MYSTERY CINCIN BERLIAN BERDAR4H [10]


<img src="fazryan87.blogspot.com.jpg" alt="MYSTERY CINCIN BERLIAN BERDAR4H[10]">

MYSTERY CINCIN BERLIAN BERDAR4H [10]

PART-10

Aku merasa shock melihat fakta cincin berlian di jari manis tangan yang terpotong itu. Tangan berlumuran darah yang perlahan-lahan mendekat kearah kami berdua. Tampak seperti haiwan melata, perlahan tapi pasti. Akhirnya tangan itu berhenti kemudian jari manis itu terus bergerak-gerak, jempol ibu jari tangan seolah berusaha membuka dan melepaskan cincin itu sekuat tenaga. 

Rasa takut begitu mencekam ku, tubuhku menggigil kencang. Kurasakan Mas Alex memeluk erat tubuhku, berusaha mengurangi rasa takut, serta memberi kehangatan...Kulihat tak ada niat jahat tangan siluman itu, dia seolah menyampaikan pesan perlukan pertolongan. Berbeda halnya dengan mayat-mayat yang ditemukan dalam kondisi hancur tercabik-cabik. Terlihat ada dendam yang tersalurkan oleh tangan berdarah ini.

Perlahan namun pasti kulihat tangan itu seolah tertutup kabut, memudar, kemudian hilang dari pandangan mataku. 

“Santi... apa yang terjadi padamu?” Aku berteriak lirih...Kakiku melemah tak kuat menopang tubuhku, kurasakan pandangan mataku berkurang-kunang. Sebelum akhirnya gelap, dan aku tak merasakan apa-apa lagi. 

Aku tersadar di ruangan yang sangat familiar, kupandang langit-langit kamarku. Tempat tidurku, disebelahku ada Mas Alex yang nampak menggosok pelipis dan tanganku dengan minyak kayu putih. Tatapannya begitu teduh. Diujung kakiku ada Mak Yah yang memijit kakiku perlahan. 

Aku yakin meskipun tubuhku tidak gendut tapi aku cukup tinggi, jauh lebih tinggi dari Santi. Membayangkan Mas Alex cukup susah menggendong ku, sekaligus memeluk tubuhku yang tak sadar diri. Aku tiba-tiba tersipu malu, pipiku merona. 

Aku berusaha bangkit dari tempat tidur...Mas Alex menahan, dia berkata. “Bagaimana sudah cukup baik?” 

Aku mengangguk...“Tidurlah Niken, hari sudah larut malam. Biarlah Mak Yah menemanimu disini. Aku pamit dulu, besok pagi aku kesini lagi. “

Aku mengangguk perlahan, aku mengerti perasaan Mas Alex, pastinya dia sungkan berada di rumah seorang dokter dengan status masih bujang, apa kata warga Desa sini nantinya.

“Mak Yah tolong buatkan teh hangat untuk dokter Niken ya.” 

“Nggih pak Polisi.” Mak Yah menjawab.

Mas Alex bangkit kemudian membelai kepalaku lembut penuh kasih. “Aku permisi Niken.” 

“Terimakasih Mas atas bantuannya.” ...Mas Alex tersenyum, membalikkan badan kemudian berjalan keluar kamar. Punggungnya yang tegap perlahan lahan menghilang dari pandanganku. 

  READ MORE
MYSTERY CINCIN BERLIAN BERDAR4H [9]

Aku tengah membaca suratkhabar pagi “Kedaulatan Rakyat”, ketika kudengar suara ucapan salam seorang lelaki. 

“Asalamu'alaikum.” 

“Oohh, monggo Pak Alex, Silahkan masuk.” 

Mak Yah kulihat mempersilahkan Mas Alex masuk kedalam rumah. Aku beranjak menghampiri, kulihat Mas Alex memakai seragam Polisi, dia nampak makin gagah dan berwibawa. 

“Selamat pagi Mas.”

“Bagaimana keadaanmu Niken? Sudah lebih baik?” Kulihat mata teduh sosok didepanku.

Mas Alex mengulurkan buah tangan yang dibawanya. Varian getuk moden Magelang yang diberi nama Getuk Bollen, mirip dengan pisang molen Kartika Sari. 

“Alhamdullilah baik, saya hari ini tidak masuk kantor dulu. Tubuhku belum fit rasanya. Terimakasih untuk oleh-olehnya.” Aku tersenyum sambil menerima pemberiannya.

“Silahkan duduk Mas. “

“Terimakasih Niken, iya sebaiknya memang Niken istirahat dulu. Aku hanya mampir sebentar kesini, aku harus segera ke kantor. 
Ada perkembangan baru kes yang ku tangani, nanti setelah pasti akan ku khabari.” 


“Oh baiklah, semoga ada berita gembira.”


Mas Alex tersenyum, kemudian mengusap perlahan ujung rambutku, sentuhan yang mengingatkan kasih sayang Bapakku. 

****
Hari ini memang rasanya tulang belulangku remuk, tubuhku letih sekali. Setelah  kurasakan emosi ketakutan yang luar biasa mencekam. Aku izin tak berangkat ke kantor, ku pasrahkan sebagian tugasku pada orang-orang yang dapat ku percaya. 

Kupanggil Mbak Warti tukang pijat langgananku. Dia berprofesi sebagai tukang pijat sekaligus pembuat aneka Peyek. Aku segera memesan Peyek kacang tanah dan teri, yang sebagian akan kukirim pada Mas Alex. 

Mbak Warti datang memenuhi panggilanku, dia paling senang bercerita sambil memijat lembut sekujur tubuhku. Mula-mula Mbak Warti memijat bagian belakang punggungku, dengan menggunakan lulur, tangannya yang bergerak lincah namun lembut, membuat mataku terpejam. 

Aku merasa kaget ketika Mbak Warti bercerita kembali menyebutkan bahwa baru saja terjadi penemuan mayat seorang lelaki di dalam jurang yang mulai membusuk. Kondisi mayat ini juga penuh cakaran. Tadi Mbak Warti sempat melihat rombongan Polisi beriringan menuju TKP, demikian pula rasa ingin tahu masyarakat membuat mereka berkerumun di sekitarnya. 

Aku sesaat terdiam, biasanya aku sering dilibatkan untuk membantu pemeriksaan jenazah. Namun nampaknya kali ini Mas Alex faham bahwa kondisi kesehatanku kurang baik. Sehingga dia tidak memberi khabar padaku. Kuhitung lagi jumlah korban yang telah jatuh satu persatu akibat pembunuhan. Awing tukang kebun, korban pembunuhan di kebun tebu, Ucup, Maksun, Mr. X dan tinggal satu yang masih hidup. 

Siapakah dia? mengapa dia dijadikan korban terakhir? 

***
Aku baru saja bersalin baju yang nyaman, usai dipijat oleh Mbak Warti. Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu rumah. Mula-mula perlahan hingga akhirnya makin keras. Mak Yah tergopoh-gopoh membuka pintu rumah, kerana biasanya ada saja pasien yang perlukan pertolongan. Termasuk pasien yang melahirkan. Namun kali ini tebakannya meleset. Mak Yah menampakkan kekagetannya, ketika sosok lelaki menerobos ke dalam rumah. 

Wajahnya yang belum sembuh dari luka, penuh sorot ketakutan. “Mana dr. Niken.” 

Dia menghambur ke dalam rumah. Mak Yah lari tergopoh-gopoh, mengetuk pintu kamarku, “Dok... dokter.” 

Suara ribut-ribut di ruang tamu, membuat aku segera keluar dari kamar. Aku lupa saat itu tengah mengenakan mukena-telekung, usai melaksanakan Sholat Isya'. 

“Ada apa Mak Yah?”..
Pertanyaan yang menggantung di ujung lidah.

“Eh, kok ada pak Karman.”...Aku ingat wajah lelaki ini pernah kulihat di Puskesmas. Saat itu dia sebagai pasien terakhir yang justru batal berkonsultasi padaku. Dia sempat memperkenalkan diri sebagai Pak Karman dari Dusun Argopuro, wajahnya pucat dengan ekspresi wajah penuh ketakutan. Namun akhirnya dia malah pergi tanpa pamit. Menyisakan tanya dibenakku 

Saat ini aku berhadapan lagi dengannya. Lelaki paruh baya itu menatapku memohon belas kasihan. Lantas dia berkata dengan suara bergetar ketakutan. “dr. Niken tolonglah saya dok. Saya tahu saya bersalah". 

"Pembunuhan akhir -akhir ini sudah direncanakan. Satu persatu korban jatuh dengan kondisi mengerikan. Tolong saya dok, hanya kepada dokter saya bisa mempercayakan cerita ini.“ 

“Sabar Pak Karman, silahkan duduk. Coba ceritakan dengan jelas apa yang terjadi?” 

Pak Karman kemudian perlahan-lahan duduk di depanku. Sambil meremas -remas kedua tangannya. 

“Dokter, pembunuhan Ucup, Maksun dll. Itu sudah direncanakan target terakhir itu saya sendiri.” Pak Karman menarik nafas panjang.

“Saya...” kalimatnya terhenti...Sesosok bayangan bergerak perlahan, dari balik gorden jendela yang tertutup. 

Pak Karman, Mak Yah, PakLik Karto, dan aku sendiri mengamati pergerakan bayangan itu. Mula-mula nampak sedikit demi sedikit,  kami semua menatap penuh kengerian. 

Sepotong tangan yang terputus hingga pergelangan tangan. Tampak bergerak mendekati Pak Karman, dia seakan ingin menunjukkan teror batin pada Pak Karman. Dan itu nyata berhasil. 

Tangan itu bergeser kembali seperti ular yang melata. Darah segar bertaburan di setiap tempat yang dilewatinya. Sebuah cincin bermata berlian soliter bertengger dengan manis di jari lentik berkulit mulus itu. 

Pak Karman menjerit panjang, ketika tangan itu meloncat dan mencekik lehernya dengan erat. “Ampun, maafkan aku, aku bersalah.” 

Cekikan itu mengendur, pak Karman kembali bernafas lega. Dia tak sanggup membuka kedua belah matanya. “Aku akan bercerita sejelas-jelasnya pada Bu' dr. Niken. Aku tahu pembunuhan ini berkaitan dengan sahabatmu dokter .” 

Aku terkejut mendengar pernyataan Pak Karman yang menyebut kes ini berkaitan dengan sahabatku. Dia sangat ketakutan dengan tangan berdarah ini. 

Siapakah pemilik tangan ini? Santi atau ada perempuan lain? 💐[hsz] 
To be Continued...
Courtesy and Adaptation Novel by Rini Indardini
Editor ; Romy Mantovani
Ilustrasi Image by 
media.tumblr.com 

No comments