MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter I Part 3]
MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter I Part 3]
Chapter I Part 3, 'Kuncen'
Artikel ini lanjutan dari thread sebelumnya,
MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter I Part 2]
Kadang jatuh, bangun, jatuh lagi. Seperti saling beradu pukulan, tendang menendang. Ah, sayang tidak ada kamera supra naturlens, ya, Kalau ada, pasti hebat betul pertarungannya jika direkam. Ada satu jam beliau bertarung. Sampai keringatnya bercucuran dan kelalahan. Sayangnya lagi, kami tak bisa bantu apa-apa selain urun mata dan deg-degan. Saat seru-serunya bertempur, tiba-tiba Mbah Astari ambruk semput. Wah, gawat ini! Kami semua hanya bisa mbebeki, tak tahu harus berbuat apa.
Masak kalah sama lelembut mahu dikasi PPO apa Reumason? Ra mathuk, Ndes! Untunglah, tak lama kemudian Beliau siuman.
"Waduh...nyuwun ngapunten, Kalian semua.Kulo tidak sanggup menyingkirkannya, Lelembute kuat-kuat dan jumlahnya terlalu banyak".
Gendruwonya saja tiga. Wewenya enam.Yang serupa hewan banyak. Belum yang di tiangitu, ada ratusan jumlahnya," katanya sambil menunjuk tiang yang dulu dipakai Aris untuk nyantolkan-
(sangkutkan) nasi gudeg.
"Tiang itu dulu dibuat dari kayu kuburan sini. Dari dulu memang mereka rumahnya di situ," sambungnya.
Woo..layak..saat digandholi gudeg, mereka protes.Taruhlah, kata seratus lelembut yang marah pipis (kencin9) semua di atas gudeg, sudah tentu gudegnya akan bersalin rupa, warna, bau, dan rasa!
Mbuh pakai adendum atau tidak, keterangan Mbah Yai tadi. Tapi kalau dihubung-hubungkan dengan makhluk besar yang menabrak Aris, si Dhiwut yang mendekap Tarso, pindahnya barang-barang yang saya lihat sendiri, dan kasus basinya gudeg, kok cocok.
Duh... tapi semua gagal di-eliminir sama Mbah Yai. Mau gimana lagi. Habis bertugas, Mbah Astari pamit pulang. Tak lupa tumpeng dan ingkung turut dicangking, plus amplop yang diselitkan Mas Ari ke saku gamisnya.
Weeh..enak betul, Ndes. Tugas gagal pun tetap bayaran. Sekiranya ada masa depan, Aku ingin juga berprofesi jadi syetan remover. Saat tugas tinggal bilang saja kepada yang mengundang: Setannya kuat-kuat, Pak, lalu ambil amplopnya.
Hihihi...Lima hari menjelang Sipenmaru kami fokus belajar. Untuk sementara segala gangguan nonteknis kami abaikan.
Entah kerana kebacut kebal dari bau hantu atau urat takut sudah pada rantas, hal-hal menyeramkan pun turun kasta jadi biasa saja.
Bahkan kalau semalam saja tak ada yang glodhakan, di hati muncul pertanyaan, "Kok tumben sepi?"
Jika kemarin mimpinya tentang dikejar wajah-wajah seram, maka makin dekat Sipenmaru yang sering muncul di mimpi adalah dikejar rumus-rumus dan huruf-huruf. Sumpah, ini jauh lebih mengerikan!
Kebayang tak sih, kayak apa dikejar-kejar Times, New Roman 12 pt mesin type manual...
DEN MASE GEN-W
Gendruwo tiga, wewe enam, yang serupa hAIwan banyak, yang di cagak/tiang jumlahnya ratusan. Kata-kata Mbah Astari itu terngiang-ngiang di telinga. Sebanyak itu, ya? Canggih juga Mbah Yai. Ngitungnya pasti pakai sensus dengan total sampling nih...Tapi saya yakin 99% kalau penghuni rumah itu memang ada gendruwonya, kerana bau khasnya tak bisa diingkari.Eh...dikit-dikit saya juga punya sixth sense yang bisa detect bau MH (makhluk halus), lho. Bau wengur seperti ketela/keledek rebus, itu pasti 'Gendruwo'. Wangi bikin kita mual, itu 'Wewe' atau 'kuntilanak'. Busuk, biasanya 'Jerangkong' atau 'Pocong'. Kalau bau 'pesing' (hancing-amis)..Ah, itu sih Anak-anak mengaji yang pis of cur di pojokan kerana tak berani ke kamar mandi!
Tapi tak pernah terpikir kalau berbagai varietas Lelembut itu ternyata kumpul di rumah ini. Wah, kalau ini sih namanya asrama! Opas, asramanya patut diduga Pak Gendruwo atau Bu Gendruwi. Soalnya mereka itulah yang posturnya paling besar. Mas Ari, si empunya rumah, mengaku pernah melihat makhluk tinggi besar. Kepalanya sundul/tembus bubungan/bumbung rumah. Rambutnya dhawul-dhawul. Tangannya sepanjang doplangan sepur-(keretapi induk). Matanya merah seperti lampu LED. Dan (maaf) sesome siged-siged nglembreh-(menggelebeh-melorot) sampai perut. Kata dia lho,ya.
"Yang saya lihat yang betina, Mas," kata Mas Ari sambil kirig-kirig. Woooh! Wallahu a'lam, Apa si Emak itu yang umbar cupang di leher Tarso? (umbar cupang itu-seperti ciuman atau bekas gigitan)
Kerana saya sendiri tak mau, kalau mau di ceritakan secara detil perihal sosok gigantik itu. Apa lagi suruh ketemu, amit-amit jabang baby! Big No!
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak (kecuali bakso Malang). Malam itu saya terpaksa tidur sendirian di kos. Tanpa kabar-kabari, Unang, Aris, Tarso pulang ke Wonosobo. Itu pun saya tahunya dari Mas Ari yang waktu Isya' tadi pamit mau menginap di Condongcatur.
Oya, perihal kepulangan gerombolan si Berat itu alasannya leceh banget: kerana ada kebetulan mobil gratis milik kakaknya Tarso yang mau mudik ke Wonosobo. Kirik plastik tenan! Coba kalau ngaku teman senasib se-perkerean, kasih tau saya, dong.Kan saya bisa ikut juga, Ndess!
Yang saya tak habis fikir, ini kan kurang tiga hari lagi Sipenmarunya. Pulang kampung ya, Ada perlu apa? Mahu cari jimat (azimat/tangkal) Lik Paidi Wadaslintang ya? Percuma aja. Tahun lalu anaknya Lik Paidi aja gagal masuk Yujiem owg!
Sepanjang malam saya misuh-misuh sendirian. Sungguh saya merasa teraniaya dengan polah kawan-kawan. Apalagi saya cek mereka tidak meninggalkan apa-apa untuk dimakan.
Hellow..Orang ronda ramai-ramai di pos kamling aja dikasih kopi sama blangreng. Lhah, saya solo guardian, disuruh garingan-(kelaparan).
Jam 01.15 mata malah makin lebar. Sepertinya ini isyarat agar saya "wayangan", istilah saat itu untuk belajar sampai pagi.
Okelah, saya pun beranjak mengambil bundel soal-soal warisan kakak Moyang.
Baru saja membukak sampulnya, tiba-tiba..pet! Letrik oglangan (padam). Bukan njeglek, tapi padam total seantero Yogya.
Jindul tenan PLN... mbok kalau mau membunuh setrum kasih tahu, kenapa. Kan saya bisa siap-siap..tidur dulu, kek. Kalau gini kan jadi miris.
Suasana sangat gelap. Benar-benar gelap sempurna. Sampai ujung hidung sendiri pun tak tampak. Seingat saya di dekat pintu menuju dapur ada lampu teplok. Saya meraba-raba dalam gelap. Nah, ketemu. Tapi di mana korek-apinya? Duhh... teplok tanpa korek api itu tak beda dengan jomblo-bujangan tanpa mak comblang: tak berguna babar blas!
Selagi mencari-cari letak korek api, tiba-tiba terdengar suara dehem yang serak dan berat dari pojokan. Saya njenggirat. "Siapa?" tanya saya. Tak ada jawaban.
"Mas Ari, ya?" Tetap sunyi. Tiba-tiba ada angin berkesiur membawa bau yang tak asing bagi hidung saya: bau wengur seperti ketela rebus.(ubi kledek rebus)
Blaiik! Tak salah lagi, yang ada di hadapan saya sudah pasti Den Mase Gen-W.
Saya lirik di pojokan atas dekat plafon, ada sepasang mata besar, merah, menatap tanpa kedip. Sontak dengkul saya lunglai. Tak terasa saya ndheprok di tempat. Lemas tak berdaya.
Hairannya, saat itu saya sama-sekali tidak ingat berdoa. Yang ada di fikiran hanya bagaimana berupaya bangkit dan sesegera mungkin lari ke tempat lain.
Namun baru setengah berdiri, tiba-tiba sebuah tamparan mendera mata kiri saya. tak sakit, tapi sungguh mengagetkan.
Byar! Saat itulah tiba-tiba lampu di kamar sebelah menyala. Saya terkesiap kerana ternyata saya berada di tempat yang asing.
Masih di rumah yang sama, tapi di ruangannya belum pernah saya masuki. Sebuah ruangan yang penuh debu dan sarang laba-laba.
“BUTA” SEBELAH
Bagaimana bisa saya tiba-tiba berada di kamar ini? Lewat mana masuknya? Tapi pertanyaan itu segera terlindas rasa giris yang kembali menyekap.Bergegas saya berlari menuju pintu. Handel saya tarik sekuat tenaga. Brak! Terbuka. Dan...Alhamdulillah seberkas sinar dari ruang ngaji langsung menerpa muka saya.
Ooalah...ternyata saya tadi masuk ke ruangan yang letaknya di sisi timur ruang mengaji. Ruang yang sudah puluhan tahun tidak pernah dibuka kerana, kata Mas Ari, kuncinya hilang. Tapi kok saya bisa masuk dan keluar dengan mudah? Ini benar-benar bikin garuk-garuk kepala.
Saat balik ke kamar, saya baru sadar ada yang aneh di mata saya. Pandangan mata seperti kabur. Hah..jangan-jangan itu akibat dari tamparan tadi?
Saya langsung ambil kaca spion Honda si Pitung (Honda pitungpuluh) yang difungsikan sebagai cermin obat nggantheng.
Di bayangan cermin, tak ada yang aneh di wajah saya. Tak ada luka. Mata juga tampak biasa-biasa saja. Cuma memang pandangan agak kabur.
Saat saya coba tutup mata kiri dengan telapak tangan, semua masih tampak jelas. Tapi saat ganti mata kanan yang ditutup, Astaghfirullah, saya tak bisa melihat apa-apa! Saya uceg-uceg mata kiri saya..saya tes lagi..Yungalah,saya memang "buta" sebelah!
Simpulan saya satu: pasti karena tamparan tangan ghoib Den Mase tadi.
Sepanjang dini hari, mata kiri saya pegangi sambil baca semua doa dan wirid yang saya bisa. Mulai istighfar, suratan pendek, sampai ayat Kursi saya baca.
Harapan saya sih, dengan doa-doa itu apa pun yang menutupi mata saya bisa hilang. Tapi hasilnya nihil. Tetap saja mata kiri saya tak berfungsi. Hati saya gundah gulana. Gimana tidak, lha, untuk baca sulit je... Padahal dua hari ke depan menjelang Sipenmaru ini tugas dan fungsi mata harus maksimal.
Waduh, gimana mau Sipenmaru mata buta sebelah, tunggu besok kita baca dengan mata sebelah nombor (4) nya ya,
To be Continued..
Courtesy to (Karya; Nursodik Gunarjo)
Adaptasi dari judul asal 'KUNCEN Kisah Perjalanan Menembus Gadjah Mada'
Editor; HSZ/FortunaNetworks.Com
Kredit Ilustrasi Image; pinterest.com/pin/
Follow me at;
Kredit Ilustrasi Image; pinterest.com/pin/
Follow me at;
No comments
Post a Comment