MISTERI KUNCEN Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 3 Part 47]
MISTERI KUNCEN Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 3 Part 47]
Cerbung (Cerita Bersambung) Horor, Humor, Komedi, Lucu, untuk hiburan para SahabatWAITING FOR GAMA
LANJUTAN CERBUNG KUNCEN
[Chapter 3 Part 47]
KRISISFORTUNA MEDIA - Setahun jadi PNS, tidak kerja tapi tetap digaji. Bukannya senang, justru bikin dilema tingkat akut! Lha yak apa, gajinya jadi modis je. Modisimpan takut dibilang makgabut--makan gaji buta. Modisebar-sebar kok ya le nyimut, he he..😂
"Kalau kamu ragu, sebagian gajimu disodakohkan saja," saran Silikon yang malam itu mendadak ustaz.
"Gitu ya, ustaz Silly Al-Tubany?"
"Iyes. Kerana sedakah bisa membersihkan harta."
"Terus sebagiannya diberikan ke siapa, Taz?"
"Ke... saya juga boleh!"
"Waak.. cik enake, peno?"
"Salah satu golongan yang berhak menerima sodakoh adalah ghorim, orang yang banyak hutang. Hutangku lo, arang wulu kucing!" katanya.
"Iku ngono hutang digawe dhewe, ndes! Lha kalau ukurannya banyaknya utang, Lim Siauw Liong tuh, hutangnya sak ndhayak! Mosok aku nyedekahi konglomerat, rek?"
Silikon cuma nyengir. "Aku kan juga konglomerat, se.. gaweane kongkow-kongkow masiya lho tetep melarat!" (gaweane-kerjanya)
Jia ha ha ha! Ustaz gadungan ya gini ini. Untuuung.. melulu yang dicari! Diri sendiri didulukan, orang lain belakangan!
Tapi okelah, saya ikuti saran Silikon. Tiap awal bulan saya berupaya mentraktir-belanja kawan-kawan PS yang menurut UUD 1945 berkategori "dipelihara oleh negara".
Menu traktirannya gak tentu. Kadang menu ala Pakistan, Pakis pinggir Etan. Kadang menu ala Eropah: ndhog ceplok. Tapi yang paling sering ya menu ala.. kadarnya!
Maklum lah, gaji PNS cuma sak nul. Diambil sekian persennya cuma sak nil. Paling maksimalnya ya untuk beli beberapa bungkus SS. Toh kawan-kawan PS gak ada yang berani protes. Kerana hukumnya, siapa protes, nasi kembali! Ha ha ha...😅
"Moga-moga awakmu tidak segera dapat kantor baru, Gun. Biar kita dapat gretongan terus!" celetuk Fadil yang lantas diaminkan kawan-kawan.
"Doamu mengandung arsenik, kisanak. Bening tapi mematikan!" potongku geli-geli sewot. Kontan semua ngakak.
Toh doa Fadil yang cengengesan itu tak terkabul. Buktinya sebulan kemudian, pegawai eks Deppen, termasuk saya, dimutasi menjadi PNS Dinas Infokom Provinsi Jawa timur (Jatim). Asyik, kerja lagi, ndes!
Anehnya, kantornya tetap di gedung Deppen lama di Gedangan! Jadi, secara faktual ya gak ada yang berubah, selain seragam dan nama kantor. Karyawannya 98 persen eks Deppen. Pekerjaannya pun 11-12. Loalaa...😁
Saya cuma geleng-geleng kepala. Kalau gak ada yang ganti secara signifikan, lalu kenapa harus bubar dan karyawan terkatung-katung menunggu selama dua tahun?
Tapi akhirnya saya sadar bahwa inilah Indonesia, dimana segala keanehan bisa terjadi dan kemusykilan turun kasta menjadi biasa-biasa saja!
BACA JUGA
Tazkiyatun Nafs, Terjemahan [3]
MISTERI KUNCEN Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 3 Part 46]
Biarlah, itu urusannya para pakar. Saya sih ngurusi nglajo saja. Sehari naik bus kota 16 km ke Timur, balik lagi 16 km ke Barat, cukup lumayan juga.
"Dalam sebulan, perjalananmu sudah sepanjang jalur Daendels," gurau Cak Bam.
"Wis gak papa, Cak. Disyukuri, dilakoni, dinikmati. Kuat diteruske, ora kuat dilanjutke. Suwe-suwe kan legrek karepe dhewe, he he he!" jawabku santai.
"Sampean masih kemudahan. Saya nglajo Bangil-Surabaya sehari 100 kilo saja ketabahan. Sudah 56 tahun sama sekali tidak kemandegan," kata Pak Jeglek memompa semangat saya dengan bahasa Madunesianya.
Tos, Pak! Kita satu semangat satu nyali, wani! Wani legrek maksudnya. Mosok anak muda kalah sama Pak Jeglek, kan kemaluan! (Lagi-lagi ini bahasanya Pak Jeglek).
Yak apa lagi. Batang kenikir dimasak pecel. Beli kanji di Banyuwangi. Daripada difikir bikin simpel. Mending dijalani sambil nyanyi.😝
Pekerjaan di Dinas Infokom mulai jalan, eh giliran PS yang dilanda resesi. Bencana itu berawal dari harga kertas yang melejit naik hingga 100 persen. Disusul harga bahan cetak lainnya seperti tinta dan plat yang ganti harga hingga 350 persen.
"Wah, harga langganan terpaksa naik dong?" ujarku.
"Pihak manajemen menolak opsi itu. Dengan harga sekarang saja, jumlah pelanggan terus merosot. Apalagi kalau harga dinaikkan, bisa habis," keluh Iryan.
"Sekritis apa kondisinya?"
"Waktu sampean masuk tahun 1993, oplahnya masih 17.000. Setelah pukulan krisis moneter 1998, oplahnya tinggal 11.000. Dan itu masih terus menurun," papar Iryan.
Duuhh.. kalau ini problemnya seriyes, ndes! Gak bisa diselesaikan di Warsal. Apalagi kabar terakhir, kertas koran rol yang jadi bahan baku PS juga makin langka.
"Yak apa kalau kertase diganti daun pisang saja?" canda Silikon.
"Bisa sih. Cuma isinya PS nanti bukan cerkak, cerbung, alaming lelembut, tapi lontong, sate, lemper, RC," sambung Sugeng.
Saat rasan-rasan itulah, Pak Ali tiba-tiba lewat, menatap tajam sambil berdehem. Kontan percakapan itu berhenti mendadak seperti orong-orong keinjak.
Rupanya Pak Ali kurang berkenan karyawan mengolok medianya sendiri. Yah, memang zamannya lagi susah. Banyak orang menjadi sensitif. Salah bicara bisa gawat sak tilpun-nya!
Siangnya, Pal Ali memimpin rapat pleno khusus untuk menyelamatkan PS. Seluruh karyawan hadir.
"Agar bisa tetap terbit, halaman PS terpaksa harus dikurangi. Jika tidak, dengan harga yang sama, ongkos produksinya tidak akan nutup," kata Pak Ali dengan wajah mendung.
Jadilah mulai hari itu, PS yang semula terbit 52 halaman terpaksa dipangkas menjadi 36 halaman. Beberapa rubrik terpaksa diamputasi, tinggal tersisa rubrik favorit pembaca. Itupun panjang narasinya dibatasi.
Untuk penghematan, kertas korannya memakai low grade. Plat cetak pakai yang termurah, meski gampang teroksidasi. Tinta juga demikian, pakai non standar. Separasi warna sampul juga tidak dilakukan di atas film, namun memakai kalkir.
Tapi memang ada harga ada rupa. Kerana bahan-bahan yang dipakai semua kelas embek, maka hasil cetaknya juga jelek. Namun para pembaca tampaknya bisa memahami hal itu. Buktinya, oplah PS tetap bertahan di angka 11.000 eksemplar.
"PS sungguh ajaib. Manajemennya nomor wahid, pelanggannya fanatik, karyawannya solid. Saat media yang lain berguguran diterpa krisis, PS masih eksis," puji DI, salah satu anggota Serikat Penerbit Suratkabar Jatim, saat mengunjungi PS.
"Iyalah, eksis kerana ada saya!" ujar Silikon sambil menepuk dada, sesaat setelah rombongan SPS pergi.
"Waaak, sombonge koen! Memange kontribusimu ke PS sepenting apa?" potong Iryan.
"Sangat penting! Saya memang hanya tukang bikin judul dengan Rugos. Tapi coba bayangkan, PS terbit tanpa judul.. Pelanggan pasti marah dan langsung putus hubungan!"
Bwa ha ha... bisa ae!
"Owww, gak bisa rek ya! PS paling kepentingan dengan saya!" protes Pak Jeglek sambil berdiri.
Semua kaget dan memandang Pak Jeglek dengan tatapan heran.
"Sampean paling penting? Kok bisa?" kejar Sugeng.
"Luu.. ndhe remma'... Meskipun PS telah kecetakan, tapi kalau alamat tidak saya jeglekkan, mau dikirim ke mana ho? Di gudang, PS jadi ketumpukan!"
Mendengar penjelasan Pak Jeglek, semua tertawa terbahak-bahak. Ha ha ha! Masuk! Masuk!
"Tapi kalau saya pikir-pikir, Warsal juga institusi penting yang sangat berpengaruh terhadap hidup-matinya PS," celetukku.
Tanpa KS alias Kopi Salam, arek-arek pasti kengantukan gak bisa kerja. Tanpa SS alias Sega Salam, semua pasti kelaparan. Padahal kata Soekarno orang akan mikir perutnya dulu sebelum mengerjakan yang lain. The stomach cannot wait! (Sega -Nasi)
"Hidup Salam!" teriakku sambil mengacungkan kepalan tangan..
Tiba-tiba Bu Salam muncul dari dalam warung. "Ojok seru-seru apa-a! Wonge durung hidup! Jik matek! Tuh lihat, masih selonjor di bangku!"
Woalaah.. 😂
(Wonge durung hidup! Jik matek! -Orangnya belum hidup!.Masih mati).[hsz]
To be Continued...
Untuk Anda yang belum baca siri cerbung yang sebelumnya,
Anda boleh lihat disini linknya; Misteri Nusantara
Courtesy and Adaptation of Novels by, Nursodik Gunarjo
Editor; Romy Mantovani
Kredit Ilustrasi Image; Doc, Romy Mantovani #indonesia, #kuncen, #misterinusantara, #misterikuncen,
VIDEO ;
No comments
Post a Comment