MY HUSBAND IS PARLIN [Part 46]
MY HUSBAND IS PARLIN [Part 46]
- Part 46
- Ustaz bikin status heboh di facebook
" Biar Suami Jadul, Yang Penting Duit Ngumpul "
FORTUNA MEDIA - Kembali ke Medan, kota tempat Aku lahir dan dibesarkan, kota yang jadi pilihan tempat tinggal kami. Sampai di Medan, ternyata Suami kasih suprise, kejutan yang tak kusangka-sangka.
"Siapa ini, Bang?" Tanyaku pada Suami. Begitu melihat seorang wanita setengah tua menunggu di depan rumah kami.
"Ini bahasa halusnya temanmu di sini, bahasa keren ya Asisten rumah tangga," kata Bang Parlindungan.
"Bahasa kasarnya pembantu," Sambung wanita tersebut seraya menyalamiku.
"Kapan Abang cari ini?" Aku masih bingung.
"Itulah gunanya ini, Dek, dipergunakan dengan baik, bukan untuk menggosip," Kata Suami seraya menunjukkan handphone barunya.
"Kok ...?" 😨
"Begini, Dek, si Ucok kan lagi lasak-lasaknya, si Dede mahu datang, Adek pasti kerepotan, makanya Abang ajak Ibu ini," Kata Bang Parlin seraya membuka pintu dan mempersilahkan masuk.
Ibu tersebut masuk seraya membantu mengangkat barang kami. Aku masih tak habis fikir, Bang Parlin bayar ART tanpa minta persetujuannya.
"Namaku Ratna, Bu," Ibu itu memperkenalkan diri.
"Rumah Ibu di mana?" tanyaku kemudian.
"Di sana, Bu jauh di tembung sana," Jawab Ibu tersebut.
"Kapan, di mana bertemu Suamiku?" tanyaku lagi.
"Oh, sudah lama, Bu, tapi Bapak itu bilang ditunda dulu, kerana mahu pulang kampung, tadi bapak itu telepon, makanya aku datang," kata Bu Ratna.
"Ya, sudah," kataku kemudian.
Wanita itu mulai mengerjakan pekerjaannya, dia mulai menyapu, ngepel, Aku istirahat kerana memang capek sekali.
RELATED POST
Begitu Mudahnya Anda Lupa Tentang Jasa - Khidmat Dato' Sri Najib Razak
Strategy Oligarki Cukong: Mereka yang Menentukan Siapa Presiden Indonesia
Aku makin dimanja saja, sudah ada ART (Asisten RumahTangga) Bang Parlin kembali sibuk di bisnis barunya, dia tetap bekerjasama dengan Abangku. Kalau kerja Suamiku ini orang yang total, pantas saja dia sukses seperti sekarang. Dia kini sudah mulai berubah, handphone tak pernah lepas dari tangannya. Mulai sering keluar untuk urusan pekerjaan. Sering juga menerima tamu rekan bisnisnya.
"Abang sudah berubah sekarang," kataku di suatu malam.
"Abang masih yang dulu, Dek," Jawab Suami.
"Abang tidak sayang Adek lagi,"
"Lho, adek kok ngomong gitu?"
"Iyalah, Bang, tidak pernah lagi Abang ayun si Ucok, tak pernah lagi nyanyi ungut-ungut biar Adek tidur,"
"Tapi kan, Adek yang bilang, tambah usaha biar makin banyak orang terbantu,"
"Iya, sih, Bang, tapi Abang berubah, ini aja Adek gak bisa tidur," Kataku manja.
"Hmmm, sini Abang tidurkan," kata Bang Parlin.
Dia pun mulai bernyanyi, nyanyiannya masih seperti dulu. Bang Parlin memperlakukan Aku seperti bayi, pantatku ditepuk-tepuk sambil dia bernyanyi. Aku coba tidur. Sementara si Ucok kami bersama Bu Ratna.
Entah apa mahuku memang, kadang Aku merasa diri ini egois juga. Suami tak ada kegiatan, terus kudorong supaya cari kegiatan lain. Kini dia sibuk, Aku pula ingin dimanja. Rasanya ini terbalik, biasanya Istri yang keloni-(layan) Suami, yang terjadi padaku Suami yang keloni Aku.
Tengah malam Aku dibangunkan Suami, kukira dia mahu minta jatah, akan tetapi yang dia tunjukkan justru HP-nya.
"Lihat ini, Dek," Kata Suami seraya menunjukkan status satu akaun di Facebook. Captionnya gini.
(Seorang Ayah bisa mengurus empat anak, tapi empat anak tidak bisa mengurus seorang Ayah) Begitu isinya, ditulis akaun bernama Halak Kita.
"Memang kenapa, Bang, sering kok ada kata-kata begitu di Facebook," kataku pada suami.
"Tapi pas kali empat anak," Kata Suami lagi, ternyata bisa juga Suamiku ini tersinggung dengan status orang.
"Hanya kebetulan kali, Bang?" kataku menenangkan Suami, dia tampak marah.
"Bukan kebetulan, Dek, ini orang dari Desa kita," Kata Suami lagi seraya menunjuk foto profil.
Iya juga, ya, apa mungkin begitu tanggapan orang Desa terhadap keluarga Suami. Padahal Ayah mertua yang tak mahu diurus, beliau yang tidak mahu merepotkan anaknya. Akan tetapi pandangan orang mungkin lain, punya empat anak sukses, tapi yang urus orang tua justru orang lain.
"Sudah, Bang, biarkan saja, tidur, yuk," kataku menenangkan Suami. Aku pun lanjut tidur.
Pagi harinya selesai sholat Subuh, Aku masih malas-malasan di tempat tidur, memang Suamiku ini tahu kali keperluanku, tahu dia hamilku kali ini bawaannya malas, dia gaji ART. Dia sudah bertindak sebelum sempat Aku fikirkan.
"Dek, lihat ini, Dek?" kata Suami lagi. Dia bangunkan Aku di pagi itu.
"Apa itu, Bang?" tanyaku seraya melihat HP-nya.
Ternyata ada, status baru lagi isinya begini.
(Percuma kaya harta, tapi miskin iman, mereka sia-siakan jalan menuju syorga)
"Memang siapa dia, Bang, kok lemes kali mulutnya?"
"Dia ustaz di kampung kita, Dek,"
"Ustaz kok gitu?"
"Barangkali dia tak tahu situasinya, mungkin maksud dia baik, mau ceramah gitu,"
"Ah, masih saja Abang berprasangka baik?"
"Abang jadi gak tenang ini, Dek, mungkin di Desa kami sudah jadi bahan cemooh orang," Kata Suami lagi.
Biasanya Suamiku ini orang yang tidak peduli dengan omongan orang, bahkan bila dianggap orang miskin, dia akan bersikap orang miskin. Akan tetapi soal orang tua ini Bang Parlin tampak serius sekali.
Aku berinisitif menghubungi Fatimah, bertanya apa ada tanggapan orang seperti itu. Fatimah menerangkan, memang sering dia dengar orang bicara begitu, bahkan sering orang bertanya pada Ayah, kenapa tak tinggal bersama anaknya. Akan tetapi jawaban Ayah mertua selalu ingin sendiri tak menyusahkan anaknya.
Bang Parlin benar-benar tak tenang. "Dianggap miskin bisa Abang terima, tapi dianggap durhaka pada orang tua, Abang tak bisa terima," begitu kata Bang Parlin.
Baru kali ini kulihat Suami segalau ini, dia tak tenang mulai semalam. Sampai akhirnya kulihat dia menelepon Bang Nyatan. Mereka berbicara dalam bahasa Batak, Aku sudah mulai faham sedikit-sedikit bahasa ini intinya Bang Parlin mengadu ke Bang Nyatan tentang masalah tersebut.
Beberapa saat kemudian, handphone-ku bergetar, ada panggilan video dari Kak Sofie, istrinya Bang Parta. Ketika layar HP kugeser ternyata Bang Parta yang telepon. Ternyata masalah ini sudah sampai ke Kalimantan.
"Nia, mana si Parlin?" tanya Bang Parta.
"Itu, Bang, lagi galau," jawabku jujur.
"Iya, wajar galau kalau begini, itu yang posting itu Ustaz di Desa, berarti sudah banyak orang berfikir kami ini anak yang menelantarkan orang tua, kami tak bisa terima, besok aku terbang ke Medan," kata Bang Parta.
Keluarga Suami jadi heboh, hanya karena status Facebook dari seorang ustaz, luar biasa memang. Kadang Aku jadi berfikir bagaimana bisa orang asal posting status yang dia tak tahu bagaimana kebenarannya. Kerana status tersebut sekeluarga jadi heboh.
Mereka muafakat jarak jauh, empat orang bersaudara video call, Aku hanya pendengar yang baik. Sudah mulai faham apa yang mereka bicarakan, kerana sudah sering mendengar bahasa itu. Lama juga mereka bicara, pembicaraan mereka serius sekali.
"Bagaimana, Bang?" tanyaku begitu mereka selesai bicara.
"Besok Bang Parta datang, dia mahu jemput Ayah," kata Bang Parlin.
"Kalau Amang Boru tidak mau, bagaimana?"
"Kata Bang Parta dipaksa, dari pada kami malu," kata Bang Parlin.
"Mana mungkin dipaksa, Bang, cukup jelaskan ke orang Desa, Ayah yang mau tinggal sendiri," kataku kemudian. Aku sungguh tak setuju bila harus dipaksa.
Hanya kerana status Facebook? Akan tetapi kenapa bukan minta penjelasan ke yang memposting status? Kupinjam HP Suami, coba kirim inbox pada orang yang mereka sebut ustaz itu.
(Assalamu'alaikum) pesanku.
(Wa'alaikumsalam, Parlindungan, Alhamdulillah, pesanku sampai juga, mungkin hatimu sudah tergerak kerana baca statusku) balasannya sangat cepat.
(Apakah Anda sudah cross check ke yang bersangkutan?) Tanyaku kemudian.
(Cross check apanya, sudah jelas di depan mata, seorang lelaki tua yang sudah tak bisa berjalan malah tinggal sendiri di Desa, padahal anaknya empat orang, kaya-kaya lagi, apakah kalian fikir, wang kalian bisa membeli kebahagiaan orang tua kalian? Kalian kasih dia perawat cantik yang bukan mahramnya, sungguh tak terpuji tindakan kalian) Pesannya langsung panjang kali lebar.
(Hei, langsung men-judge gitu, apa sudah pernah kau tanyakan pada bapak itu kenapa tinggal sendiri?) geram juga aku sama orang ini.
(Sudah, kita masih ada hubungan keluarga, ingat itu, tentu saja sering kutanya, kasihan bapak itu, jawabannya klise, tak mahu menyusahkan anak, padahal itu cuma alasan untuk menjaga marwah anaknya, orang tua berbohong demi anak itu sudah biasa) Pesannya lagi.
(Heh, Ustaz apaan kau, sok tahu kau apa isi hati orang, kau tahu gara-gara status kau itu satu keluarga jadi heboh, tahu kau Bang Parta sama Bang Nyatan sampai mahu perkara untuk memperebutkan hak asuh bapak itu, mereka rebutan, orang rebutan harta warisan, mereka rebutan mengurus orang tua, tapi Bapak itu memilih tinggal sendiri,) Aku makin kesal akhirnya. Keluar juga jiwa bar-barku.
(Tapi semua orang tua ingin tinggal bersama anaknya) balasnya lagi.
(Apa kau, sok tahu yang orang inginkan, jangan samakan pandanganmu sama pandangan orang lain, sekarang kau hapus statusmu itu, buat klarifikasi, atau kita jumpa, minta maaf kau sama Bang Parta, Bang Nyatan, Bang Dame, juga Bang Parlin. Kalau tidak, awas kau) Meledak juga akhirnya amarahku.
(Ini siapa, bukannya ini, Parlin) Dia baru sadar ternyata.
(Heh, ini Istrinya, Aku sudah lihat sendiri dengan mata kepala, mereka rebutan hak asuh orang tua mereka, kau tahu apa)
(Oh, maaf kalau gitu, aku yang salah)
(Cepat telepon Bang Parta, Bang Nyatan, mereka semua!)
(Iya, baik,)
Malam harinya Bang Parlin tampak gembira, tak keliatan lagi galaunya.
"Ustaz itu sudah minta maaf, Dek, dia telepon kami satu persatu, Bang Parta batal datang," Katanya.
Aku ikut gembira, ternyata begini rasanya jadi pahlawan.😘 [hsz]
To be Continued...
Untuk Anda yang belum baca siri cerbung yang sebelumnya,
Anda boleh baca disini ; Novel Collection
Ilustrasi Image; Doc, Romy Mantovani
#indonesia, #Novel, #NovelKomedi, #CeritaBersambung, #Cerbung, #SuamikuJadul,
VIDEO :
No comments
Post a Comment