KISAH SUFI, SANG KYAI [37]

<img src=https://fazryan87.blogspot.com".jpg" alt="KISAH SUFI, SANG KYAI [37]">
 Riyadh at Night by pinterest.com

KISAH SUFI, SANG KYAI [37]

  • Pada siri ke-36  Dikisahkan, dalam pengembaraan Sang Kyai di Arab Saudi, terjadi satu peristiwa yang juga membuat Sang Kyai kesal juga. Dimana sewaktu Sang Kyai dan rakan-rakannya melakukan ibadah Umrah, rakannya bernama Muhsin telah menghilang diri entah kemana, berjam-jam tanpa dapat dihubungi.
  • Ketika mereka berjumpa lagi, dan kedua rakan Sang Kyai (Muhsin dan Munif)  itupun saling menyalahkan soal handphone ; "Aku hanya melihat, bagiku tersesat dan kehilangan kontak sangat penting, kerana bisa tahu dan sedikit hafal jalan-jalan Kota Makkah, sehingga suatu saat, jika datang ke Makkah setidaknya sudah bisa setengah hafal".

  • "Dan banyak sekali hikmah yang bisa ku dapat. Dan ini akan menjadi kenangan bagiku dengan temanku si Munif yang telah lebih dahulu menghadap Allah Azza Wa Jall, kerana kecelakaan di perjalanan kerjanya. Semoga amal ibadahnya diterima di sisi-Nya. Aamiin, Ya, Rabbal 'Alamin".
FORTUNA MEDIA - Suara siren polis memberi peringatan. Agar setiap mobil-kenderaan segera meninggalkan kawasan parking di tepi jalan. Jika tidak akan segera diderek-ditarik. Menandakan kami harus segera pulang, kembali ke pabrik, dan bekerja seperti biasa. Dan tidak pernah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Taqdir telah dalam tergurat, baik buruk siapapun tak ada yang akan tahu akhirnya. Kita seperti pejalan kaki yang melintasi gelap. Tidak ada yang memberi cahaya kecuali Sang Maha Pemberi Cahaya. Dan Allah Azza Wa Jalla, hanya memberi cahaya pada siapa yang dikehendaki. Dan kita berharap kita, khususnya Aku sendiri mengharap cahaya itu menjadi penerang di hati. Memperoleh sedikit sudah cukup menjadi panduan. Agar Aku bisa melewati kegelapan hidup yang penuh tipu daya, sebab ketertipuan yang halus lebih menakutkan kerana diri tidak merasa. Dan selalu merasa benar walau jelas telah salah jalan. Itu lebih menakutkan dari masuk ke jurang secara nyata. Sebab telah jauh amal dilakukan bukan menambah kita menuju kebenaran. Walau sisa-baki umur habis sudah di perjalanan panjang yang sia-sia. Tidak pernah bijak 
memaknai sepi. Dan tidak pernah mengerti tujuan perjalanan yang sejati.

Sampai di pabrik-kilang, masih ada waktu istirahat. Dua orang TKI (Tenaga Kerja Indonesia) sudah ada di kamarku. Kami bicara tentang cerita masing-masing. Dan tentu saja rok0k Indonesia kebiasaan bagi TKI yang datang dari bercuti atau baru datang dari Indonesia, sebab rok0k di Arab Saudi harganya selangit untuk rok0k Indonesia.

Dua orang TKI baru itu bernama Yatno dan Umam.

Kerana sudah teramat lelah Aku pun tertidur. Hari-hari kerja seperti biasa, Alhamdulillah, Aku mendapat lemburan-overtime membersihkan Masjid. Walau waktunya setengah hari. Tetapi cukup lumayan untuk tambahan membeli rok0k.

Biasa jam 9 istirahat, kerana kerja di Masjid sendiri. Aku memilih tempat menyendiri untuk menulis pakai handphone N75, sambil menyalakan rokok,

“Haram… hada duhon haram…!”  Tiba-tiba seorang Mutowak (Kyai-Ustaz) membentakku. Dia seorang Arab. Maksudnya, “Haram, ini rok0k haram.

“Siapa yang mengatakan haram?”  tanyaku.

“Aku.”

“Siapa kamu berani menentukan hukum tanpa dasar.”  elakku.

“Aku Kyai.”

 “Kyai bukan Nabi, Al-Qur’an saja tidak mengatakan haram, bagaimana kamu mengatakan haram.”

 “Aku mengatakan haram, ya haram…”  bantah Mutowak.

“Heeyy… di mana-mana haram itu sudah jelas. Al-Qur’an juga sudah menetapkannya, zina, mencuri, mabuk-mabukan, riba, membvnuh. Itu sudah jelas di-nash, ditentukan oleh Al-Qur’an, kalau rok0k makruh iya, kerana tidak ada manfaatnya. Tetapi kalau haram tidak, bahkan tak ada "wala taqrobu duhon'. Jangan mendekati rok0k juga tak ada. Jadi jangan membuat hukum tanpa ada dasar hukumnya. Kalau Allah Ta'ala tidak mengharamkan maka jangan diharamkan, kalau melarang dalam ruang tertentu tidak apa-apa.”  kataku juga ngotot,

“Pokoknya kalau haram, ya haram,”  Mutowak juga tak mahu kalah. Walau dia tak punya dasar.

“Heeyy… Aku tahu kamu Mutowak. Dan Aku orang bodoh. Tetapi tidak bisa seseorang itu memaksakan kehendaknya pada orang lain. kecuali hal itu benar-benar berbahaya untuk orang lain. Seperti seorang doktor melarang orang darah tinggi makan daging kambing. Tetapi untuk orang lain daging kambing kan bukan larangan, Pemerintah saja tidak melarang rok0k, lha, kok kamu melarang. Sekarang kalau "gad"  (sejenis rumput yang bisa menambah stamina dan jika dikonsumsi bisa menjadikan orang yang mengkonsumsi ketagihan. Dan di Arab Saudi itu dilarang sebab hampir seperti g4nja. Walau efeknya, Aku sendiri tidak tahu apa bisa jadi sakau) Apa itu halal kok kamu mengkonsumsi?”  tanyaku.

“Kalau itu halal.”  jawab Mutowak.

 “Tapi itu kan pemerintah melarang?”

 “Ya, itu kan urusan pemerintah.” 
jawab Mutowak.

“Lho, yang rok0k tidak dilarang, kamu haramkan, kok gad yang dilarang pemerintah kamu makan? Bukankah firman Allah Ta'ala. Ta’atlah pada Allah Subhanahu Wa Ta'ala, T
a’atlah pada Rasul. Dan ta’at pada pemimpin kalian, bukankah itu malah menyalahi Al-Qur’an?”

 “Kamu sok pintar.”

“Lhoh, itu kan sudah ada di Al-Qur’an, bukan Aku sok pintar.” 
elakku.

 “Begini saja menurutmu ayat yang menyatakan: “Wa anzalna minassama’i ma’an” [dan Aku (Allah) turunkan air hujan dari langit]. Menurutmu ayat itu benar tidak kalau Allah yang menurunkan hujan dari langit?”  tanyaku.

“Ya, benar itu kan Al-Qur’an.”  jawab Mutowak.

 “Nah, kerana yang menurunkan hujan dari langit itu Allah Ta'ala. Jika yang kamu katakan benar. Coba kamu berdo’a minta hujan pada Allah, kalau kamu benar tentu Allah akan menurunkan hujan dari langit, bagaimana? Aku akan berhenti mer0kok sekarang juga.”  kataku.

“Ya, tidak bisa seperi itu.”  kata Mutowak.

Kerana di Jizan sendiri setahun memang belum tentu ada hujan. Bahkan telah berulang kali dilakukan sholat minta hujan di lapangan. Tetap saja panas amat terik. Dan dari Kyaiku Aku sudah 
dibekali sendiri cara meminta hujan.Memindahkan mendung. Dan memerintah angin. Maka, Aku berani menantang Kyai dari Arab Saudi itu.

Walau sebenarnya, Aku tidak ingin apa yang diberikan Kyaiku itu untuk membenarkan atau mendukung hujahku, Aku hanya ingin orang Arab itu tidak terlalu selalu menganggap ucapan dia adalah hukum, dan kebenaran. Sementara ucapan orang di luar Arab itu salah.

 “Nah, kamu tak berani kan? Anak kecil juga bisa ngomong ini-itu. Menetapkan sesuatu dengan ukuran pendapatnya sendiri.”  kataku memanasinya.

“Coba kamu…”  kata Mutowak itu yang sudah termakan siasatku.

“Kalau turun hujan bagaimana?”  tanyaku.

“Tidak mungkin.”

“Benar Aku yang berdo’a?”

 “Iya, kalau turun hujan bagaimana?” tanyaku lagi.

 “Kamu boleh mer0kok semaumu, bebas di mana saja.”  kata Mutowak itu yakin kalau Aku tak akan bisa meminta hujan. 

“Baik ku pegang ucapanmu.”  kataku.

 Aku segera ke luar dan melihat ke jauh. Di mana ada setitik mendung jauh. Lalu Aku berkonsentrasi. Meminta kepada Allah Azza Wa Jalla, memadukan dengan zikir dan do’a. Juga tenaga prana. Lalu angin lima menit kemudian berhembus keras. Dan mendung bergulung mendatangi. Aku tetap konsentrasi. Dan menyatukan permintaan dengan kesungguhan. Dan sepuluh menit kemudian hujan deras. Aku berlari ke tempat teduh, menghindari hujan.

“Bagaimana?”  tanyaku pada Mutowak.

 “Itu sihir…”  kata Mutowak.

 “Lhoh, kamu ini bisa dipegang kata-katanya tidak. Jelas-jelas di Al-Qur’an, Allah yang menurunkan hujan. Ini bukan Aku yang menurunkan. Bagaimana kau anggap sihir. lha, coba saja airnya disentuh. Tanah basah gitu, kalau sihir mampu melakukan seperti itu. Sampai tanah basah, air mengalir. Wah, hebat benar sihir itu.”  kataku agak jengkel.

Memang tidak ada gunanya otot-ototan sama orang Arab. Sebab kebanyakan mereka, 
memperdebatkan sesuatu tanpa dasar. Dan hanya memakai dasar agar diri dianggap benar.

Aku tinggalkan Mutowak Arab itu, dan kembali bekerja.

Esok harinya lagi, Mutowak itu mendatangiku. Dan memberikan r0kok padaku.

 “Apa ini?”  tanyaku.

 “Aku hanya ingin mengatakan, kamu jangan menunjukkan kelebihanmu di hadapan orang lain, kerana kamu bisa dibawa polis, dituduh melakukan sihir, dan akan dipancung.”  kata Mutowak.

 “Lhoh, Aku sama sekali tidak melakukan sihir.”

 “Iya, Aku tahu, Tetapi di Arab Saudi seperti itu tidak ada, kamu memiliki ilmu Haq. Tetapi di sini, Arab Saudi, seperti itu tidak ada. Pemerintah Arab Saudi mempunyai Mazhab Wahabi, yang bersandar pada ibadah yang logik, masuk akal, dan wajar. Jadi kalau minta hujan ya, pakai sholat Istisqo’. Do’a itu ada kalanya diijabah di akhirat sana.”

 “Hehehe… Aneh.” 

“Apanya yang aneh?”

 “Coba bayangkan, kalau semua do’a minta hujan diijabah di akhirat. Apakah akhiratnya tidak kebanjiran. Apa itu namanya tidak aneh. Di akhirat bukannya orang yang masuk Syurga sudah disediakan semua kelengkapannya. Kalau do’a minta rezeqi diijabah di sana. Apa tidak aneh? Di Syurga bukannya tidak ada orang sakit? Kalau do’a minta disembuhkan diijabah di sana. Apa tidak aneh?”  kilahku.

 “Wah, kamu terlalu mengerti banyak. Itu akan membahayakanmu.”

“Lhoh, bukannya itu hal yang masuk akal.”

 “Ijabah Allah itu tidak mesti dalam bentuk sesuatu yang kita minta.”  jelas Mutowak.

 “Iya, tapi Allah kan tidak terhalang dalam memberi ijabah.”  kataku.

“Sudah-sudah aku mumet bicara denganmu, hanya pesanku.  Jangan kamu perlihatkan kelebihan yang kamu miliki, kepada orang lain. Itu demi keselamatanmu.”

“Baik-baik…”  jawabku

“Damai.”  kata dia menghulurkan tangannya.

“Damai, Peace.”  jawabku menyalaminya.

Semua orang berpegang pada keyakinan masing-masing. Sekalipun kita yakin- seyakin yakinnya kepada apa yang kita yakini. Maka itu untuk kita sendiri, dan semua orang berhak ada dalam apa yang diyakini. Selama apa yang diyakini itu tidak mencederai keyakinan orang lain.

Sesuatu apapun itu menjadi salah atau kebenaran sekalipun jadi salah jika dipaksakan kepada orang lain. Kecuali itu telah disetujui menjadi hukum suatu negara. Maka, Negara berhak memaksakan kehendaknya pada rakyatnya. Jika rakyat tidak mahu, turunkan saja pemimpin yang memaksakan kehendaknya pada rakyat itu.

Sebagai pribadi, maka tidak selayaknya kita memaksakan kehendak atau keyakinan kita kepada orang lain. Sekalipun apa yang kita yakini itu telah terbukti kebenarannya. Cukup 'Wa’mur bil urfi wanha ‘anil mungkar',  'Memerintah kebaikan dan mencegah kemungkaran', hidayah atau petunjuk itu di tangan Allah Ta'ala. Jika kita telah  
memaksakan keyakinan diri pada orang lain. Maka berarti kita telah berusaha menjadi TUHAN.

Aku amat percaya, jika seseorang berusaha menjadi Tuhan, yaitu yang memaksakan kehendak pada orang lain. Supaya mengikuti apa yang diperintahkan dan dikehendakinya. Maka selamanya tidak akan sukses. Sejak dulu banyak orang yang berusaha menekankan dan memaksakan kehendaknya pada orang lain. Juga sejak dulu tidak ada satupun yang berhasil. Malah akan menimbulkan pertengkaran dan perselisihan baru, permusuhan yang tiada ujung pangkalnya.

Menurutku kita ikuti saja perintah Allah Subahanhu Wa Ta'ala. Allah memerintahkan kita kepada kebenaran. Maka kebenaran itu kita sampaikan. Tidak perlu menggurui, tidak perlu menunjukkan diri berilmu. Bahkan kadang kita tidak perlu berbicara lebih. Cukup menjadi contoh dan mencontohkan, "Lisanul khal afsakhu min lisanil maqol",  'Lisannya perbuatan itu lebih fasih berbicara dari lisan ucapan'.

Kejernihan hati itu akan berimbas pada orang yang memiliki kejernihan itu. Dan berimbas pada 
orang yang melihat. Suatu ketenangan akan merambat-merayap  menjalari hati siapa saja yang bertemu dengan orang yang kejernihan hati. Seperti orang yang berdiri di tepi danau-tasik. Dan akan merasa tenang ketika melihat danau yang tenang. Angin yang lembut menyegarkan menerpa pipi. Dan damai dengan sendirinya akan merasuk ke hati. Walau dia tidak menyentuh danau yang tenang itu.

Hari-hari biasa, jika sudah malam, kamarku sering didatangi teman-teman yang sekedar nongkrong, duduk ngobrol. Juga banyak yang belajar internet gratis. Yatno termasuk yang sering main ke kamarku,

“Kamu punya masalah ya Yatno..?”  tanyaku suatu hari.

 “Kok tahu Kang?”  tanya Yatno hairan.

 “Ya, kan bisa dilihat dari wajah yang kelihatan sumpek, dan suntuk itu.”  jawabku.

“Aku mahu tanya soal perempuan Kang…, kalau boleh.”  kata Yatno.

“Lhoh, bukannya kamu sudah punya anak-bini?” 

“Iya Kang…, tapi Aku sudah tidak kumpul, dan aku punya pacar baru..”

“Wah, jangan teruskan Yatno…, Percayalah kamu akan menyesal nantinya.”  jelasku.

 “Wong, Aku cuma bantu Kang…”

“Hahaha… Membantu? Aah tidak usahlah banyak alasan, Aku tahu semua, Pokoknya ingat kata-kataku ini, kamu akan menyesal kalau kamu teruskan. Nanti kalau ada apa-apa jangan minta tolong padaku lho…”

 “Wah, mbok sampean jangan menakut-nakuti aku toh Kang.”

“Lho, menakuti bagaimana toh, sesuatu perbuatan itu ya Yatno. Jika keluar dari jalur kebenaran pasti akan celaka, menyesal. Makanya kerana Aku merasa kita senasib di Arab Saudi ini, kamu Aku ingatkan, agar tak menyesal nantinya.”

“Ya,… Aku jalani dulu Kang…”

“Kamu ini kok ya lucu..”

“Lucu bagaimana Kang.”

“Yang kamu jalani itu ya, apa enaknya.” 

“Maksudnya Kang?”

“Kamu itu kan di sini, pacarmu di Indonesia. Coba apa kamu menyentuh, cium? Lha, apa enaknya pacaran kayak gitu. Kalau Aku orang tidak benar. Mengapa juga pacaran kayak gitu dilakukan.”

 “Ah, tidak tahu lah Kang..”

<img src=https://fazryan87.blogspot.com".jpg" alt="KISAH SUFI, SANG KYAI [37]">
Photo by pinterest.com

"Mungkin di Arab Saudi itu orang kesepian. Apalagi kami yang terkongkong seperti di penjara. Melihat perempuan ibarat seperti barang langka. Melihat perempuan mungkin kalau pas beruntung lagi pergi ke kota. Itu juga perempuan yang cuma kelihatan matanya, tak tahu kalau pas dibuka ternyata perempuan tua".
Kesepian itu merajut hati siapa saja. Dan memenjarakan kehendak, tentu saja seperti nafsu itu seperti kuda yang lama dipasung di kandangnya. Bahkan sebelum Aku mengajari cara ber-internet gratis. Semua orang pada terseret pada penyakit telefon-menelfon TKW. Setiap habis kerja semua pada sibuk mojok-kesudut. Telefon-telefonan dengan TKW. Tidak tahu orangnya jelek, hitam, jerawat batunya menumpuk. Asal terdengar suaranya yang merdu manja.

Semalaman pun mampu bicara, dan kebanyakan gaji habis untuk telefon-telefonan. Aku melihat merasa kasihan juga. Sebab jelas semua orang jauh-jauh ke Arab Saudi bukan untuk enak-enakan rekreasi. Tetapi mahu memperbaiki ekonomi. Mahu agar taraf hidup jadi lebih baik. Lalu kok gaji habis cuma untuk telefon cewek yang tidak jelas juntrungnya (posisi dan keadaannya), Perawan apa janda juga masih jadi tanda tanya. Juga sudah tua atau muda juga masih perlu dibuktikan. Tetapi semua kerana qudrat, lelaki itu memerlukan wanita. Dan wanita memerlukan lelaki.

Walaupun Aku tak sampai ikut-ikutan. Dan maklum akan keperluan teman-temanku mengisi sisi hatinya yang kosong. Apalagi yang punya Istri mahu 
telefon Istri di Indonesia juga mahal. Aku maklum, kalau masih telefon cewek. Dan tidak telefon   kambing, kan, kalau telefon kambing jadinya kan kelainan. Tetapi, Aku juga kasihan 18px mengingat tujuan ke Arab Saudi adalah mendapatkan wang untuk memperbaiki taraf hidup. Jadinya wang dihabiskan. Malah ada yang sampai habis wang 3 ribu Riyal perbulan, atau tujuh juta setengah dalam tukaran rupiah. Wang segitu hanya dihabiskan untuk haha-hihi dengan cewek yang tak jelas.

Seperti pemuda bernama Tony, dia selalu telefon-telefonan di dekatku. Sambil sayang-sayangan. Suara perempuannya sih, kedengaran manja merayu.

“Heey Ton…!”

 “Apa Mas…”


“Kamu itu 
telefon-telefonan tiap hari. Apa sudah lihat ceweknya?”

 “Ya, belum Mas…”

“Setahuku cewek yang suaranya merdu begitu. Apalagi mahu bicara tidak genah, jorok gitu, biasanya jelek.”

“Ah, mana mungkin jelek, lha, suaranya saja merdu gitu.”  elak Tony.

 “Lha, kenapa kamu tidak minta photonya, dibuktikan kata-kataku. Daripada sudah sayang-sayangan tidak karuan ceweknya malah lebih tuwir dari Emakmu. Apa tidak menyesal.” 

“Dia sudah ku mintai photonya. Tetapi tidak punya handphone yang ada kameranya.”

 “Nah, ketahuan, apalagi pakai alasan segala. Sudah jelas jelek amit-amit itu orangnya.”


 “Lha, kalau memang dia tak punya handphone yang berkamera gimana?”

 “Kan bisa pinjam handphone orang lain, bilang saja kalau tak mahu memberikan kamu photo, dia kamu putuskan.”

“Iya deh, ku minta photonya lagi.”


 “Sekalian bilang kalau dia tidak mahu bagi photo sekarang juga, kamu putus sama dia, tak mahu 
telefon-telefonan  lagi.”

 “Iya ku bilang.”

Tony pun 
telefon lagi, dan meminta photo. Juga mengatakan akan memberi photo.

 “Bagaimana sudah mahu bagi?”  tanyaku pada Tony yang sudah telefon.

“Iya, setelah ku ancam mahu ku putuskan dia mahu, dan mahu pinjam handphone temannya.”  jawab Tony. 

“Nah, itu baru benar.”

***
 Suara pintu kamar ku diketuk.

“Masuk, tidak dikunci.”  kataku mempersilahkan masuk yang mengetuk pintu.

Ternyata Muhsin dengan temannya, yang tak ku kenal kerana bukan dari salah satu di antara pekerja pabrik simen.

 “Wah, ramai sekali, pada berkumpul.” 
kata Muhsin sambil masuk.

 “Mari silahkan, desak-desakan,”  kataku kerana memang kamar sudah agak penuh orang.

 “Ini Mas… orang yang pernah aku ceritakan mahu minta tolong.”  
jelas Muhsin setelah duduk memperkenalkan namanya Mabrur.

“Lha, ada masalah apa Mas?” tanyaku.

 “Itu Mas, saya membeli tanah di rumah di Daerah Cirebon.”  cerita Mabrur.

“Terus ada apa?” 
tanyaku


“Nah itu, ceritanya begini Mas, yang punya tanah itu dulunya pernah "nyupang", bekerja sama dengan sebangsa Jin Buto Ijo atau apa gitu. Yang jelas kan di tanah yang ku tempati itu ada pohon sawo tua. Nah, sering kejadian orang lewat di sekitar sawo tua itu menjadi korban.”

 “Maksudnya menjadi korban?”
  tanyaku.

 “Ya, kayak tiba-tiba mati tercekik, dan orang yang ada di sekitar pohon itupun pada satu persatu mati. Dan memang di dekat pohon sawo (pohon ciku) itu juga tempat saya mahu tinggal nantinya, ini masih belum ku tinggali, sebab saya dan Istri masih kerja di sini.”   cerita Mabrur.

“Lalu…”

 “Ya kalau bisa, mahu minta tolong dipindahkan atau mahu diapakan agar  Jin Buto itu tidak meminta korban lagi…”  kata Mabrur.

“Hm… ”  Aku merenung.

“Ini sudah ku mintakan orang pintar, atau paranormal untuk memindah Mas. Tetapi tak ada yang kuat, malah ada yang sampai mati tercekik.”  jelas Mabrur. 

“Wah. ngeri juga ya…”  kataku asli merasa ngeri juga. Biasanya Jin kalau sudah diajak kerja sama dengan manusia memang sudah kuat. 

“Iya, coba nanti ku usahakan. Moga-moga Allah memberi izin dan kekuatan padaku untuk mengusirnya.”

 “Terimakasih sebelumnya.”  kata Mabrur.

 “Lalu, yang kedua Mas..”  tambah Mabrur.

 “Wah, kayak buku saja ada yang kedua, hehehe…”  candaku.

 “Ya, sekalian Mas, soalnya jauh-jauh sudah sampai di sini.”

“Apa itu yang kedua?” 
tanyaku.

“Ini soal majikanku Mas, Aku punya majikan. Nah,  Aku sudah lama bekerja sama Istri di tempat majikanku itu, tapi gaji tidak dikasih-kasih…”

“Siapa nama majikannya?” 
tanyaku. Lalu Mabrur menyebutkan nama.

“Ya, InsyaAllah nanti ku bantu do’akan.” 

Teman sekamarku namanya Safi, orang Madura, dibilang lucu ya, lucu juga. Kerjanya tukang potong rambut. Jadi di dalam perusahaan simen ini seperti layaknya kampung. Semua bidang pekerjaan ada, dari sopir, satpam-security, tukang kayu, tukang batu, tukang letrik, mekanik, sampai tukang cukur juga ada. Semua di bawah naungan pabrik simen. Jadi orang tak perlu kemana-mana. Semua sudah tersedia di dalam, bahkan lapangan bola, lapangan basket, kolam renang. Juga mini market yang lumayan lengkap juga ada. Dari pabrik seminggu sekali ada bus yang siap mengantar karyawan ke kota untuk belanja, dengan gratis.

Di dalam juga ada kantin. Jadi mahu makan tinggal potong gaji, mahu masak sendiri juga boleh, dengan belanja sendiri tentunya. Safi teman sekamarku itu orangnya suka bercanda. Malam-malam dia mendekatiku, sambil telefon,

 “Ada apa?”  
tanyaku hairan kerana dia telefon dengan suara perempuan,

“Ssst…! Jangan keras-keras Mas, Aku lagi ngerjain Mas Widji.” kata Safi,

“Ngerjain apaan?”
tanyaku hairan.

“Ngerjain 
telefon dia, Aku pura-pura jadi perempuan, biar kapok-jera, masak orang kok sukanya telefon sama perempuan.”  kata Safi.

Walau Aku mengerti maksudnya. Tetapi, Aku kasihan juga sama yang dikerjai, kaerana sampai mahu mengirimi pulsa (data). Dikiranya Safi yang memakai nama perempuan itu benar-benar perempuan. Sehingga sampai malam larut masih ngobrol sayang-sayangan. Juga masih perawan, sakitlah, Aku jadi tidak konsentrasi menulis di handphone.

Besoknya yang dikerjai orang lain lagi. Bernama Pak Bunawi, Pak Widji dan Pak Bunawi itu juga orang tua yang sudah ubanan, lha hairanku kok bicara yang sayang-sayangan. Anehnya lagi, nanti setelah 
telefon pada ke tempatku. Dan cerita sama Safi kalau habis telefon-telefon'an sama cewek. Dan sayang-sayangan, seperti anak baru remaja saja. Tidak tahunya kalau yang barusan telefon orang yang sekarang diajak bicara. Ahh, benar-benar sudah edan semua, gara-gara pada kesepian,

Aku tinggal saja mereka semua, untuk melepas raga-sukma. Melanglang-buana pergi ke Cirebon ke Daerahnya Mas Mabrur.  [HSZ] 

To be Continued.....

#indonesia#misteri#KisahKyaiLentik  #KyaiLentik, #KisahSangKyai, #KisahSufi, #SangKyai,

No comments