KISAH SUFI, SANG KYAI [17]
KISAH SUFI, SANG KYAI [17]
- Pada siri ke-16. Sang Kyai dalam pengembaraannya, telah dipertemukan pula dengan seorang gadis cantik kuning langsat, pemilik satu Boutique Shop dengan penampilan rambut sebahu, dan aroma wangi bunga menabur. Bikin nafas sesak saja, kata Sang Kyai. Dan wajahnya memang cantik banget, menurut ukuran Aku yang orang Desa, Juga kulitnya halus mengkilat, kayak biasa mandi susu, bibirnya tipis dipoles lipstik warna natural, alisnya tertata rapi serasi dengan hidung yang kecil bangir dan mata yang indah lucu. Sebentar Aku terpana, Ya, Maklum kayak melihat boneka saja, Maklum orang Desa.
Jadinya, ya kalau tidak begitu nanti tidak ada yang diomongkan. Nyatanya orang lebih suka menjual gengsi (prestige) dari pada nilai suatu kejujuran, juga lebih suka bangga membeli gengsi dari pada makan yang sesuai di lidah. Yah, itulah perputaran kehidupan, kami segera naik mobil lagi, dan kami minta turun di lorong arah menuju ke tempat kami menginap yaitu di rumah pak Sugeng.
“Yan.., Mbak Lina itu naksir kamu habis..” kata Edi saat kami berjalan bertiga di gang/lorong arah rumah menginap,
“Kok tahu Mas Edi..” kataku, sambil menyalakan rokok, yang selama di mobil ini Aku tahan ingin merok0k. Minta ampun lebih "kebelet" (have the need) dari pada orang yang mahu ke toilet
“Kita ini sudah enam tahun, baru sekarang Mbak
Lina mengajak kita makan-makan, lha, kalau tidak
naksir kamu, apa alasan lain yang lebih masuk
akal?” tanya Edi juga ikutan menyalakan rok0k.
Ikram yang tidak merokok, memang dia tidak
merokok, itu saja bibirnya sudah hitam banget. Mungkin alasan dia tidak merokok juga agar
bibirnya tidak malah hitam, tapi Aku tak pernah
bertanya ke situ,
“Bisa saja kerana alasan lain..” kataku sekenanya,
kerana juga Aku bukan orang yang ingin ditaksir
oleh Mbak Lina, walau menurutku dia cantik lebih
cantik dari setandart ukuran cantik yang ku pakai
ukuran,
“Kita lihat saja nanti.” kataku menambahkan,
sambil menyedot rok0k kuat-kuat, biar agak
mantapan dikit.
“Mbak Lina itu baru habis putus pacar lho Yan.” kata
Ikram menambahi,
“Masak?” kataku agak neleng (mengereng), kayak serius
menanggapi
“Iya.., cowoknya yang dulu ditendang, katanya tidak setia.” tambah Edi, kayak makin senang saja
ngomongin orang.
“Lhah, Mbak Lina secantik itu masak cowoknya
bisa tidak setia?” tanyaku asli merasa hairan
bukan ku buat-buat, kerana memang aneh juga
kalau orang cantik kok ada cowoknya yang tidak
setia,
“Sebenarnya itu sih alasan saja, Mbak Linanya
sendiri yang sudah bosan.” kata Edi menutup
pembicaraan, kerana kami sudah sampai pintu
rumah pak Sugeng.
Setelah sholat isyak kami pun berangkat tidur,
waktu telah menunjukkan jam 12 lebih lima
menit, seperti biasa, Aku dan Edi tidur satu
kamar, dan Ikram tidur di kamar lain,
“Yan kalau mbak Lina naksir kamu benaran, kamu
mahu jadi cowoknya?” tanya Edi berbisik. Padahal
tidak usah berbisik juga suara Edi kurang keras,
kerana kebiasaan Edi kalau mahu tidur menyalakan tape recorder, dari tape mobil yang sudah bodol,
dan yang diputar lagu itu-itu saja, lagunya Koes
Plus kalau tidak salah judulnya "Telaga Sunyi", dan urutannya yang Aku sampai hafal itu lagu "Mari
Nyanyi Bersama", yah kalau di dengar-dengar
lagu itu makin bosan. Tetapi lama-lama enak juga
untuk pengantar tidur, tapi malah membuatku
tidak konsentrasi untuk wirid dalam hati,
“Apa?” tanyaku kerana memang suara Edi yang
tak jelas,
“Ya kalau Mbak Lina benaran naksir kamu, kamu
mahu tak jadi cowoknya?” tanyanya mengulang
pertanyaannya dengan nada yang tak sama,
“Kalau menurut kamu Aku mahu apa tidak?” tanyaku.
“Lhoh, ini kan yang menjalani kamu Yan, kok malah
tanya aku lagi?” rungut Edi.
“Lha, Aku sendiri tidak tahu, Aku baiknya mahu apa
nggak? Sudahlah besok saja dibicarakan lagi,
sekarang tidur..” kataku sambil menutupkan
tangan pada atas mata.
Hari berlalu seperti melewati lingkaran yang berputar dalam satu poros, kami ini seperti tikus yang berlari dalam putaran roda, makin lama kami berlari. Maka tetap saja kami ada di jalan yang sama, Matahari Departement Store, jalan rumah menginap, kok Aku fikir makin jenuh saja. Pagi jam sembilan berangkat kerja, jam sepuluh buka toko, sebelumnya sarapan dulu, menghadapi pembeli, sore pulang, sepertinya kalau kami fikir, seperti robot saja.
Terus terang kalau Aku tidak berjiwa muda, artinya masih anak muda, jenuhnya minta ampun, untung Aku ini anak muda, sekali waktu menggodain cewek cantik yang jalan-jalan meelewati toko kami, atau kadang kala Aku iseng menggoda cewek, supaya membeli sepatu yang ku pajang, ku goda sampai akhirnya beli, padahal asal ngecap-(borak kosong) saja, kubilang kalau pakai sepatu yang ku pajang itu malah cantik, malah kelihatan modis. Padahal Aku tidak mengerti modis itu apa. Dan kadang yang bikin Aku ketawa, cewek yang jelas-jelas wanita, namanya juga cewek ya pasti wanita, ku godain supaya beli sepatu yang bergaya lelaki, dan ku bilang malah cuantik, dan akhirnya beli dan dipakai, padahal jelas menyalahi, tapi kok ya mahu saja.., Ah, kalau di fikir memang makin ngawur dunia, kebanyakan remaja itu mengikuti kata orang, tidak tahu kalau orang yang diikuti itu ngawur bicaranya ya mereka tetap saja mengikuti
“Yan,.. sini.” tiba-tiba pak Sugeng manggil Aku.
“Ada apa Pak?” tanyaku setelah ada di depannya,
“Ya, sudah besok kamu kerja di Toko sepatu Bata, tidak usah potong rambut.” kata pak Sugeng.
“Oh gitu ya Pak?” tanyaku.
“Iya.., orangnya bilang, kamu yang rapi saja, rambutnya di ikat ke belakang yang rapi, besok mulai kerja di sepatu bata ya..” tambah pak Sugeng jawab tanyaku.
“Iya Pak..” kataku hormat, mengingat pak Sugeng banyak menolongku. Toko Sepatu Bata tak jauh dari tempatku kerja sekarang, dipisah empat toko, toko jam tangan, toko emas, Butik Mbak lina, dan toko ice krim. Jadi toko sepatu bata pas sebelah toko ice krim dan roti. Waktu istirahat Aku sempatkan singgah ke tempat toko sepatu bata, lalu berkenalan dengan pemiliknya dan dua gadis pelayannya yang nantinya jadi teman keseharianku,
“Mas ini ya yang besok kerja di sini?” tanya gadis bernama Mona, wajah gadis itu biasa saja, kayak gadis Desa, rambut sebahu, tampang malu-malu, kulit sawo matang, tingginya pun paling seratus enampuluhan, dia memakai seragam. Dan gadis yang satunya bernama Anna, cantik juga, lumayan tinggi mungkin tingginya seratus enampuluh enam, wajah cantik, bibir tipis, rambut lurus sepunggung, kulit kuning langsat, hidung mungil, cuma bedaknya saja rada tebal, mungkin untuk menyembunyikan jerawat yang ada di pipinya. Padahal menurut Aku makin banyak bedak, makin mudah jerawatan, kerana pori-pori tertutup, Itu juga menurut pendapat ndesoku. (Aku anak Desa/kampungan).
Setelah kami melakukan perkenalan sebentar Aku pun kembali ke tempat kerjaku setelah Sholat Zuhur di Masjid belakang Plaza, Esoknya pagi-pagi Aku berangkat lagi sama Edi, walau mulai sekarang Aku tak kerja lagi bareng/bersama Edi, tapi tetap tidurku bareng sama Edi di tempat pak Sugeng.
Kami berjalan, melewati lorong panjang pasar pagi dadakan (musiman), yang buka tiap pagi menjual sayur di jalur plaza, Yah pasar yang entah berapa kali digusur oleh Satpol pp (Penguatkuasa bandaraya), Tetapi tetap saja buka tiap pagi, Aku juga tak mahu menyalahkan para pedagang yang tiap pagi jualan, mungkin mereka mahu menyewa tempat untuk berdagang secara benar, tidak menggunakan ruas jalan, Tetapi mungkin harga sewa kios terlalu mahal, jadi kerana modal cekak/sikit akhirnya juga tetap jualan di ruas jalan, dan yang terang saja mengganggu kelancaran lalu lintas. Aku juga tak menyalahkan petugas Satpol pp, yang selalu mengobrak-abrik dagangan mereka, kerana tuntutan tugas mentertibkan Kota. Tetapi hari berlalu seperti itu akan terulang kalau pemerintah tak bijak mengambil keputusan, seakan pedagang itu bukan Rakyat Indonesia. Mereka digusur, padahal barang dagangan itu mungkin dari modal hutang, untuk menghidupi keluarganya, ku rasa kalau ini berjalan terus tanpa adanya suatu solusi bijak, yang dirugikan akhirnya semua, orang yang lewat, juga pedagang kurasa tak banyak mengambil banyak untung dari dagangan yang diorat-arit,
Aku hanya menatap pada petugas Satpol pp, yang memakai tampang digarangkan, padahal mungkin orang tua mereka juga bisa saja salah satu yang digusur. Seandainya, petugas Satpol pp itu sedikit berfikir, andai mereka yang digusur bagaimana, dan pedagangnya yang sekali waktu disuruh jadi petugas Satpol pp, Yah, targedi carut marut ini sebenarnya kuncinya ada di pemerintah, kalau rakyat tak miskin, kurasa kejadian seperti kejar-kejaran pedagang dan petugas tak mungkin terjadi. Tapi inilah yang terjadi, terjadi dan terus terjadi entah sampai kapan?
“Yan…” suara Edi mengagetkanku.
“Ada apa.” kataku sambil menghindari orang yang hilir mudik di jalan yang hampir menabrakku.
“Soal Mbak Lina, gimana tuh Yan ?” tanyanya lagi sambil berjalan cepat di sampingku.
“Bagaimana apanya?” Aku balik bertanya.
“Maksudku apa tidak kamu kasih perhatian?”
“Perhatian yang bagaimana lagi?” Aku balik bertanya.
“Yah, apa kamu tidak menerima dia?” tanyanya lagi.
“Menerima gimana, lha, dia juga tidak menyatakan apa-apa, tidak ngasih apa-apa, Aku mahu menerima apa?” kataku dan kami mulai berjalan tenang kerana telah melewati pasar sayur.
“Si Lina itu naksir Aku, atau suka padaku, itu kan masih perkiraanmu saja, lha, kenapa harus ribut..” kataku ku buat dengan nada mangkal/kesal, tapi mulutku masih tertawa.
“Ya, tidak begitu Yan, ya memang ini masih perkiraan, tapi andaikan ini benar-benar terjadi, dia jatuh cinta padamu, ini misalkan lho ya.., kalau dinilai dari sudut pandangmu, dia termasuk cewek tipe idamanmu tak?” tanyanya.
“Ya… ku akui si Lina tuh cantik, kaya, malah cantik dan kayanya sudah di atas bayanganku, tapi terus terang bukan Aku takut apabila nanti Aku jadi cowoknya, dia bosan, lalu Aku dibuangnya kayak buang ingus, dicampakkannya kayak mencampakkan sampah ke tong sampah, bukan takut seperti itu. Tetapi jujur dia bukan typeku, terlalu muluk lha bagiku, atau mungkin entahlah, walau Aku jujur, Aku juga lelaki normal, yang jelas tertarik dan merasa wah, dengan kecantikannya dan keunggulannya, tapi kalau ditanya hati nuraniku, Aku tak ingin jadi kekasihnya, hanya bikin kebat-kebit saja, menyiksa hati..” kataku panjang lebar, tak tahu apa Edi faham dengan yang ku maksudkan.
“Wah, kenapa kebat-kebit khawatir Yan?”
“Banyaklah alasannya, kalau diuraikan satu persatu, akan makan waktu lama,” kataku singkat, tak terasa kami berdua telah sampai di belakang Plaza,
“Aku tidak ikut ke tempat Mbak Ningsih ya.” kataku langsung masuk ke Plaza,
“Lhoh, tidak sarapan?” kata Edi berhenti,
“Rileks lah nanti saja.” kataku nyelonong masuk lorong depan etalase kerja di Toko Sepatu Bata, dan melakukan kesibukan tiap hari, membersihkan barang dagangan, menawarkan dan merayu pembeli yang datang. Apalagi kalau gadis yang datang, pasti kena ku rayu untuk beli sepatu, kadang padahal Aku rayu untuk beli sepatu lelaki, Tetapi kerana rayuanku pas jadi, ya akhirnya mahu juga. Apalagi Aku buka sepatunya dan ku pakaikan sepatu baru, kayaknya ku lihat berbunga-bunga wajahnya pertama ada rasa senang.
Tetapi mulai satu minggu bekerja ditemani pelayan wanita yang ada, membuatku bosan. Walau dua wanita pelayan sering mengajakku ngobrol, ah, kayaknya duniaku bukan di sini, Aku seperti orang yang tersesat saja, monoton dan tak tahu jalan, gelap dan teramat bisu dari perkembangan, Aku seperti robot yang dipakaikan pakaian manusia, fikiran suntuk mulai menggelayuti fikiranku. Untung ada hari Juma’at libur giliran. Jadi Aku bisa menelaah diri, mengurai dan memikirkan, apakah ini jalan yang ku ingini?
Seperti hari Juma’at itu, Aku libur dan ku pakai jalan, mengobati rasa rinduku, dari pagi Aku sudah berangkat, Aku bilang pada Edi dan Ikram untuk jalan-jalan, kerana liburan, Aku tak mahu suntuk dalam kamar, Aku jalan saja, tak tahu arah, dan tak memilih arah tujuan. Jam sepuluh sudah sampai di pintu tol Porong, Aku belok ketika ku lihat sebuah Masjid, Ah, kurasakan batinku lebih tenang kalau Aku jalan seperti ini lebih bebas dan tanpa terikat siapapun. Lebih bebas merenungi dan menangkap segala gerak-gerik Allah atas dunia ini, ku ambil wudhu' dan masuk Masjid lalu setelah Sholat Tahiyatul Masjid, Aku pun tiduran selonjoran, Ah betapa damainya, dunia tanpa beban…
Seseorang setengah tua, menghampiriku, lalu mengucap salam, ku jawab, dan bersalaman dengan ku, dia memperkenalkan diri bernama Pak Teguh.
“Dari mana Mas?” tanyanya sopan.
“Jalan saja pak, saya kerja di Matahari Plaza…” jawabku juga ku buat halus.
“Kok, di Masjid ini, apa tidak kerja?” tanyanya lagi.
“Lagi libur Pak…, ini lagi jalan-jalan, mencari suasana baru….” jawabku ringan. Kami pun berdialog, yang asalnya membahas tentang perkenalan kami, sampai membahas tentang kesukaanku jalan kaki ternyata Pak Teguh juga orang yang suka jalan, Walau tak sesering sepertiku, Dia juga cerita kalau dia asalnya bekerja di jawatan kereta api, sampai waktu azan kami ngobrol, dan azan dikumandangkan, kami pun sibuk dengan diri masing-masing, Aku mencari Al-Qur’an ku baca sambil menunggu Imam naik ke mimbar, untuk khotbah Juma’at. [HSZ]
To be Continued.....
Untuk Anda yang belum baca siri ini yang sebelumnya,
Anda boleh baca disini ; KISAH SUFI, SANG KYAI
Ilustrasi Image; Doc, Fortuna Media
No comments
Post a Comment