MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 13]

<img src="fazryan87.blogspot.com.jpg" alt="MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 13]">

MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 13]

WAITING FOR GAMA

'PERTEMPURAN TENGAH MALAM'

Malam itu badan saya "nggregesi". Sendi-sendi terasa seperti mahu  copot. Kepala nyut-nyutan. Suhu badan meningkat drastik. Cekaknya (singkatnya), saya terkena Friday Night  Fever.  

Beda dengan film John Travolta dengan judul mirip yang penuh  nyanyian dan tarian, badan saya justru penuh menggigilan. Demam  sungguhan, Ndes! (Ndes, bahasa gaul sama arti dgn guys!)

Entah siapa yang  woro-woro, berita "kemeriangan" saya sontak  tersebar ke seluruh ruang kos. Tidak pakai lama, kelompok Lakon  sudah bergerombol di kamar saya dalam formasi pleno.

Bisa sakit juga ternyata kamu, Ndes. Jarene anti gores?"
Jes membuka  pidato.   


"Makanya...jangan sembarangan ngobrak-abrik kamar kos orang!  Apalagi  kamar mereka yang species, genus, ordo, class, dan divisio-nya beda dengan kita,"  imbuh Tekek, dengan gaya sok ilmiahnya.   

"Jelas kamu itu kualat, kerana dapat full-diskaun kamar tiga bulan,  tapi tak ngajak kita orang. Itu pengkhianatan," timpal Meyek.   

"Dan menitipkan sesuatu tanpa resi-izin, tanpa tanda terima, di kamar  orang yang usianya lebih tua, itu juga menimbulken keresahan,"
Mitro  menimbrungi.   


Jindul ik...cah-cah ini sejatinya mau bezuk-melawat, apa mau menghakimi orang sakit biar cepat mencapai naza' bin sakaratul  maut? 

Tapi mau protes, kepalaku terasa amat  berat. Pusing dan sakit tak  terkira, apalagi jika dibawa berkata-kata. Badan juga terasa panas membara. 

Untung tak ada termometer. Kalau ada dan diukur, pasti air-raksanya  muncrat dari pangkal pemindai suhu itu kerana umob. Saking panasnya, Ndes..! 

Melihat saya tidak bereaksi, empat sekawan itu beringsut pergi satu  per-satu. Boro-boro ninggali buah, roti  ganjel ril, atau receh ala kadarnya, mendoakan pun, tidak.

Sungguh "marai soyo" (menjadikan lebih) njarem sakitnya...Cuma si  Mitro yang sebelum pergi mendekati saya sambil bertanya perlahan,   

"Ndes, sebenarnya yang kamu titipkan di kamarku itu kotak apa, kok  wangi?"
  

"P a r f u m ,"  jawab saya lemah, setengah mengeja.
   

"Oooo..." tukas Mitro sambil nggendring menyusul gerombolan.
Kemana lagi, kalau tidak hang-out ke Maido.  


Hhhh...Sambil menahan sakit, otak saya berpendar. Benarkah saya  kualat? Saya yakin tidak! Lha, wong saya sudah diizinkan malah  disuruh oleh shohibul bait, kok. Artinya, pekerjaan saya sah secara  hukum adat, perdata, maupun pidana.  

Tapi yang saya bingungkan, kok tiba-tiba saya ambruk? Padahal habis  Maghrib tadi saya masih sebugar Stallone! 

Biasanya orang sakit itu ada early-warning-nya. Ya sumer-sumer atau  gimana, gitu. Lha, ini langsung akut-parah je... 

Apakah kamar yang tertutup bertahun-tahun itu mengandung kuman, bakteri, atau virus, yang kesaktiannya mampu memporak-porandakan  benteng imuniti saya? 

Bisa jadi. Tapi masak iya, dampak inkubasinya begitu hebat, langsung  bikin tubuh terkapar?   

Saking tak kuatnya menahan sakit, saya terempas ke alam amun-amun. Sebelum sadar ini dimana, tiba-tiba saya melihat berpuluhpuluh  makhluk tinggi besar muncul didepan saya.

Tanpa permisi langsung berebut mengeroyok dan memukuli saya.Tak  jelas wajah-wajah mereka, yang saya tahu cuma badannya buesaarr. Salah satunya yang bermata menyala, ganasnya luar biasa.  Jab, hook, dan uppercut-nya secepat  ala boxer Muhammad Ali bertubi-tubi menghajar tubuh saya. 

Meski saya sudah berteriak-teriak minta ampun, pukulan, cakaran,  dan tendangan tetap menghujani tubuh saya. Sakit  bener. Sampai saya berfikir, mungkin inilah akhir hidup saya...  

Di saat kritikal itu, tiba-tiba sesosok lelaki tua berpakaian serba putih  muncul dan langsung melawan makhluk-makhluk aneh itu dengan gigih. 

Sakti juga "beliau" ini. Hanya beberapa kelebat, makhluk-makhluk itu  jatuh terpental. Sisanya lari menjauh sambil meraung-raung. Entah  raungan kesakitan, atau marah.  

Saat suasana kembali sunyi, saya tersentak kaget. Ternyata saya masih berada di tempat tidur. Keringat membasahi sekujur tubuh  sampai sprei-cadar ikut  basah. Badan terasa hancur lebur seperti  baru digilas sepur (lokomotif)tumbuk, lemas tak berdaya. Tapi panas  sudah menurun. Saat saya menengok sekeliling...  

Hah! Ternyata kamar saya berantakan! Bubrah, seperti kapal pecah.  Diktat kuliah bertebaran seperti habis disebar dari helikopter. Bahkan  almari plastik terbuka lebar dan baju-baju berserakan di lantai. 

Tapi yang paling mengkagetkan adalah saat saya mencopot baju,  tampak memar biru lebam seperti bekas pukulan terpampang nyaris di sekujur tubuh saya! Ini mimpi atau sungguhan? Kalau mimpi, kok dampaknya nyata begini? Kalau nyata, kok kejadiannya seperti di  alam mimpi?
   

Tak pelak, malam itu saya harus tidur dengan tanda-tanya besar  tersimpan di kepala.   

Pagi-pagi benar, Tekek, Jes, dan Meyek sudah merapat ke kamar saya.  Semua berebut ingin siaran langsung menyampaikan pengalamannya yang tampaknya berkaitan dengan saya.   

"Tadi malam, sepulang dari Maido, terdengar suara gaduh dari kamarmu. Seperti barang-barang dilempar dan kamu mengigau hebat," ujar Tekek.   

"Tak cuma itu, saya juga mendengar suara gedebak-gedebuk dan gereng-gereng seperti orang berkelahi," imbuh Meyek.  

"Lha kok, aku tidak mbok dibangunkan?"  protes saya.
   

"Tak fikir awakmu sedang latihan drama," sahut Meyek.  

Wooo...drama mbahmu kiper, toh!   
"Trus kamu mau lapor apa, Jes?"  tanya saya sambil melirik Jayus.   

"Saya tidur ..."
   

"Wooo... kalau itu sih tak perlu dibahas!" protes saya.
   

"Weit...nanti dulu. Saya tidur dan bermimpi..dirumah ini ada perkelahian hebat antara Gundul melawan orang-orang aneh berwajah seram..."  

"Heh...kok nyambung? Trus gimana?" kejar saya penuh tanda tanya.

 "Kerana takut, ya, mimpinya tak saya terusin..." Wooo... 


Akhirnya saya ceritakan kejadian semalam. Dari A sampai Z. Semua  terlongong-longong hairan campur ketakutan. Kok peristiwanya  nyambung satu sama lain, ya?   

Saat sedang pada mengkirig itulah tiba-tiba saya ingat kotak yang saya titipkan di kamar  Mitro.

"Eh, di mana Mitro...kok, tak kelihatan?"   


Semua, kecuali saya yang masih lempoh, lemah, menyambangi kamar  Mitro. Sejurus kemudian, pada balik lagi ke kamar saya.   

"Kamarnya tidak dikunci. Dan orangnya menghilang entah ke mana!"  lapor Meyek. Waduuuhh  ...  

Siang harinya, barulah Mitro,si Bocah Cepu pulang kandang.Dengan murka, ia langsung mendatangi kamar saya. 

"Kenapa tak bilang kalau kotak itu berisi barangan pusaka?! Eh, tahu  tak...semalam pusakanya pada hidup. Gerak sendiri pating-klothak..."  

"Sik ta, Ndesss "
  
 

"No time for loving you!

"Ngerti, tak...aku ketakutan hebat sampai harus ngungsi ke kos-kosan  Terik."
  

"Sik ta, Cah baguusss  ..." 

 "Nobody or yesterday! Sekarang juga ambil itu kotak dan bawa ke kamarmu!!" bentaknya.   

"Oh, kamu ingin dengar cerita yang lebih seram?" tanya saya sambil  menunjukkan luka lebam di sekujur tubuh saya.

Mitro mendelik melihat kondisi saya, lalu mengipas-ngipaskan  tangannya dengan wajah ketakutan.   

"Lhoooh...kena apa, kamu?"
   

"Seram pokok'e...Saya ceritani, ya ..."
  

"Oh, no...No, Ndes...thank  you" katanya sambil meloncat pergi.
  

"Tapi, kotak'e jupuken!" pintanya dari balik pintu.   

(KOMA)

Konon, definisi kebahagiaan adalah: Muda foya-foya, tua kaya-raya,  mati masuk syurga. Nyatanya itu bohong  belaka.! 

Bagi kelompok Lakon, kebahagiaan adalah: melihat 'kartu wesel' (kad kiriman wang zaman doeloe) bertuliskan namanya melambai-lambai di  kaca jendela Bagian Pengajaran FISIP UNS.  
Sayangnya, untuk mencapai kebahagiaan itu tidak mudah,Ndes... 

Memang setiap hari ada saja lembaran kartu berwarna abu-abu klewus dipampang di sana. Tapi saat dibaca 'Kepada Yth-nya', tidak tertuju  ke saya dan kawan-kawan.  

Hairan juga, Apa Bapak-Ibu kelompok Lakon belakangan ini pada dilanda demensia alzheimer? Lupa, kalau anaknya kuliah di UGM cabang Kentingan? Atau lupa bagaimana caranya mengirim kad wesel?Hehehe... 

Siang itu, seperti biasa saya lewat di depan jendela kaca yang menjadi  "etalase nasib" kami. Tentu, sambil membaca nama-nama yang terpampang di sana. Tak dinyana-disangka, saat serius baca, Pak Prapto yang mbaurekso Pengajaran memanggil saya.   

"Mas...Mas'e. Njenengan,Mas Nursodik Gunarjo, kan?"
   

"Nggih, leres, Pak!" jawab saya semangat.
  

“Waaah...dipanggil pasti ada kiriman, nih!” batin saya berbunga-bunga.
  

"Gini lho, Mas...saya itu sampai bosan melihat sampeyan-kalian,kamu, wira-wiri di depan jendela kayak setrika.Yang pada dapat kiriman wesel aja tidak sesering itu menengok kesini. Lha, sampeyan yang  tak pernah dapat wesel kok kayak minum obat saja, nengoknya tiga kali sehari!"  Wasyem ketjut...bukannya dapat duit, malah dapat omelan! 

Yoh.. Awas kamu, Pak! Dapat kiriman wesel betul, saya traktir-belanja nggone Maido kamu, Pak! Aku ambil makanannya, sampeyan yang  kebagian paido(omelan)nya! Fair enough,kan?   

Tunggu sambungannya diteruskan besok ya guys,To be Continued...

Courtesy and Adaptation of articles by Nursodik Gunarjo
Editor; Romy Mantovani
Kredit Ilustrasi Image; pinterest.com

No comments