MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 11]
MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 11]
WAITING FOR GAMA"Itu cathetanmu sudah se-meter lho, Mas. Mbok dicicil. Apa nunggu panjang lagi, nglawer seperti buntut layangan?" celetuknya julid.
Biyuh. Kalau sudah digitukan, rasanya ingin talak tiga dengan Susi.
Eh... warung ijo (hijau). Tapi niat "mulia" itu tak pernah kuasa dilaksanakan. Alasannya cuma satu: “Trus bila tak nyathet, mahu makan dimana, Ndes?
Nggone-pergi Maido? No way!”
Jujur, kami masih lebih suka menghadapi Susi yang meski mulutnya kalau mecucu bisa sak-meter, tapi masih kaya ada manis-manisnya, gitu.
Lha balik Maido, jangankan manis, kecut aja enggak!
Salah-salah berani ngutang di hiknya, pulang kos malah bergelar almarhum, dicucuk pakai senduk sate endhog..Heheheh...
Siang itu, untuk yang kesekian kalinya, saya terpaksa "harus" makan di warung Bu' Wardi. Sudah tentu pakai metode non tunai, alias nyathet lagi nanti.
Mengingat catatan saya sudah 14 edisi, maka hati ini jadi gojag-gajig tak karuan.."Lapar, ya?" ujug-ujug Tekek muncul di hadapan saya.
"Pertanyaan retorik! Tak perlu jawaban! Wong yang nanya juga perutnya kukuruyuk dari tadi," sahut saya dingin.
"Take easy man, take easy...Follow me, please...ayo kita kemon," ujar Tekek ke-inggrisan, sambil menggamit lengan saya.
"Ke mana?"
"Madhang!"
"Iya tahu. Tapi di mana?"
"Bu' Wardi."
Hah! Tentu saya terperanjat, kerana setahu saya catatan Tekek jauh lebih panjang dari milik saya. Kok pede-yakin banget dia...
"Eh, tapi... anu je, Ndes ..."
Tekek membungkam mulut saya sambil menyilangkan telunjuk di mulutnya sendiri.."Just...follow me, and never talk anymore!" perintahnya.
Seperti kerbau dicucuk hidungnya, saya ikuti saja si Tekek yang memasuki warung ijo sambil bersiul-siul.
Di pintu, Susi menyambut kami dengan mata berbinar dan wajah segar...Senyumnya merekah cerah di bibirnya yang merah.
Wow, kok tumben?
"Eee...Mas Teguh. Mahu dhahar toh, Mas'e?" Susi menyambut Tekek alias Teguh, dengan senyum semanis sakarin.
“Wah, jindul...hanya Tekek yang disapa. Aku tak dianggap ada nih” batin saya berkata.
"Hehe...ngantar juragan saya. Ni tolong pak Gundul dilayani dulu!" kata Tekek sambil menuding hidung saya, tapi matanya berkedip-kedip seperti lampu disco sor-asem stesyen Balapan.
"Ah, Mas'e bisa aja..." kata Susi mendekatiku sambil membawa piring dengan nasi munjung.
Saya yang masih terpesona suasana, cuma main tunjuk saja.
Wis, pokok'e semua lauk saya tunjuk..Walhasil, siang itu saya makan dengan lahap sampai kemlakaren.
Yang mengejutkan, semua gratis-tis. Mimpi apa saya tadi malam?
"Kok semua gratis? Susi ulang tahun, ya?" Tekek menggeleng.
"Bu' Wardi adakan syukuran?" Lagi-lagi Tekek menggeleng.
Ah, terserah kamu lah! Yang penting hari ini catatan saya mandali.
Tidak tambah panjang.
Jam 18.30 terdengar suara pit-udug (sepeda motor) masuk halaman kos..Tampak sebuah Yamaha 70 warna biru.
Saya hafal betul, itu motornya Bu Wardi. Tapi yang nongkrong di atas sadel adalah... Susi!
"Mas Teguh wonten (ada)?" tanyanya ramah.
"Nggak..Kalau Tekek ada," jawab saya.
"Ya, saya cari Mas..Tekek..Iihh, Mas'e...manggil kawannya kok begitu" serunya tersipu.
Sebelum saya tanggapi, Tekek muncul dengan dandanan mlipis.
Bener-bener sempurna. Tak tampak sedikit pun sisa kemelaratan dalam dirinya.
"Sebentar ya, Ndes...aku meh nonton di Dedy Theatre sama Susi."
Woohh... Saya hanya bisa ngowoh, menyaksikan Susi menggonceng sambil memiting mesra pinggang Tekek.
Jindul, ik! Tiba-tiba Tekek wis malih Boyo! Boyo (buaya) full muslihat. Tak bisa bayar hutang, pelayannya sing digendhaki (yang dipacari)...haha...Buaya tenan (betul).To be Continued...
Courtesy and Adaptation of articles by Nursodik Gunarjo
Editor; Romy Mantovani
Kredit Ilustrasi Image; pinterest.com
Kredit Ilustrasi Image; pinterest.com
No comments
Post a Comment