My Ghost Stories [12]
My Ghost Stories [12]
[Chapter 02-Part 12]
Begitu Aku bangun tidur pagi ini, kesadaran langsung menguasai benakku. Padahal biasanya kabut dari alam mimpi masih menyelubungi membuatku enggan untuk beranjak dari ranjang. Tapi semalam tidurku tidak nyenyak, membuatku seolah sama sekali tidak tidur. Hanya sekedar memejamkan mata.
Dengan lesu Aku merubah posisi tidur menjadi duduk lalu menurunkan kedua kakiku ke lantai.
Aku terdiam. Benakku berputar cepat memikirkan perjuanganku mendapat izin Ibu-bapa agar bisa pergi jauh dari mereka. Lalu beralih pada perburuan apartment hingga pilihanku jatuh pada apartment ini. Bagai video yang diputar ulang, benakku menampilkan ingatan-ingatan pertemuan pertamaku dengan si hantu.
Tiba-tiba Aku tersentak oleh sebuah idea untuk menuangkan semua itu dalam bentuk tulisan. Buru-buru kuambil buku dan pulpen di atas meja nakas yang kemarin kugunakan untuk menggambar si hantu.
Dengan semangat baru, Aku telungkup di atas ranjang. Pulpen sudah siap di tangan sementara buku tergeletak dalam posisi terbuka di depanku. Sejenak aku merenung dengan kening berkerut, memikirkan bagaimana memulai semua cerita ini.
Ah, tentu saja. Dimulai sejak aku menginjakkan kaki di apartment ini.
Tapi—bagaimana Aku akan menceritakan bagian itu? Mengetukkan pulpen sejenak di atas buku, Aku kembali mengerutkan kening dan memaksa otakku memilah-milah tiap bagian cerita. Memutuskan bagian mana yang akan masuk bab pertama dan seterusnya.
Tak perlu waktu lama bagiku memutuskan. Cerita kerana pengalaman pribadi tentu lebih mudah dituangkan dalam tulisan daripada cerita yang perlu daya khayal penulis.
Kumulai membuat kerangka bab pertama. Kutulis poin-poin penting yang akan menjadi bagian dalam bab pertama. Kalimat-kalimat pendek yang nanti akan kurangkai menjadi jalinan kata yang akan memikat pembaca.
Selesai kerangka bab pertama, Aku beralih ke bab kedua lalu bab-bab selanjutnya. Hingga tak terasa Aku sudah sampai di bagian saat bertemu dengan kembaran si hantu di lobby. Di situ Aku berhenti. Kembali mengerutkan kening memikirkan bagaimana membuat alur selanjutnya.
"Bagaimana kau akan membuat akhir dari cerita itu?"
Aku tersentak lalu menoleh ke samping. Entah kerana Aku terlalu tenggelam dalam fikiran atau dia memang muncul tanpa suara. Dia sudah duduk bersila di sampingku di atas ranjang, dengan pandangan mengarah pada buku di depanku lalu beralih membalas tatapanku.
"Kau belum menjawab pertanyaanku," tegurnya mengingatkan.
"Oh," ..Aku tersadar. Sepertinya Aku memang masih tenggelam dalam alunan kisah yang sedang kurangkai. "Entahlah," akhirnya kujawab pertanyaannya.
"Entah?"..Menghela nafas, Aku mengubah posisi menjadi duduk di sampingnya. "Ya, aku tidak tau." Aku mengangkat bahu. "Untuk pertama kalinya Aku tidak tahu bagaimana membuat akhir dari ceritaku. Padahal biasanya tiap Aku menemukan sebuah idea dan memutuskan menulisnya menjadi cerita, Aku selalu tahu bagaimana cerita itu dimulai, klimaksnya, hingga endingnya. Meski seringkali Aku memutuskan menulis tanpa kerangka cerita, Aku selalu tahu tiga hal itu." Aku tersenyum kecil, seolah mengejek diri sendiri. "Tapi sekarang, jangankan endingnya, klimaks dari cerita ini saja Aku tidak tahu. Bahkan Aku takut memikirkannya kerana klimaks cerita menjadi penentu bagaimana akhir cerita itu nanti. Berakhir bahagia... atau berakhir sedih."
Tangan si hantu terulur lalu menangkup sebelah pipiku. "Akhir bahagia tidak harus selalu bersama selamanya."
Aku menggeleng. "Katakan Aku memang penggila cerita dongeng anak-anak. Tapi bagiku akhir bahagia memang seperti itu. Bersama selamanya." Mataku berkaca-kaca akibat rasa sesak di dada.
"Sofia, novel hanya sebagian kecil kisah dari keseluruhan hidup tokohnya. Mungkin dalam kisah kita, kau tidak mendapat akhir bahagiamu. Tapi bisa saja dalam kisah lain, kau bisa mendapatkannya."
"Ini novelku! Ini kisah hidupku! Kenapa kau ingin ikut campur?!" Aku memalingkan wajah sambil menggigit bibir kuat-kuat untuk menahan air mataku.
Tiba-tiba kurasakan lengan hangatnya menarikku ke dalam pelukan. Menyandarkan kepalaku di dadanya. "Sepertinya Aku selalu membuatmu menangis," katanya dengan nada sedih.
"Kalau tahu kenapa masih melakukannya?" suaraku serak. Kupejamkan mata seraya menghela nafas untuk meredakan sesak di dada.
"Maafkan Aku. Aku hanya tidak ingin kau semakin terluka nantinya."
"Kalau begitu biarkan semuanya mengalir. Pasti Tuhan punya rencana mengapa mempertemukan kita. Kenapa harus menentang rencananya?"
Kadang takdir Tuhan adalah ujian, Sofia, akal sehatku mengingatkan. Seperti seseorang yang dihadapkan pada maksiat. Hanya orang dengan hati lemah yang akan mengatakan bahwa memang rencana Tuhan memberinya takdir seperti itu agar dia menjalaninya. Padahal sebenarnya Tuhan tengah menguji, Sanggupkah dia berbalik pergi atau malah menjerumuskan diri?
Dia pasti mendengar apa yang kufikirkan. Pertentangan batin yang bergejolak dalam kepalaku. Tentang benar atau salahkah pilihanku saat ini untuk tetap bertahan memilihnya. Tapi dia tak mengatakan apapun. Memilih bungkam dan malah menanamkan kecupan lembut di pelipisku.
"Kau belum sarapan," gumamnya beberapa saat kemudian.
"Aku ingin roti bakar isi keju dan susu."
"Hmm, sepertinya itu kode agar Aku membuatkan sarapanmu lagi."
Aku tersenyum kecil, melupakan kesedihan tadi, lalu mendongak menatapnya dengan kepalaku masih menempel di dadanya. "Kufikir kau suka memasak untukku."
"Tidak, Aku hanya kasihan. Kerana sepertinya kemampuan memasakmu sangat buruk."
"Walau Aku bukan koki handal, Aku masih bisa membuat masakan sederhana yang cukup enak dan mengenyangkan."
"Kalau begitu sana siapkan sendiri sarapanmu."
Mendengar perintahnya, seketika aku pura-pura lemas dalam rangkulannya. "Tapi Aku lelah sekali. Sepertinya terpaksa Aku harus melewatkan sarapan."
Dia berdecak. "Kau tahu betul Aku tidak mungkin membiarkanmu kelaparan." Sebuah kecupan kembali mendarat di pelipisku sebelum dia membantuku duduk tegak. "Lanjutkan kegiatanmu. Aku akan ke dapur."
Aku menyeringai senang. "Jangan lupa keju dan susunya yang banyak."
"Manja," gerutunya... Aku tergelak seraya membaringkan diri di ranjang dalam posisi telentang,
Aku menjilat ujung-ujung jariku dengan puas begitu dua tangkup roti isi keju dan susu habis. Kulihat dia tampak tersenyum geli di seberang meja memperhatikan gaya makanku yang seperti orang kelaparan.
"Kurang?"...
Aku menggeleng menjawab pertanyaannya lalu beralih pada cappucino instan yang kuseduh sendiri. Hmm, ini benar-benar perpaduan yang nikmat untuk sarapan.
Usai menghabiskan minumanku, Aku segera berdiri seraya membawa peralatan bekas makan ke bak cuci dan langsung membersihkannya. Tidak perlu waktu lama hingga Aku selesai mengeringkan gelas dan piring lalu meletakkannya di rak.
"Kau mahu melanjutkan menulis?" dia bertanya begitu Aku berbalik. Kini dia berdiri dengan pinggul bersandar di meja makan, seolah memang menungguku selesai.
"Kurasa iya."
"Oh."
"Kenapa? Tidak biasanya kau bertanya."..Seketika wajahnya memerah yang membuatku refleks menatapnya dengan sorot penasaran. "Tidak apa-apa. Sekedar bertanya."
Buru-buru kucekal lengannya, menghalanginya berbalik pergi. "Aku tidak akan melepaskanmu sebelum kau memberikan jawaban alasan pertanyaan tadi."
"Sudah kubilang hanya sekedar bertanya."
Aku mengerucutkan bibir seraya merangkul lengannya lebih erat...Selama beberapa saat kami hanya saling bertatapan. Dia berusaha menarik lengannya namun semakin kurangkul kuat. Hingga akhirnya dia menghela nafas tampak menyerah.
"Apa?" desakku kerana dia hanya diam.
"Hmm, tadinya Aku hanya ingin mengajakmu menonton bersama. Tapi kalau kau ingin menulis, lanjutkan saja."
Aku menahan senyum geli melihatnya yang tidak berani membalas tatapanku saat mengatakan itu. Bahkan tampak jelas dia tengah gugup.
"Apa kau sedang mengajakku berkencan?" godaku nakal.
"Tidak," buru-buru dia menyangkal. "Kita beberapa kali menonton tv bersama, kan? Kenapa yang sekarang disebut kencan?"
"Kerana kita sudah resmi jadi sepasang kekasih?"..Seketika matanya melebar mendengar pertanyaanku. Dia tampak kaget, bingung, dan gugup dengan wajah memerah yang membuatnya terlihat sangat menggemaskan.
"Memangnya kita sepasang kekasih sekarang?" tanyanya sambil menggosok belakang leher. Dia masih berusaha menghindari tatapanku yang sedang merangkul lengannya.
"Menurutku iya. Menurutmu?"
"Mana bisa begitu? Aku tidak pernah memintamu menjadi kekasihku ataupun sebaliknya."
"Maukah kau jadi kekasihku?"..Refleks dia menoleh menatapku dengan mata melotot. "Tidak lucu," kesalnya.
Aku mengerucutkan bibir. "Kau menolakku?"
"Eh?"... Aku melepaskan lengannya dengan kasar lalu mundur seraya memastikan seluruh fikiranku juga menampilkan perasaan marah padahal sebenarnya Aku hanya pura-pura. "Pergi sana! Aku tidak mau bicara denganmu lagi!"
"Tung—tunggu! Kenapa kau jadi marah?" tanyanya bingung sambil membuntutiku.
"Kau menolakku!" sentakku seraya terus berjalan menuju kamar. Begitu masuk, Aku menutup daun pintu dengan keras di depan wajahnya.
"Arghhh!"...
Aku terpaku mendengar erang kesakitan itu lalu buru-buru membuka pintu kembali. Tampak dia berdiri di depan pintu sambil memegang kening dan hidungnya.
"Oh..." Aku menutup mulut dengan kedua tangan lalu menoleh menatap daun pintu sebelum kembali menatapnya. "Aku baru tahu hantu bisa kesakitan juga. Lagipula kenapa tidak menghilang menembus pintu seperti biasanya?" Aku nyengir.
Dia melotot. "Mana kutahu kau akan menutup pintu?"
Sebelum aku membalas ucapannya, telepon kabel di meja dekat TV berbunyi. Kami saling pandang. Keningku berkerut mencoba mengingat siapa yang pernah kuhubungi dengan telepon itu. Tapi sepertinya Aku bahkan tidak pernah menyentuhnya.
"Mungkin manajer?" duga si hantu.
Benar juga... Aku hanya mengangguk sebagai tanggapan lalu bergegas menuju telepon. "Halo."
"Nona Sofia, ini saya Andi, manajer gedung."
"Oh, Pak Andi."
"Maaf saya tidak bisa menemui Anda langsung atau menyuruh seseorang ke situ. Saya sedang terburu-buru untuk menghadiri meeting di luar."
"Tidak apa-apa. Kalau Anda masih sibuk—"
"Bukan begitu. Saya sudah menyampaikan perkataan Anda pada pemilik gedung kemarin. Dan baru saja beliau mengirim pesan bahwa beliau ingin bertemu langsung dengan Anda. Saat ini beliau sudah menunggu di penthousenya."
"Oh, benarkah?" Aku ternganga. "Jadi saya harus ke penthousenya?"
"Iya."... Masih dengan ekspresi tak percaya, Aku menoleh menatap si hantu yang kini tengah duduk menunggu di sofa kesayangannya. Raut tak percayaku berubah menjadi ekspresi girang layaknya bocah yang diajak ke taman bermain untuk pertama kalinya.
Oh, Astaghfirullah! Walau hanya sebentar, Aku akan memiliki kesempatan menginjakkan kaki di sebuah penthouse. Otak pengkhayalku langsung meronta penuh semangat, berharap segera mendapat asupan imajinasi.
Kuabaikan decakan malas si hantu saat mendengar apa yang kufikirkan dan berbasa-basi sejenak sebelum memutus sambungan telepon.
READ MORE; Melayari Bahtera Cinta Prahara, Dibayangi Dendam Mistik
Sejak keluar dari lift disambut seorang lelaki awal tiga puluhan bersetelan jas hitam rapi yang mengaku sebagai asisten pribadi Pak Arvin Radhika, pemilik gedung, Aku tak bisa menyembunyikan sorot penuh kekaguman dalam mataku saat menatap sekeliling ruangan.
Keseluruhan dinding di salah satu sisi terbuat dari kaca tebal yang membuat pemandangan kota dan pegunungan di kejauhan terlihat jelas. Tampak sangat menakjubkan hingga membuatku lupa mengatupkan bibir.
Bagian dalamnya tak kalah menakjubkan. Aku yang awam dalam hal seni desain interior langsung merasa bagai "putri petani miskin" yang terdampar dalam Istana. Tempat yang seharusnya tidak pernah bisa dijangkau orang kalangan menengah sepertiku. Semua benda ditata dengan cermat hingga menghasilkan tempat yang nyaman dan mewah. Perabotan yang dipilih juga bukanlah barang murah. Semuanya berkualiti, membuatku takut menyentuh kerana khawatir merusaknya.
Jemariku terjalin di depan tubuh saat mengikuti asisten Pak Arvin. Jantungku berdegup kencang kerana gugup. Dan semakin kencang saat lelaki di depanku berhenti di depan ambang pintu terbuka sebuah ruangan.
"Nona Sofia, Pak Arvin ada di dalam. Langsung masuk saja," katanya seraya menyingkir memberi jalan.
"Oh, iya. Terima kasih." Aku berusaha mengulas senyum sebelum melangkah melewati lelaki itu lalu masuk.
Wuuussshhhh....!..Oke, katakan Aku gila. Tapi begitu tiba di dalam, kurasakan hembusan angin dingin yang seketika membuat bulu kudukku meremang. Dan itu terasa jelas sampai-sampai Aku berpikir mendengar desir angin bergerak di sekelilingku.
Aku membeku di tempat, selangkah melewati ambang pintu. Mendadak rasa takut melingkupi diriku, membuat debar jantungku kian kencang. Aku seperti baru saja memasuki alam lain. Dunia yang bukan tempat tinggal manusia.
Oh, sial! Aku menggeleng berusaha menjernihkan fikiran. Sofia, sepertinya kau terlalu banyak menggunakan imajinasi hari ini. Jangan sampai kau jadi gila kerana terjebak dunia khayalmu sendiri, fikirku mengingatkan.
Dunia lain?... Demi Tuhan! Itu sangat konyol. Menghela nafas, Aku berusaha menampilkan senyum lalu memaksakan diri melangkah semakin jauh. Sekilas kuperhatikan, tempat ini jelas ruang kerja. Ada meja kerja lebar di sisi terjauh dari pintu. Lalu dinding di belakangnya lagi-lagi terbuat dari kaca. Dan di sanalah Pak Arvin berada. Berdiri membelakangi pintu dengan pandangan mengarah ke luar dinding kaca.
Semakin mendekati Pak Arvin, hawa dingin tak mengenakkan ini kian melingkupi diriku. Bahkan rasanya semua bulu di tubuhku sudah berdiri tegak. Tapi Aku menahankan hati dan tetap menguatkan langkah hingga akhirnya berhenti di depan meja besar milik Pak Arvin.
"Selamat pagi, Pak Arvin." Aku memulai sapaan kerana sepertinya lelaki itu tak menyadari kedatanganku.
"Selamat pagi, Nona Sofia. Silakan duduk," balasnya menyapa tanpa membalikkan tubuh seraya meneguk minuman dalam gelas di tangannya.
Aku mengangguk lalu bersiap duduk. Namun tubuhku seketika membeku saat tiba-tiba Pak Arvin berbalik lalu melangkah menuju kursinya di balik meja.
Wajah itu... Dia adalah si Hantu penunggu apartmentku.[hsz]
To be Continued...
Editor ; Romy Mantovani,
Kredit Ilustrasi image ; wattpad.com
No comments
Post a Comment