MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 16]
MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 16]
WAITING FOR GAMA
GODAAN 'CAP JIE KIA'
Konon, 'kefakiran (jika tidak tahan uji) akan mendekatkan kepada kekafiran'. Dan ujian ketahanan miskin melarat itu bernama Cap Jie Kia(CJK), jvdi tebak-teka nombor buntut (ekor/nombor digit) berhadiah 10 kali lipat wang taruhan.Awalnya saya tidak tahu kalau kelompok Lakon tertular virus gambling itu. Baru perasan ketika suatu sore, Jes masuk rumah-kos sambil bersorak-sorai. "Horeee ... tembus! Horee ... tembus!"
Waow... kenapa bocah ini kok tumben berkotek-kotek kayak itik babon habis bertelur? Eh, ber-kukuruyuk kayak jagoan habis menginseminasi babon, ding!
"Aku menang Rp100.000, Ndes!"
"Wooh, duit kabeh-semua kuwi-itu? Tak campur kreweng?" sahut saya. Jes tak menjawab, hanya membeberkan 10 lembaran wang bergambar RA Kartini dengan wajah bangga. Duit betulan, bukan duit monopoli!
"Tidak usah ngiri kerana kemarin kamu batal dapat selembar Kartini dari Bu' Sri. Sudah nasibmu, Ndes! Nasibku juga kalau sekarang aku dapat 10 lembar tanpa harus mikul kotak ke mana-mana," sindirnya.
Saya cuma mesem kecut sekecut acar belimbing wuluh.
Jindul ik ... baru enak sithik-sedikit wae-saja wis-sudah metu-datang sinise-sinisnya.
Menungso ... menungsooo-manusia! Ia lalu plodrah. Kemarin habis beli Cap Jie Kia di warungnya Cik Hwa. Nombor yang ia beli 124. Nominalnya cuma Rp100, sih. Tapi kerana tiga nombor yang ia beli sama persis dengan buntut tiga nombor yang diumumkan salah satu radio swasta niaga di Solo, maka ia berhak mendapatkan hadiah 100 x 10 x 10 x 10 = 100.000.
Banyak banget itu! Untuk bayar SPP satu semester yang cuma Rp90 ribu saja, selembar wang gambar Kartini masih bisa balik dompet. Kalau semua untuk beli dawete Bah Bolon Sar Legi, bisa dapat sekolam.
So, bisa menerapkan peribahasa "Sambil menyelam minum cendhol.”
Tapi sebagai alumni pengajian Al-Kunceniyah, walau sebentar, hati saya berontak melihat kawan seiring berbahagia di atas penderitaan penombok Cap Jie Kia yang lain. Harus ditegur, ini.
"Ra mutu... mahasiswa kok beli nombor jvdi buntutan. Lama-lama bisa jadi ajudannya Samino (gambler terkenal Tegalkuniran saat itu) kalian, Ndes!" saya balas menyindir.
"Sekali-sekali kok, Ndes... Ini yang pertama sekaligus terakhir," janji Jes.
"Eh... tapi ngomong-ngomong nanti kamu ikut ke Maido tak, Ndes?" rayunya.
"Ooo ... kalau itu ... wajib," jawab saya.
"Woo ... kancil!" gerutunya. Kami pun mrenges together.
Sambil melahap nasi kucing beberapa eksemplar dan mendengarkan omelan Maido, saya menelisik.
"Jes, kok kamu tiba-tiba beli nombor 124, itu inspirasinya dari mana?"
Mendengar pertanyaan saya, tiba-tiba tawa Jes meledak. Ia terbahak-bahak sampai tersedak. Tentu saja saya kepo habis melihat keganjilan itu.
"Kamu lahir tanggal berapa?" kejar Jes.
"12. Bulan? 4"
"Jadi jika dirangkai..124" ...
Bajinduull! Kamu pakai tanggal dan bulan lahirku untuk nembaki nombor!?" seru saya.
"Tenang, Ndes ... Hak cipta tetap ada padamu. Maka dengan ini, aku hibahkan 10% pendapatanku untuk membayar royalti pada pemilik angka keramat!" ujar Jes sambil menyodorkan selembar Kartini kepada saya.
"Ok, aku terima. Tapi dengan ini aku hibahkan kembali wang ini kepada Hari Mitro agar dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat," ujar saya sambil menyambar wang itu, lalu menyerahkannya ke Mitro.
Jes masih terlongong-longong setengah tidak ikhlas melihat wang berpindah secepat kilat ke saku Mitro.
Tapi semua sudah terlambat. Keputusan sudah dibuat. Tidak bisa diganggu gugat.
"Friends ... kalian memang sahabat sejati. Dalam perang maupun damai. Dalam susah maupun gembira," pidato Mitro.
Kami semua tertawa. Hanya Jes yang melengos sambil memegang sisa wang di sakunya. Kapokmu kapan, Cah medhiitt!
Saya kira kalimat "Ini yang pertama sekaligus terakhir" beli nombor buntutan, diucapkan serius oleh Jes. Nyatanya babar pisan! Secara diam-diam, ia masih rutin membeli CJK. Bahkan nemb@knya tak cuma ratusan rupiah, tapi sudah ribuan, bahkan puluhan ribu ripis.
Yungalah ... Celakanya, Meyek sang juragan ndhog cecak mulai terpengaruh. Ia bahkan secara khusus mendatangi saya ke kamar untuk minta nombor. Tentu saja saya marah besar.
"Kamu gila, Yek! Memangnya saya dukun!!" protes saya keras.
“Sekali ini saja, Nda! Wis, sak omong-omongmu nombor pira-berapa, nanti tak-saya belinya."
No way! Get out!!" bentak saya sambil menuding agar Meyek segera oncat dari kamar saya. Melihat saya marah sungguhan, Meyek ketakutan, lalu beringsut pergi diam-diam.
Sekali-sekali para Gondes ini memang harus di-shock terapi agar tidak kebablasan-keterlanjuran. Belajar dari bang haji Rhoma Irama, jvdi memang meracuni kehidupan.!
Jangan sampai si Meyek yang pekerja keras ikut-ikutan. Bisa-bisa duit ndhog cecaknya habis untuk beli buntutan. Kan, kasihan.
Tapi pagi itu saya terkaget-kaget ketika melihat Meyek memasang sesuatu di daun pintu dengan lem-gam super Alteco.
"Apa itu?" tanya saya.
"Kupon Cap Jie Kia," jawab Meyek tak acuh. "Kok kamu pasang pakai lem super?"
"Biar tidak hilang. Biar jadi monumen. Bukti kalau aku pernah sekali beli dan sesudah itu kapok." Saya acungi jempol dia. Top! Sambil mendekat, saya lihat nombor yang ia beli: 41 dan 14.
"Dapat ilham beli nombor bolak-balik ini dari mana?" tanya saya. Mendengar pertanyaan saya, Meyek diam membisu. Saya kejar, tetap keep-silent sambil angkat bahu. Sorenya, saya dapat khabar dari Tekek bahwa nombor 41 yang dibeli Meyek ternyata tembus! Kerana ia beli Rp500, maka dua nombor ia dapat Rp50.000.
Badhalaa ... Meyek pucat ketika ingat kuponnya sudah dilekatkan di pintu dengan lem super. "Hadeuuhh ... piye-gimana njupuke-ambilnya? Padahal kalau mahu ambil hadiah bukti kuponnya harus dibawa ke warung Cik Hwa," ujar Meyek kalut.
Setelah berembug, sepakatlah Cik Hwa-nya yang dipanggil untuk memverifikasi kupon ke kos-kosan. Tak henti-hentinya, tacike tertawa melihat kupon yang menang itu bertengger di daun pintu tanpa mungkin dicopot lagi.
"Padahal ini kudu-harus disetor ke pusat, eee ... masak dijebol-dipecah sak pintunya?" celetuknya sambil menyeka air mata geli.
Kami hanya bisa ngakak sampai sakit perut. Untungnya, hadiah untuk Meyek tetap turun tanpa harus setor pintu ke agen!
Saat menghitung lembaran duit, saya kembali menanyakan hal-ikhwal dari mana ilham angka 41 itu berasal.
"Dari kamu," kata Meyek perlahan.
"Laah ... kok bisa???"
"Kemarin kamu kan ngusir aku sambil nuding-nuding menyuruh aku keluar ..."
"Ya ... lalu?"
"Orang nuding kan empat jarinya ditekuk, satu jari lurus. Ya tak beli saja 41. Eh, malah tembus!" Saya menepuk jidat sambil teriak,
"Ya salaaaaaammm!!!"
Baca juga; MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 15]
MALA(S) PETAKA
Entahlah, akhir-akhir ini saya malasnya tak ketolongan. Inginnya tiduuurr terus. Tidak siang, tidak malam, inginnya molor-tidur. Apalagi kalau menjelang senja, duuh ... mata ini seperti kena lem-gam glukol. Dempet-melekat tak terkira. Saya sering terlelap sebelum Maghrib, dan baru mendusin alias nglilir jam 23;00 atau 24;00.
Anehnya, setelah itu mata seperti dapat kekuatan baru, berbinar lebar sampai menjelang fajar. Setelah itu merem lagi sampai jam 10 pagi. Eh, siang, ding! Mirip kalong-kelelawar, lah.
"Kamu itu sebenarnya dikirim ke Surakarta Hadiningrat untuk kuliah apa untuk nunut tidur, Ndes?" tanya Tekek suatu hari.
"Woo ... ya kuliah, dong!"
"Tapi seminggu ini kamu cuma masuk dua kali. Sisanya ngorok. Itu namanya tidur nyambi kuliah," tandas Tekek.
Sebelum saya sempat menjawab, dia sudah ngecuwis lagi.
"Aku juga hairan, kamu sekarang tak pernah sholat Subuh. Dzuhur dan Ashar kadang-kadang. Maghrib babar pisan. Dan Isya kelewatan," tegur Tekek.
Wah, kalau ini saya tak bisa jawab. Kerana apa yang dia sampaikan benar adanya. Hairan juga saya, kok bisa begini?
"Aku tukang pacaran, Ndes ... tapi soal sholat tak pernah lupa. Lha, kamu mantan guru ngaji kok malah ndlodor begitu," semprot Tekek.
Ampun, Esmeralda! You are so right. Would you mind to give me a piece of time to change my attitude ... halaahh ...
Pokok intinya ... nasihatmu tak tompo, Ndess! Cling ... tiba-tiba saya ingat pesan Mbah Kyai Soleh:
“Jangan pernah tinggalkan Sholat.” Tapi ironisnya, meski sudah di-warning begitu, saya enteng saja meninggalkan kewajiban yang menjadi tiang agama itu.
Hiiks ... ampuni saya ya, Allah ... Kalau mengingat, menimbang, dst ... dari pesan Mbah Kyai bahwa ada yang mencoba "mengatur" saya, sepertinya benar. Rasanya semua ini bukan kemahuan saya pribadi.
Perti-nyiinnyi: Siapa yang berani ngatur? Wong saya ini tipe orang yang ditubruk endha, didhadhung rantas, dipalang mlumpat (ditangkap ngeles, diikat putus, dipalang loncat).
"Tapi yang saya lihat, kelakuanmu bukan kamu banget, Ndes! Aku sudah setahun bersamamu, jadi hafal bethithetmu (kelakuanmu) sampai sedetil-detilnya. Dan yang kulihat kemarin, bukan kamu!" Tekek meyakinkan saya.
Dengar apa yang diomongkan, jangan lihat siapa yang ngomong. Segondes dan sebuaya apa pun si Tekek, asal mulutnya lagi lempeng, ya saya perlu meresapi nasihatnya. Meresapi.
Bagaimana sembuh tidak malasnya, suka molor... baca ya besuk dinomor 17[hsz] To be Continued...
Courtesy and Adaptation of articles by Nursodik Gunarjo
Rep, Editor; Romy Mantovani
Kredit Ilustrasi Image; pinterest.com
No comments
Post a Comment