm… terus..?” kataku sambil membuang abu r0kok mallboro merah di asbak (bekas abu rokok).
“Maksud saya ingin minta bantuan Mas, minta di do’akan supaya penyakitnya sembuh tanpa harus operasi.” jelas Sodikun.
“Ya tiddak apa-apa, Saya do’akan, wong mendo’akan juga tidak bayar kok, tinggal minta saja sama Allah, yang di rumah disuruh saja sediakan air. Nanti obatnya Saya transfer ke air itu…, sana di telefon dulu yang di rumah.” kataku.
“Iya Mas, terima kasih sebelumnya.” kata Sodikun kemudian menelefon rumahnya.
“Ini ada apa Iwan kok tidak biasanya main ke kamarku?”
“Anu Mas, saya juga mahu minta tolong…” kata Iwan.
“Wah, lama-lama Aku bisa dianggap dukun ini di Arab Saudi.. ” 😄 candaku.
“Ya beza toh Mas, kalau dukun kan pakai kemenyan, kembang/bunga, sesajen, lha panjenengan kan minta langsung sama Allah..” sela Pak Purwanto.
“Ada apa dengan Nenekmu Wan?” tanyaku.
“Nenekku itu sudah lima tahun lumpuh tak bisa jalan, Mas…”
“Lalu?”
“Ya saya minta Mas mendo’akan Nenek saya itu diberi kesembuhan oleh Allah Ta'ala, soalnya selama ini sudah diobatkan kemana-mana juga hasilnya nihil, sudah banyak biaya yang kami keluarkan.”
“Ya suruh saja di rumah sedia air mineral, biar obatnya ku transfer ke air itu… sudah sana yang di rumah dihubungi.” kataku.
“Iya, terima kasih Mas sebelumnya.” kata Iwan lalu berlalu menelfon rumahnya
“Ini Pak Purwanto ada apa?” tanyaku pada pak Purwanto.
“Sama Mas, mahu minta do’anya untuk anakku yang di rumah, anak lelakiku sebesar Mas tapi fikirannya kayak terganggu.”
“Terganggunya bagaimana Pak?” tanyaku.
“Dulu pernah mengalami kecelakaan motor dan sejak saat itu jadi sering diam, kayak orang bengong gitu…”
“Hhmm… ya sama kalau begitu di rumah disuruh saja sedia air mineral, biar obatnya nanti ku transfer ke air itu.”
“Ya, Mas terimakasih, biar saya telefon ke rumah.” kata Purwanto.
Sodikun sudah menghadap lagi, “Sudah saya suruh sedia air Mas.” kata Sodikun.
“Bapak tulis nama dan nama bapak di kertas, besok pagi airnya suruh minum ke anak bapak, semoga saja sembuh.” kataku.
“Nanti airnya diminum waktu pagi ya Mas?” tanya Sodikun.
“Iya, minumnya waktu pagi, sebelum makan atau minum apapun, Insya Allah kalau Allah mengizinkan sembuh, nanti tumornya akan hancur, terbuang lewat jalan pembuangannya.” kataku.
“Jadi kalau keluar daging dan darah banyak tidak usah terkejut dan kaget.”
“Iya Mas… terima kasih..” kata Sodikun, dan minta diri dari kamarku.
“Ini Mas, airnya sudah disediakan,” kata Iwan.
“Suruh saja besok pagi diminum Nenekmu, dan diusapkan di kakinya, tapi Wan, belum tentu kesembuhan itu membawa kebaikan.” jelasku.
“Ya Mas, asal Nenekku sembuh, kasihan dia sudah sakit sejak lama…” kata Iwan.
“Moga-moga saja sembuh.” kataku.
“Terima kasih Mas,” kata Iwan.
“Iya sama-sama.”
“Airnya sudah disediakan Mas.” kata pak Purwanto
“Iya besok, airnya diminumkan ke anaknya, dan
dipakaikan mandi.” kataku.
“Besok pagi ya Mas..? “
“Iya besok pagi, semoga saja diberi kesembuhan
oleh Allah.”
“Terima kasih banyak Mas… semoga Alloh membalas
kebaikan Mas Ian.”
“Aamiin.” Pak Pur pun berlalu, dan masih beberapa
orang yang mengobrol ngalor ngidul tak karuan.
Aku tertidur, dan tak tahu orang-orang sudah
pergi, ketika bangun, segera menjalankan sholat Isya’, dan mendo’akan yang minta dido’akan.
Lukman masuk, baru pulang kerja lembur-overtime,
wajahnya nampak kusut. Aku melanjutkan zikirku. Setelah selesai zikir, Aku membuat
indomie, kerana perut keroncongan. Ku buatkan
sekalian Lukman yang masih mandi.
“Ayo makan indomie.” kataku ketika Lukman
selesai mandi.
“Terima kasih Mas, tidak nafsu makan.” katanya tak
semangat
“Lhoh jangan gitu, ini sudah terlanjur ku buat
dua, ya sudah. Ada masalah bisa difikirkan dengan
perut kenyang, kalau perut lapar, masalah kecil
juga tidak akan selesai. Jangan kerana satu
masalah lalu diri terseret dalam arusnya. Tenangkan diri. Hanya hati yang tenang yang
mampu menyelesaikan masalah, Ayo makan..” akhirnya Lukman mau, dan kami makan. [HSZ]
To be Continued.....
Untuk Anda yang belum baca siri ini yang sebelumnya,
Anda boleh baca disini ; KISAH SUFI, SANG KYAI
Ilustrasi Image; Doc, Fortuna Media
#indonesia, #misterinusantara, #KisahKyaiLentik #KyaiLentik, #KisahSangKyai, #KisahSufi, #SangKyai,
No comments
Post a Comment