My Ghost Stories [13]

<img src="fazryan87.blogspot.com.jpg" alt="My Ghost Stories [13]">


My Ghost Stories [13]

[Chapter 02-Part 13]


Di detik itu, rasanya jantungku berhenti berdetak. Tubuhku juga menegang sempurna seolah-olah berubah menjadi patung. Sementara di seberangku—terpisah meja kerja yang lebar—Pak Arvin tampak biasa saja. Dia duduk dengan tenang di kursi seraya meletakkan gelas kosongnya di atas meja. 

Aku ternganga, tak bisa mengalihkan perhatianku dari wajah itu. Bahkan kini seluruh tubuhku terasa menggigil. Bukan hanya akibat hawa dingin yang kian pekat, melainkan juga akibat pertemuan tak terduga ini. 

Tiba-tiba Pak Arvin mendongak menatapku. Keningnya berkerut. Mungkin dia merasa hairan mengapa Aku tetap berdiri dengan mulut terbuka menatapnya.

"Apa ada masalah?"

"Eh." Aku tersentak. Bukan kerana pertanyaannya. Tapi akibat suara familiar yang mengalun dari sela bibirnya. Suaranya amat mirip dengan suara si Hantu.

"Anda tidak ingin duduk?" tanyanya dengan mata menyipit tajam. Raut wajahnya tak lagi menampakkan rasa hairan. Melainkan tampak mengancam. Seolah dia akan menyakitiku jika Aku tidak segera duduk.

"Oh, Maaf. Saya hanya kaget." Menelan ludah, Aku segera duduk di salah satu dari dua kursi depan meja besarnya.

"Kaget? Apa saya tampak menyeramkan?" 

Andai dia menanyakan itu dengan senyum di bibirnya, Aku pasti akan berfikir dia sedang bergurau untuk mencairkan suasana. Tapi raut dingin dan tatapan tajamnya tak pernah luntur, membuatku merasa tengah diancam.

"Oh, tentu tidak. Saya kaget kerana Saya fikir kita pernah bertemu di toko buku." Aku mengulas senyum, cukup puas kerana suaraku sama sekali tak bergetar akibat rasa takut.

"Oh ya? Padahal saya sudah lama tidak ke toko buku." 


Insting pertamaku mengatakan bahwa dia berbohong. Tapi Aku tidak berniat memperpanjang hal itu. "Pasti Saya salah ingat." Aku sama sekali tidak suka nada dan tatapan matanya. Begitu tajam dan tak bersahabat. "Jadi tentang apartment yang Saya tempati..." Sengaja kugantung kalimatku, berharap dia melanjutkan dan melupakan topik sebelumnya.

"Oh iya. Jujur saya cukup terkejut mengetahui Anda menolak tawaran saya." Dia menyandarkan punggung di kursi hitam legamnya. Salah satu siku bertumpu di sandaran tangan dan kepalan tangannya menahan pipi, membuatnya menatapku dengan kepala agak miring. Sikap tubuhnya tampak sangat tenang. Namun aura mengancamnya terasa semakin jelas. 

"Saya yakin Pak Andi sudah mengatakan apa alasan Saya menolak." Tak kubiarkan dia tahu bahwa sikapnya cukup mengintimidasiku, membuatku mengkerut ketakutan.

"Maaf kalau Saya berkata terang-terangan hingga terkesan kasar. Saya bukan orang yang suka berbelit-belit. Tapi alasan Anda cukup konyol menurut Saya." Kali ini dia melipat kedua tangan di atas meja, sengaja memajukan tubuhnya semakin mendekat ke arahku. 

Aku semakin tak nyaman. Namun memaku diri agar tetap duduk tegak. "Bukankah seniman dan pengarang memang terkenal konyol? Kami punya cara berfikir yang berbeda dari orang kebanyakan." 

Sekilas pengamatan saja, Aku tahu Pak Arvin tipe pebisnis yang suka mendesak lawannya hingga berhasil mendapatkan apa yang dia mau. Jika terus berkelit dan membuat banyak alasan, Aku pasti tidak akan menang melawannya. Jadi kufikir cara terbaik adalah melempar fakta-fakta yang tidak akan bisa dia sangkal.

Pak Arvin sama sekali tidak tersenyum mendengar kalimat balasanku sebelumnya. Dia terdiam dengan mata tajamnya, seolah tengah mencari titik lemahku untuk balas melawan.

"Lagipula waktu Saya kurang dari enam minggu lagi," lanjutku. "Malah menurut Saya Anda lebih konyol kerana tidak keberatan merugi padahal Anda bisa menunggu kurang dari dua bulan sebelum merenovasi apartment yang Saya tempati. Bukankah seharusnya Anda mendapat untung dengan menyewakan apartment mewah itu pada orang lain daripada membiarkan Saya tinggal di sana dengan harga murah?" 

Oke, Aku sedang bermain-main dengan serigala rupanya...Memang secara fisik Pak Arvin menduplikat sosok hantu penunggu apartmentku. Tapi sifat dan perilaku keduanya jelas bertolak belakang. Aku bisa membuat kesal si hantu dan berakhir dengan tertawa keras. Tapi jika lelaki di depanku yang kubuat kesal, bisa saja namaku tinggal kenangan esok pagi. 

Kerana itu coba untuk tidak membuatnya kesal, Sofia Hani. Otak warasku memperingatkan... Selama beberapa detik yang terasa lama, Pak Arvin tetap diam dengan raut dinginnya. Hingga akhirnya dia bertanya setengah berbisik, "Apa Anda tahu apartment yang Anda tempati berhantu?"

Ini saatnya!... 
Akhirnya Aku punya kesempatan untuk berbicara mengenai hantu penghuni apartmentku selagi Pak Arvin yang mengungkitnya sendiri. Bukankah Aku memang berharap bertemu dengan kembaran si hantu lalu menceritakan mengenai arwahnya yang terjebak dalam apartemen? Tapi tiba-tiba Aku berubah fikiran. Entah mengapa instingku mengatakan bahwa ini tidak akan berakhir baik jika Aku menceritakan mengenai keberadaan hantu di apartmentku padanya.

"Anda percaya hal semacam itu? Padahal Saya fikir Anda orang terpelajar yang tidak akan begitu saja menelan rumor tak penting."

"Tapi orang-orang—"

"Tidak peduli yang dikatakan orang lain. Sudah hampir tiga minggu Saya tinggal di sana dan tidak merasakan apapun. Apa Anda lebih percaya pada para tetangga yang bergosip daripada orang yang menempati sendiri apartment itu?" 

Lagi-lagi dia terdiam. Lalu terdengar dia mendesah sebelum berkata, "Sebenarnya Saya benar-benar mengkhawatirkan Anda. Tawaran ini bukan hanya kerana Saya mendengarkan gosip murahan. Tapi Saya tahu sendiri bahwa apartment itu memang dihuni hantu jahat yang selalu mencari jiwa rentan untuk diganti dengan jiwanya sendiri. Sudah banyak yang menjadi korban. Saya khawatir berikutnya Anda lah yang akan dia ambil tubuhnya." 

DEG.,!.. Mendadak Aku merasa lebih merinding daripada sebelumnya. Penjelasannya tadi membuatku berfikir bahwa—

"Kalau Anda tahu memang ada hantu semacam itu di sana, kenapa Anda masih menyewakannya?" Sengaja Aku tidak melanjutkan fikiran menyeramkan tadi. Aku benar-benar ketakutan jika ternyata itu benar.

"Tidak." Dia menggeleng. "Kami sudah tidak menyewakan tempat itu lagi sejak banyak orang yang menjadi korban. Saat ada korban pertama, kami tidak percaya. Berfikir itu pasti hanya kecelakaan. Setelah beberapa korban, barulah kami percaya. Bahkan kami sudah mencoba melakukan pengusiran hantu dan sebagainya namun selalu gagal. Jadi terpaksa kami membiarkan begitu saja apartemen itu". 

"Dan kejadian ini memang keteledoran Saya sampai Anda bisa menyewa apartment itu. Manajer gedung baru diganti dan Saya lupa memberitahu tentang apartment itu. Lalu Saya disibukkan dengan banyak hal. Saat tahu, ternyata Anda sudah cukup lama menempatinya. Saya bersyukur sampai saat ini tidak ada hal buruk yang menimpa Anda. Tapi Saya tidak mahu mengambil resiko dengan membiarkan Anda tinggal lebih lama." 


"Jadi—sebenarnya tidak ada renovasi? Anda hanya berniat mengosongkan apartment itu seperti sebelumnya?"


"Iya. Kerana itu demi kebaikan Anda, sebaiknya Anda pindah."

Aku manggut-manggut. "Hantu pencuri tubuh ya...." Aku tidak bisa menahan diri untuk bergumam seraya mengusap lenganku yang masih merinding. 

Tampaknya Pak Arvin mendengar gumamanku. "Iya. Saya benar-benar tidak mahu sesuatu yang buruk menimpa Anda." 

"Baiklah, Saya akan memikirkannya." Aku berdiri, tak ingin memperpanjang pembicaraan ini. Aku sudah bertekad akan menolaknya melalui Pak Andi nanti. "Terima kasih." Segera Aku berbalik dan bergegas menuju pintu, tak peduli meski sikapku terkesan tak sopan. Aku hanya ingin segera keluar dari sini. Sejauh mungkin darinya. 

Dia juga berdiri. "Tolong jangan hanya difikirkan. Nyawa Anda yang menjadi taruhan." 

Kalimat terakhirnya membuatku berhenti padahal tinggal beberapa langkah lagi dari ambang pintu ruang kerja megah ini. Mendadak Aku tak bisa menahan diri. Sebelum akal sehatku bekerja, Aku sudah berbalik kembali menghadapnya.

"Ada satu hal yang membuat Saya bertanya-tanya. Siapa sebenarnya pencuri tubuh itu? Dia—" Sengaja kugantung kalimatku sebelum melanjutkan, "atau Anda?" 

Walau Pak Arvin masih menampilkan raut dingin, bisa kulihat perubahan ekspresinya setelah mendengar ucapanku. Dia tampak menegang dengan rahang berkedut tanda marah. Sikap tubuhnya bagai macan yang siap meloncat sewaktu-waktu untuk menghabisi mangsanya

Tanpa menunggu tanggapan, Aku melangkah mundur lalu berbalik pergi. Jantungku berdegup menyakitkan di dada menyadari bahwa Aku seperti baru saja melemparkan diri kedalam kobaran api. Fikiran itu membuatku mempercepat langkah hingga setengah berlari keluar dari penthouse mewah ini.[hsz]  To be Continued...
Editor ; Romy Mantovani,
Kredit Ilustrasi image ; wattpad.com

No comments