MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 12]
MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 12]
WAITING FOR GAMA
'MENDADAK ROOM BOY'Siang itu, Bu' Sri, Ibu kos, memanggil saya secara khusus di ruang tamu..Duh...pasti urusan penting, nih. Kerana saya telat bayar kos dua bulan.
"Maaf, Bu'...kiriman saya belum datang," kata saya merasa bersalah.
"Ah, bukan itu maksud saya manggil Mas kemari. Saya mahu minta tolong" ujarnya..Ia menghela nafas.
"Mas'e kan tahu barang halus, faham dunia ghaib dan klenik. Tolong kamar almarhum suami saya dibuka. Isinya yang aneh-aneh tolong dikeluarkan. Tolong sekali ya, Mas... Sudah setahun lebih tak dibuka..."
"Waduh...dari mana Ibu tahu saya ngerti barang halus dan tahu dunia ghaib?" selidik saya.
"Semua teman-teman bilang begitu. Tolong ya, Mas..."
Wooow... Jindul tenan.
Kelompok Lakon pasti seenaknya ngasih info yang menyesatkan kepada Ibu kos. Kalau barang halus sebangsa tepung kanji, belut, atau pipi diciprat black oil, saya tahu.
Dunia ghaib juga faham, wong saya sering melamun. Itu ghaib juga, kan? Wong lamunan tak bisa dipegang. Lhah ini,..aku tahu sekarang disuruh membersihkan barang-barang aneh dari kamar Bapak kos yang sudah almarhum. Pora jindul kuwi, jenenge?!
"Tapi, Bu" elak saya.
"Sekali lagi, tolong Mas...Hanya Mas yang bisa," Bu Sri ngotot.
Waduuhh...kok bisa gini ceritanya? Hambok meng-hire paranormal profesional, apa piye gitu, lho! Lha, ini malah nyuruh para tak normal!
Melihat saya ragu-ragu, Bu' Sri langsung mengajukan penawaran.
"Dah, gini saja, Mas... Mas keluarin, bila perlu musnahkan, barang barang mistik yang ada. Sebagai ganti, wang kos Mas selama tiga bulan saya anggap lunas. Mas juga boleh makan gratis dua kali sehari, pagi dan sore..."
Whuiikk...menarik ini! Bagi saya, lunas bayar kos adalah skala prioriti nomer wahid, setelah makan, tentu saja!
Tiga bulan, Ndes...hemat Rp22.500 + konsumsi tiga bulan (minus -maksimum) hanya dengan mbersihin kamar. Why not? Apa susahnya?
Soal mistik... difikir kemudian wae!
Juma'at siang itu saya jadi room boy beneran.
Berbekal kunci tembaga yang bentuknya kayak ikon film Friday The 13th dan empat kantong kresek-beg plastik besar, saya menghampiri pintu kamar almarhum Bapak kos. Sendirian. Bu Sri tak mau ikut masuk, takut katanya.
"Seumur-umur saya belum pernah masuk ke kamar itu. Itu kamar ritual pribadi Bapak. Mendekat saja, saya tidak berani," tuturnya.
Weh, makin aneh ini. Masuk ke kamar di rumah sendiri kok tak pernah dan tak berani. Ada apa di dalam?
Saat pintu kamar saya buka, yang pertama tercium adalah bau kemenyan menyengat hidung...Lalu, ada sriwing-sriwing wangi minyak tjap(cop) Serimpi atau tjap Air Mata Duyung...
Suasana kamar remang remang. Pengap. Tak ada jendela mahupun ventilasi. Penerangan hanya ada lampu plenthong lima watt. Redup.
“Ini kamar, Apa Goa Selarong?” celetuk saya dalam batin.
Dari temaram lampu, terlihat di sisi kanan ada tikar pandan. Diatasnya, ada tempat seperti tampah-dulang berisi bunga kering dan tulang (?). Ada lagi pedupan, bejana, tempayan, siwur, boneka nini thowok, kain putih, dan aneka macam benda aneh yang tidak saya ketahui fungsinya.
Sementara di sisi kiri, ada lukisan bunga teratai cukup besar, potret diri entah siapa, payung motha, dan kotak kayu. Saat kotak itu saya buka, ternyata isinya pusaka. Ada keris, cundrik, trisula, mata tombak...ah, cukup banyak.
Yang mengagetkan, saat membuka kotak itu, bulu halus di lengan saya langsung njegrak serempak
Jelas, ini pertanda tidak baik! Tapi, mengingat kesanggupan yang telah saya ucapkan ke Bu' Sri, rasa miris itu saya tahan. Toh, kata Tarso, mana ada syaitan makan orang.
Maka saya mantapkan saja untuk terus membersihkan kamar itu.
“Bismillah, niat kerana Allah...”..Saat saya sedang memasukkan benda-benda aneh itu ke dalam tas kresek, saya merasa ada sepasang mata yang mengawasi gerak-gerik saya. Tapi saya cuek saja, wong nyatanya setelah saya penthelengi tak ada siapa-siapa, kok.
Setelah semua benda di atas tikar masuk kantong kresek, giliran saya menurunkan lukisan bunga teratai. Ah, baru ingat, kalau tidak salah, bunga teratai itu simbol salah satu aliran kepercayaan Kejawen.
Tapi setahu saya, tidak mengajarkan ritual pakai alat-alat aneh seperti itu. Kalau ini, menurut saya, malah lebih mirip voodo? Entahlah.
Tugas saya hanya membersihkan. Dan jujur, saya ingin tugas ini bisa segera rampung-selesai.
Takut saja tengkuk saya jadi menebal seperti tengkuk Mike Tyson kerana kebanyakan merinding. Setelah dua jam hankamnas (bertahan di dalam kamar yang panas), akhirnya seluruh benda berhasil saya kumpulkan dalam tiga kelompok besar.
Satu kresek besar berisi peralatan ritual. Satu ikat besar berisi benda-benda seperti padupan, payung, bejana dan sebangsanya. Dan satu kotak berisi pusaka yang belum saya utak-atik.
Atas saran Bu' Sri, kresek berisi peralatan ritual saya larung-buang ke Sungai Bengawan Solo, tepat di bawah jembatan dekat Taman Jurug.
Payung, bejana, lulisan, dan lain-lain akan dijual ke pasar loak Triwindu. Sedangkan sekotak pusaka untuk sementara dititipkan ke saya, sebelum ditawarkan ke famili almarhum yang mahu ngopeni.
Wah, mahu ditaruh di mana nih, kotak pusaka? Padahal kamar saya terbilang paling mini. Sudah sesak dengan buku-buku. (Gayamu, Ndess! Kuliah aja cuma bawa satu buku sekrip levis cap 555 yang dilipat-lipat masuk saku sampai kucel). Intinya sesak, wis ngono wae!
Saya lantas ingat, kamarnya Mitro kan seluas lapangan futsal.
Nah, kenapa tidak dititip di sana saja?
Sore itu, kotak pusaka sudah nongkrong di kamar Mitro dengan manisnya. Sementara saya leluasa menikmati hidup yang indah ini di suite-room pribadi.
Nak-nan (enak tenan, betul). Baru kali ini tiga-bulan tidak bayar kos. Entuk madhang, pisan! (dijamu makan sekalian!)
“Maka nikmat mana lagi yang engkau dustakan?”
Apa yang terjadi selanjutnya, tunggu oke? To be Continued...
Courtesy and Adaptation of articles by Nursodik Gunarjo
Editor; Romy Mantovani
Kredit Ilustrasi Image; pinterest.com
Kredit Ilustrasi Image; pinterest.com
No comments
Post a Comment