KISAH SUFI, SANG KYAI [18]

<img src=https://fazryan87.blogspot.com".jpg" alt="KISAH SUFI, SANG KYAI [18]">

KISAH SUFI, SANG KYAI [18]

  • Pada siri ke-17. Sang Kyai dalam pengembaraannya, bertemu seseorang setengah tua, menghampiri Sang Kyai, lalu mengucap salam, Kyai jawab, dan bersalaman dan dia memperkenalkan diri bernama Pak Teguh.
  • “Dari mana Mas?”  tanyanya sopan. “Jalan saja pak, Saya kerja di Matahari Plaza…”  jawabku juga ku buat halus.“Kok, di Masjid ini, apa tidak kerja?”  tanyanya lagi.

  • “Lagi libur Pak…, ini lagi jalan-jalan, mencari suasana baru….”  jawabku ringan. Kami pun berdialog, yang asalnya membahas tentang perkenalan kami, sampai membahas tentang kesukaanku jalan kaki ternyata Pak Teguh juga orang yang suka jalan, Walau tak sesering sepertiku, Dia juga cerita kalau dia asalnya bekerja di jawatan kereta api, sampai waktu azan kami ngobrol, dan azan dikumandangkan, kami pun sibuk dengan diri masing-masing, Aku mencari Al-Qur’an ku baca sambil menunggu Imam naik ke mimbar, untuk baca khotbah Juma’at.

    FORTUNA MEDIA - 
    Setiap manusia itu selalu merasa cepat bosan bila berdiri dalam dunia yang tidak disukainya atau dunia yang bukan sama sekali dunianya, begitu juga Aku.  Walaupun di dunia baruku itu semua materi selalu ada dan tercukupi. Tetapi hati yang dalam pencarian selalu cepat bosan dan seakan semuanya hambar sama sekali tak ada rasa manis yang bisa dikecapi.

    Aku telah pindah kerja di Toko Sepatu Bata, kemaren malam bos sepatu Bata yang dari Negeri Belanda datang menemuiku dan menawarkanku, untuk dijadikan ketua bagian pemasaran di Kota Bali. Jika dikumpulkan dengan orang bodoh. Maka Aku mungkin adalah barisan terdepan. Sebab orang paling bodoh sekalipun pasti masih ingin wang banyak. Tetapi kenapa Aku sama sekali tidak menginginkan wang seperti orang lain. Jika jalan kaki itu sama cepatnya dengan naik bas. Maka Aku lebih memilih jalan kaki, apapun yang tidak memerlukan wang itu pasti jadi pilihan terdepanku, selalu terbersit dalam fikiranku. Jika tidak memakai wang bisa, kenapa harus memakai wang, dan kenyataannya hidup di dunia ini berseberangan dengan pola fikirku yang ngawur, "sak karepe udele dewe",(semau gua) Yah, setidaknya itu yang selalu terlintas di fikiran dangkalku. Terus terang menurut pendapatku, bila Aku mempunyai wang, batinku akan terasa tak tenang, selalu ingin mencari lebih, dan selalu tak kerasan/betah di tempat yang sama pada kesempatan yang sama, selalu ingin makan yang enak-enak, selalu ingin membeli apa saja yang nilai kemanfaatannya perlu diragukan untuk saat ini.

        RELATED POST
    Novel Collection
  • Misteri Nusantara
    The Story of The Prophet Muhammad SAW

    Jika menunaikan Haji ke Makkah bisa tidak memakai wang. Maka Aku akan memilih barisan paling depan kloter penerbangan. Tetapi kenyataannya semua harus memakai wang.

    “Aku tak kerasan Ed..”  
    kataku kepada Edi.

     “Maksudmu kamu mahu pulang?”  tanya Edi sambil berjalan menyusuri jalan rel kereta api.

     “Iya, Aku ingin pulang.”

    “Bukannya kamu sudah dipercaya, yang punya pabrik sepatu bata?”

     “Tapi Aku merasa ini bukan duniaku.”


     “Lalu, bagaimana kelanjutannya?”  tanya Edi hambar

    “Ya, Aku pulang lah…” Tiba-tiba urat leherku menegang, Aku tak tahu kenapa, tanganku mengepal, dan semua urat-uratku sulit ku kendalikan.

    “Mas…! Kenapa…?” 
    tanya Edi terkejut, ketika Aku berguling ketika melintasi rel kereta api, Edi memburuku dan berusaha membangunkanku, tapi Aku tepiskan, sehingga dia terlempar, lalu Aku setengah sadar, setengah tidak, mencoba melawan kekuatan yang berusaha menguasai alam bawah sadarku, Aku melihat seperti ada bayangan hitam yang berusaha menguasaiku, Aku pukul, Aku tendang, tubuhku seperti orang yang kerasukan, Edi hanya memandang, Aku kadang memukul kerikil yang ada di sekitar rel kereta, kadang seperti membanting sesuatu, Edi tak berani mendekat, sampai setengah jam berlalu, baru Aku berhenti, duduk terengah-engah di tanah, lima menit kemudian baru Edi mendekatiku.

    “Ian… kenapa kamu..?”
    tanya Edi masih setengah takut-takut. Aku terdiam beberapa saat

    “Tidak tahu Ed…, kayak ada yang berusaha menguasaiku, Aku tak tahu itu apa…”

    kataku dengan hairan dan melihat tanganku yang perih, ternyata tanganku lecet-lecet dan berdarah…

     “Ayo… ayo kita pulang…” kata Edi sambil membimbingku bangun. Aku tertatih, badan serasa letih, masih tak habis fikir, apa sebenarnya yang berusaha menguasai alam bawah sadarku.

    “Ya, sudah kalau kamu dah ingin pulang, tidak apa-apa, tapi jangan ngamuk gitu, Aku jadi sakit dadaku kena kamu pukul.”  kata Edi sambil berjalan di sampingku.

     “Aku tidak marah kok Ed…, benar Aku tidak sadar, kayak ada yang berusaha menguasaiku…” 
    kataku menjelaskan, walau penjelasanku Aku yakin, Edi tak akan mahu mengerti. Aku sendiri tak habis fikir, apa sebenarnya yang berusaha menguasaiku, ku lihat bayangannya tak jelas, hanya seperti warna hitam.

    Sesampainya, di rumah Pak Sugeng, Aku mandi kerana tubuh kotor penuh debu, dan ketika tubuh ku guyur air, serasa perih semua, kerana tubuh banyak yang lecet. Edi cerita pada Ikram, sambil memutar lagu kesayangannya “Mari bernyanyi bersama”  Aku tidak tahu siapa penyanyinya. Moga bukan tukang siomay, sebab ku rasa suaranya tidak seperti suara tukang siomay yang cempreng.

    Selesai habis mandi, tanganku diberi obat merah sama Edi. Edi memang sudah menganggapku seperti saudara kandungnya.

    “Ian ini ada titipan dari Mbak yang jualan di warung tikungan,” 
    kata Ikram, sambil memberikan kresek berisi nasi bungkus.

     “Mbak yang mana?” 
    tanyaku.

     “Itu Mbak Ajeng, apa mbak Endah sih kok lupa namanya?”  kata Ikram,

    “Ah, aku juga lupa namanya..” 
    kata Ikram.

     “Hairan Ian, kenapa orang-orang pada suka padamu ya…, tidak yang jual ais krim, tak yang jual sepatu, tak orang warung, kenapa pada kasihan padamu?”

    “Tidak tahu, mungkin saja wajahku kayak pengemis, hahahaha.."😂

    “Aku malah lihat si Sita, yang penjaga toko emas, perasaan wira-wiri entah sehari ada berapa kali di depan toko kita.”  tambah Edi sambil membuka bungkusan beg kresek, ternyata isinya ayam panggang,

     “Eee, perasaan Mbak yang jual nasi di tikungan itu tidak jual ayam panggang?”  kata Edi sambil mengangkat potongan paha ayam.

     “Tadi dia cuma bilang, untuk Mas Ian, jangan-jangan dia naksir kamu Ian…?”  kata Ikram sambil mencomot ayam di bungkusan.

    “Mengarut kamu Ikram, dia kan sudah punya Suami,” 
    bantahku,

    “Mungkin saja mahu dijadi’in simpanan, hahaha…” 😄ejek Edi.

    “Memang potonganku kayak ang receh, hahaha…”😂  candaku.

    “Terus terang Aku iri Ian, la aku di sini sudah bertahun-tahun, masak tidak ada yang sayang sama sekali.”  
    kata Edi.

    “Ya, tampangmu saja kali kayak kriminal,”😄  ejek Ikram

    “Ya, sudah makan… enak juga ayamnya.” 
    kata Ikram sambil memotong sayap ayam.

    “Ya, namanya juga dikasih, ya enak lah…” 
    kataku ikut makan tapi memang lumayan enak ayam kampung panggang, pasti sudah rebus dengan bumbu, terasa banget bumbunya, juga tidak alot (liat-keras).

    Taqdir, jika kita ditaqdirkan menjadi A bukan B. Maka jalan ke arah A akan terbuka lebar, dan seakan kita akan senang saja ke arah A, dan jalan ke B akan seakan tak membuat kita senang. Menjadi penjaga toko sepatu, rasanya benar-benar bukan jalanku, Aku begitu bosan, pandangan kosong, dan serasa Aku seperti robot, yang tak akan berkembang lagi menjadi manusia baru, hanya menjadi robot penjaga Toko sepatu, seakan Aku sudah mati terkubur dengan sepatu, hati sesak.

    Padahal belum genap 2 bulan, dan ada saja kejadian yang membuatku tak kerasan, seperti saat itu, Aku lagi memasang tulisan discount digantung. Sejak berangkat kerja Aku sudah perasaan tak enak, seperti mahu terjadi sesuatu yang membuatku malu tapi Aku tak tahu apa itu, Waktu pagi berangkat memakai celana pemberian pak Sugeng, Aku merasa celana itu tak enak, walau ukuran pak Sugeng gendut, dan Aku agak kurusan, jelas celana pak Sugeng longgar ku pakai. Tapi gara-gara time kerja tak boleh memakai celana levis. Padahal Aku tak punya celana, selain celana levis yang menemaniku kemana-mana dan sudah sobek sana sini. Celana levis saja sudah tidak boleh, apalagi yang sudah sobek sana sini, malah tak boleh lagi. Maka Ikram, Pak Sugeng, Edi, semua memberi celana padaku, sekarang pas celana pak Sugeng yang ku pakai.

    “Kenapa Ian?”  tanya Edi yang sedang memakai hasprey.

    “Ini Ed, Aku tidak nyaman saja sama celana ini.”
    jawabku sambil menunjukkan celana warna coklat tua yang ku pakai.

     “Ya, pakai saja lah, wong yang dua lagi juga belum kering.” 
    kata Edi beranjak keluar kamar.

    Dan apa yang ku khawatirkan terjadi juga. Pas menaiki tangga stainles untuk memasang tulisan Aku biasa saja, tapi pas kaki ku angkat ke arah tangga, terdengar kraaaak…!  Celanaku robek memanjang, pas di tengah selangkangan, dari lutut kiri ke lutut kanan, Aku cepat-cepat turun, walau memasang tulisan iklan discount ku selesaikan tapi Aku segera merapat ke tembok setelah turun, untung belum banyak orang yang lewat, juga belum banyak toko yang buka, Aku berjalan dari toko sepatu bata, ke toko tempat Edi bekerja. Setiap berpapasan sama orang Aku menatap ke atas, supaya orang ikut menatap ke atas, tidak menatap ke celanaku yang robek tengah kayak rok, setelah orang lewat, Aku berjalan beringsut-ingsut lagi ke arah toko tempat Edi bekerja, ku lihat Edi sedang menata sepatu jualannya, Aku nyelonong saja, ke geladak penyimpanan sepatu…

     “Eee, mengapain kamu Ian??”  tanya Edi.

     “Anu…, celanaku robek.”

    “Robek? sebelah mana?”

     “Ini pas selangkangan sampai ke lutut.”

     “Wah, gimana?”


    “Ya, tolong ambilin celana yang di rumah.”

    “Kan belum kering, jauh lagi tuh'.


    “Ya, tolong deh Ed… masak Aku kena pakai celana kayak gini, tak lucu kan?”

     “Tapi Ian… yang menjaga tokoku siapa?”

     “Ya, Aku kan bisa dari dalam kotak sini.”

     “Iya deh, tunggu sebentar.” Edi pun berlalu dengan cepat, Aku jaga dagangan dia, dari dalam gerobak, cuma kelihatan kepala, geladak gerobak itu untuk menyimpan sepatu, sekaligus menata sepatu, bentuknya undak-undakan kayak tangga, di dalam ruangannya lebar, tapi Aku terus berdo’a semoga tak ada yang beli, mengingat jika harus melayani, sementara Aku seperti ini. Kebetulan Ikram datang sambil membawa ember/baldi  dan alat pel, dia celingukan kerana Edi tak ada, tempat kerja Ikram beda toko, walau kedua toko adalah toko sepatunya milik pak Sugeng, dia melihatku.

    “Mengapa di situ Ian..??”  tanyanya dengan senyum khas bibir hitamnya.

    “Mana si Edi?”

     “Si Edi pulang sebentar".


    “Wah, sembarangan si Edi, kalau pak Sugeng datang, dia tak ada, bisa dimarahi habis-habisan.”

    “Dia lagi mengambilkan celana untukku.”

     “Lhah, memang celanamu kenapa?”

     “Robek Ikram…”

    “Wah bahaya…”

     “Bahaya kenapa?”


     “Di tokomu tadi mbak Lina cari-cari kamu.”

     “Yang bener Ikram??”

     “Ya benar lah, kenapa aku bohong.”

    “Nah, tuh dia kesini tuh..”


     “Ssst, bilang saja kamu tidak tahu.”

     “Tidak tahu gimana? Lha, jelas aku lihat begini, aku bohong dong.”

     “Lha, kan bohong demi kebaikan juga dibolehkan Ikram.” 
    Aku langsung menyembunyikan diri di kotak

    “Lihat Mas Ian tak Ikram?” 
    suara khas Lina yang lembut, setengah centil terdengar renyah kayak kacang Sanghai waktu dikunyah.

    “Ian….?”  dug..dug.. Aku khawatir pasti si Ikram akan ngomong apa adanya. 

    “Tadi Aku melihat, tapi sekarang Aku tak melihat,”  jawab Ikram.

    “Ya, sudah, nantik katakan ya kalau aku mencari dia.”


    “Kenapa tidak bilang sendiri saja.” 
    jelas Ikram.

     “Iya deh…”  kata Lina sambil berlalu.

    “Sst… sst..! orangnya sudah pergi..”  kata Ikram setelah Lina berlalu. Pas kebetulan Edy pun datang membawa celana, dan Akupun lekas memakainya, lalu cepat-cepat kembali ke tempat kerja. Ternyata Lina sudah menunggu di tempat kerjaku Toko Sepatu Bata.

    “Kemana aja? ku cari-cari kemana-mana tidak ketemu.”  Sapanya dengan nada manja.
     [HSZ] 

    To be Continued.....

    #indonesia#misteri#KisahKyaiLentik  #KyaiLentik, #KisahSangKyai, #KisahSufi, #SangKyai,   

    No comments