MY HUSBAND IS PARLIN [Part 48]
MY HUSBAND IS PARLIN [Part 48]
- Part 48
- Ayah Mertua wafat
" Biar Suami Jadul, Yang Penting Duit Ngumpul "
FORTUNA MEDIA - Lebaran di kampung Suami sungguh memberikan kesan tersendiri. Tiap hari kami harus masak besar, lima keluarga yang harus makan. Setiap makan harus selalu makan bersama. Kadang bila ada yang belum datang akan ditunggu supaya bisa makan bersama.
Adikku pulang lebih dulu, dua hari lebaran mereka sudah pulang ke Medan. Tinggal Siregar empat bersaudara bersama Ayah mertua. Selama lebaran perawat Ayah Mertua juga pulang kampung. Ini kesempatan bagi Bang Parta, Bang Nyatan mengurus orang tua mereka. Aku sampai terharu melihat seorang bos besar begitu telaten/cermat mengurus orang tua.
"Maen, berapa lagi wang Amang Boru?" Tanya Ayah mertua di suatu pagi, di empat hari lebaran. Aku memang dipercaya memegang wang Ayah mertua, menggaji perawat dan membeli obat.
"Masih tetap segitu, Mang Boru," Jawabku. Memang wang yang disimpan Ayah mertua lewat Aku tidak berkurang, kerana Bang Nyatan dan Bang Parta rutin mengirim setiap bulan.
"Bah, kenapa begitu, Maen?"
"Tiap bulan dikasih Bang Parta sama Bang Nyatan, Mang Boru,"
Tiba-tiba Ayah mertua menitikkan air mata, Aduh, Apakah Aku salah ngomong.
"Ada apa Mang Boru, kok nangis gitu,"
"Justru kerana Ayah yang baik, makanya anaknya baik semua,"
"Tidak, Maen, aku orang tua yang tidak baik, lihat mereka semua, tak ada yang tamat sekolah, mereka semua hanya lulusan SD, setelah dewasa pergi merantau, mereka dapat pelajaran hidup di rantau orang, bukan dariku," Kata Ayah mertua, matanya terus mengeluarkan air. Ah, Aku jadi ikut sedih.
"Justru karena Amang Boru Ayah yang baik. Makanya mereka baik semua, Sekolah formal bukan satu-satunya jalan menuju sukses, Bukan satu-satunya tempat belajar," Entah dari mana Aku bisa bicara begini.
"Lihat itu, Maen, tetangga kita itu, anaknya kuliah sampai tamat, ada yang masuk AKABRI, ada yang sekolah bidan, itu baru orang tua yang berhasil, aku hanya orang tua yang beruntung," Kata Amang Boru lagi.
Ayah mertua memandang pintu, " Lihat pintu itu, Maen, pintu itu jadi saksi betapa aku bukan Ayah yang baik, dari pintu itu anak-anakku semua pergi mencari kehidupan di tempat lain, kerana tak ada yang bisa kuberikan di rumah ini, mahu mengajari mereka juga aku tak bisa, mereka belajar di luar, aku jadi malu kerana sudah tua begini jadi beban mereka," Kata Ayah mertua.
"Jangan gitu, Mang Boru, tidak boleh bicara begitu, biarkan mereka raih syurga mereka dengan berbakti pada orang tua," Kataku lagi.
"Aku sedih, Maen, malu, anak lain bisa diberikan orang tua mereka lahan, aku, justru si Parlin yang kasih aku kerjaan di hari tua," Kata Ayah mertua lagi.
RELATED POST
Hypocrisy Paradox Kafirun - Belum Muslim VS RIP
Tragedi 'Revolusi Sosial 1946'. 'Ketuanan Rakyat' Yang Menjadi Detik Hitam Sejarah Melayu Nusantara
Tragedi Pembantaian Etnik Melayu 1946: Kekejaman PKI di Sumatera Timur
Ternyata ini alasan kenapa Ayah mertua ngotot tinggal sendiri, dia merasa bukan orang tua yang baik, yang membiarkan anak-anaknya cari kehidupan sendiri-sendiri. Beliau mungkin benar, beliau orang tua yang beruntung.
"Tidak usah malu, Mang Boru, seharusnya bersyukur gitu," Kataku lagi.
"Iya, Maen, ambil dulu wang Amang Boru itu sedikit, entah dua juta, Amang Boru ingin menyenangkan semua anak dan cucu, makan-makan di pinggir sungai, tolong biarkan Amang Boru yang bayar sekali ini," Kata Ayah mertua lagi.
Permintaan yang aneh menurutku, akan tetapi tetap juga kulaksanakan. Hari itu juga Aku pergi ke agen Bank yang memang sudah ada di Desa, bisa tarik tunai. Kuambil dua juta.
"Hari ini kita makan di pinggir sungai," Kataku pada semua orang di rumah.
"Wah, enak tu," Jawab kak Sofie- istrinya Bang Parta.
Dalam keluarga ini, bila ada hal yang memerlukan wang, mereka akan berebut untuk membayar. Seperti hari itu, Aku akan ke pasar memesan ikan mas yang banyak. Ya, banyak, kerana keluarga besar ini akan acara bakar ikan di pinggir sungai.
"Ini wangnya," Kata Bang Nyatan.
"Sudah, pakai ini saja," kata Bang Parta.
"Biarkan aku yang bayar sekali ini," kata Dame.
"Maaf, semuanya, kali ini Ayah yang bayar,"nbsp; Kataku seraya mengembalikan semua wang mereka. 18px
"Lho, kok Ayah?" Kak Sofie protes.
Lalu kuceritakan pembicaraanku dengan Ayah Mertua pagi ini, mereka semua tampak mengangguk dan mungkin sudah faham.
"Jadi, ini keinginan Ayah, kita biarkan saja, mungkin dengan begitu beliau senang. Wangnya sudah kuambil, ini," Kataku seraya menunjukkan wang dua juta.
"Baik, kalau gitu, tapi aku merasa aneh, takut ini jadi permintaan terakhir Ayah," Kata Dame.
Akhirnya semua sepakat, Aku dan Bang Parlindungan pun pergi ke pasar dengan mobil Mitsubishi Strada-nya. Si Ucok yang sudah dua tahun juga ikut.
Ada tiga puluh kilo ikan Mas kami beli, mungkin ini berlebihan, akan tetapi kata Bang Parlin sebagiannya akan diberikan ke tetangga. Setelah semua lengkap dengan bumbunya kami langsung pulang dan menuju sungai.
Ayah Mertua pun dibawa ke pinggir sungai, kami bahkan dirikan tenda darurat di situ. Dame dan Bang Parlindungan dapat tugas mencari kayu bakar. Bang Nyatan dan Istrinya dapat tugas meracik bumbu. Aku dan Kak Sofie membersihkan ikan. Ayah mertua tampak senang sekali. Dia menonton bersama cucu-cucunya.
"Entah kenapa keluarga ini, hampir semua lelaki, dari sekian banyak cucu ini cuma satu perempuan," Kata Ayah mertua.
"Dua, Mang Boru," Jawabku.
"Mana satu lagi?"
"Ini, Mang Boru?" kataku seraya memegang perut yang sudah buncit.
"Tidak boleh gitu, Maen, itu mendahului Tuhan namanya," kata Ayah mertua.
"Ayah, sekarang sudah canggih Ayah, belum lahir pun sudah tahu dokter jenis kelaminnya," Bang Parlin ikut menerangkan.
"Ah, masak?"
"Iya, Yah, USG namanya, tampak bayi itu di dalam," kata Bang Parlin lagi.
"Ohh, begitu ya, sudah jauh kita ketinggalan zaman," kata Ayah mertua seraya tersenyum.
Ikan mulai dibakar, Bang Parlin dan Bang Dame menjaga api, kami mempersiapkan rebusan daun ubi.
"Parlin, kalau anakmu lahir jangan kau kasih nama Nunung ya," kata Ayah Mertua.
Kulihat Bang Parlin, disebut justru tersenyum, kulihat Ayah mertua, seraya bertanya.
"Memangnya Bang Parlin mau kasih nama Nunung ke anaknya?" Tanyaku.
"Itu dulu, Maen, pernah dulu dia bilang gitu, waktu lahir anak si Nunung, mahu dia kasih namanya Nunung, kan lucu, Ibunya Nunung, anaknya Nunung, sudah, anakmu saja nanti kasih nama Nunung, gitu kata Amang Boru," Ayah mertua bercerita sambil tertawa.
Lhah, sepertinya Nunung akan terus mewarnai hidup kami, akan tetapi tentu saja Aku tak setuju.
"Tidak setuju Aku ya, Bang," kataku seraya menunjuk Bang Parlin yang lagi bakar ikan.
"Iya, Dek, iya," kata Bang Parlin.
Kami makan di bawah tenda darurat, makan pakai piring daun pisang. Semua satu piring Ayah mertua juga turun dari kursi rodanya. Bercanda dengan cucu-cucunya. Beliau tampak bahagia sekali.
Setelah selesai makan, tiba-tiba Ayah mertua memegang dadanya. Beliau tak bicara. Akan tetapi sepertinya kesakitan. Bang Parlin dan Bang Parta segera mengangkat Ayah mertua ke mobil yang terparkir di pinggir sungai. Acara yang seharusnya berlanjut mandi sungai tidak jadi. Kami semua pulang.
Bidan Desa yang mmemeriksa Ayah mertua angkat tangan. "Ini serangan jantung, maaf, aku tak mampu," Begitu kata bidan tersebut.
Kami larikan Ayah mertua ke rumah sakit di Ibukota kabupaten, jauhnya kira-kira dua puluh lima kilometer dari Desa.
Bang Parlin yang mengemudi, Aku dan Rina memegangi Ayah mertua. Sementara Bang Nyatan dan yang lain mengikuti dari belakang.
Tiba-tiba Aku merasakan tangan Ayah mertua sudah dingin, kutempelkan telingaku di dadanya, tak ada lagi denyut jantung.
"Innalillahi waina ilaihi rojiun," Kataku seraya menangis.
"Bang Parlin menghentikan mobil, dia dan Dame ikut memeriksa Ayah Mertua. Memang Ayah mertua sudah meninggal dunia. Mobil putar arah, kami pulang ke Desa.
Aku teringat perkataan Dame, "Entah ini permintaan terakhir Ayah" Ternyata benar. Beliau meninggal ketika seluruh anak dan cucunya berkumpul di rumah. Keinginannya untuk tak merepotkan anak tercapai.
Tradisi di Desa ini bila ada yang meninggal adalah memotong haiwan peliharaan, paling tidaknya kambing. Akan tetapi kami justru memotong kerbau. Kata Bang Parlin tradisi ini bermula dari dulu. Kerana di Desa tidak ada rumah makan, bagaimana tamu yang datang dari luar Desa? Pilihan haiwan ternak kerana di Desa ini, rata-rata semua punya haiwan ternak.
Ayah mertua berpulang ke rahmatullah, beliau meninggalkan empat anak dan enam cucu. Semuanya berkumpul di rumah. Innalillahi waina ilaihi rojiun. 😠[hsz]
To be Continued...
Untuk Anda yang belum baca siri cerbung yang sebelumnya,
Anda boleh baca disini ; Novel Collection
Ilustrasi Image; Doc, Romy Mantovani
#indonesia, #Novel, #NovelKomedi, #CeritaBersambung, #Cerbung, #SuamikuJadul,
VIDEO :
No comments
Post a Comment