MYSTERY CINCIN BERLIAN BERDAR4H [9]


<img src="fazryan87.blogspot.com.jpg" alt="MYSTERY CINCIN BERLIAN BERDAR4H[9]">

MYSTERY CINCIN BERLIAN BERDAR4H [9]

PART-9

Usai membersihkan diri, aku bersalin baju santai, atasan cardigan warna baby pink kukenakan, ku padu padankan dengan t-shirt dan stylan celana jeans.

Rias wajah minimalis kuusap tipis, lipstik warna senada dengan t-shirt yang kukenakan membuat tampilanku lebih segar. Terakhir ku semprotkan sedikit parfum Prada Candy, membuatku makin percaya diri.

Aku keluar menuju tempat mas Alex, “Bagaimana siap Mas?.”..Mas Alex menoleh dari handphone yang dipegangnya, tak ku pungkiri kulihat sinar kekaguman muncul di bola matanya.

“Wow luar biasa, Cantik sekali Niken.”..Aku tersipu, “Ah biasa saja Mas ... tapi Terimakasih.”

Kami berdua berjalan menuju mobil Honda Jazz milik Mas Alex. Dia membukakan pintu, aku segera masuk, kemudian pintu mobil ditutup kembali.

Tiga puluh menit perjalanan kami tempuh, hingga sampai di kota Magelang. Lampu-lampu terang tampak di seputar taman Mbadakan. Taman bermain anak-anak yang didalamnya terdapat patung badak, sehingga orang-orang Jawa  menyebutnya “Mbadakan”.

Disekitar taman ini banyak sekali gerobak penjual bakso kerikil, yaitu bakso ukuran kecil-kecil. Varian bakso khas Magelang yang diisi sekitar 20-25 butir bakso kecil, tahu goreng, semacam gorengan, juga sayur, disiram dengan kuah bening segar dan sambal serta acar timun. Salah satu bakso kerikil langgananku adalah bakso Pak Bendot. Konon banyak artis terkemuka jadi pelanggannya, termasuk Ayu Ting-ting penyanyi dangdut itu.

Sebetulnya aku suka sekali bakso kerikil, tapi aku sudah berjanji untuk mengajak Mas Alex ke Restoran AA. Mobil yang dikemudikan Mas Alex lewat di depan Muzium Sudirman, dekat rumah Gubernur Akmil (Akademi Militer), kemudian kami melewati pelengkung di depan kompleks Rindam, memutar hingga sampai di Restoran AA.

  READ MORE
MYSTERY CINCIN BERLIAN BERDAR4H [8]

Mas Alex dan aku masuk, memilih tempat dibagian depan, agak menyudut. Kusapa Koh Tio pemilik Restoran itu, dia tersenyum dan menggoda ku.

“Tumben Bu' dokter berdua?”

“Ini Pak Polisi Alex Kapolsek di Kaliangkrik.” Aku mengenalkan Mas Alex. Mereka berjabat tangan.

“Iya sekali-sekali berdua Koh, kalau berlima nanti kami terganggu.” Mas Alex menimpali.

“Monggo-Monggo.” Koh Tio mempersilahkan kami duduk, sambil tersenyum...Kami berdua duduk saling berhadapan.

“Silahkan pilih menunya Niken,”


“Mas sajalah yang pilih, saya sudah terbiasa. Ku jamin semua masakan disini enak.”

Kulihat mas Alex membaca daftar menu, tak lama dia memanggil pelayan. Dan segera memesan makanan.

“Mas jangan banyak-banyak, siapa yang mau menghabiskan? Nanti diet ku bubar lho.” Aku menggoda.

“Biar saja sekali-sekali batal dietnya.” Mata Mas Alex seolah menjelajahi tubuhku. “Mau minum apa Niken?”

“Teh panas.”

“Manis?”


“Aku sudah manis.” Kembali aku tersenyum

Mas Alex tergelak, sederet gigi putihnya terlihat saat dia tertawa lebar. Nampaknya dia mulai terbiasa dengan celetukan-celetukanku. Wajahnya yang tampan tampak berwibawa. Kulihat sedikit bulu-bulu halus tumbuh di wajahnya, menambah kejantanannya. Aku yakin Mas Alex belum sempat bercukur sore ini.

Tak lama hidanganpun tiba, semangkok sapo tahu sea food, mengeluarkan aroma yang membuat cacing-cacing di perutku seketika berontak. Ayam cabe garam, yang di goreng kering, mie goreng ayam, serta cah kailan jamur. Perpaduan menu yang pas, kami segera makan dengan perlahan, diisi dengan obrolan ringan.

Usai makan malam, Mas Alex mengajakku ke alun-alun kota Magelang. Malam makin bertambah dingin, kami duduk di selembar tikar yang dibentangkan pedagang di seputar alun-alun dan memesan dua mangkok 'wedang ronde panas'.

Minuman beraroma jahe, dengan bulatan-bulatan tepung ketan-pulut berisi kacang, diisi kacang tanah tumbuk. Serta taburan kacang tanah goreng, potongan kolang-kaling dan beberapa potong kecil agar-agar berwarna pink. 'Wedang ronde' ini berfungsi untuk menghangatkan tubuh. Mas Alex membuka topik obrolan yang berbeda. Nampaknya dia mencoba mencari saat yang tepat, agar tidak mengganggu selera makan kami tadi.

“Niken, aku mau menyampaikan info terbaru dari Polres Yogya. Setelah ditelusuri dan di cari info dari saksi-saksi di TKP. Ternyata para peromp4k itu bukan melarikan diri ke Jawa timur. Tapi justru mengarah ke tempat yang dekat kearah kita.”

“Maksud Mas, para penjahat sadis itu sekarang ada di Magelang?” Mas Alex mengangguk.

“Tepatnya di Kaliangkrik dan sekitarnya. Sehingga kes ini sekarang sudah menjadi tugasku.”

“Lantas, korban pembunuhan yang akhir-akhir ini berjatuhan itu siapa mereka? Apa penyebabnya Mas?”


“Itu yang aku juga belum tahu Niken, seharusnya para peromp4k itu sudah tenang dan bahagia menikmati hasil romp4kan dalam jumlah yang besar. Namun nyatanya justru sepertinya nyawa mereka melayang.”

Aku melamun membayangkan, Dusun Argopuro, Kecamatan Kaliangkrik. Sekarang berubah sangat sepi dan mencekam. Tak nampak lalu-lalang penduduk Desa. Usai menunaikan Sholat Maghrib, mereka lebih asyik didalam rumah, dengan aktiviti masing-masing. Pembunuhan demi pembunuhan sadis penuh misteri membuat masyarakat Desa tersebut makin ketakutan.

“Kudengar saat ini terjadi sebuah teror merajalela di Desa Mas.”

“Maksudmu?”


“Penduduk Desa selalu dibayang-bayangi sebuah tangan yang putus berdarah. Tangan mungil berhias cincin berlian yang penuh darah.” Aku menarik nafas panjang.

“Aku juga mendengar kisah itu, oleh kerananya. Kuminta anggotaku untuk patroli lingkungan bersama beberapa aparat Desa, untuk membesarkan hati penduduk dan mengenyahkan fikiran buruk di dalam hati mereka.”

“Mak Nyah kemarin malam bercerita padaku, seorang tetangga Dusun kami bernama Imah. Saat itu menjelang tengah malam dia keluar menuju kamar mandi yang terletak di sudut belakang rumah. Mata yang masih setengah tertutup ngantuk membuat Imah berjalan sedikit tertatih-tatih".

"Didepan pintu kamar mandi Imah melihat benda yang berkilauan, dia berusaha menajamkan pandangan matanya. Nampak tetesan seperti darah berjatuhan kelantai. Imah kemudian betul-betul terbangun dan melihat dengan sangat jelas, sepotong tangan berdarah perlahan-lahan merayap kearah nya. Jari tangan lentik yang dihiasi sebuah cincin yang juga berdarah".

"Jeritan Imah dimalam buta itu membuat penduduk kampung terbangun menuju ke rumah Imah. Namun sosok jari tangan berdarah itu sudah menghilang. Sejak saat itu hampir tiap saat terlihat jari bercincin berlian itu berpindah tempat, seolah mohon bantuan untuk melepaskan nya.”

Aku mengakhiri cerita panjangku...Mas Alex menatapkan pandangannya ke langit. Bulan pucat terlihat disana, diantara awan yang berarak sebagian.

“Memang cerita seperti itu juga kudengar dari anggotaku. Tapi aku harus membuat mereka percaya dan yakin. Bahwa kes yang kami hadapi saat ini adalah kes peromp4kan dan pembvnvhan biasa. Dan pasti semua ada penyebabnya.”

“Betul Mas, sebuah dilema, antara cerita, hoax dan fakta.”


“Tadi aku segera bergerak mencari data-data, hubungan antara peromp4kan dan jatuhnya para korban ini. Dan aku mulai menemukan titik terang.”


“Apa khabarnya Santi ya Mas?” Tiba-tiba nafasku sesak, mataku panas dan berat. Aku merasakan rindu yang amat sangat menekan hatiku. Perlahan-lahan setetes air bening meluncur deras di pipiku.

Kulihat mas Alex mengeluarkan tissue dan mengulurkan nya..“Tenanglah Niken, kita berharap pada Allah Ta'ala. Semua yang terbaik untuk Santi.”

Angin bertiup makin dingin, malam kian merangkak, semangkok wedang ronde hangat sudah kami habiskan. Perlahan kami beranjak berjalan menyusuri alun-alun, kearah mobil yang di parkir di depan Masjid Agung Magelang.

Aku dan Mas Alex pun bersiap pulang, kami sibuk dengan fikiran masing-masing. Mas Alex mengemudikan mobil dengan tenang, tiba di sebuah tikungan diatas Pasar Kaliangkrik. Tiba-tiba mobil yang kami naiki mati mendadak.

Kabut mulai turun, jalanan di Desa itu sepi sekali. Rembulan pucat dilangit makin redup, suara haiwan -haiwan malam terdengar bersahut-sahutan. Ditambah cerita horor yang sudah menteror lengkap sudah suasana mistik makin mencekam.

Mas Alex berusaha men-start ulang, dicoba berkali-kali tapi gagal.

“Apakah mungkin petrol nya sudah habis Mas?” Tanyaku

“Seingat ku aku tidak pernah cuai mengisi petrol, Niken.”

Mas Alex segera turun, kemudian membuka kap mobil. Aku juga turun, mendampingi sambil membantu menyinarkan mesin mobil. Nampaknya semua dalam kondisi baik, kembali Mas Alex menutup kap mobil.

Tiba- tiba angin bertiup sangat kencang, keras sekali. Rambut sebahuku terbang tertiup angin. Aku merasa menggigil, tubuhku tak hanya merasakan hawa dingin tapi ada sesuatu yang lebih aneh dan menusuk.

Sebuah benda loncat dari atas, jatuh keatas kaca mobil. Aku terkesiap kaget berlari menuju mas Alex yang kemudian menangkap tubuhku dalam pelukannya.

Tangan itu lengket di kaca mobil, aku merasakan ngeri luar biasa. Darah menetes berjatuhan, satu persatu. Tangan itu bergerak hidup, turun mendekat kearah kami.

Kulihat jemari mungil itu memakai cincin, sebuah cincin dengan desaign khusus yang tak mungkin kulupakan seumur hidupku. Itu cincin berlian milik Santi sahabat karibku.💐[hsz] 
To be Continued...
Courtesy and Adaptation Novel by Rini Indardini
Editor ; Romy Mantovani
Ilustrasi Image by 
media.tumblr.com 

No comments