MYSTERY CINCIN BERLIAN BERDAR4H
MYSTERY CINCIN BERLIAN BERDAR4H
PART-3Setelah ku parking mobil dinasku di dalam garasi-garage yang cukup besar di rumah Santi. Aku melangkah masuk ke dalam halaman rumah yang luas.
Mataku sejuk melihat hamparan rumput hijau, dengan beberapa pot Adenium berwarna -warni di teras rumah. Disalah satu sudut kulihat Pohon Heliconia alias pisang-pisangan, tumbuh subur membatasi semak perdu pokok Mawar jingga, yang semarak berbunga.
Hampir di setiap sudut rumah semarak oleh kehadiran bunga anggrek berbagai jenis, seperti anggrek bulan, Vanda, Dendrobium dll. Bunga kesukaan Tante Lisa juga favourit ku. Tak jarang kami barter tanaman, aku sering membelikan Tante Lisa koleksi yang sering kudapatkan di Rumah anggrek di Daerah Bayeman, juga di Daerah perkampungan di dekat RST-Hospital Magelang.
Tante Lisa, Ibunda Santi adalah sosok perempuan Jawa yang bertangan dingin, apik. Sifatnya yang anggun dan keibuan menyejukkan hati keluarga, termasuk aku meski bukan putri beliau sendiri.
Ku pencet bel pintu rumah Santi, pintu terbuka. Sontak tubuh Santi meloncat menerkam tubuhku.
“Nekkk.. aku rindu”. Wajah Santi terlihat sangat gembira..Aku menyambut pelukan hangat Santi, dengan perasaan penuh kebahagiaan. Tak dapat ku pungkiri akupun merindukan sahabat karibku ini.
Beberapa saat kami saling berbagi kehangatan. Hingga kudengar suara...“Santi, ajak masuk dulu Niken. Ayo kita langsung ke ruang makan.”
Aku melepas pelukanku dari tubuh Santi. Segera aku beralih memeluk tante Lisa...“Selamat malam Tante, Niken juga rindu sama Tante.” Kucium pipi kiri dan kanan wajah Tante Lisa dengan penuh hangat.
Tante Lisa memeluk dan tak lupa membelai kepalaku...“Mana Om Hanung,Tante?”
“Ada di ruang keluarga. Yook, kita makan malam dulu. Sudah Tante buatkan ayam goreng Kalasan sambal kosek, kesukaan Niken.”
Aku masih dalam pelukan Tante Lisa sambil berjalan perlahan, menuju ruang keluarga.
“Tapi Ma.. Santi mau ngajak Niken makan keluar, ke bakmi Pele alun-alun utara Kraton. Sambil ngobrol-ngobrol dan menikmati keramaian disana.”
Aku menempelkan jari di bibir, “Stttt... tahukan kau Santi, saat ini tak ada masakan lain yang kurindukan, selain Ayam goreng Kalasan dan kremesan buatan Mamamu. Juga sambal koseknya, boleh ditambah dengan teh panas yang joss ya Tante?” Aku mengerling manja.
Kulihat Tante Lisa tersenyum, lantas memeluk Santi dengan salah satu lengannya. Kami berpelukan bertiga sambil melangkah perlahan.
READ MORE; MYSTERY CINCIN BERLIAN BERDAR4H
Makan malam kami lalui penuh canda dan tawa. Kulihat Om Hanung merasakan kebahagiaan yang penuh. Beliau sosok pensyarah yang biasanya tampil serius dan berwibawa di kampus. Bisa berubah menjadi seorang ayah yang 'welas asih' pada putrinya, seorang Suami yang bertanggung jawab. Sekaligus mampu berbagi peranan sebagai seorang Ayah yang baik bagi diriku sahabat karib Santi.
Kami berempat berbagi cerita dari yang ringan hingga masalah politik yang berat. Sesekali Om Hanung tukar fikiran denganku tentang masalah kesehatan, seperti kasus virus Novel Corona yang melanda dunia saat ini.
Malam mulai beranjak larut, Santi meminta izin pada Om Hanung dan Tante Lisa untuk naik menuju kamarnya di lantai atas.
“Pa, Ma, Santi pamit dulu ya, ada yang mau Santi bicarakan dengan Niken. Papa dan Mama pacaran dulu disini.” Santi tersenyum sambil mengecup sekilas pipi Papa dan Mamanya.
Akupun mohon diri, dan mengikuti Santi. Kamar yang ditempati Santi, berukuran cukup besar 5 x 8 m. Sebuah ranjang besar merk-brand Da Vinci, menempati posisi utama di ruang itu, dua buah nakas dengan brand yang sama, terletak di kiri dan kanan tempat tidur utama. Di ujung ruangan bersebelahan dengan almari pakaian yang besar, terdapat sebuah kamar mandi.
Kamar Santi menghadap kearah taman di depan rumah, sebuah balkon kecil jadi tempat untuk melihat keindahannya.
Aku langsung membaringkan tubuh di kasur yang sangat lembut, juga bed cover merk-brand Sheridan buatan Australia yang tentunya tak bisa ku bandingkan dengan tempat tidur dan bed cover di rumah dinasku di Desa Kaliangkrik, Magelang.
Santi yang baru saja keluar dari kamar mandi menatapku. “Kenapa kulihat wajahmu tersenyum-senyum?”
“Tidak apa-apa, aku membayangkan. Bila ya, aku bisa punya tempat tidur yang lembut dan nyaman, serta selimut empuk yang bisa membuatku lelap tertidur dalam damai?”
Aku kembali tersenyum menatap Santi, sahabat ku yang cantik dan anggun. Kulitnya berwarna sedikit kecoklatan. Sepintas dia mirip dengan artis Dian Sastro, dengan rambut yang lurus cukup panjang. Dalam berbagai kesempatan sebagai seorang desaigner Santi sering menyanggul cepol rambutnya atau mengucir kuda.
“Percuma kau punya kasur-tilam dan selimut yang lembut, kerana aku yakin, kau tidak akan pernah nyenyak tidur. Setiap malam tidurmu pasti terganggu oleh pasien-pasien dengan berbagai keluhan. Dan aku sering memergoki kau bahkan bisa tertidur hanya berbantal lengan, diatas meja kayu yang keras.”
Kami berdua tertawa bersama lagi...“Niken, aku mau bercerita serius. Bisa kita mulai.”
Aku menyusun bantal dibelakang punggung ku dan menatap wajah Santi, “Aku serius”.
Kulihat Santi mempermainkan jemarinya...“Aku gugup menghadapi rencana lamaran keluarga Mas Anto minggu depan. Mas Anto menganggap inilah saat yang tepat bagi kami untuk meresmikan hubungan kearah yang lebih serius. Setelah hubungan kami cukup lama, menginjak tahun ke-3. Bulan ini Mas Anto ditempatkan sebagai diplomat muda di KBRI Singapura. Dia berharap aku secepatnya bisa mendampingi tugasnya sebagai diplomat, dalam suka-duka selalu bersama.”
Santi menatap jauh kedepan. “Semula aku ragu Niken, aku masih berada di puncak karierku sebagai seorang desaigner. Jadwal peragaan busana, selama satu tahun ini sudah penuh. Kunjungan ke berbagai tempat dalam dan luar Negeri. Aku mencintai profesiku, tapi... “
Kudengar Santi menghembuskan nafasnya. “Aku mencintai Mas Anto. Dia lelaki yang gigih berjuang untuk mengambil hatiku sejak dulu. Meskipun kadang sifatku memang kekanak-kanakan dan cenderung egois. Sebagai senior di Fak. Fisipol dia berusaha membuktikan bahwa dia mampu mengikuti seleksi hingga akhirnya lulus menjadi ASN di Kementrian Luar Negeri, dan saat ini siap bertugas sebagai diplomat muda. Aku sendiri tak habis fikir, mengapa aku mesti ragu Niken? Apa lagi yang kutunggu?”
Segera aku duduk dari pembaringan. Kugenggam erat tangan Santi memberi kekuatan...“Santi, bagiku kau laksana saudara ku sendiri. Hidup ini adalah pilihan. Semua memiliki resiko baik dan buruk, plus - minus. Seandainya kau memilih profesi mu sebagai seorang desaigner, kariermu mungkin makin cemerlang. Tapi kesempatanmu untuk menjadi pendamping tunanganmu Anto, tidak akan datang dua kali".
"Namun ketika kau memilih Anto, maka kariermu sementara terhenti saat kau mendampinginya bertugas sebagai nyonya diplomat. Namun usai penugasan kalian selesai. Kau bisa melanjutkan profesimu kembali seperti saat ini. Bahkan mungkin siapa yang tahu justru kau bisa mengembangkan sayap 'House of Santi' di Singapura. Di Mall ternama Takashimaya, seperti halnya dulu salah seorang desaigner batik ternama Obin yang juga memiliki "Bin House“.
Kulihat binar di kedua mata Santi, dia nampak sejenak berfikir kemudian memelukku. “Terimakasih Niken, tidak sia-sia aku mencurahkan isi hatiku padamu. Aku memang galau, dan bimbang. Tapi kini aku sudah memantapkan hatiku untuk menerima lamaran dari Mas Anto dan keluarganya.”
“Jangan khuatir Santi, aku akan tetap memberimu support dalam suka dan duka. Sebagaimana halnya aku merasakan dukungan yang luar biasa dari sahabat sepertimu, ketika komodo itu menjadikan ku kadal. “...Aku mencoba melucu.
“Lupakan saja bajingan itu Niken, ayo bangkitlah, cari penggantinya. Apakah hatimu masih tertutup, kerana ulah Arif?”
Aku menggeleng. “Tidak, aku juga saat ini sedang menikmati dan mencintai profesiku sebagai seorang dokter. Dan kebetulan lagi memang tidak ada yang mahu melamarku.”
Santi terkekeh sambil mencubit pipiku. Dia nampak beranjak menuju almari pakaian. Membuka salah satu laci di bagian dalam, mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna merah.
Tak lama Santi kembali berjalan mendekatiku, “Niken, sudah lama kotak ini kusimpan. Atas permintaan Mas Anto, hingga aku siap untuk memakainya. Cincin yang kami beli berdua sesuai dengan desaign yang kami buat. Cincin yang akan kami pakai seumur hidup.“
Perlahan Santi membuka kotak beludru berwarna merah. Ketika kotak terbuka, kulihat 'sepasang cincin berlian berwarna putih', cincin dengan desaign yang berbeda. Untuk salah satu cincin itu, bermata berlian soliter dengan ukuran sedikit besar. Sedang kan cincin untuk calon mempelai lelaki, merupakan cincin bermata berlian kecil. Kedua cincin ini memiliki model yang dibuat semirip mungkin.
Entah apa yang terjadi, saat kutatap dengan seksama, sepasang cincin tunangan bermata berlian tersebut. Hatiku berdesir tajam, rasa ngilu seolah menusuk-nusuk jantungku. Tak sadar kutatap erat sepasang mata di depanku, seketika bulu-roma kudukku meremang.[hsz]To be Continued..
Courtesy and Adaptation Novel by Rini Indardini
Editor ; Romy Mantovani
Ilustrasi Image by media.tumblr.com
No comments
Post a Comment