MYSTERY CINCIN BERLIAN BERDAR4H

<img src="fazryan87.blogspot.com.jpg" alt="MYSTERY CINCIN BERLIAN BERDAR4H">

MYSTERY CINCIN BERLIAN BERDAR4H 

PART-2

Aku baru saja masuk rumah, usai menyelesaikan tugas di Puskesmas. Beg yang ku sandang kuletakkan di meja ruang tamu.

Tiba-tiba smartphoneku berbunyi. Sederet nama muncul di layar..
Aku tersenyum sambil berkata. “Hallo ... Sutil.” 

“Nenekkk... aku rindu dirimu. Kusuruh Pak Man sore ini menjemputmu ke Magelang. Aku mau cerita banyak.” Ku dengar suara sahabatku Santi yang kupanggil 'Sutil' atau alat penggorengan di dapur, dia memanggilku 'Nenek'. Kata-katanya memberondong bak suara mesin t3mbak4n. 


“Sabar dulu say, bicara pelan-pelan ada apa? Maksudmu apa? Mau apa?”


Santi tertawa dengan renyah lalu berkata, “Aku rindu dirimu, titik. Aku ingin kau menginap di rumahku, titik. Nanti kalau sudah di Yogya aku akan cerita banyak.” 


“Aku tidak mau datang kalau kau tak memberi bocoran berita apa yang terjadi.” 


“Aduh Bu' dokter cantik ini memang kejam, sulit sekali nampaknya aku menginginkan dia untuk menemaniku di Yogya. Selalu ada saja alasan, ada pasien lah, ada yang memanggil dsb. Berhentilah bertapa di kaki Gunung Sumbing nan sepi itu, di Yogya ini banyak pemandangan kinclong-kinclong untuk melepaskan masa jomblo mu.” (jomblo-single)


Aku tertawa lepas, bersamaan dengan suara Santi yang kudengar berteriak lagi...
“Niken, ada berita gembira. Kuharap dirimu menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat untukku. “ 

“Oh iya... selamat apa?” 


“Dengar baik-baik sayang, minggu depan keluarga Mas Anto tunanganku. Akan datang melamar. Kau harus datang dan menemaniku.” 


“Wow... Selamat ya Sutil, juga Mas Anto, selamat ya sayang. Sekali lagi,  aku turut bahagia. Muahh.. muah... muahhh. “ Aku bersemangat sekali, seolah Santi di depanku kupeluk erat tubuhnya sambil kukecup gemas pipinya. 


“Nah mau kan dirimu datang ke Yogya, kita bisa berakhir -minggu berdua, kemana kau suka. Aku janji nanti ku traktir kau selama di tempatku.” (traktir-
treat you/belanja makan)

“Iya aku tahu, pemilik House of Santi. Dengan mengeluarkan beberapa rancangan busana baru, berdatangan duitnya. Berbeda dengan aku cuma dokter puskesmas biasa.” 


“Kalau difikir-fikir betul juga ya, padahal kuliahmu di kedokteran memerlukan otak yang lebih pintar dari aku yang cuma lulusan Fisipol.” 


Kembali kudengar suara tawa sahabatku Santi.  


“Awas kau kalau dekat ku lempar sandal.” 


“Kusuruh pak Man menjemput sekarang” 


“Biar aku berangkat sendiri. Aku masih bisa memandu.” 


“Pakai mobil ambulans Puskesmas? Tapi nanti di Yogya pakai  mobilku ya?” Santi berteriak 


“Iya, kalau kau malu melihatku, aku batal datang.” ...
Kututup telephone dengan kesepakatan “Deal”. 

Aku menghela nafas panjang, tak kusadari Mak Yah tengah berdiri disampingku. Sambil membawakan segelas teh hangat dan sepiring getuk. (getuk=ubikayu tumbuk)


“Monggo ngeteh dulu Mbak Niken” ...
Aku tersenyum kubiarkan saja Mak Yah berganti-ganti memanggil gelarku, dok Niken, terkadang Nak Niken, namun aku lebih senang mendengar dia memanggilku, Mbak Niken. Serasa lembut dihati, Mak Yah seperti pengganti Ibuku di perantauan. (Monggo-Silahkan)

“Maturnuwun Mak, saya malam ini mau ke Yogya. Nginap di rumah Mbak Santi, Mak Yah dan PakLik Karto jaga rumah baik-baik ya.” 

(Maturnuwun-Terimakasih)

“Inggih Mbak Niken, tidak apa-apa. Mbak memang sesekali perlu liburan ke kota. Mbak masih muda, tidak baik rasanya tinggal di Dusun sunyi seperti ini selalu.”  


Sejak bertugas satu tahun lalu di Desa ini, Mak Yah sudah mengenal sahabat karibku Santi dan keluarganya. Santi pernah berlibur ke Dusun ini, naik ke Desa tertinggi di Gunung Sumbing ini, melihat gerbang pandang Desa Mangli, keindahan alam ciptaan Allah Yang Maha Esa. Menikmati udara dingin yang keluar dari lobang hidung, serupa angin yang berputar, disertai tubuh yang menggigil. 


Aku kembali tersenyum  mengambil barang-barangku yang sebagian masih berserakan diatas meja. Pada Mak Yah aku kemudian pamitan untuk berkemas, aku tidak ingin berangkat terlalu malam dari Desa Kaliangkrik.

   READ MORE; MYSTERY CINCIN BERLIAN BERDAR4H


Ku jalankan mobil ambulansku melewati Desa Bandongan, terus turun menuju jembatan, di dekat rumah mantan pejabat gubernur Jawa Tengah. Kemudian menuju kota Magelang, melewati kota cantik di Lembah Tidar ini, terus melaju melewati simpang Borobudur.


Fikiranku melayang, Santi sahabatku berlainan kampus, aku di Fakulty Kedokteran dan dia di Fakulty Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Dipertemukan secara tidak sengaja di warung SGPC. Ketika kami berdua asyik menikmati sepiring SGPC alias sego pecel (nasi pecal) yang nikmat dan bersama segelas jus Tomato. Saat itu kami sama-sama berada di tahun kedua. 


Obrolan yang membuat kami semakin akrab, melebar hingga ke hobby membaca juga hobby yang lain. Sejak saat itu, aku yang anak perantauan dari Jakarta jauh dari sanak dan keluarga. Seolah menemukan keluarga baru.


Santi putri semata wayang Pak Hanung juga Bu' Lisa, menganggap ku sebagai saudara perempuannya sendiri. Kedua orang tua, terutama Ibunda Santi, juga sangat menyayangiku. Bahkan dulu aku sempat disuruh tinggal di rumah keluarga Pak Hanung, untuk menemani Santi. 


Namun dengan halus aku menolak, aku tidak ingin mengganggu privacy kehidupan keluarga Santi. Dan kurasakan tempat kos-ku yang relatif dekat dengan kampus, sangat membantu aktiviti kuliahku terutama jam-jam praktikum yang padat.


Kedua keluarga kami juga saling kenal, Bapak, Ibu serta adik-adikku juga pernah mampir ke rumah keluarga Santi. Mereka juga menyambut gembira uluran tangan persahabatan yang diberikan keluarga kami. 


Pak Hanung, senang sekali berkenalan dengan kedua adik lelakiku. Bagus dan Dio, mungkin kerana selama ini beliau menginginkan memiliki seorang putra. 


Tahun berlari, kesibukan kuliah berlalu. Dan akhirnya keluarga kami bertemu di hari yang penuh kebahagiaan. Aku dan Santi bisa 'wisuda-graduation' bersama dalam satu momen. Rasa suka cita yang tak terlukiskan. Ketika kami berkumpul di dalam Auditorium yang sama sebagai sesama graduate. Santi di panggil dan naik ke panggung, dengan pakaian toganya. Dia dari Fakulty Sosial dan Ilmu Politik, dan aku dalam waktu yang berselang cukup lama, naik panggung sebagai Sarjana Kedokteran, dengan predikat Cum Laude. Sebuah prestasi yang membuat Santi justru terlihat lebih bahagia dan bangga dibandingkan aku. 


Pesta gabungan kedua keluarga kami malam itu, jadi kenangan tak terlupakan. Do’a penuh syukur yang kami panjatkan usai perjuangan panjang. Santi dan aku menempuh pendidikan penuh jalan berliku. 


Serangkaian pendidikan kutempuh hingga akhirnya aku resmi menjadi dokter. Sementara sahabatku Santi, bukan berkarier di dunia politik atau mendaftar sebagai PNS(Pegawai Negeri) di Kementrian Luar Negeri. Seperti Anton tunangnya yang sudah lebih dahulu menjadi diplomat muda. 


Alih-alih giat mencari pengalaman kerja, Santi lebih mengedepankan passionnya menjadi perancang busana batik. Budaya peninggalan nenek moyang yang adi-luhung. Karya-karyanya yang unik, simpel serta elegan, membuat rancangan karya Santi berbeda, sehingga diminati hingga ke mancanegara. Kerana begitu banyak peminatnya, Santi membuat sebuah rumah mode yang diberi nama “House of Santi”. 


Kesibukan ini membuat Santi mondar-mandir ke berbagai kota, terutama Jakarta, hingga mancanegara. Mata Santi yang jeli, cepat melihat peluang market, membuat design mode padu-padan antara berbagai motif batik dan aneka bahan kain lainnya. Setelah banyak karyanya kemudian ditiru para pengrajin lokal dikota tersebut. Santi men-design dan mengeluarkan karya-karya nya yang baru. 


Aku menjulukinya sebagai “mesin wang”, apapun yang dikerjakan nya seolah bisa dijadikan wang. 


Tapi si mesin wang Santi, selalu sayang padaku. Tak berubah sejak dulu hingga kini. Dia tetap menganggap ku sebagai penasehat pribadinya, meskipun dia desaigner ternama. Dan aku cuma dokter puskesmas biasa. Baginya aku sahabat nya yang paling pandai, sahabat tempat mengadu, berbagi masalah pribadi maupun masalah umum pun yang remeh temeh. Baginya aku anak sulung dari 3 saudara, pasti lebih pintar menyelesaikan masalah, daripada dia sianak semata wayang.


Tubuhku yang tinggi semampai sering dijadikan model design baju karyanya. Dan memang itu juga digratiskan untukku. Aku tak kuasa menolak, kukenakan baju-baju indah ini di moment tertentu saja. Aku tidak perlu membeli lagi, kerana uniform-ku setiap hari kerja adalah uniform baju berlapis baju putih dokter. Diluar itu aku sangat nyaman menggunakan t-shirt dan celana jeans.


Santi sering berkata, “Sayang kau sia-siakan Anugerah tubuh indahmu itu Niken. Apalagi sekarang kau jomblo sejak ditinggal Komodo Arif yang memilih selingkuh ketika LDR dibelakangmu. “ 


Saat itu aku bisa tersenyum membayangkan Santi menyebut Arif sebagai Komodo, makhluk pemakan bangkai yang selingkuh di belakangku. Meskipun Arif tidak mengaku, dan ingin kembali padaku, dengan alasan dia khilaf dan sangat mencintaiku. Aku bergeming-unmoved, dengan segudang bukti foto melalui WhatsApp yang dikirimkan salah satu kerabatku di Jakarta. Santi kulihat sangat berduka, dia merasa sedih atas kisah cinta yang kualami. Baginya Arif tak dapat dimaafkan lagi. 


Untukku sendiri, aku sedih, aku kehilangan. Tapi Arif bukan segala-galanya.Lelaki sarjana teknik yang bekerja di perusahaan multinasional di kota metropolitan itu, sejak dulu kukenal bukan sebagai lelaki yang kuat. Dia plin-plan, ambigu-ambiguous dan ketika posisinya secara karier dan ekonomi mulai merangkak. Dia tergoda pada Else salah satu sahabat sepupuku sekantor. Tak menunggu lama aku punya bukti perselingkuhan mereka. Dan mengakhiri segera hubungan kasih asmara ini.


Satu tahun aku menghabiskan waktu dengan pasien-pasienku. Dengan penduduk Desa di kaki Gunung Sumbing yang ramah. Udara dingin, pemandangan indah, melupakan aku, pada sosok Arif yang sudah beberapa kali mencari ku ke Yogya. 

 
   READ MORE; My Ghost Stories


Jalan berbelok ke arah Desa Turi, perkebunan buah salak. Dikiri-kanan jalan kulihat sepanjang jalan pohon salak berduri, banyak penjual salak menjajakan dagangannya. Terkadang aku sedih, mereka sering menjual salak dibawah harga produksi. Sejak aku tinggal di desa, aku sering melihat, mendengar cerita, para petani hidup dipermainkan tengkulak-peraih yang sering menjual hasil panennya dengan harga rendah.


Aku sadar kembali dari lamunan panjangku. Mobil ambulans ku terus melaju, hingga melewati Daerah Jalan. Kaliurang. Sore makin merangkak, di sebuah kompleks perumahan elit, di sudut jalan berhadapan dengan taman kecil. Mobilku berhenti di depan sebuah rumah mewah berlantai-tingkat dua. Rumah Pak Hanung, seorang Dosen-Lecturer terkenal, yang bertugas di salah satu University ternama di kota Yogyakarta.


Tak kusangka dikemudian hari, rumah ini menjadi rumah mistery...
[hsz]To be Continued..

Courtesy and Adaptation Novel by Rini Indardini
Editor ; Romy Mantovani
Ilustrasi Image by 
media.tumblr.com

No comments