KISAH SUFI, SANG KYAI [12]

 <img src=https://fazryan87.blogspot.com".jpg" alt="KISAH SUFI, SANG KYAI [12]">

KISAH SUFI, SANG KYAI [12]
  • Pada kisah siri ke-11 Sang Kyai atau dalam kisah ini menamakan dirinya sebagai Febrian - dengan panggilan Ian. Sekitar jam 10 malam telah sampai di stesen kereta api Kota Cepu, Jawa Tengah. Beliau untuk memutuskan tidur di stesen saja. Setelah sholat Isyak,  selonjoran di kursi ruang tunggu stesen.
  • "Mengenang satu demi satu perjalanan di antara dengung nyamuk yang mulai terasa mengerubutiku..." 

 FORTUNA MEDIA -  Suasana sangat sepi, hanya satu dua orang lalu lalang, Aku tak sadar telah tertidur pulas. Aku terbangun dan kaget, ketika tangan hangat membelai pipiku. Aku segera bangun dan melihat perempuan setengah baya, duduk di dekat kepalaku.

 “Ada apa Mbak?”
  Tanyaku masih mencoba memperjelas mata yang perit,

“Tak butuh kehangatan Mas?”  Kata perempuan itu yang berbau 'autan' (sejenis bau minyak gosok).

 “Wah, kalau butuh, Aku lebih butuh autan Mbak, autannya masih ada?”
  Tanyaku tanpa buruk sangka. Dia mengeluarkan autan dari balik bajunya, dan menyodorkan padaku.

 “Minta sedikit ya…”  Kataku, dia manggut, wajahnya tak cantik, walau tak juga jelek, ku taksir umurnya empat puluh tahunan.

“Mas tak butuh kehangatan?”  Tanyanya lagi sambil memegang pahaku, sementara Aku masih mengoles autan.

 “Kehangatan apa? Apa Aku mahu dikasih kopi? Wah, Aku mending tidur daripada minum kopi, nanti tak bisa tidur,”  Kataku santai,

“Maksudku tidur denganku…”  Katanya tanpa malu, Aku baru berfikir kalau dia p3lacur.

 “Ahh, enggak Mbak…” 
Kataku mencoba tenang. Walau ucapanku tetap saja rasanya terhenti di tenggorokan.

“Ayolah Mas, tak usah bayar…!”  Katanya merajuk sambil mencoba meraih pahaku.

 “Embak ini punya anak?”  Tanyaku mengalihkan pembicaraan dari fikirannya yang kotor,

  “Punya.” jawabnya, “Punya suami?”  “Punya.”  Jawabnya lagi.

 “Lalu kenapa bekerja seperti ini?”  Tanyaku.

“Yah, Suami tak bekerja, aku dan anakku butuh makan,”

“Lalu kalau Aku tak bayar, Mbak tak dapat wang?”

 “Tidak apa-apalah, kalau untuk Mas yang ganteng, aku relakan, tak usah bayar, aku kan juga butuh kesenangan.”  Katanya enteng.

 “Apa Mbak ini tahu akibatnya kalau Mbak ini bekerja kayak gini?”  Tanyaku.

“Yah, paling kalau ada razia, kita ketangkap, itu juga kalau Polisinya kita kasih, kita dilepas lagi.” 
Katanya enteng.

“Wah, bukan hanya itu Mbak, Mbak bisa terkena penyakit kelamin. Nanti kalau Mbak tua juga tak ada yang mahu. Nanti mahu kerja apa? Kalau tak dimulai dari sekarang merintis pekerjaan yang halal, dan Mbak kalau meninggal akan disiksa di dalam kubur sampai hari kiamat. Kiamat itu masih lama. Dan semua orang sudah pasti mati. Andai Mbak menjual diri di zaman Nabi Adam, sampai sekarang masih disiksa, bayangkan ribuan juta tahun. Apa siksanya, kemaluan ditusuk besi yang membara tembus sampai ke mulut, Mbak tentu bertanya, Apa benar siksa itu ada?
 Ya, 
nyatanya semua orang akhirnya meninggal juga, itu berarti siksa di sana ada,”   Kataku panjang lebar, untuk menggugah hatinya yang membatu.

“Lebih baik mulai sekarang, menyadari diri, memutar arah ke jalan yang benar, sebelum terlambat, kalau orang mahu ke jalan yang benar, pintu rezeqi akan dibukakan oleh Allah Ta'ala. Allah memberi makan pada semua orang saja mampu, kalau ditambah Mbak dan keluarga, tentu tak berat bagi Allah, asal Mbak benar-benar berniat menjadi orang baik-baik.”

 “Apakah Allah mahu menerima taubatku,”  Katanya berlinangan air mata.
“Aku ini teramat kotor.”

“Mbak pintu taubat Allah, itu lebih luas dari langit bumi seisinya, semua orang di dunia yang seperti Mbak mahu bertobat semua, pintu taubat masih lebih luas lagi,” 
 Kataku, dan perempuan itu menangis mengguguk, lalu berdiri dan lari keluar dari peron stesen. Aku cuma menatap kepergiannya dan berdoa, agar Allah Azza Wa Jalla, membuka dan melapangkan hatinya, menuju ke taubatan nasuha.

   Related Post
Novel Collection
Misteri Nusantara
The Story of The Prophet Muhammad SAW


 Malam itu Aku tidur di kursi. Dengan mensyukuri kesendirianku, kesepian,  kemiskinan.Dan melepas segala beban kepunyaan, kemilikan. Betapa damai dunia. Jika kita tidak terbebani apa-apa. Tidak perlu memikirkan dan mengkawatirkan. Lepas seperti bayi yang tidak tahu apa-apa.

Pagi harinya, setelah Sholat Subuh Aku melanjutkan perjalanan, ke arah Ngawi, Jawa Timur. Melangkah satu-satu, tenggelam dalam wiridku. Tenggelam teramat dalam. Ssampai waktu Maghrib Aku tak tahu telah sampai di mana? Ku hampiri Masjid, untuk mengikuti Sholat berjamaah, lalu wirid menunggu Sholat Isyak.  Aku telah lupa, seharian perutku tak terisi apa-apa. Setelah Sholat Isyak.  Aku masih tenggelam dalam zikir. Tiba-tiba seseorang menghampiriku, seorang lelaki yang tadi jadi Imam di Masjid. “Assalamualikum..”  Salamnya sembari mengulurkan tangan. “Wa'alaikum salam warahmatullah.”  Jawabku menerima uluran tangannya untuk berjabat tangan,

“Anak ini dari mana?”  Tanyanya setelah duduk di dekatku.

“Saya dari Daerah Senori Tuban Pak..”  Jawabku, sambil memperhatikan perawakan orang ini, tinggi sedang, tubuhnya kelihatan kuat, wajahnya biasa, tapi jenggotnya memanjang sampai ke dada, dan rambutnya panjang diikat tapi dimasukkan ke dalam baju.

 “Jauh dengan Daerang Sendang?”
  Tanyanya lagi.

 “Wah, itu malah Desaku.”
  Jawabku yakin.

 “Wah, kok kebetulan begitu,  Aku punya kenalan di Daerah itu, namanya pak Mustofa, apa kamu tahu Dik?”

“Pak Mustofa yang mana ya?”

 “Rumahnya belakang pesantren DarutTauhid.” 
Kata orang itu.

“Wah, itu Ayahku…” 
Kataku juga terkejut dan hairan, kenapa jadi kebetulan seperti ini

“Lhoh kamu Ian? Febrian? Anak pak Mustofa, Cucu KH. Khusain.?

“Benar Pak…”  Seketika orang itu memelukku, dan mengucek-ucek rambutku.

“Walah sudah besar kamu Nak, dulu aku terakhir melihatmu masih umur 4 tahun, masih suka menangis.”

“Bapak siapa?”  Tanyaku kerana sejak tadi tak tahu namanya.

“Namaku Fadhol, aku teman sekolah Ayahmu.., sudah-sudah, ayo ke rumah, bicara dan ceritanya nanti saja.”   Kata Fak Fadhol, mengajakku kerumahnya, yang tak jauh dari Masjid, hanya melewati jalan raya dan masuk gang 25 meteran.

“Nah, ini rumahku Nak Ian.”  Kata Pak Fadhol, rumah yang sederhana, dari kayu tanpa dicat, di depan rumah juga ada dudukan dari kayu sebesar lengan orang dewasa, terjejer, hingga membentuk dudukan yang rapi, dan halus bukan kerana diplitur tapi kerana sering diduduki. Di dalam rumah tak ada perabot yang mewah, cuma meja besar dari kayu tebal, yang kuno sekali. Juga kursi kayu kasar.

Pak Fadhol segera 
mempersilahkan Aku untuk duduk, sementara dia masuk ke dalam memanggil Istrinya, bernama Ibu Zulaikhah. Tak lama kedua orang itu keluar. “Oh, ini anaknya pak Mus? Wah benar-benar sudah besar.” kata bu Zulaikhah.

“Sudah Bu', sana siapkan makan…”  Kata Pak Fadhol, dan sambil menunggu makan disiapkan Aku pun ngobrol dengan pak Fadhol,

“Kok kamu sampai di sini, sebenarnya mahu ke mana Nak Ian?” 
Tanya pak Fadhol.

 “Yah, beginilah Pak, saya cuma mengikuti langkah kaki, kemana mahu membawa.”
jawabku.

 “Ee, alah wong turunan orang yang suka tirakat, ya jadi suka tirakat…., Jadi tak punya tujuan pasti toh? Weih, kalau begitu mahu kan menginap di sini barang 3, 4 hari.?”

 “Wah, jadi merepotkan bapak..”

“Tidak, nggak merepotkan kok, mahu ya?”

 “Baiklah Pak.”

“Nah, gitu dong".

Bu' Zulaikhah pun memanggil kami untuk makan. Nasi, sayur kangkung, tempe goreng kering tanpa tepung, sambal jeruk, pindang,. Wah nikmat sekali untuk perut yang lapar.

Semalaman Aku dan Pak Fadhol ngobrol. “Ngger, sebenarnya apa yang kamu cari dalam lelakumu ini?”  Tanya pak Fadhol, sambil mengebulkan asap rok0k Sukun Kretek.

 “Ah, saya juga tak tahu Pak…, Sebenarnya saya ingin lepas dari belenggu keinginan, tapi kok ya malah tercebur pada keinginan yang lain.” 
Jawabku, sembari mengambil rokok Sukun Kretek, kerana melihat betapa nikmatnya Pak Fadhol ngerokok jadi Aku juga teringin.

“Maksudmu apa toh Ngger?”

“Maksudku, Aku ingin menghilangkan rasa ingin dimulyakan, punya kedudukan, punya kekayaan, punya derajat dihormati masyarakat, punya Istri yang cantik, dan sholeh, juga ingin lepas dari tindihan nafsu kenikmatan panca indra, tapi Aku kok malah terperosok pada keinginan baru, yaitu keinginan ingin lepas dari ingin, bukannya Aku 
malah lepas, tapi malah tambah saja keinginanku, yang membuatku makin terhijab dengan Allah.”

“Weeh, lha adalah, aku kok malah mumet-pening toh mendengar penuturanmu?”
Kata pak Fadhol, mengerutkan kening, dan tangannya memegangi kepala.

“Saya saja yang mengucapkan mumet, apalagi sampean..”  Kataku, dan kamipun tertawa berdua.

 Kira-kira saat itu jam 1 dini hari. Tiba-tiba Pak Fadhol mengajakku ke kebun jagung belakang rumah, ku kira mahu membakar jagung. Sementara bulan di langit terang mengapung di angkasa. Ini tanggal 19, sehingga bulan masih penuh. Sampai di kebun, tiba-tiba Pak Fadhol menghentakkan kaki dan tubuhnya meloncat seperti belalang, melenting ke pucuk pohon jagung, ringan seperti kapas. Kemudian berlarian di pucuk-pucuk pohon jagung, lalu kembali ke depanku.

“Apa ilmu begini ini yang kamu cari ngger?”  Kata pak Fadhol masih berdiri di pucuk pohon jagung, dan daun itu cuma bergoyang sedikit. Aliran di pusarku mengalir deras, mengalir cepat ke seluruh urat di tubuhku. Sehingga seketika 
tubuhku terasa enteng. Tapi Aku cepat-cepat minta perlindungan pada Allah. Dan minta disembunyikan siapa Aku, dijauhkan dari pamer dan takabur.

 “Ah, tidak butuh ilmu seperti itu Aku Pak Fadhol.”
  Jawabku.

 “Lho, memangnya kenapa? Semua pemuda menginginkan ilmu seperti ini.., Kok kamu enggak?” 
Kata pak Fadhol sambil melayang ringan ke sampingku.

 “Punya ilmu kayak gitu juga buat apa kalau hidup susah, hati nggrengseng, yang ku inginkan ketenangan batin. Sehingga saat Aku beribadah pada Allah fikiran dan batinku tak kemanamana.”

“Wehh, kamu ini cita-citanya sebenarnya sepele, tapi setelah ku fikir kok teramat tinggi, dan di atas kewajaran.” 
Kata pak Fadhol sambil melangkah memetiki jagung muda.

“Sebenarnya itu keinginan wajar, seperti keinginan orang pada umumnya, Tapi…” 

“Tapi apa Ngger?”  Tanya Pak Fadhol, tangannya tak henti mengupas jagung, dan membersihkan, lalu menyalakan api pada tempat pembakaran, yang sepertinya sudah biasa dipakai, Aku pun dengan cekatan membantu meletakkan jagung di api yang mulai membesar.

“Ya, tapi mewujudkannya dalam nyata yang susah, Apa itu cuma ada di batin?”

 “Aku sendiri tak tahu Ngger. Dulu aku juga sering lelaku sepertimu. Tapi yang ku cari Ilmu Kanuragan, Aji Kesentikan. Eh, besok ayo ke tempatnya H. Ibrahim.”

 “Mahu apa Pak? Apa dia juga kenalan Ayahku?”


 “Weh, bukan kenalan lagi, sudah seperti saudara malah, dia pernah ngomong mahu menjodohkan Putri satu-satunya denganmu…”  Ah, kenapa lagi-lagi soal jodoh… Apa memang Aku sudah saatnya menikah?

 “Kenapa?”  Kata pak Fadhol melihatku melamun.

 “Ah, tak apa-apa kok Pak…"


“Kamu ragu sama Anaknya Pak Ibrahim? Ee.. kalau nanti sudah melihat orangnya kamu pasti bilang he-eh, orangnya cantik, pintar, lulusan Pesantren Gontor. Mahu apa lagi, kekayaan ada.”

 “Ya nantilah Pak.”  Kataku supaya Pak Fadhol tak cerita terlalu banyak.

 Malam itu, setelah Sholat Maghrib, Aku diajak Pak Fadhol ke tempatnya Pak Ibrahim, naik motor Honda CDI, rumahnya tak terlampau jauh cuma 2 km. Sampai di rumah Pak Ibrahim, hampir waktu Isyak. Pekarangan rumahnya luas, berpagar besi, dan bertutup viber, halamannya luas. Aneka pohon dan bunga tertata rapi, sebagian halaman tertutup batako. Dan sebagian tertutup rumput Jepang di antara beraneka tanaman bunga. Bangunan rumah mewah dan berkelas, dengan tiang besar-besar dan bundar. Rumah bercat kuning gading, dan lantai dari marmer. Dari situ saja sudah membuatku grogi, bukan kerana Aku yang miskin, Aku hanya berfikir jika Anak Pak Ibrahim jadi Istriku. Tentu mahal biayanya merawat anak orang kaya. Tapi ya sudahlah. Tetapi Aku benar-benar berdoa, moga-moga, dia bukan jodohku.

Kami mengucap 
salam, dan Pak Ibrahim keluar, menyambut, orangnya perawakannya tinggi besar dan gagah, umurnya mungkin 50 tahun, tak kelihatan tua, juga Ibu Aminah, Istri Pak Ibrahim keluar menyambut, orangnya cantik, berkerudung lapis dua, Aku jadi berfikir, Ah, kalau Ibunya saja secantik itu apalagi Anaknya. Kami dipersilahkan duduk.

“Wah, Ada angin apa ini, kok Kang Fadhol dolan-jalan  kemari. Padahal sudah lama kami sekeluarga ingin ketemu.”  Kata Pak Ibrahim dengan suara berat.

“Pertama, ya, biasa ingin silaturrahmi, dan kedua… Ini, mengajak putranya Pak Mustofa main ke mari.” 
Kata pak Fadhol tanpa banyak basa basi.

 “Anaknya, Pak Mustofa Tuban maksudmu Kang?”


“Lha iya, Pak Mus yang mana lagi?”

“Ini…”  Tangan Pak Ibrahim menunjukku.

“Iya Pak…”  Kataku agak grogi.

“Wehh, sudah sebesar ini..?”  Kata Pak Ibrahim, entah untuk basa basi atau apa, Aku tak tahu. 

Aku pun ditanya sama Pak Ibrahim, seperti Polis mengintrograsi penjahat. Tidak satupun pertanyaan terlewat. Seakan Aku ini benar akan jadi menantunya. Sampai ibu Aminah keluar dengan seorang pembantu membawakan makanan dan minuman,

“Ini lho Bu', Anaknya Pak Mus…”  Kata Pak Ibrahim ditujukan pada Istrinya.

“Wehh, kok bisa kebetulan… Apa sudah dikasih tahu?”  Kata bu Aminah.

“Ya sudah toh Bu'…”  Kata Pak Ibrahim.

 “Lha, kalau sudah, tunggu apa lagi? Mbok yang tua pada ke dalam biar yang muda berkenalan.”  Tambah Bu Aminah, membuatku makin kikuk aaja.

“Laya…!, Kesini…”  Bu Aminah memanggil. Dari dalam terdengar sahutan, dan keluarlah gadis jangkung, berjilbab hitam dengan motif bunga, pakaiannya berwarna pink juga dengan motif bunga, di pergelangan tangannya berhias hitam putih renda.

 “Ayo-ayo yang tua ke dalam, mari pak Fadhol, Nak Iyan, di sini saja ya, Laya sana Nak Iyan, 
ditemani ngobrol.”   Kata Bu Aminah.

Laya
 panggilan dari nama lengkapnya " Ulfa Nurul Layali ". Gadis itu duduk di kursi depanku, banyu minyak wangi lembut segera menerobos hidungku, ku pandang sekilas wajahnya rupanya dia juga melirikku. Mata yang bening seperti embun, alis mata yang tebal, pipi kemerahan, hidung yang mancung kecil, bibir nan merah dengan lipstik tipis, dagu yang lancip. Dia duduk menunduk, kulihat tangannya putih, terkulai di pangkuan, jari jemari lentik saling bertautan, Ah, denganku teramat jauh. Tentu saat itu Aku betapa hitam, kerana berhari-hari berjalan di terik matahari. Sempat mandi juga waktu di rumah Pak Fadhol, tentu wajahku berminyak, seperti wajan-kuali dan penggorengan. Ahh, sudahlah dia tak mahu denganku juga Alhamdulillah apa yang musti dikhawatirkan. Aku juga tak ingin kelihatan gagah di muka dia. Perduli amat, batinku, memompa rasa percaya diri. Lama juga kami terdiam, seperti radio yang menunggu dinyalakan. 
[HSZ] 

To be Continued.....

Untuk Anda yang belum baca siri ini yang sebelumnya,

Anda boleh baca disini ; KISAH SUFI, SANG KYAI

Editor; Helmy Network

Ilustrasi Image; Doc, Fortuna Media

#indonesia#misteri#KisahKyaiLentik  #KyaiLentik, #KisahSangKyai, #KisahSufi, #SangKyai,

VIDEO ;   

KISAH MISTERI. NENEK SUMIRAH MANTAN DUKUN SANTET DI KUBUR HIDUP-HIDUP SAAT BERZIKIR || PART-1

No comments