MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter I Part 2]
MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter I Part 2]
Chapter I Part 2, 'Kuncen'
Artikel ini lanjutan dari thread sebelumnya,
MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading
"Iya, tapi basi. Nih, malah sudah ngiler."
"Iya, tapi basi. Nih, malah sudah ngiler."
"Aduuhh... coba buka gudegnya!" Ya Allah...ternyata gudeg, krecek, tahu, tempe, telur, semua basi. Berbau dan ngiler. Bahkan tehnya pun baunya anyir.
Kami berempat beradu pandang keheranan. Kok bisa? Namanya saja darah muda nan bokek pula, tak terima dong beli gudeg dikasih basi begini.
Marahlah kami. "Ayo, balekke nyang bakule!"-(Pulangkan ke bakulnya)
Kontan kami berempat menghambur ke pasar, mencari Bu Sri penjual gudheg. Sampai di tempat suasana masih ramai. Yang ngantri banyak. Yang makan bejibun, termasuk Pak-pak becak. Semua tampak lahap. Tak tampak sedikit pun ada yang terganggu kondisi masakan.
Saya mendekat dan mendeliki gudeg di baskom-(bekas besen). Lalu saya ambus-ambus ala Tom yang musuhnya Jerry itu.
Faktanya: baunya tetap harum segar menggugah selera. Saya pun langsung jiper. Niat mengadili bakul gudeg pupus seketika.
"Disini fresh semua, piye ki?" ujar saya.
"Tapi nggone dhewe sayup, Ndes!" gerutu Aris dengan wajah memelas. Saya, Unang, dan Tarso cuma bisa angkat bahu, lalu kompak balik kanan menuju rumah kos. Bungkusan gudeg senilai Rp1.000 kami lempar ke bak sampah.
Sepanjang jalan kami membisu, marah luar biasa. Marah pada 'Lelembut' penghuni rumah yang telah membasikan gudeg kami. Okelah, kami ditakut-takuti tidak apa-apa. Tapi mengambil hak makan malam kami yang duitnya pas-pasan, itu sungguh tak bermoral!!
Sampai di rumah, Aris langsung mengambil sapu lidi lalu menuju tiang tempat tadi menggantungkan nasi gudeg. Dengan sekuat tenaga digebukinya tiang itu dengan sapu sambil menantang gaduh.
"Hei, lelembut penghuni rumah ini! Kita sesama makhluk dan manusia diciptakan lebih sempurna! Kalau kalian keterlaluan, aku habisi kalian! Mari kita bertempur!"
Awalnya saya ingin ikut nggebuki cagak-(tiang) juga. Tapi kok...lucu ya. Apa salahnya cagak itu? Tapi... lama-lama perangai Aris kok jadi tak terkendali, melompat-lompat, teriak-teriak, gebuk-sana gebuk-sini, seperti orang kesurupan. Matanya memutih dan gerakannya ngawur.
Tak pelak, perilakunya sempat jadi tontonan anak-anak yang mau ngaji. Terpaksa Aris saya gelandang ke kamar, saya ajak istighfar dan saya tuntun baca ayat Kursi.
Setelah reda, saya suruh wudhu' dan istirahat.
Setelah mengajar surah pendek, saya, Tarso, dan Unang menyempatkan menengok Aris di kamar.
Saya lihat tubuh Aris lunglai tak bergairah. Matanya menerawang seperti memikirkan sesuatu.
"Ris...piye awakmu?" "Tak apa-apa kok...aku...aku ..."
"Piye, Ris? Keneng apa awakmu?"
"Aku...aku... "
"Duuhh...kowe piye?"
"Aku...aku...lapar ..."
"Jinduull!! Memangnya kowe thok sing ngeleh-(lapar)?
"Disini semua ya, mlintir ususnya, Ndesss!!"
Kami tertawa ngakak. Jadilah malam itu kami lanjut puasa sampai pagi...
POLTERGEIST
'Suara pating glodhak' itu terdengar hampir tiap malam. Asalnya dari ruangan yang dipakai untuk mengaji anak-anak. Ada yang seperti ketukan jari di papan, dentum palu, dhug-dhug seperti orang menggali tanah, suara benda berat bergeser, langkah kaki, sampai suara perabot rubuh. Tidak keras banget, tapi cukup mengganggu.
Sebenarnya sudah sejak malam pertama tinggal di situ, saya sudah curious dengan keberisikan tengah malam itu. Awalnya saya kira itu pokal tikus, curut and the gang. Maklum, rumahnya agak kotor, terbuka, dan banyak dinding bolong.
Tapi lama-lama saya sadar, tak mungkin tikus and the gang. memindah bangku dan lemari, kan? Lha ini tiap pagi bangku mengaji yang sorenya sudah rapi, bubrah lagi susunannya. Bahkan lemari kayu nangka yang berat (tak ke-detect apa isinya, kerana posisi terkunci dan kuncinya hilang) juga sering berubah posisi.
Hanya Catwoman dan Mighty Mouse yang bisa melakukan itu, Ndes!
Sejauh ini kami mengambil sikap moderat, membiarkan saja itu terjadi. Wis karepmu kono, arep dha konsert, ya silahkan. Do your own bussinness. Kalau ada yang berantakan ya paginya ditata lagi. Dah gitu saja.
Tapi lama-lama kesal juga sih. Kesal campur kepo: "Sakjannya siapa oknum pelaku pemberantakan itu"?
Suatu sore, Unang yang dulu pernah lapor tentang hal itu saya ajak begadang. Harap saya biar satu pelakunya ketangkap basah. Tapi ia menolak dengan halus.
"Nantik, Nda, aku tak konsentrasi Sipenmaru sik," ujarnya polos
Laah...aku kan ya mau Sipenmaru juga.
Apa hubunganya? Ia beralasan telah memberikan imbauan, tapi tidak digubris. "Kemaren sudah tak pasangi tulisan JANGAN BERISIK! tapi jik rame juga."
Weh, seperti anak EBTA-(peperiksaan) wae, dipasangi tulisan Harap Ujian Ada Tenang. Memangnya lelembut tau mangan sekolahan, Apa?
Tapi sungguh, rasa penasaran saya sudah sampai ke ubun-ubun. Ingin tahu siapa yang menggerakkan benda-benda itu. Rumus kinetika (Kinetics formula) sampai mekanika kuantum (quantum mechanics ) Tak ada yang cocok diterapkan di fenomena Kuncenoida ini.
Tak kurang-kurang saya sampai cari referensi (dulu belum wujud google, Ndes).
Nah, ketemu. Menurut buku bekas yang saya may be baca di Shoping Center, ternyata ada jenis hantu bernama "poltergeist" Dia 'nirkaton', tapi punya energi memindahkan barang-barang. Apa mereka juga yang menghuni rumah ini? Wallahu a'lam.
Malamnya, sengaja saya tidur di ruang mengaji. Saya bentang tikar di situ dan berbaring sendirian. Biarlah Unang berkutat dengan kisi-kisi Sipenmarunya.
Besok aku mintak resumenya. Hihihi...Awalnya merinding sih, tapi daripada penasaran terus tiap malam diganggu, ya mending dibuktikan sekalian. Jelasnya aku memang ingin jadi saksi ahli, ahli makhluk halus.
Belum ada profesi itu? Yang jelas, di ruangan mengaji berukuran 6x6 m disini aku merasa lebih bebas. Setidaknya bebas dari rasa khawatir dipeluk Tarso. Wkwkwk...
Jam 23.30 ngantuk saya tak tertahan. Heran. Mungkin kerana sore tadi makan sayur bayam. Kandungan zat besi sayur bayam masuk ke kelopak mata, jadi berat. Didukung lampu merk lie mang watt, cepat sekali saya terlelap. Saya tidur seperti disirep-(disihir).
Baru mendusin(to finish) seketika terdengar suara dreeed...! dreeed! Suara kaki meja diseret bergesekan dengan lantai. Saya sempat melihat dari ujung mata, meja jati yang biasa untuk menempatkan kitab-kitab bergerak menjauh!
Mak pengkorog...tengkuk-kuduk saya rasanya membesar segede padasan. Anehnya, tubuh saya sama sekali tak bisa bergerak, kaku, seperti orang tindihan. Mau teriak juga tak bisa, kayak orang bisu.
Tak lama bangku-bangku mengaji mulai bergerak sendiri. Ada yang perlahan, ada yang seperti hentakan stacato. Tapi tak tampak makhluk sebiji pun yang mendorong atau menariknya. Benar-benar bergerak sendiri! Entah kenapa, saya yang awalnya pede habis, tiba-tiba kehabisan pede (rasa ingin tau sangat)
Keberanian saya musnah tak bersisa. Mungkin saat itu saya sudah setengah pingsan.
Di ujung kesadaran saya mulai berdzikir dalam hati. Lama-lama bibir saya bisa mengucap, "Allah...Allah...Allah...
Perlahan refleks tubuh saya kembali berfungsi. Saat semua pulih, greg! Semua gerakan dan suara berhenti.
Malam kembali senyap-samun. Saya pun langsung meloncat dan berlari ke kamar sambil nabrak-nabrak.
Sampai kamar, Tarso yang sedang mlungker saya ubruk. Dianya njondhil. Berdiri, mengibas-kibaskan tangan, lalu memandang saya dengan wajah kaget campur jijik.
"Kok main tubruk wae?! Memangnya aku hombreng apa?
"Ya, sudah terserah kamu, Sooo...Wedi owg! Skor satu satu wis".
"Ya, sudah terserah kamu, Sooo...Wedi owg! Skor satu satu wis".
EXORCIST
Namanya Astari. Asalnya dari daerah Pandak, Bantul. Yogyakarta Umurnya 50 tahunan. Orangnya agak kecil walau tak sekecil minion. Kupluk putih (kethu) bertengger di kepalanya. Seuntai tasbih selalu berputar di genggamannya. Orang yang oleh pemilik rumah, disebut sebagai "Mbah Yai" (meski terkesan terlalu muda) ini memang kedatangannya sangat kami nantikan.
Seminggu sebelumnya, Mas Ari, sang sohibul bait, memberi khabar pada kami bahwa ia akan mendatangkan seorang Kyai ahli lelembut untuk "membersihkan" rumah Kuncen.
Wah, kami baru tahu bahwa di Indonesia ternyata ada juga profesi "exorcist" atau malah sebangsa "Ghost Buster" gitu. Jurusan apa ya dulu, kuliahnya? Gelarnya mungkin SpDm, Spesialis Demit. Bravo!
Tentu kami menyambut baik kedatangannya.Terus terang kami sudah bosan dengan gangguan demi gangguan yang menguras energi.
Meski, tentu mendatangkan Beliau tidak gratis, Nda. Ada "petukon rokok" (baca: mahar) dan ubo rampe yang harus disiapkan.
"Mengingat panjenengan menempati rumah ini secara prodeo, maka tolong bantu kami dengan bantingan (urunan-yuran) seikhlasnya," kata Mas Ari.
Sungguh kami tak mampu menjawab "tidak" untuk tawaran ajib ini. Dan sangu kami yang sudah setipis kulit jeruk pun terpotong lagi secara signifikan.
'Ubo rampe' disiapkan di tampah-tempayan. Isinya tumpeng, ingkung ayam, garam, beras kuning, bunga tujuh rupa, dan entah apa lagi hardware dan software lainnya.
Setelah mengelilingi rumah sambil menebar garam dan beras kuning, Mbah Astari membakar kemenyan di ruang tengah sambil komat-kamit.
Kami hanya menonton dari jauh. Tak lama kemudian ia bangun dan pasang kuda-kuda. Lalu tampak bergelut dengan sesuatu. Kadang jatuh, bangun.
Waah seeruuu, Mbah Ari berantam dengan makhluk halus, tunggu bagaimana hasilnya di sambunganya ya.To be Continued..
Courtesy to (Karya; Nursodik Gunarjo)
Adaptasi dari judul asal 'KUNCEN Kisah Perjalanan Menembus Gadjah Mada'
twitter.com/helmysyamza
Courtesy to (Karya; Nursodik Gunarjo)
Adaptasi dari judul asal 'KUNCEN Kisah Perjalanan Menembus Gadjah Mada'
Editor; HSZ/FortunaNetworks.Com
Kredit Ilustrasi Image; pinterest.com/pin/
Follow me at;
Kredit Ilustrasi Image; pinterest.com/pin/
Follow me at;
No comments
Post a Comment