KISAH SUFI, SANG KYAI [36]

<img src=https://fazryan87.blogspot.com".jpg" alt="KISAH SUFI, SANG KYAI [36]">

KISAH SUFI, SANG KYAI [36]

  • Pada siri ke-35  Dikisahkan Sang Kyai yang kini sudah bekerja di Arab saudi, akan menunaikan ibadah Umrah. Ikuti perbualan Sang Kyai dengan Muhsin,
  • “Terus besok Sabtu kerja bagaimana itu?”  tanya Sang Kyai.
  •  “Kan berangkat dari sini pagi, besok jam segini sampai di Makkah, lalu siang hari Juma’at berangkat ke Makkah. Malam  sekitar jam tiga kan sudah sampai di sini, Istirahat sebentar kan Sabtunya sudah bisa kerja.”   jelas Muhsin.
  • Ternyata taksi sudah ada di luar rumah. Dan di dalam taksi sudah ada Munif. Orang Indonesia dan sopir taksi juga pekerja pabrik, yang juga mahu Umrah.

FORTUNA MEDIA -  Mobil atau kereta melaju dengan kencang, sehingga penunjuk kecepatan (meter kelajuan) sampai mentok (stuck). Yang ku suka di Arab Saudi adalah tak ada macet - jem, jalan lurus, dan tak banyak belokan (turn). Dan tak ada jalan tol. Semua jalan lebih tol dari jalan tol di Indonesia.

Jika bicara jujur, memang pemerintah Arab Saudi yang kenyataan tanahnya tandus, keunggulan melebihi Indonesia. Dari yang tak ada korupsi. Mobil murah kerana tanpa pajak, BBM (Bahan Bakar Minyak-petrol) juga satu-Riyal dapat dua liter, berarti seliter kalau dihitung ke-rupiah cuma seribu dua ratus rupiah. Tidak ada cerita pom bensin (stesen minyak) dijaga polisi. Juga tak ada polis penat-penat di jalan. Orang paling miskinpun jika mahu pulang kampung saja punya mobil. Apalagi orang kaya.

Pemerintah Kerajaan Arab Saudi memang sangat perhatian sama rakyatnya. Tidak ada dan tak mungkin orang luar-Asing bisa usaha atau membuka usaha di Arab Saudi tanpa menggunakan nama kepemilikan orang asli Arab Saudi. Tidak bisa orang Asing bebas mempunyai tanah atau usaha (projek/perusahaan). Sebab Raja Arab Saudi tidak mahu rakyatnya dijajah Bangsa Asing, yang hebat semua orang mempunyai ATM. Dan wang dari kerajaan langsung sampai ke tujuan orang yang akan diberi, tanpa melewati siapapun.

Saat bulan puasa, jadi banyak orang yang pergi Umrah. Di jalan kami temukan banyak rombongan keluarga.

Malam makin larut, mobil taksi masih melaju. Tiba-tiba ban-tayar meletus. Nasib baik, mobil langsung keluar dari jalan raya. Dan di tepi jalan hanya pasir. Dan nasib baiknya juga pas di dekat kami ada bengkel penggantian tayar, di Arab Saudi itu tak ada tukang tambal tayar. Yang adanya bengkel penggantian tayar. Jika tayar kempes-pancit, lansung diganti yang baru. Dan hebatnya penggantian semua dari pencopotan baut-nut sampai pelepasan tayar semua memakai mesin otomatik. Jadi pencopotan sampai tayar terganti tayar baru waktunya paling enam menit. Malah Muhsin yang ke toilet, kedahuluan tayar terganti dan mobil siap jalan.

Di Arab Saudi juga kepentingan rakyat, seperti perkara jalan raya amat diperhatikan oleh kerajaan. Dari banyaknya gunung yang di-bor (digerudi/drilled) untuk jalan raya tembus menjadi terowongan di lambung gunung tak terhitung banyaknya. Sehingga jalan raya bisa diperpendek tak perlu mengitari gunung. Dan jalan mulus, lancar, bagus. Tetapi tak ada jalanraya ber-tol. Tidak ada tarikan sana-sini. J
alan raya antar kota, bisa ngebut sengebut-ngebutnya. Tidak ada macet (jammed -sesak) sama sekali.

 “Ini ada dua orang TKI yang datang dari Indonesia, asalnya datang melalui Airport Riyad, tapi dialihkan ke Airport Jeddah.” kata Muhsin.

 “Kok bisa begitu?” tanyaku hairan.

“Iya soalnya, ini bersamaan banyaknya orang Umrah di bulan puasa, baiknya bagaimana Mas?” tanya Muhsin.

“Terus ada penjemputan dari pabrik tidak, yang di Jeddah?”


 “Tidak ada Mas, ya harus naik bas sendiri dari Jeddah.”

“Wah, kalau seperti itu ya susah, TKI itu pasti tak punya wang Riyall kan?”

 “Iya juga Mas…, makanya aku bingung..,”


“Punya teman tak yang di Jeddah? Yang agak dekat Airport?”  tanyaku.

 “Ada sih Mas, coba ku hubungi.” 

“Iya baiknya begitu, suruh dia membelikan tiket bas ke Jizan, pasti dua TKI itu juga belum bisa bahasa Arab, beli tiket sendiri pasti juga tak bisa.”

“Iya Mas…” 
jawab Muhsin, yang menghubungi temannya lewat handphone.

“Sudah Mas, temanku sudah sanggup menjemputnya ke Airport, dan membelikan tiket, nanti biar tiketnya diganti sama perusahaan.”

 “Ya syukur kalau begitu, Moga saja tidak ada halangan.”

   Be Smart, Read More;

Misteri Nusantara
The Story of The Prophet Muhammad SAW

Jam delapan pagi kami sampai di Yu lam-lam, dan berganti pakaian Umrah, di toilet, antrian sampai panjang. Harus sabar, kekurangan Arab Saudi mungkin tak ada toilet yang berbayar seperti di Indonesia, kerana tidak bayar. Maka toilet jadi tidak ada yang membersihkan. Sepanjang jalan semua toilet kotor banget, bahkan tak disiram, atau dalam keadaan tersumbat. Jadinya ngeri sekali kalau ke toilet. Jadi harus menahan selama perjalanan.😔


Begitulah, semua yang gratis -free memang tak selamanya baik. Jika mungkin berbayar. Toilet, pasti ada yang membersihkan. Sampai di Masjidil Haram kami segera Tawaf. Dan cepat-cepat menjalankan Rukun Umrah. Sebab setelah sholat Juma’at rencana langsung pulang kembali ke pabrik, kerana mengejar waktu dengan kembali bekerja besok paginya.

Selesai Sa’i Aku cepat-cepat ke tempat di mana kami janjian bertemu kembali. Jika kami terpisah maka selesai menjalankan Ibadah kami akan bertemu di depan Toko Asir. Tetapi semua tak ada. Aku menunggu sambil duduk melepas lelah. Sebentar kemudian Munif muncul,

“Iyan dah selesai?”
  tanyanya tiba-tiba di sampingku.

“Sudah… tinggal potong rambut.” jawabku.

“Ini ada gunting, biar ku potong sedikit rambutmu, sebagai syarat aja.”  
kata Munif mengeluarkan gunting dari tas-beg pinggangnya,

“Iya ini potongin. Tadi berpisahan sama Muhsin di mana?”  tanyaku sambil membiarkan rambutku dipotong Munif.

“Ya, tadi waktu Tawaf putaran ketiga, tapi kok tadi phonenya dititipkan ke aku.”  jawab Munif sambil merapikan potongan rambutku.

“Lhoh gimana toh…, ya kan seharusnya handphone dibawa sendiri-sendiri, lha, kalau berpisahan kita hendak ketemu gimana?”  tanyaku kaget.

“Tidak tahu tadi handphone nya dititipkan, ini phone nya.”  kata Munif sambil mengeluarkan phone nya Muhsin.

“Wadoh… gimana ini, lha dia mahu menghubungi kita pakai phone siapa?”

“Lha, kamu juga mahu toh Munif terima titipan handphone.., Harusnya kamu jangan mahu.”

“Ya, fikirku dititip handphone juga tidak berat-berat amat, kenapa tak mahu…”

 “Yoo, bukan masalah beratnya toh Nif, lha, kalau kita mahu menghubungi Muhsin pakai handphone siapa hayo… Coba kamu hidupkan handphone nya. Kalau saja dia menghubungi kita pakai handphone si sopir itu.”

“Wah, tidak bisa dihidupkan.”  kata Munif mencat-mencet handphonenya Muhsin .

 “Oalah, handphone pakai di-PIN segala, bikin susah banget si Muhsin.”
 kataku yang coba membuka handphone  ternyata pakai PIN.

Satu jam menunggu, tapi Muhsin tak juga muncul.

 “Munif gimana kalau kita ke mobil yang diparking, kamu tahu kan di mana mobilnya diparking?” 
usulku, yang lama-lama mumet-pening melihat orang yang wira-wiri (lalu lalang).

 “Ya, siapa tahu di mobilnya kita bisa ganti baju, soalnya pakai baju Umrah terus risih (rimas) juga.”

“Iya, aku tahu tempatnya, Ayolah daripada kita diam…” 
jawab Munif yang langsung berdiri.

Kami pun berjalan menuju mobil yang diparking berjarak tiga kiloan dari area Masjidil Haram. Dalam perjalanan waktu sholat dan di tengah perjalanan waktu sholat Juma’at pun mulai, kami berdua menjalankan sholat Juma’at di jalan. Selesai sholat Juma’at kami sebentar istirahat,  tidur rehat di rerumputan taman, lalu melanjutkan mencari mobil yang diparking. Sesampai di mobil, ternyata mobilnya terkunci.


 
“Wah, bagaimana mobilnya terkunci.”  kataku kecewa, sebenarnya Aku yakin kalau mobil terkunci, Tetapi Aku berharap entah kebetulan si sopir pas kembali ke mobil.

 “Bagaimana sekarang Nif?  Kita kayak orang hilang gini…?”

“Kalau balik lagi ke tempat kita janjian berkumpul bagaimana?”  tanya Munif kayak orang bingung.

“Ya, tidak apa-apa, Aku jalan jauh juga dah biasa. Tetapi kamu sendiri yang setengah tua gitu apa tidak pegel-letih…?”  tanyaku kepada Munif yang ku lihat 'wajahnya memelas' (live miserably/menyedihkan)

“Ya, aku tidak pegel…, tapi kita tiduran sebentar di taman tadi ya…”

“Yaah, itu namanya pegel…”


“Sudah kalau tidak kuat puasa, batalkan saja…, kita kan musafir,” 
kataku menghibur.

 “Benar-benar risih pakai pakaian Umrah jalan wira-wiri, tiap orang-orang melihat kita, kita jadi kayak badut. Mungkin Malaikat pada mentertawakan 
kita dari atas, sampai giginya copot melihat kita jalan wira-wiri kayak orang bingung.”  

“Memangnya Malaikat punya gigi? Bukannya dia tidak suka makan? Apa di tempat Malaikat ada jualan bakso Balungan yang harus dimakan pakai gigi, atau keripik singkong gitu?”

 “Ya, kalau daging kurasa ada, kan Nabi Ibrahim waktu mahu menyembelih Nabi Isma’il didatangkan kambing oleh Malaikat.”  jawabku sekenanya (selamba)

 “Oh iya…ya.”  kata Munif.

“Eh tidak ding… itu kambing qurbannya Habil yang dikasihkan ke Nabi Ibrahim…, Tetapi untanya Nabi Soleh, atau Buroknya Nabi Muhammad kan juga dari alam Malaikat, berarti ada sepertnya di sana binatang.”

 “Ah bingung aku, sudah tiduran bentar saja…” 
kata Munif yang segera tiduran di rumput taman.

 “Munif, kamu bawa wang tak?” 
tanyaku.

 “Bawa tapi di ATM,” 
jawab Munif.

 “Ya, kalau begitu kita bisa pulang.”


“Tapi, aku tak bisa mengambilnya.” 
jelas Munif.

 “Lhoh, kenapa…?” 

“Aku tak tahu caranya…”

“Lalu selama ini kamu mengambil gaji bagaimana? Kamu di Arab Saudi kan sudah empat tahun, masak ambil wang di ATM saja kamu tidak bisa, wong tinggal mencet-tekan, Ah sama dengan orang badui Arab kamu, udik, tidak bisa ngambil wang di ATM.”

 “Ya, nyatanya aku tidak bisa, aku takut salah pencet, malah ATM nya rusak.”

“Ah, benar-benar dah… apes-sial benar kita,”


“Lha, kamu tidak punya wang di ATM?” 
tanya Munif.

 “ATM ku kan baru siap kemaren Nif, gajian juga belum, siapa yang mahu mengisi.”

 “Kamu hafal nombor ATM mu?”  tanyaku.

“Ya tak hafal, tapi aku selalu bawa nombor pinnya.”  jawab dia sambil mengeluarkan kad ATM yang di bungkus amplop yang ada tulisan nomer pinnya, lalu menyodorkan kepadaku.

 “Aku sendiri juga belum pernah mengambil wang lewat ATM, tapi daripada bingong, mending kita coba.”  kataku meyakinkan,

“Lha, nanti kalau kad ku tersangkut di dalam bagaimana?”  katanya takut.

 “Memang ada kayak gitu?”

 “Ya ada, banyak,”


“Terus kalau kad nya ketemu orang, nanti wangku dikuras semua.”

“Kan ada PIN nya.”

 “Lha, kalau pin-nya ketahuan?”


 “Ahh, seribu banding satu lah, nombor PIN ketahuan orang.”

 “Kad nya dipegangi ya, atau diikat benang, kalau tersangkut di dalam kan bisa ditarik.”

 “Aaah, tidak mungkin kalau tersangkut, jadi tak, kita mengambil wang. Nanti kalau terpaksa kita tidak ketemu Muhsin, kita pulang pakai Bas saja.”

 “Dengan pakai pakaian Umrah begini, di bas apa tak diketawain orang sampai giginya tanggal?”

“Ya, tanggal juga gigi mereka sendiri, yang penting kita kan tidak mencuri pakaian Umrah..” 
jelasku. ,


“Sudahlah kalau dapat wang kita beli baju.”  kata Munif.

“Ya, kan celana juga, ini aku ndak pakai celana dalam.”

 “Ya, sama…, iya nanti beli baju sama celana.”


 “Ayo cari ATM.” 
kataku bangkit dari tidur. Dan kami berjalan, untung di Arab Saudi di perempatan/persimpangan
 dan di setiap gang atau keramaian ATM selalu ada, dan Aku masukkan kartu ATM di salah satu ATM.

 “Hati-hati mencetnya, jangan sampai salah.”  Ku ganti bahasa dengan bahasa Inggeris, walau Aku sendiri belum pernah mengambil wang di ATM, tapi nyatanya tidak sulit.

“Ambil berapa?”  tanyaku ketika di dalam menanyakan wang yang akan dilakukan transaksi penarikan.

 “Seribu aja dulu.” 
jawab Munif.

“Wah, wangmu banyak juga.” 

“Iya aku ambil sekali kalau mahu pulang, jadinya terkumpul.”  jelas Munif. Setelah mengambil wang dari ATM kami berjalan kembali ke Masjidil Haram.

Tetapi baru sampai pasar di sekitar Masjidil Haram handphone Munif bunyi. Munif segera mengambil phone yang ditaruh di tas pinggangnya, lalu diangkat.

“Si Muhsin..” 
kata Munif berbisik.

 “Kamu di mana?”  tanya Munif.

 “Di tukang cukur.”  jawab Muhsin.

 “Tukang cukur di mana? Kan tukang cukur banyak.”

 “Di bawah jembatan.” 
jawab Muhsin.

 “Ini aku juga di bawah jembatan, jembatan sebelah mana?”

“Jembatan sebelum pasar.”  Aku yang tengak-tengok, melihat Muhsin pas di belakang Munif, hanya dipisah jalan raya, Tetapi kedua orang itu saling membelakangi. Aku tepuk pundak Munif, dan ku tunjukkan arah, dimana 
Muhsin sedang menelepon. Munif tengok dan melihat Muhsin.

 “Iya kami sudah melihat, kami akan kesana.” 
kata Munif. Maka kami pun menyeberang jalan, dan bertemu Muhsin.

“Lhoh, belum cukur rambut Mas?”  tanya Muhsin.

 “Aku cukup potong sedikit, tadi sudah dipotongin Munif.”  kataku.

Dan kedua orang itupun saling menyalahkan soal handphone, Aku hanya melihat, bagiku tersesat dan kehilangan kontak sangat penting, kerana bisa tahu dan sedikit hafal jalan-jalan Kota Makkah, sehingga suatu saat, jika datang ke Makkah setidaknya sudah setengah hafal.

Dan banyak sekali hikmah yang bisa ku dapat. Dan ini akan menjadi kenangan bagiku dengan temanku si Munif yang telah lebih dahulu menghadap Allah Azza Wa Jall, kaerana kecelakaan di perjalanan kerjanya. Semoga amal ibadahnya diterima di sisi-Nya. Aamiin, Ya, Rabbal 'Alamin. 
 [HSZ] 

To be Continued.....

#indonesia#misteri#KisahKyaiLentik  #KyaiLentik, #KisahSangKyai, #KisahSufi, #SangKyai,

VIDEO ;

No comments