MISTERI KUNCEN. Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 5 Part 61]

<img src=https://fazryan87.blogspot.com".jpg" alt="MISTERI KUNCEN. Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 5 Part 61]">
Ilustrasi Image by pinterest.com

MISTERI KUNCEN. Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 5 Part 61]

WAITING FOR GAMA
LANJUTAN CERBUNG KUNCEN

[ Chapter 5 Part 61 ]

(61-Season Finale)
  • Pada siri ke- Chapter 5 Part 60  Dikisahkan ada kehebohan di sekitar Masjid University jumpa "binatang aneh".  Maka saya sangat terkejut ketika menjelang Maghrib sedang berjalan ke tempat wudhu' dengan Diro, penjaga mesin photocopy. Tetiba melihat sesosok makhluk seukuran bayi sedang ngesot-merangkak sambil mengeluarkan suara krugh.. krugh..krugh!

  • Diro langsung balik badan sambil lari lintang - pukang. Tapi Saya tetap berusaha tenang, sambil mengawasi makhluk yang terus mendekat. Saat jaraknya sekitar tiga meter, bau amis meruap. Makin dekat, jelas kelihatan bahwa "makhluk ngesot" itu adalah..lele!

  • Lele (Ikan Keli) sungguhankah? Entahlah. Ukurannya memang tidak normal, super duper besar! Saat saya dekati mahu Saya pegang, mendadak binatang itu bergerak cepat nyebur ke kolam.

  • Toh Diro telanjur takut sampai ubun-ubun. Senja itu ia batal sholat Maghrib. Meski saya bilang berkali-kali bahwa itu ikan lele, ia tetap tidak percaya.

  • "Tidak mungkin lah, Pak, Ikan lele sebesar itu. Lagian ngapain jalan-jalan ke darat. Memangnya mahu kuliah? Pasti itu  Hantu Suster ngesot!"  ujarnya dengan wajah pias.

AKHIRNYA... KAGAMA !


    FORTUNA MEDIA - Mulutmu adalah nasibmu. Maka jangan asal bicara, terkabul sungguhan kapok kowe! Contohnya ya saya ini. Gara-gara nyeletuk, "Kuliah suwe rapapa, sing penting UGM", ("Kuliah lama tidak apa-apa, yang penting kuliah di UGM") Saya jadi terkala-mudheng ruang dan waktu. 

Program tubel S3 yang seharusnya clear dalam tiga tahun, molor (melarat/undur) seperti karet (getah) gelang direndam minyak tanah. Molor thok, tak apa-apa, Ndes. Lha, ini moloranya suruh bayar sendiri, sak moloran Rp10,2 juta. Dhuwit kabeh kuwi (duit semua tuh), ra/tidak kecampuran kreweng!

   Penyebabnya apa lagi kalau bukan disertasi (thesis). Berbeda dengan skripsi yang cukup berbekal buku sekrip sudah bisa konsultasi. Atau tesis yang begitu dites langsung mendesis. Disertasi sangat berat kerana meski direwangi ser-seran hasile tetap tak mrantasi.

   "Kalau mengadap Prof X, adaaa.. saja kekurangannya. Yang kerangka teori kurang kuat lah. Metode kurang pas lah. Narasi kurang tajam lah. Dan itu berlangsung belasan kali!" keluhku jengkel. 

   Sayang si Udin yang saya ajak berkisah malah tertawa. "Kalau kerangka teori kurang kuat, besok coba kasih besi cor (cast iron/besi tuang)16 mm. Metode kurang pas, coba pakai metode pantang-berkala. Narasi kurang tajam, Naah.. ganti siletnya!"

Woo.. Jindul nan cah ikih! Memange arep nyukur jem..pol, ndadak nganggo silet byarang! (Memangnya mau cukur jempol/ibu jari mendadak pakai pisau silet)

Tapi sarannya benar-benar aplikatif, kerana mampu melayangkan botol aqua kosong ke atas kepala. Kepala dia tentu saja! Hhhh...

Melihat saya metu sungute, Udin bergegas minta maaf, sambil pasang wajah memelas. 

   "Sesama korban KDRT dilarang saling menggerutu, boy," ujarnya sambil menunduk.

   "Apa itu KDRT?"

   "Koming Disertasi Rambut Telas."

   "Ha ha ha!" gelakku sambil gak sadar mengelus rambut yang memang semenjak ambil S3 mbrodholi secara signifikan.

   "Kamu enak, cuma bongkar-pasang. Lha aku malah disuruh ganti judul..." ujarnya lirih.

  "Laah.. bukannya sudah ujian komprehensif?"

  "Justru di ujian kompre itulah disertasi saya dibongkar habis-habisan, mulai kulit, daging, sampai ke duri-durinya," katanya sendu.

  "Hadeuuh.. tapi, kok bisa sampai ganti judul ya? Bukannya tahap demi tahap penulisan selalu dalam pengawalan promotor?"

  "Promotor utamaku wafat, Nda. Konsul cuma dengan koprom. Tapi beliaunya sakit. Jadi saya ibaratnya nyopir (memandu) mobil balap (kereta lumba) tanpa navigator, akhirnya ya nabrak..." (nabrak-langgar/eksiden)

Duuhh.. epik iki, ndes! 

Tapi pembimbingku, Prof Y, juga tak kalah epik. Kalau konsul dengan beliau, duuuhh... perut bawaannya mules (rasa mual) melulu. 

   "Bagaimana tidak mules. Minggu lalu minta agar ditambah teori A, B, C. Sekarang minta diganti D, E, F. Besoknya, eh, minta balik ke A, B, C. Ini sebenarnya bikin disertasi apa kangen (rindu) mantan sih, kok theklek kecemplung kalen?" runtukku. 

Giliran kali ini Udin yang ngekek.(ketawa ngakak)😁

   "Marilah kita nikmati kendala ini secara tumakninah...," ujarnya.

   Eh, itu belum termasuk sulitnya kencan (dating) dengan pembimbing. Ada loh yang dicari di kampus tidak ada, ditelepon tidak diangkat, di-SMS tak balas. Giliran didatangi di rumah, pembantunya yang menemui bilang, "Kata bapak, urusan akademik agar diselesaikan di kampus saja!" Woooh...

    Saat saya intip ruangannya di fakultas, sadubintul.. ternyata kalender sebulan sudah dilingkari semua! Keterangannya: Darwin, Manila, New Delhi, Kualalumpur, Jakarta, Dili, Medan, Makassar, Jayapura. Weh, kuwi jane agenda dosen apa pilot, Ndes? (Kamu sebenarnya agenda pensyarah apa pilot,bro)

   Kadang sudah senang dapat antrean konsul. Ditulis di papan: Gunarjo, Khamis 9/5, 13.00. Ditongkrongi sejak jam 11.00 sampai beduk Maghrib, bapak kita ini ternyata tidak muncul. Baru saya sadar, ternyata tidak ada keterangannya itu WIB, WITENG, WIT, atau GMT. Juga tidak ada tahun berapa! Jangkrik tenan.. aku! (Jakun betul...aku!)

  Tapi yang baiiikk.. banget juga ada. Seminggu saja tidak kelihatan, sudah SMS atau titip pesan agar segera konsul. Cuma ya itu, setelah berkas disertasi masuk, selanjutnya ditumpuk manis di mejanya. "Ambil minggu depan!" katanya sumeh.

   Minggu depan, alih-alih dapat giliran dibahas, justru tumpukannya makin menggunung. Di mana draf disertasi saya? Entahlah... Dia masih di meja, tapi telah menjelma serupa karya instalasi pengetahuan bersama paper, skripsi, tesis, dan disertasi lainnya!

Toh, saya tetap optimis. Bibat salmat... (biar lambat asal selamat). Konon makin cepat lari, makhluk akan makin cepat mati. Singa yang larinya cepat, umur maksimal cuma 14 tahun. Tapi kura-kura yang lelet bisa mencapai 150 tahun.

   "Dinikmati saja kelambatan ini, semoga membuat kita panjang umur," hiburku.

   "Baiklah. Tapi kantong jebol untuk bayar SPP (wang kuliah) bikin otak larinya kencang juga, akhirnya ya kepotong lagi umurnya," protes Udin sengit.

  Saya cuma nyengir.

   Faktanya, menunggu tetaplah membosankan. Sulit ketemu pembimbing tetap menjadi siksaan. Dan otak yang bundel sulit diajak mikir, adalah penderitaan tersendiri. 

Sampai suatu ketika, saya dilanda laptomia neurosa. Penyakit mual luar biasa saat membuka laptop! Jangankan membuka folder disertasi, baru menekan tombol on saja perut langsung kemruwes! Mbukak file, mau nunul tuts kibor, tenaga serasa lenyap. Selidik punya selidik, itulah sindrom disertasea yang nyaris melanda seluruh mahasiswa S3.

   "Jangan menyerah, Mas. Yang mendewasakan intelektualitas para penyintas doktoral bukanlah hasilnya, tapi proses anda menuju ke sana," hibur salah seorang profesor senior.

   Setuju, Prof! Saya tidak hanya dewasa, tapi sudah hampir dimakan codot lantaran telanjur menua di kampus. Masalahnya, maukah panjenengan ikut nomboki SPP Rp10,2 juta kali jumlah semester yang molor? Mboten kan...(Tidak kan...)

Maka sebuah kenikmatan yang amat nikmat, saat 5,5 tahun sejak pendaftaran, Pak Kaprodi memberi khabar bahwa saya sudah boleh ujian tertutup.

   "Ujian tertutup itu bagaimana, sih?" tanyaku pada Non, satu-satunya teman seangkatan yang sudah lulus duluan.

   "Sampean masuk ruangan bersama penguji. Setelah itu, pintunya ditutup," terangnya.

   "Wooh, cuma gitu ya? Trus di dalam ngapain?"

   "Gelut lisan, tarung konsep dan gagasan. Dikeroyok tujuh dan sampean harus bertahan mati-matian. Kalau keluar ruangan meringis, berarti menang. Kalau keluar sambil nangis, berarti wassalam," urai Non alegoris.

Waduuh. Berat amat ya. Maka pada hari H saya sengaja ngajak Nyonya Menir (Istri penulis) untuk menemani ujian tertutup di Ruang Sidang Gedung Lengkung.

   "Tugasku apa, Mas?" tanya Nyonyaku.

   "Jaga di depan pintu. Itu saja sudah cukup untuk membantuku."

   "Apa hubungannya?"

"Siapa sih di dunia ini yang tidak takut Emak-Emak. Saya yakin, kalau lihat Emak-Emak jaga di luar, para penguji akan jiper dan tidak akan meneterku dengan pertanyaan yang sulit-sulit," godaku sambil tertawa.

   "Asyeemm!" ujar Nyonyaku sambil tertawa lepas dan nggablog punggungku keras-keras.

   Entah kerana ngeyelku yang kebangeten, atau penguji takut beneran pada Emak-Emak yang di luar, he he.. ujian tertutupku berjalan lancar. Cuma revisinya, ya ampuun.. nyaris separuh!

Saya kok jadi curiga, jangan-jangan para penguji baru baca disertasiku pada saat ujian tadi! Tapi ya sudahlah.. yang penting saya bisa lulus tepat waktu! Maksudnya.. waktu ala UGM! He he he.. Hora cumlaude hora papa, ndes! Sing penting bisa keluar ruangan sambil meringis, ora nangis. 

   Konon, kata yang sudah doktor, ujian tertutup itulah walimatun nikahnya. Kalau ujian terbuka itu cuma walimatul ursy alias resepsinya. Jadi sejatinya, saya sudah nikah.. eh, lulus. 

Tiga bulan kemudian, tepatnya 15 Januari 2015, saya ujian terbuka. Benar kata orang, tak se-deg-degan yang tertutup. Pertanyaan para penguji juga tidak sesulit pertanyaan saat ujian tertutup dulu. 

   Mungkin kerana kali ini saya bawa pasukan sak bergada. Istri, anak, orangtua, saudara, teman, kolega, semua hadir. Kalau saya dikuya-kuya dan disudutkan, pasti pasukanku akan bergerak.. ha ha ha..😅

Habis disemati gelar doktor dan salam-salaman, penguji dan tetamu pulang. Saat tinggal bersama Istri dan anak-anak, tiba-tiba saya dilanda kegalauan yang sulit dijelaskan. Sedih, trenyuh dan gembira campur aduk di benakku.

"Ada apa, kok malah nglangut?" tegur Nyonyahku.

  "Sudah lulus.." bisikku.

"Ya. Artinya.."

  "Artinya aku harus kembali ke Jakarta. Kerja lagi. Menjadi roker lagi. PJKA lagi. LDR lagi..."

Nyonyahku memandangku dengan mata berkaca. Lalu memegang tanganku erat-erat.

"Hidup itu untuk dijalani dan disyukuri, bukan untuk difikirkan dan dipermasalahkan. Syukuri dulu kelulusanmu, Pak Doktor," ujarnya sambil tersenyum.

   "Oh iya ya.. Alhamdulillah, Ya Allah... akhirnya Kagama juga!"

(FINAL RESULT) 
[HSZ]

Untuk Anda yang belum baca siri cerbung yang sebelumnya,
Anda boleh lihat disini linknya;
  Misteri Nusantara  

Courtesy and Adaptation of Novels by, Nursodik Gunarjo
Ilustrasi Image; Doc, Romy Mantovani 

#indonesia, #kuncen, #misteri, #misteri,

No comments