KISAH SUFI, SANG KYAI [22]

<img src=https://fazryan87.blogspot.com".jpg" alt="KISAH SUFI, SANG KYAI [22]?">

KISAH SUFI, SANG KYAI [22]
  • Pada siri ke 21.dalam perjalanan hidup Sang Kyai. Akhirnya beliau dijodohkan dengan Adik Pak Abdullah.
  • Malamnya, malam Rabu, kami berlima, Aku, Pak Abdullah, Macan sebagai sopirnya, dan Karim, berangkat ke Pekalongan, Jawa Tengah. Dalam mobilnya Pak Abdullah sudah ada perempuan, katanya dia kakak dari perempuan yang akan ku nikahi, ku lirik perempuan yang ada di sampingku, mencari gambaran gadis yang akan kunikahi, tapi mobil lampunya tak dinyalakan sehingga gambaran tak ku dapat.

  • Ah, sudahlah pasrah saja, dari pada mencari gambaran yang tak jelas, Aku sudah dari awal pasrah, bahkan wang 1 perak pun tak ada di sakuku. Segala kebendaan malah menakutkanku. Membuat hatiku bercabang dari ketawaqalanku pada Allah, Tetapi yang jelas Aku memang tak gableg duwit (berkemampuan). Jika dibilang nekad, Maka Aku lebih pantas dibilang nekad. Tapi dalam hatiku, Aku hanya ingin membuktikan gerak -gerik kehendak dan perbuatan Allah mengarahkan dan menempatkanku. Jika harus gagal. Maka biarlah gagal. Berarti Aku harus belajar bertawaqal lagi, Tawaqalku, kepasrahanku berarti hanya omong kosong belaka.

FORTUNA MEDIA - Sesampainya di Pekalongan sudah Subuh, kami Sholat Subuh di Masjid di luar kota Pekalongan, dan sarapan pagi di pasar Banyu Urip, tak ada perasaan apa-apa mahu sampai di tempat tujuanku, Daerah Bligo, sampai di Bligo kami berbicara sekedarnya, dan Aku dipertemukan dengan gadis yang dijodohkan denganku. Dia terdiam, wajahnya biasa, bukan perempuan berjilbab. Juga tak ada yang istimewa.

 “Sudah tahu kalau kita ini dijodohkan?” 
tanyaku simpel. Dia manggut(ngangguk), dan menatapku sesaat. Padahal dia ini semalaman kabur dari rumah, kerana menolak perjodohan ini, dan mati-matian tak mahu dijodohkan. Tetapi setelah dibujuk dengan berbagai hal juga diberi pengertian kalau menolak kan boleh-boleh saja. Jadi tidak harga mati, baru dia mau pulang. Dan sekarang duduk di depanku. Tentunya Aku tak tahu kisah itu. Dan tahu setelah kami menikah.

 “Lalu bagaimana? Kamu mahu dijodohkan denganku?”  tanyaku langsung ke poin masalah. Aku itu selalu ke poin masalah, kalau mahu omong lain nanti itu bisa menyusul, kalau mau bercanda juga kan bisa dilakukan kapan saja. Jadi pokok masalah harus selesai dulu. Jadi orang yang berhadapan denganku kadang kabet, karena 
selalu seperti itu, yang ku tanyakan tanpa basa-basi, baru kalau mahu bercanda belakangan kan bisa.

“Aku terserah saja, jika Masnya menerimaku, Ya,  Aku menurut saja.”  jawab Husna calon Istriku itu.

Mendapat jawaban seperti itu sama sekali tidak membuatku bahagia, atau sedih, lha, ditolak sekalipun Aku tidak kecewa. Sebab tujuanku bukan soal ditolak atau diterima. Tetapi Aku melihat bagaimana Allah itu menggerakkan segala sesuatu sesuai kehendakNya. Dan Aku bisa melihat segala gerak-gerikNya terhadap segala sesuatu. Kejadian baik buruk adalah proses, seperti membuat roti, kadang adonannya dikocok, kadang juga dibakar dioven. Jadi menuju kenikmatan itu kadang kita harus dibakar dengan diberi ujian yang meluluh lantakkan hati, lalu tercapai kesabaran yang lembut.

Setelah mendapat jawaban.  Maka aku diajak Pak Abdullah ke Tuban untuk mengurus surat menumpang nikah, ke tempat Lurah dan ke tempat sekretaris KUA (Kantor Urusan Agama), semua dilakukan secara 
marathon. Dan anehnya juga semua mendukung. Jadi pengurusan surat amat cepat, lalu kembali ke Pekalongan, Malah ketika Ibuku bertanya, Aku tak memberitahu, hanya ku bilang lagi usaha. Seorang lelaki tak butuh wali. Maka Aku tak perlu memberitahu mereka, Aku tak ingin mereka disibukkan dengan pernikahanku.

Pada hari Jum’at pagi diadakan acara ijab qabul. Anehnya yang diriku tanpa ada persiapan sama sekali, bahkan masih tak memegang wang sama sekali, kecuali dua cincin yang akan ku jadikan mas kawin. Itu saja pemberian dari orang. Dari jas/kot  untuk pengantin, sampai peci/kopiah hitam. Soalnya Aku biasa memakai peci putih, jadi peci hitam jelas tak punya, semua tersedia tinggal pakai.

Acara dilakukan dengan sederhana, dan semua berjalan lancar. Dan setelahnya dilakukan walimatul ursyi, Aku mahu didandani sebagai penganten lelaki. Aku diminta buka sarung untuk diganti dengan kain perlengkapan yang dibawa perias/pesolek penganten, Aku bilang tak memakai celana panjang, si perias penganten terkejut

“Lha, bagaimana ini..?”  kata dia sambil mondar mandir kayak orang bingung. Lalu dia keluar sebentar, dan menemui seseorang, sebab Aku dirias jauh dari rumah tempat acara, karena rencananya akan diiring hadroh, Perias penganten masuk membawa celana panjang selutut.

“Untung di sini ada yang jual celana, ini dikasih sama yang jual celana.”  katanya perias penganten menyerahkan celana kepadaku, dan ku pakai. Acara walimah semua lancar tanpa halangan apapun.

    RELATED POST
PUISI: Sang Nenek
PUISI Aku Pengemis di Negeri Ku Sendiri

Seminggu selesai pernikahan, ku ajak istriku ke Tuban ke rumah Ibu-Bapaku. Semua merasa hairan dengan perempuan asing yang ku bawa.

 “Ini siapa nang, kok bawa anak perempuan orang? Nanti kalau hamil kan jadi urusan, mempermalukan keluarga.”  tekan Ayahku.


 “Ini Istriku”  jawabku santai


“Jangan sembarangan, perempuan diakui Istri, itu tidak boleh dalam agama, namanya kumpul kebo.”  kata Ayahku yang memang orangnya keras dalam memegang syare’at. Lalu Ku keluarkan surat nikah,

“Kalau memakai ini dibilang kumpul kebo tidak Pak?” 
kataku sambil meletakkan surat nikah di meja. Ayahku memeriksa dengan teliti.

“Kapan menikahnya, kenapa tidak memberitahu orang tua?”

 “Ya, Aku tidak mahu membuat Ibu-Bapa repot.”
kataku, 

Beberapa hari di Tuban, Aku kembali ke Pekalongan, baru beberapa hari, para Kyai sepuh Desaku semua datang ke rumahku,

“Maaf… ini ada keperluan apa, kok pada ramai-ramai datang ke rumah?” 
tanyaku pada orang-orang tua

“Begini Pak Ustaz, kami sudah bermufakat, kalau Pak Ustaz menjadi Imam Masjid, dan kami minta memberi pengajian setiap selesai Sholat Subuh.”  jelas Pak Sodiqin, yang biasa menjadi ta’mir/nazir Masjid.

 “Wah, apa tidak salah, saya ini bukan orang mengerti soal Agama.”  jelasku.

“Hehehehe…” 😂
semua tertawa.

 “Lhoh, kok pada tertawa toh..?” tanyaku.

 “Orang pintar itu kan terlihat di pancaran wajahnya, kelembutan sikapnya, dan segala sesuatunya mengalir tidak dibuat-buat.”  jelas pak Sodiqin lagi.

“Bagaimana ya…? Ini berat bagiku, soalnya Aku sendiri belum punya pekerjaan tetap, jadi masih mencari maisyah kehidupan untuk Anak- Istri.”   kilahku.

“Tapi mbok kami diberi ilmunya toh Pak Kyai.”
kata salah seorang lagi.Waduh, malah dipanggil Kyai segala.

“Ya nanti saya coba, semoga Allah mengizinkan dan meridhai, tapi saya tidak janji, soalnya saya 
belum istiqomah, juga masih mencari rezeqi.” kataku.

  “Iya kami maklum.”  kata mereka dan setelah semua beres, mereka meminta diri.

Dari acara penganten, dan sisa wang dari tetamu, Istriku cuma memegang wang 300 ribu. Sungguh wang yang minim.

“Bagaimana Mas, kita usaha apa?” tanya Husna.

 “Bagaimana kalau membuka toko?”
  tanyaku balik.

“Zaman sekarang wang segitu dibelikan juga akan dapat apa?” 
kata Husna mengutarakan logiknya.

“Ya, kita jangan membuat ukuran yang logika dulu, sebab itu tak mungkin, melihat keterbatasan kita, Aku yang tanpa modal, kita menjalankan saja dulu dengan kesungguhan.”  jelasku.

 “Ya, kalau tidak diakal lalu kita memakai apa? Segala sesuatu kan harus dirancang dengan akal.” 
bantah Husna.

Memang tak mudah menjelaskan sesuatu yang tak bisa dilogika manusia, yaitu gerak-gerik 
Allah dalam mengatur hambaNya. Satu penggal ayat sedikit saja sulit mengimaninya, kalau manusia masih membuat sandaran akalnya. "WAMA MIN DABBATIN ILLA ‘ALALLAHI RIZQOHA". Semua apa yang melata dan hidup di bumi itu rezeqinya di tangan Allah. Kalau menurut hemat pemikiran dangkalku. Maka kerana yang membagi rezeqi itu Allah Ta'ala di samping usaha. Maka kita juga berupaya untuk meminta pada Allah Ta'ala. Dan kalau meminta itu agar cepat terijabah maka mendekatkan diri pada Allah. Dan pemikiran itu ku tanamkan pada Istriku, teramat sulit. Sesulit menancapkan tonggak tumpul pada sepotong batu, sehingga malah yang sering terjadi percekcokan.

 “Begini saja daripada kita berdebat tak ada ujung pangkalnya, bagaimana kalau kita buktikan, kita jualan, apa juga boleh, asal barang halal, lalu Aku berdo’a bagaimana, kalau nanti tak laku, ya berarti tentang teoriku itu salah kaprah, bagaimana?”  tanyaku yang lelah meyakinkan


“Ya, kita buktikan.”  jawabnya, kerana ingin membuktikan apa yang ku utarakan itu salah. Maka kami membuka toko kecil bekas toko keluarganya, dan diisi dari wang yang cuma 300 ribu rupiah, Ya isinya bisa dibayangkan, cuma apa. Dengan kesungguhan hati, Aku pun mulai menjalankan permintaanku pada Allah. Dan sungguh di luar dugaan, toko berkembang amat pesat, setiap hari penuh orang membeli, dan tak sampai sebulan isi toko penuh isinya. Istriku mulai senang, Tetapi, tetap dia merasa itu kebetulan.

 “Bagaimana Dik, apa yang ku katakan benar kan?” 
tanyaku.

“Ah, itu hanya kebetulan saja.” katanya.

“Begini saja, biar ketahuan ini kebetulan atau tidak, besok Aku tidak minta rezeqi pada Allah, bagaimana keadaan toko kita. Lalu besok-besoknya lagi Aku minta, bagaimana perbedaannya. bagaimana?”

“Ya, tidak apa-apa dibuktikan.”
jawab Istriku.

Dan Aku malamnya tidak minta lagi supaya Allah memberi rezeqi. Dan esoknya toko sepi sekali, mungkin sehari cuma ada 2 orang yang beli. Dan malam setelahnya Aku meminta rezeqi, dan toko ramai lagi.

 “Bagaimana Dik? Kan sudah lihat sendiri?”


 “Wah, itu masih belum membuktikan, sebab pas sehari itu mungkin sedang ada apa sehingga toko sepi.”  bantahnya. Hmm.. Aku memang harus pelan-pelan menanamkan keyakinan yang sebelumnya tak diketahui dan tidak difahami Husna. Tidak apa-apa. Seseorang itu pertama yang harus dibimbing adalah keluarganya, kalau membimbing keluarganya saja gagal. Maka bagaimana mahu membimbing orang lain???

“Biar Aku meminta modal pada Abang Abdullah, sepuluh juta juga tidak besar bagi mereka yang kaya raya.”  kata Husna.

 “Ingat…! Jangan sampai kita punya sandaran pada manusia, apalagi Abangmu, dia itu manusia, manusia itu lupa, sakit, mati, dan penuh 
keterbatasan, kalau Allah itu tidak mati, tidak lupa, tidak sakit, tak terhalang oleh apapun. Jadi jangan menyandarkan diri pada manusia, bahkan setengah rupiahpun, kerana kalau diri menyandarkan pada manusia, maka Allah akan menyerahkan nasib kita pada manusia tersebut.”   jelasku panjang lebar.

 “Ya, apa kita tak bisa seperti orang pada umumnya? Ya kalau tidak minta, meminjam kan juga tidak apa-apa.”  kilah Husna tak mau kalah.

 “Cobalah menghilangkan fikiran dan harapan kepada manusia, dan berusaha sekali saja menggantungkan diri pada Allah, fatawakkalu Alallahi, waman yatawakkal ‘alallahi fahua hasbuhu. Bertawakallah pada Allah, siapa yang bertawakal pada Allah maka Dia yang akan mencukupi.”  kataku menjelaskan.

“Tak tahulah.”

“Ya, jangan tak tahu gitu, sekarang kita buktikan lagi bagaimana, biar selama seminggu toko tak ku do’akan, lalu seminggu ku do’akan, masak kebetulan kok seminggu.”  kataku menekankan

“Ya, kita buktikan.”  katanya lagi. Kerana apa yang ku bicarakan itu dia ingin hanya omongan kosongku saja. Maka selama seminggu, Aku sama sekali tidak minta supaya diberi rezeqi. Dan selama seminggu benar-benar toko sepi, sampai apa yang jadi isinya toko menyusut kembali, kerana tak ada wang untuk membeli barang.

“Sudah-sudah dido’akan, semua barang sudah mahu habis untuk makan.” 
katanya.

“Ya, tidak bisa, perjanjiannya kan seminggu,”

 “Iy, aku sudah percaya, sana di do’akan.”

 “Ya, tak bisa, harus selesai seminggu, mahu habis juga tidak apa-apa. Makanya jadi orang mbok jangan ngeyel, coba mana logika yang kau banggakan itu?”
  kataku menuntut.

Setidaknya, Aku telah menyelesaikan mengarahkan Husna dalam satu langkah. Sementara hariannya Aku mulai menjadi Imam Masjid, dan mengisi pengajian waktu Subuh.

Sementara hidupku amat santai, dan semua lancar-lancar saja.  [HSZ] 

To be Continued.....

#indonesia#misteri#KisahKyaiLentik  #KyaiLentik, #KisahSangKyai, #KisahSufi, #SangKyai, 

VIDEO ; 



No comments