KISAH SUFI, SANG KYAI [13]
KISAH SUFI, SANG KYAI [13]
- Pada siri Sang Kyai 12. Sang Kyai dipertemukan dengan Puteri Pak Ibrahim dengan panggilan 'Laya' dari nama lengkapnya" Ulfa Nurul Layali '. Pertemuan ini ada kaitan untuk dijodohkannya Sang Kyai atau Febrian-Ian dengan Ulfa Nurul Layali. Apakah perjodohan ini terlaksana atau tidak. Mari kita simak cerita ini selanjutnya. Selamat Membaca. Terima Kasih.
- Apakah perjodohan ini terlaksana atau tidak. Mari kita simak cerita ini selanjutnya. Selamat Membaca. Terima Kasih.
FORTUNA MEDIA - “Kok diam aja?” Kataku membuka pembicaraan,
kalau saling menunggu, lama-lama bibir bisa
kesemutan.
“Kamu juga diam.” Katanya membalas.
Wah, kayak saling lempar kesalahan.
“Kamu tahu, kenapa oleh Ayah Ibumu, kita
dipertemukan kayak gini?” tanyaku lagi.
“Ya tahu, kan sudah dikasih tahu sama Ayah Ibu.” Jawabnya.
“Berarti kamu setuju, dengan perjodohan ini?” Wah, kenapa Aku yang jadi Polisinya.
“Aku mengikut Ayah Ibu saja,”
“Wah, apakah itu tak membabi buta? Kamu kan
baru kenal Aku, lagipun pasti kamu tidak cinta
padaku. Apa nanti tidak menyesal seumur-umur.”
“Pokoknya Ayah Ibu menilai baik, maka Aku akan
menilai baik. Aku hanya mencoba taat, kan Syurga
ada di telapak kaki Ibu, kalau Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, sudah bilang
begitu, kenapa harus ragu?”
“Wah, kamu ilmunya lebih mendalam, kalau Aku
bodoh banget, kamu sekolahnya lebih tinggi…
dan…”
“Kamu sebenarnya mahu denganku apa enggak?” Tiba-tiba ku rasakan dia menyerang balik Aku.
“Ndak tahu.” Jawabku dengan tatapan kosong ke
wajahnya yang berkerut alisnya.
“Ndak tahu bagaimana? Aku kurang cantik
menurutmu? Kamu tidak cinta, kan cinta bisa
tumbuh kerana kebiasaan? Apa aku kurang kaya?
Ini semua nanti akan jadi milikku, aku cuma anak
tunggal.” Katanya seakan mengharuskanku untuk
mahu-setuju.
“Kamu cantik, malah terlalu cantik bagiku, hingga
membuatku takut. Tanganku yang kasar akan
melukaimu kalau menyentuhmu. Kamu pintar,
malah terlalu pintar bagiku. Sehingga kalau Aku
di dekatmu kayak begini perasaan kayak mengikuti
perlombaan cerdas cermat. Kaya? Wah itu tak
disangsikan. Kalau Aku menikahimu, kayak
memetik buah apple matang di pohon.”
“Nah, tunggu apa lagi…, Soal cinta nanti kan bisa
dibangun bersama… please bantu Aku taat pada Ayah Ibuku.” Bujuknya.
“Biarkan Aku berfikir dulu Ul…” Kataku.
“Apa? Kau panggil apa Aku?” Tanyanya.
“Iyaa, kupanggil Ul, namamu Ulfa kan?”
“Iihh, masak dipanggil Ul, tidak ada mesranya sama
sekali, kayak dengkul kepentok kursi saja
suaranya,” Dia manyunkan(monyokkan) bibirnya meruncing,
kayak pensil habis diraut.
“Ya, Aku musti panggil apa?” Aku jadi keki-kekok (clumsy) kerana
tak biasa bermanis manja sama perempuan.
“Ya, panggil Laya kek.”
“Wah, kok kesannya kamu sudah tua, kalau pakai kek segala.”😊
“Iiihh, maksudku Laya saja.” Katanya gemes, dan
pipinya memerah.
“Wah, kalau Laya, kok kayak anak kecil
meneriakkan layangan putus.”
“Sudah deh, kamu panggil apa saja… Kamu suka ya
kalau Aku ngambek.” Katanya mbesengut (merungut).
“Tapi makin cantik kok.” Kataku menggoda,
maksudku agar dia makin benci padaku. Tapi
seketika ku lihat raut wajahnya sumringah.
“Berarti kamu sudah mahu?” Tanyanya.
“Mahu apa?” Kataku bego (bingung).
“Ah, masah tidak mengerti, kan yang tadi kita
omongin.”
“Yang mana? Tentang Aku memanggilmu kakek?”
“Iiih, ya sudah…!” Dia uring-uringan lalu beranjak
dari kursi dan berlari ke dalam. Hatiku
bersorak, kena kau ku kerjai. Dalam hati Aku
berbisik dalam doa, Ya, Allah maafkan Aku,
Engkau tahu bukan maksudku begitu.
Tak lama Pak Fadhol keluar diiringi pak Ibrohim
dan Istrinya.
“Sudah bicara, dan perkenalannya?” Tanya Pak
Fadhol
“Jangan diambil hati Nak Ian, kalau Laya rewel,
maklum anak tunggal, jadi manja.” Kata Istri pak
Ibrahim.
Related Post
Novel Collection
Misteri Nusantara
The Story of The Prophet Muhammad SAW
Sebentar kemudian kami pamit pulang. Di jalan sambil membonceng, Pak Fadhol bertanya, “Bagaimana ngger, cantik kan orangnya?”
“Iya Pak, cantik.” Kataku.
“Berarti sudah cocok dong?”
“Ndak tau Pak.”
“Ndak tahu bagaimana?”
“Cocok enggaknya kan tak bisa dinilai sekilas aja Pak.”
“Iya Bapak mengerti.” Setelah sholat Isyak dan wirid, Aku segera tidur, tidak mahu masalah Ulfa jadi beban fikiranku. Bahkan tidak mahu dia masuk dalam mimpiku. Sampai pagi datang. Suara azan membangunkanku, Aku segera ambil wudhu dan berangkat ke Masjid dengan Pak Fadhol.
Setelah sholat Subuh Aku wirid agak lama, hingga pak
Fadhol meninggalkanku. Matahari akan muncul, Aku baru pulang ke tempat pak Fadhol. Sampai di depan rumah pak Fadhol ku lihat motor Mio di depan rumah. Ah, pasti ada tamu. Aku pun melangkah ke pintu dan betapa terkejut Aku, si Ulfa lagi duduk di kursi ditemani Istri Pak Fadhol.
“Ini pagi-pagi sudah main kesini Nak Ian, pasti semalam Laya tak bisa tidur.” Kata Istri Pak Fadhol.
“Sana ditemani, Ibu mahu ke dalam dulu.”
“Kok , pagi-pagi sudah maen kesini?” Tanyaku sambil duduk di kursi kayu, sehingga terdengar kriet kerana tergenjet beban tubuhku.
“He-eh, mahu mengajak kamu maen.” Katanya.
“Main kemana?” Tanyaku.
“Ya kemana saja, supaya kita masing-masing saling kenal.”
“Tadi sudah izin sama Ayah Ibumu?”
“Sudah.” katanya.
“Di izinkan?” Tanyaku.
“Ya, di izinin lah, masak bisa sampai sini, kalau tak di izinkan?”
“Ya, siapa tahu kamu kabur.”
“Enak saja, memangnya aku perempuan apaan? Aku itu teramat tunduk pada Ayah Ibuku.”
“Iihh , promosi…., “ Kataku
“Ah, jangan goda terus ah, mahu enggak kamu ku ajak jalan-jalan?”
“Kamu tak takut, kalau ku apa-apakan?” Tanyaku
sambil ku tatap lekat-lekat ekpresi wajahnya,
dan dia balas menatapku dengan titik embun di
matanya, sehingga memaksaku memalingkan
pandang dan berlindung pada Allah atas godaan
syaitan yang terkutuk. Tapi juga Aku mendesah
dalam hati. Mengapa begini berat cobaan yang
Kau beri duhai Kekasih. Apakah Aku akan
berpaling dariMu.
“Kenapa harus takut? Aku tahu kamu bukan tipe
lelaki seperti itu.”
“Dari mana kamu tahu?”
“Dari tatapan matamu padaku.”
“Memang kenapa tatapan mataku?”
“Kamu tak pernah menatapku dengan tatapan
birahi.”
“Ah, sok mengerti saja kamu, siapa tahu di hatiku Aku
birahi padamu.”
“Ya bagus, kan nantinya kita jadi Suami Istri.”
katanya sumringah.
“Siapa yang mengatakan begitu?” Tanyaku.
“Ah, tak usah mutar-mutar ah omongnya, mahu
enggak ku ajak jalan?”
“Sebentar dulu Aku mintak izin Ibu.”
Aku segera berjalan ke dalam dan mohon izin untuk
pergi. Kami pun berboncengan di motor, Aku risih
juga ketika Ulfa menempelkan tubuhnya lekat di
tubuhku. Dan kedua tangannya melingkar di
pinggangku, seperti memakai sabuk ular saja
rasanya.
Sebenarnya fikiranku menerawang jauh. Mengingat satu-satu tentang mimpi semalam. Padahal Aku tidak melepas sukma, kurasa mimpiku, itu nyata. Tentang Ulfa dengan seorang pemuda
bernama Imron. Ketika sampai di jalan sepi, jauh
dari perumahan, nampak sebuah warung,
kubelokkan motor ke warung dan berhenti di
depan.
“Mahu sarapan?” Tanya Ulfa,
“He-eh.” Jawabku dan segera turun dari motor
melangkah ke dalam warung, kulihat perempuan
setengah baya tengah menaruh gelas piring. Aku
segera memesan teh hangat, juga untuk Ulfa. Ku
comot gorengan, sembari menunggu teh datang,
perempuan pelayan warung itupun membawakan
teh hangat, meletakkan di depan kami dan masuk
lagi. Tinggal Aku dan Ulfa, ku sruput teh, rasa
hangat mengaliri tenggorokanku, ku pandang
Ulfa di depanku.
“Heh, kenapa menatapku seperti itu?” Jengahnya.
“Kenapa kamu tak terus terang?” Kataku.
“Terus terang apaan?” Tanyanya jidatnya (dahinya) mengerut
“Terus terang pada kedua orang tuamu, kalau
kamu hamil.” Kataku datar tanpa ekspresi.
“Iihh ngaco kamu, kamu kesambet ya?” Katanya
wajahnya memerah, pias dia tak dapat
menyembunyikan keterkejutannya.
“Heh, ngaco? Aku tahu semua, tentang Imron,
tentang hubunganmu dengannya, perbuatanmu
dengannya, dari a sampai z, Aku tahu…”
“Tahu? Tahu dari mana? Kamu temannya Imron?
Imron yang cerita padamu?” Ulfa panik.
“Aku tak pernah kenal dengan Imron, tapi Aku
tahu semua… Walau Aku tak kenal Imron, dan tak
pernah ketemu dengannya. Tapi Aku tahu siapa Ayah Ibunya, rumahnya bagaimana, bahkan kamu
melakukan dengannya di mana aja. Kalau tidak
percaya, kamu melakukan dengannya pertama
kali di sebuah bugalow di pinggiran Telaga
Sarangan. Apa perlu ku ungkap semua?” Wajah Ulfa memerah, menunduk dalam, Aku
harus tega, kebenaran harus diluruskan. Walau
dalam hati ada rasa hiba menyeruak. Untuk tidak
menyakiti perempuan secantik Ulfa. Tapi
kebenaran adalah kebenaran yang tidak mengenal cantik atau jelek, diletakkan di manapun
kebenaran tetap harus berjalan dalam relnya.
“Bagaimana mungkin kau tahu?” Tanyanya seperti
anak kecil bego yang tidak pernah kenal sekolah,
atau orang tua yang buta huruf, diberitahu bunyi
sebaris tulisan.
“Itu tidak penting, yang penting Aku tahu, Aku daja
tahu apalagi Allah, Allah Maha Tahu segalagalanya, kamu bisa mendustai orang tuamu. Tetapi
tak bisa mendustai, dan menipu Allah. Dan jika
Allah menghendaki Aku untuk tahu apa susahnya?” Kataku.
“Apakah kau seorang Auliya’?” Tanyanya dengan
wajah takut.
“Auliya’? Aku hanya orang sepertimu, yang
hampir kau tipu dan kau perdaya, yang akan kau
buat menutupi aibmu.” Kataku dengan senyum
sinis.
Seketika tubuh Ulfa gemetar, dan luruh
merosot dari kursi, dan bersimpuh di tanah,
menangis…
“Maafkan Aku, Maaf… hu.. hu..” Suara tangisnya
makin keras, membuat Ibu yang menjadi pemilik
warung keluar. Tetapi kembali ke dalam lagi
setelah ku beri isyarat dengan tangan.
“Bukan padaku kau minta maaf, kepada kedua
orang tuamu, yang telah kau tipu selama ini,
harusnya kau minta maaf. Juga segeralah kau
bertaubat pada Allah,” Kataku dengan nada
lemas.
“Aku tidak sanggup, Ayah Ibu, selama ini betapa
menyanjungku, Aku, Anak yang berbakti, Aku tak
bisa mengecewakan mereka.” Katanya menghiba.
“Lucu…. lalu kamu mahu menunggu apa lagi? Mahu
menunggu orok di dalam rahimmu lahir?” Kataku
lumayan ketus.
“Kenapa kamu tak malu dulu pada saat
melakukan? Kamu nikmati tiap inci dosa-dosa. Ini
baru hamil, belum akibat lebih buruk, kamu
masuk Neraka. Apa kamu sudah merasa kebal
dibakar api? Atau jangan-jangan tidak ada iman di
hatimu? Jangan-jangan kamu tak percaya akan
adanya keadilan Allah?” Ulfa terdiam Aku
lanjutkan kata-kata.
“Apa kamu menunggu keadilan Allah tiba? Aibmu
dibuka di depan makhluq seluruh dunia, dari zaman Nabi Adam sampai sekarang?” Ulfa masih
diam.
Tiba-tiba matanya nanar menatapku, merah, dan
ada lingkar hitam di sekitar mata.
“Biarkan Aku mati! Biarkan..!” “bruak!” Dia
menggebrak meja, gelas minumannya sampai
terlontar dan jatuh pecah di lantai warung. Lalu
dia lari keluar, seperti orang kesetanan. Menuju
kebun belakang warung. Ada kebun tebu dan
gerumbul hutan kecil, Aku segera memburu, ku
ikuti arah jeritannya.
“Biarkan Aku mati!” Ulfa lari tak terarah,
menerobos semak perdu, ku percepat memburu
di belakangnya, setelah dekat ku sergap dari
belakang, Aku dilempar, ternyata kuat sekali, Aahh, Ada yang tak beres nih. Masak kekuatan wanita bisa
melemparku dengan ganas begitu. Menyadari hal
itu, lalu ku baca wirid tiga kali, ku salurkan ke
tapak tangan. Tangan terbuka ku hantamkan ke
punggungnya, Ulfa terpelanting, jatuh
terjengkang. Matanya merah menatapku,
“Siapa kau!?” Bentakku,
“Hahaha, Aku penghuni pohon mahoni tua…” Suaranya berat, suara lelaki.
“Kenapa kau memukulku?” Tanyanya.
“
"Aku tak cuma akan memukulmu, tapi akan
membakarmu jadi arang kalau kau tak segera
keluar dari tubuhnya.” Kataku sambil membaca
wirid, menyalurkan tenaga ke tapak tangan, dan
membayangkan tanganku telah berbentuk api,
tapak tanganku mulai ku rasa hangat.
“Heh.! Hehehe…, Mahu kau bakar Aku? Kau bakar
dengan apa?” Tanyanya.
Tanganku mulai memanas, “Lihat ini…” Tangan ku
acungkan.
“Ampun..!, Ampun…” Katanya lagi.
“Cepat keluar!”
“Iya.., Aku keluar.” Katanya, dan Ulfa pun
mengejang, dan lunglai, Aku segera mendekati,
ku tempel tangan ke kepala dan punggungnya,
untuk mengambil pengaruh jahat yang masih tertinggal, dan perlahan dia sadar dan membuka
mata.
“Hah… Kenapa Aku di sini Mas…?” Tanyanya, tapi
segera ku ajak kembali ke warung, diantar
tatapan khawatir oleh Suami Istri pemilik warung.
“Tidak apa-apa Mas?” Tanya lelaki paruh baya
pemilik warung,
“Tak apa-apa kok Pak.” Jawabku rikuh. Setelah
sampai di dalam warung Aku minta air putih
untuk diminum Ulfa, tak lupa ku isi, supaya hati
dan fikirannya tenang.
Setelah memutuskan, Aku akhirnya mengantar
Ulfa pulang ke rumahnya, sampai di depan
rumah, Bu Aminah ibunya Ulfa menyambutku,
“Ooo… Nak Ian, mari-mari, Ibu kira Ulfa dengan
siapa? Ternyata dengan Nak Ian, tadi pagi Ulfa
juga pamitan mahu main ke tempat Nak Ian.” Kata
bu Aminah, dengan senyum tak dibuat-buat.
“Maaf Bu', Bapak ada?” Kataku tak bertele-tele.
“Oh ada, sebentar Ibu panggilkan. Ayo duduk dulu
di kursi, Ibu kedalam dulu..” Kata Bu' Aminah ramah. Bu Aminah masuk ke dalam, bersama
Ulfa.
Sebentar kemudian Pak Ibrahim keluar, disertai Bu' Aminah, dan seorang pembantu yang
membawakan makanan ringan dan minuman.
“Eh, Nak Iyan, habis jalan-jalan sama Ulfa ya?” Tanya Pak Ibrahim sambil menyalamiku.
“Iya Pak, sambil sekalian ada perlu sedikit sama Bapak dan Ibu…” Kataku tak menunggu masalah
bertele-tele.
“Wah, perlu apa kok kelihatannya sangat
penting?” Kata pak Ibrahim yang duduk di
depanku berdampingan dengan Bu Aminah.
“Begini Pak…” Wah, agak rikuh juga
menyampaikannya. Tapi kalau tak dijelaskan
sekarang malah akan makin panjang dan tak tahu kapan berujung pangkal.
“Itu Pak…” Aku masih kikuk juga. Padahal sudah
tarik nafas berkali-kali supaya mantap dalam
menyampaikan. Tetapi rasanya lidah kelu amat.
“Sudah, tidak usah ragu, disampaikan saja…” Kata Bu' Aminah melihat keraguanku.
Mungkin Aku tidak, langsung ke pokok pembahasan, tapi cari lorong
kecil untuk menuju ke muara,
“Sebenarnya, Ulfa sudah punya pacar.” Kataku
menunggu ekpresi wajah kedua orang di depanku.
“Wah, ku rasa itu biasa Nak Ian. Siapa sih remaja
sekarang yang tidak berpacaran, melihat tayangan
televisi zaman sekarang seperti ini, remaja juga
pasti ikut terseret, jadi Bapak kira wajar,” Kata
pak Ibrahim sambil ketawa.
“Iya Ibu kira juga apa, kiranya cuma masalah itu. Nanti juga kan Suaminya cuma Nak Ian seorang.” Tambah ibu Aminah.
“Tetapi Bu', Pak, masalahnya Ulfa telah hamil.” Kataku dari pada mutar-mutar tak karuan.
“Apa, hamil?!” Suara kedua orang di depanku
hampir berbareng. Aku manggut.😏
“Bruak…!” Meja digebrak Pak Ibrahim, sampai Aku kaget tanpa buatan. Soalnya tak menyangka
sama sekali kalau meja bakal digebrak.
“Jangan menuduh sembarangan tanpa bukti kau
Ian!” Bentak Pak Ibrahim, dengan mata merah, dan telunjuknya menuding ke arahku, keder juga Aku.
“Kalau tak mahu jadi jodoh Ulfa, bilang saja tak
mahu, jangan terus memfitnah tanpa bukti! Tak
ku kira Anak Pak Mustofa, berfikiran sekeji itu.” Muka pak Ibrahim memerah, urat lehernya
menegang.
“Sareh Pak..!, Ingat penyakit darah tinggimu.” Kata bu Aminah. Walau ku lihat dia juga
menatapku marah, keramahannya yang tadi
barusan entah terbang kemana.
“Tapi Pak, Saya tidak menuduh, Bapak kenapa
tidak bertanya sendiri pada Ulfa, jadi
persoalanannya akan jelas.” Kataku, sudah
terlanjur nyebur, basah sekalian.😒
“Panggil Ulfa Bu'!” Bentak Pak Ibrahim sambil
menepis tangan Istrinya yang memegang
lengannya.
“Awas kalau ini cuma fitnah,” Kata pak Ibrahim
memelototiku.
Bu' Aminah ke dalam, dan sebentar kemudian
telah keluar lagi bersama Ulfa, belum lagi Ulfa, duduk di kursi, Pak Ibrahim telah
membentaknya.
“Benar kamu hamil!?” Ulfa terdiam masih berdiri
menunduk, air matanya mengalir, hingga jilbab
hitam kembang-kembang yang dipakainya basah.
“Jawab! Jangan menangis saja, kamu hamil atau
tidak?!” Bentak Pak Ibrahim dengan suara
menggelegar.
Ulfah manggut.
“Iya….” Suaranya lirih tertindih perasaannya
yang berkecamuk.
“Dasar anak sial, tak tahu diuntung!” Pak Ibrahim
berdiri, dan mahu mengemplang Ulfa, tangan
telah diangkat, Aku segera melompat meja, dan
memegang tangannya, dan ku tarik mundur.
“Sudah Pak… sabar…” Bujukku.
“Tak ada sabar, Anak telah mencoreng nama
orang tua, musti dihajar! Mahu ditaruh di mana
mukaku?!” Kata Pak Ibrahim berusaha lepas dari
peganganku.
Segera ku tempel tangan ke
pundaknya untuk menyalurkan hawa
mengendapkan amarahnya, Tidak berapa lama Pak Ibrahim membalik ke arahku dan menangis
memelukku.
“Sudahlah Pak, sudah terlanjur terjadi, jadi
dicari saja jalan keluar terbaik.” Kataku sambil
menepuk bahunya. Suasana pun kembali tenang.
Tapi Bu' Aminah masih menangis sesenggukan,
“Laya… Laya… Dosa apa Ibumu ini, sampai dicoba
sedemikian beratnya?” Katanya.
“Sudahlah Bu', Semua orang pasti dicoba oleh
Allah. Jadi tidak usah dikeluhkan, dicari saja jalan
keluar terbaiknya.” Kataku setelah menuntun Pak
Ibrahim duduk di kursi sofa.
“Dan menurutku jalan terbaik adalah menikahkan
Ulfa dengan Imron, lelaki yang menghamilinya. Tetapi saya tak mahu turut campur dengan urusan
keluarga Bapak, jadi sekalian saya mahu mohon
diri.” Kataku.
Pak Ibrahim berdiri dan memelukku lagi, “Maaf Nak Ian, Bapak telah menuduhmu yang tidak-tidak"
“Tak apa-apa Pak, misalkan Saya juga akan
merasa terhina kalau Anak Saya dituduh berbuat
yang tidak benar.” Kataku.
“Andai kamu yang jadi Suami Ulfa, betapa
bangganya Aku.”
“Yah, kalau tidak jodoh, tak bisa dipaksakan….”
Aku pun pamit, dan Bu' Aminah segera ke dalam
mengambil bungkusan kerdus dan menyerahkan wang dalam amplop, Aku menolak. Tetapi Bu' Aminah
tetap memaksa, terpaksa ku terima.
Aku pun
kembali ke tempat Pak Fadhol, sampai di rumah
pak Fadhol, melakukan sholat Zuhur, dan Aku
pun pamit melanjutkan perjalanan. Apa yang
diberikan oleh Ibu Aminah ku serahkan semua
kepada Pak Fadhol. Juga wang dalam amplop, yang
ku tak tahu berapa isinya. Awalnya Pak Fadhol dan Istrinya menolak, tapi setelah ku bujuk. Akhirnya wang dan bungkusan dalam kerdus pun diterima,
hingga Aku bisa melanjutkan perjalanan dengan
perasaan enteng tanpa beban.
Angin persawahan, yang membawa aroma lumpur
dan harum dedaunan mengantar setiap pijakan
kaki, kuputuskan pergi ke Daerah Bojonegoro, Jawa Timur. Melewati Daerah persawahan dan kedalaman Desa terpencil, yang mata-mata penduduknya
menatap aneh padaku, kadang ku seberangi
sungai, kadang ku susuri pematang, kadang Aku
nikmati burung-burung yang berloncatan riang di
dahan. Mencarikan makan untuk anak-anak
mereka yang menunggu di sarang. Sambil duduk Aku selonjorkan kaki di bawah pohon yang
rindang, melepas lelah.
Sesekali orang di sawah menyapaku, Ah, ketabahanku kalah dengan mereka, yang tiap
hari bergelut dengan lumpur. Menanam padi,
merawatnya, sampai panen, dengan kesabaran,
panen tak bisa dipaksakan. Betapa tawakalnya
mereka, tidak memaksakan hasil cepat didapat. Walau hasil lama didapat. Tetapi mereka dengan
sabar datang ke sawah, entah mencabut rumput,
mengusir tikus, dan mengusir burung. Layakkah Aku mengharap keberhasilan tanpa susah payah?
Layakkah Aku hanya duduk ongkang-ongkang. Lalu
mendadak dekat dengan Allah, Sang Kekasih.
Ah, Aku malu, cepat ku ayunkan kaki. Mungkin Aku
harus lebih semangat dalam pencarianku. Hingga
dapat mengeja khaliah dari Rabku.
Ya, Allah tuntunlah setiap gerak gerikku. [HSZ]
To be Continued.....
Untuk Anda yang belum baca siri ini yang sebelumnya,
Anda boleh baca disini ; KISAH SUFI, SANG KYAI
Ilustrasi Image; Doc, Fortuna Media
#indonesia, #misterinusantara, #KisahKyaiLentik #KyaiLentik, #KisahSangKyai, #KisahSufi, #SangKyai,
VIDEO ;
No comments
Post a Comment