KISAH SUFI, SANG KYAI [11]

<img src=https://fazryan87.blogspot.com".jpg" alt="KISAH SUFI, SANG KYAI [11]">


KISAH SUFI, SANG KYAI [11]

Kisah Hidup, Kisah Nyata

  • Tulisan ini berisi sebuah cerita, sebagian diambil dari perjalanan hidup sendiri sang penulis, pengalaman yang dirangkai dengan keterbatasan dan akan makna hikmah suatu proses perjalanan. Inilah sebenarnya tujuan penulis sebagai pengingat bagi dirinya sendiri. Menulisnya agar tak lupa, kerana lemahnya akal. Sehingga jika penulis ingin mengingat. Maka cukup membuka tulisan kisah ini.
  • Kisah kesufian ini telah di publish pada awalnya di www.hubbaibulloh.wordpress.com, websites yang dimiliki sang penulis, yang berisi suatu kisah spiritual yang menurut saya sangat luar biasa dan sangat inspiratif, yang membuat saya terkesan adalah dalam kesederhanaan jalan cerita SANG KYAI yang ditulis oleh Mas Febrian ini mampu memberikan nuansa misteri spiritual yang menggoncang nalar sekaligus keyakinan dan keimanan saya antara percaya dan tidak percaya tentang apa yang saya baca dari kisah ini.

  • Kalau menurut sang penulis, apa yang terjadi dalam cerita ini adalah khayalan semata, tapi menurut saya sangat tidak masuk akal apabila seseorang mampu bercerita secara begitu detail  dan terkesan sangat memahami segala hal mengenai semua kejadian spiritual dan supranatural yang sangat ajaib apabila tanpa pernah mengalaminya sendiri.

  • Dan saya yakin Andapun akan merasakan hal yang sama bila membaca kisah SANG KYAI ini. Ucapan  terimakasih tidak terhingga untuk sang penulis yang juga saya pernah kenal walaupun belum sempat bertatap muka langsung iaitu MAS FEBRIAN @SANG KYAI

Sang Kyai Part-11

 FORTUNA MEDIA -  Aku segera ambil wudhu dan duduk membaca  wirid, yang kubaca surah waqi’ah 15 kali, untung  aku telah hafal di luar kepala, jadi setengah jam pun selesai, dengan kesungguhan aku berdoa. Lalu keluar, pas nyampai di tempat majang lukisan, sebuah mobil kijang warna biru gelap berhenti. Seorang pemuda turun dari mobil menghampiri.

“Mas lukisannya harganya berapa ya?”  tanyanya.

“Dua ratus ribu Mas.”  Jawabku.

“Sudah, borong saja semua.”  Suara lelaki dari dalam mobil.

“Sudah Mas, saya borong semua, tolong diangkut  ke dalam mobil.”  Kata pemuda itu, yang mengejutkanku. Apalagi Renges, dia dalam keadaan jongkok, kulihat matanya melotot, atau kayak orang mahu boker.

“Sudah Nges, ayo diangkut ke dalam mobil, tunggu apa lagi.”  Kataku mengejutkannya. Kami segera mengangkut lukisan ke dalam mobil, dan di dalam mobil ada lelaki dan perempuan setengah baya, sebentar kami ngobrol dan aku  diberi kartu nama, lelaki paruh baya itu bernama, Bapak Suwandi, pengusaha mebel (furniture) dari Jepara.Jawa Tengah.

Ah, yang penting lukisanku telah laku. Setelah Sholat Maghrib kamipun pulang ke kontrakan, tak lupa makan dulu di warung Padang, pesan rendang kesukaanku, Renges sampai habis tiga piring. Dan kami melenggang pulang dengan kelegaan di hati, wang ada, rokok di tangan.

Ah, mahu apa lagi, yah, kami perlu istirahat, atas penat beban fikiran kerana harapan yang dipaksakan.

“Sekarang menurutmu Allah ada di Jakarta, tidak Nges?”  Tanyaku pada Renges. Ketika kami ada di dalam bas angkot.

“Iya, iya ada…”  Jawabnya sambil ketawa, yang tak ada manisnya sama sekali.

“Allah itu ada, dan selalu ada, tak pernah melupakan kita, kita saja yang melupakan Dia, Kuasanya bisa menggerakkan hati siapa saja, buktinya pada hati orang Jepara tadi.”  Kataku setengah berfilsafat.

“Iya, iya… Kamu memang anak pesantren, jadi lebih ngerti, tapi aku lelah banget nih,  khotbahnya nanti aja lah, sekarang aku yakin aja, nebeng di keyakinanmu, wong juga sudah ngelihat buktinya.”  Katanya sambil nyedot rok0k Djisamsoe.

Setelah hari itu, Aku pun dapat job lukisan, juga kaligrafi kaca. Sehingga kami tak perlu untuk pergi menyusuri lorong dan gang, melewati jalan-jalan, menawarkan pada setiap orang yang kami temui. Kerana orang yang akan memesan lukisan sudah datang sendiri ke kontrakan di Cipinang Muara, Jakarta. 

Jadi Aku tinggal beli material, dan mengerjakan pesanan, tapi Aku ingat tujuanku sebelumnya. Maka setelah ku rasa cukup, Aku pun kembali ke pesantren dengan wang lumayan.

   Related Post
KISAH SUFI, SANG KYAI [9]
KISAH SUFI, SANG KYAI [10]

Pagi itu Aku menghadap Kyai, setelah sebulan di pesantren Aku ingin pulang sekaligus mengamalkan ‘ngedan’ dari rumah, kerana kepasrahanku pada ALLAH, masih perlu penggemblengan, mengingat masih ada keraguan atas berserahku pada Allah, kelabilan jiwaku, atas tawakal, yang belum sebenar-benarnya, dan Kyai pun mengizinkan.

Tanpa menunggu lama Aku pun berangkat pulang, dengan naik bas jurusan Kalideres, lalu ganti metro-mini ke Pulogadung, baru naik bas ke Tuban, Jawa Timur, Daerahku. Sampai di rumah Aku disambut pelukan Ibuku, ditanya ini-itu, dan diceritakan tentang pacar-pacarku dulu yang datang ke rumah, minta izin menikah. Aneh-aneh saja.

Juga Pak
lek Mukhsin yang saban hari datang minta ditulari ilmu, Kang Murikan, juga teman-temanku silih berganti datang, juga orang-orang yang datang minta diobati.

Baru seminggu di rumah,  A
ku pamitan pada kedua orang tuaku, pergi dengan alasan menjual kaligrafi. Untung di rumah ada lukisan kaligrafi banyak. Dan saat itu yang ku ajak temanku Majid, kerana kaligrafi yang banyak kami pun berangkat, pas kebetulan habis hari raya, jadi dalam bulan Syawal, yang ku tuju adalah Kota Rembang, di Taman Kartini, walau Aku tak ngomong jujur pada Majid kalau Aku akan menjalani 'ngedan'.

Sampai di Taman Kartini, kami segera memajang 
lukisan. Dan kaligrafi. Sehari semalam kami tungguin, tak juga ada yang membeli. Menawar juga cuma satu orang. Ah apakah kerana niatku ngedan tak murni, ku tunggangi dengan niat yang lain? Entahlah.

Malamnya kami tidur di Masjid Rembang, sebelah alun-alun. Dan paginya Majid ku ajak menawarkan lukisan dari pintu ke pintu, tapi tak juga ada yang beli. Ah, sial amat. Sampai siang itu Aku dan Majid sampai di Desa Peterongan. Seperti biasa Aku menawarkan lukisan dari pintu ke pintu.

“Feb… Febri… Febrian….!”  Ada 3 cewek cantik berlari-lari dari rumah memanggil namaku, Aku dan Majid yang tengah berjalan pun berhenti. 

Aku dan Majid berdiri mematung, hairan! Kenapa ada cewek cantik-cantik siang-siang kerasukan, sampai mengenalku, Ah, benar-benar aneh.😇

“Iya benar Febri,”  Kata cewek satu, tinggi, langsing berkulit sawo matang, berhidung kayak orang luar, berbibir tipis, setelah ku tahu namanya Tia, kepada cewek jangkung, berkulit putih pucat, kayak orang Cina, bermata sipit, apalagi kalau ketawa matanya makin hilang, namanya Karti, dan yang datang larinya paling belakang, Adiknya Tia, baru SMP kelas tiga, namanya Lola, orangnya imut (tiny/comel)

“Heehh, tidak salah, Febri.”  Kata Karti.

“Buktinya juga, kita panggil langsung berhenti, berarti iya.”  Tambahnya.

“Benar kan kamu Febri..?”  Kata Tia ketika telah sampai di depanku.

“Benar namaku Febri, tapi mungkin bukan orang yang kalian maksud.”  Jawabku, takut ada kesalahfahaman. Sementara Majid malah bengong terlongong-longong di dekatku, kayak orang kesambet (tersampuk).

“Ah tak mungkin salah, wong kami ini sudah kompak, mengidolakanmu sejak dulu…”  Kata Karti ngotot. Oo, rupanya idolaku. Ah, ada lagi.

“Wah benar-benar, kalian salah orang…”   Kataku mencoba menghindar,

“Benarr, kami tak salah, dagunya, hidungnya,  mulutnya, rambut panjangnya, Wah tak salah..”  Kata Tia menelitiku satu-satu.

“Sudah kita bawa kerumah saja, pasti cocok.”  Kata Karti yang segera memegang pergelangan tanganku dan menariknya. Terpaksa Aku mengikut saja. Sampai di rumah Tia Aku didudukkan dan ditunjukkan berbagai majalah yang ada tulisan plus photoku, terang saja Aku tak bisa menghindar, kecuali menjawab “iya”. Kontan ketiga cewek berebutan memelukku, menciumku, mencubit pipiku, Aku diserang mendadak, tentu saja tak bisa menghindar, Astaghfirullah. Moga-moga tak dicatat termasuk dosaku. Ya, kalau dianggap dosa, diampunkan oleh Allah Ta'ala.

“Iihh Febri, kami gemes..!”   Kata Tia mencubitku,

“Sudah-sudah,”   Kataku kikuk. Memang repot jadi terkenal.

“Mas Febri, sekarang lagi apa sampai sini?”  Tanya Karti.

“Wah, pasti lagi cari bahan untuk bikin cerita terbaru, iya kan?”  Kata Tia mengerling.

“Nah, masukkan dong kita pada cerita terbarunya.”

“Tau aja kalian.”  Jawabku singkat, agar tak berbantahan.
 Dan untuk Tia, Karti, dan Lola, ini 
kalian sudah ku bawa dalam cerita. Berarti Aku sudah tak punya hutang harapan pada kalian.

Kami berdua dijamu bak tamu kebesaran, bahkan makan mereka bertiga menyuapiku, huedan, benar-benar. Padahal Aku penulis kacangan,  penulis angin-anginan, penulis kambuhan, lalu apa yang terjadi andai Aku sekaliber Habiburrohman, Assayrozi, atau misal saja Aku artis terkenal.

Sore itu, kami jalan-jalan ke Taman Kartini lagi, kulihat betapa bangganya mereka berjalan di sampingku, seakan berjalan dengan orang yang benar-benar terkenal, Ah, biarlah mereka menikmati daya khayal mereka. Aku tenang saja. 

Sementara Majid mengikuti dari belakang, seperti menunggu wang jatuh. Aku diminta menginap, tapi Aku tak mahu, bisa berbahaya. Maka kami berdua pamit, dan tak lupa menghadiahkan semua lukisan. Aku dan Majid pulang dengan kegagalan total.

Sekarang A
ku memutuskan pergi sendiri, mungkin ini lebih baik. Maka Aku pamitan pada orang tuaku, ku bilang mahu main ke rumah teman. Pagi itu Aku berangkat ke Bojonegoro, kemudian naik kereta api KRD jurusan Jakarta, Aku memutuskan turun di Daerah yang tak ku kenal, agar perjalananku tak tergantung pada siapa-siapa, wang di sakuku, ku berikan pada pengemis semua, Aku ingin kepasrahanku total pada Allah Azza Wa Jalla. Ku pilih turun di Kradenan Purwodadi. Daerah pedalaman.

Aku mulai melangkahkan kaki tak tentu arah, tanpa bekal apapun, hanya kepasrahan, kepasrahan yang ku usahakan setotal mungkin,  Ya, Allah inilah Aku, Aku yang masih tertempeli keakuan yang menumpuk, Aku yang berserah padamu lengkap dengan dosa-dosaku masa lalu, bila Engkau tolak Aku, Aku sendirian, Apapun tanggapanMu. Apapun kehendakMu. Aku adalah orang yang berusaha berserah. Jerit hatiku, di sela-sela kaki yang melangkah satu-satu.

Aku 
terus berjalan, hanya berhenti, kalau waktu sholat datang, mampir ke Masjid, dan menjalankan sholat, lalu berjalan lagi. Malam telah tiba, Aku yang tahu, jalan, sama sekali tak takut tersesat, kerana tak punya tujuan, jadi apa yang harus disesatkan.

Aku tak punya 
arah, jadi tak takut kehilangan arah, ku langkahkan saja kaki yang teramat lelah. Ketika waktu Isyak Aku coba mencari Masjid,  ketika bertanya pada orang, malah tak dijawab, tapi ditinggal pergi. Tetapi Aku akhirnya menemukan Mushola kecil, dan ada orang berjamaah, Aku segera ambil wudhu dan ikut berjamaah, perut yang seharian ku isi air saja, terdengar berkrucukan saat Aku sujud.

Setelah sholat, 
semua orang pergi, tinggal Aku sendiri, mengenang satu-satu perjalanan hidupku, sambil terus memutar tasbih, menuntaskan wiridku. 

Dan tanpa sadar Aku pun roboh tertidur. Padahal nyamuk-nyamuk besar mengeroyokku, tapi tak menggemingkan dalam tidurku.

Kira-kira jam 2 malam Aku terbangun, kerana dingin yang menusuk tulang, tapi Aku kaget,  kerana telah berselimut, dan di sampingku ada obat nyamuk, pasti ada orang yang menyelimutiku saat Aku lelap, Aku pun pergi ke tempat wudhu. Dan menjalankan sholat malam, lalu wirid sampai tertidur lagi. Waktu Subuh terbangun, saat azan dikumandangkan, dan mengikuti sholat Subuh, lalu melakukan wirid biasa setelah Subuh.

Setelah wirid, matahari 
telah meninggi, Aku keluar dari Mushola, di depan Mushola ada gadis umur 17 tahun, tengah menyapu halaman.

“Mas, itu ketela goreng dan kopinya dimakan,”  Kata gadis manis itu, sambil menunjukkan ketela (ubi jalar'keledek) goreng, dan segelas kopi hangat.

“Wah, terima kasih mbak, jadi ngrepotin saja.”  Kataku berbasa basi.

 Ah, tanggungan dari Allah, tidak 
boleh ditolak, Akupun lahap ketela, Wah, sayang tak ada rokok, Yah kenapa, sejak kemaren Aku lupa mengumpulkan uthis, untuk sekedar merok0k, Setelah makan Aku pun pamitan melanjutkan perjalanan.

Kembali Aku melangkah dan melangkah, cuma kali ini dengan harapan baru, harapan menemukan 'uthis, atau puntung r0k0k'. Harapan baru ini cukup membuatku sibuk.

Apa sih, 
berharganya puntung rok0k. Cuma mungkin kerana ada unsur kepentingan dunia. Jadi membuatku benar-benar sibuk. Yah, Aku kadang sibuk mengikuti seseorang yang sedang merokok sambil berjalan. Terus ku kuntit kemanapun orang itu pergi, ku ikuti masuk gang dan jalan-jalan kecil, sampai orang itu membuang puntung rokoknya,

Yah, kalau ternyata puntung yang di 
buang kecil, kadang sampai habis, Aku menyumpah “pelit amat, kenapa tak dimakan  sekalian gabusnya ditelan.”   Kataku jengkel.

Dan kalau puntungnya panjang,  Aku seperti menemukan bongkahan emas. Begitulah terus. Aku betapa sibuknya, cuma kerana puntung.

Tak terasa telah seharian Aku berjalan, dan sampai di Daerah pinggiran hutan, kubaca tulisan yang terpampang di Regol/Gerbang Desa, SELAMAT DATANG DI KEDUNG TUBAN.

Segera kucari Masjid, tak begitu susah, kerana azan yang berkumandang. Dan Aku pun pergi ke Masjid, mengikuti sholat berjama’ah, mungkin nanti malam bermalam di Masjid ini, kata batinku.

Selesai sholat Aku pun duduk di emperan Masjid,  ku ambil satu puntung rokok dan kunyalakan, dengan kenikmatan yang tersisa. Inilah yang paling nikmat, menikmati ketidak punyaanku. Kemiskinan tiada tara. Kepapaan tiada duanya. 

Tapi Aku tak khawatir, dan tak takut. Apapun yang menimpaku, terburuk sekalipun, Aku akan terima dengan kelapangan dada. Aku tak takut kerana kehilangan jabatan, kerana Aku tak punya kedudukan apa-apa, cuma jadi hansip/security pun tidak.

Aku tak takut kehilangan harta benda, kerana wang cuilan satu rupiah pun tak punya. Aku benar-benar tak punya apa-apa yang harus dibanggakan. Lapar? Haus? Aku telah yakin Allah Ta'ala akan menanggungku. Takut apa lagi?

Untuk menuju Allah Azza Wa Jalla, ikuti sungai-sungai zikir.  Walau menabrak batu kebosanan. Aliran itu adalah sabar.Lintasi gersangnya padang puasa. Yang panasnya luruhkan hati yang melata. 

Rumputnya kadang kita cintai. Kerana tumbuh dari kesenangan hati. Basuh jubahnya dengan istighfar. Kuatkan dengan sholawat. Lailaahaillallah. Terbawa ke satu muara. Ketenangan jiwa yang merana, khauqolah. Tidak ada yang mampu bergerak. Dan tak ada yang dapat berhenti. Kecuali atas izin-Nya.

Tak ada yang lebih 
menyenangkan dari pada tenggelam di samudera makrifat. Bercumbu dengan kekasih yang telah lama dirindukan.

Ah, kenapa Aku malah menikmati puntung rokok,  Ah, syaitan telah hampir menundukkanku, dengan barang yang sebenarnya dibuang oleh orang lain. Yah, puntung rokok. Apa sih, berharganya puntung r0kok?

Aku segera membuang semua puntung 
r0kok yang seharian ini ku kumpulkan dengan kecintaan dunia. Dan segera mengambil air wudhu di samping Masjid, kemudian duduk bersila memulai wirid-wiridku, Mungkin baru beberapa jam, kudengar suara ramai di depan Masjid, lelaki dan perempuan, lalu salah seorang menghampiriku.

“Maaf Mas, Mas ini harus menghadap Ketua Desa.”  Kata seorang pemuda umur 17an.

“Lho ada apa?”  Kataku hairan.

“Wah, kampung kami, sedang rawan, banyak maling, kami takut nanti Mas disangka maling.”

“Oo.. begitu, ya sudah mari menghadap.”  Kataku sambil beranjak berdiri. Kemudian diikuti sekitar 15 pemuda pemudi, ku dengar bisik-bisik yang menganggapku gila, Ya, tak salah memang saat itu, Aku sendiri tak tahu persis keadaanku.Sudah beberapa hari tak mandi, rambutku juga panjang terurai, tak pernah kucuci, kulitku pasti hitam berdebu.  Juga pakaianku yang pasti entah bagaimana kotornya, kerana tidur di sembarang tempat.

Dianggap gila?Itulah yang ku harap, atau mungkin, Aku lebih tepatnya ingin dianggap bukan dari bagian dunia.

Sampai di tempat Ketua Desa. Aku pun ditanya ini, itu, ditanya KTP (Kad Pengenalan) ditanya langsung dicocokkan dengan KTP-ku. Setelah itu Aku diajak nonton latihan silat Kera Sakti. Aku santai saja duduk di kursi. Sampai seorang gadis umur 18 tahun menghampiriku,

“Mas, ayo ke rumah makan dulu.”  Kata gadis itu, yang segera ku ikuti dari belakang, sampai di rumah ketua Desa lagi, telah tersedia masakan opor ayam (chicken soup/sup ayam). Aku pun disuruh duduk, ditinggal makan sendiri.

Malam itu, Aku menginap di rumah Ketua Desa. Tidak ada yang istimewa, besoknya, Aku pamitan melanjutkan perjalanan. Jalan kaki, menulusuri jalan, tanpa tujuan. Tapi baru satu kilometer, berjalan, tiba-tiba sebuah sepeda motor Astrea berhenti, seorang gadis berseragam sekolah pengendaranya. Aku tak perduli, jalan saja, tapi gadis itu memanggilku,

“Mas Ian…”  Aku pun terpaksa berhenti. Ternyata Anak ketua Desa/kampung yang waktu berkenalan denganku namanya Maftukhah.

“Eehh embak…”   Kataku dengan panggilan menghormati, walau umurnya lebih muda dariku.

“Lha, kok jalan kaki Mas?  Kenapa tak naik mobil aja?”  Tanyanya khawatir.

“Sebenarnya mahu kemana sih?”

“Iya mbak, jalan kaki saja, dan Aku tak punya tujuan.”  Jawabku agak lama, kerana bingung, mahu jawab bagaimana.

“Tak punya wang ya?”  Wah, nanyanya yang enggak saja, mahu ku jawab punya, jelas Aku bohong, mahu ku jawab tak punya, Aku diam saja. Dia menyodorkan wang 20 ribuan,

“Ini ambil..!”  Katanya, tapi tak ku ambil,

“Kurang?”  Katanya, wah kenes juga nih gadis.

“Bukan, bukan itu maksudku, tak usah… Aku…”  Aku jadi bingung. Dan dia sudah memasukkan Wang ke sakuku. Yah, sudahlah dari pada gontok-gontokan tak ada ujung pangkalnya.

“Ayo naik ke motor, aku bonceng…, atau kamu yang di depan, aku dibonceng…”

“Ah, tak usah mbak, biar Aku jalan kaki aja,”  Kataku risih.

“Benar tak mahu, kalau gitu, ya sudah ku tinggal dulu.”  Kata Maftukhah. Yang segera berlalu dengan motornya.

Sementara Aku melanjutkan 
berjalan, dengan terus berzikir tanpa henti, Aku telah tak perduli apa di sekitarku, sampai jam 2 siang Aku sampai di Daerah Cepu. Segera ku cari warung makan, sekedar mencari pengganjal perut. 

Wang dari Maftukhah ku belikan nasi. Dan setelah itu Aku mencari Masjid untuk sholat Zuhur. Selesai sholat Zuhur, Aku melanjutkan perjalanan lagi.

Sekitar jam lima'an Aku sampai di Padangan, kakiku telah pegal, dan perlu istirahat, Aku mencari tempat duduk yang enak untuk menyelonjorkan kaki, agar darah di kaki tak menumpuk, kulihat regol depan rumah. Tapi ada gadisnya seumuran 16 tahunan. Aku tak jadi membelok, ku cari tempat yang lain saja, Aku pun meneruskan perjalanan, tapi baru tiga empat langkah, gadis itu memanggilku,

“Mas Iyan…! Mas Iyan….”  Apa telingaku yang salah dengar, Aku tetap melangkah, tapi suara gadis itu memanggil lagi, sekarang malah kencang.

“Mas Iyan..!” Aku berhenti, ternyata memang gadis itu memanggilku, dia menghampiriku,

“Benar kan Mas Febrian?”  Tanyanya dengan tersenyum, Ah, paling-paling penggemarku lagi.

“Benar namaku Febrian,”  Kataku tak ragu.

“Jadi…, jadi, benar? Iihh tak disangka…”  Katanya dengan raut muka berbinar, ku taksir gadis ini baru kelas 1 SMA.

“Kok kamu tahu namaku? Dan tahu diriku?”  Tanyaku untuk meyakinkan dia pasti penggemar tulisantulisanku.

“Wah jadi orang terkenal, kok merendah gitu. Ini juga pasti sedang mencari bahan tulisan, Aku ini penggemarmu Mas.”   Benar memang dia salah satu penggemarku. Yah, memang manusia tak bisa lepas dari masa lalu. Masa lalu tetap saja akan selalu mengikuti, kemanapun kita pergi,

“Ayo ke rumah, wah jadi grogi didatangi penulis terkenal.”  Katanya menggandeng tanganku.

“Wah kalau mencari bahan tulisan, memang harus gini ya Mas, sampai-sampai nggembel gitu.”

“Heeh”  Kataku sekenanya.

“Ck.. ck… Huebat..! Jadi penulis jadi berat ya Mas..?”

“Ya, jadi penulis kan setidaknya harus tahu keadaan, situasi, kondisi yang akan kita tulis, jadi bisa menjiwai, bisa menyeret pembaca pada alur cerita.”  Kataku asal -asal saja.

Gadis itu bernama 
Yulianti. Dia membawaku ke ruang tamunya, dan dikenalkan pada kedua orang tuanya, yang ramah menyambutku, lama kami ngobrol tentang karya-karyaku.

Setelah sholat Maghrib Aku pun pamitan. Walau kedua orang tua Yulia, memintaku untuk menginap tapi Aku tetap melanjutkan perjalanan, ku putuskan kembali ke Cepu. Aku akan menuju ke Kota Ngawi saja, dan berharap untuk tak bertemu penggemar, Ah, kenapa rasanya dunia ini sempit, kemana-mana masih saja ada yang mengenalku. 

Jam 10 malam Aku sampai di stesen kereta api Cepu. Aku memutuskan tidur di stesen saja. Setelah sholat Isyak, ku selonjoran di kursi ruang tunggu stesen.
"Mengenang satu demi 
satu perjalanan di antara dengung nyamuk yang mulai terasa mengerubutiku..."   [HSZ] 

To be Continued.....

Untuk Anda yang belum baca siri ini yang sebelumnya,

Anda boleh baca disini ; KISAH SUFI, SANG KYAI

Editor; Helmy Network

Ilustrasi Image; Doc, Fortuna Media

#indonesia#misteri#KisahKyaiLentik  #KyaiLentik, #KisahSangKyai, #KisahSufi, #SangKyai,

VIDEO ;   

Konsep Zuhud para Ulama Thariqat dan Nabi Yang Kaya

No comments