MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 15]



<img src="fazryan87.blogspot.com.jpg" alt="MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 15]">
Sambil berjalan ke kos (rumahsewa), saya merasa hairan sendiri.
Kok lelembut takut ya, diancam mahu "dipipisi".

Layak, dulu Mbah(kakek/datok)) saya kalau menyadarkan orang kesurupan dengan cara dipledingi (dipant4ti). Ini tadi baru saya ancam saja sudah ngacir-kabur.
  
Untuuungg...coba kalau tadi sudah kebacut buka celana tapi lelembutnya tak mahu pergi, kan kewirangan-kemiluan saya.Sekali lagi. Untungnya ...

Sampai di kos, saya mendadak kefikiran kotak pusaka yang belum juga diambil oleh Mbah Sudin, adik Ibu kos yang tinggal di Kalibening, Banjarnegara.

Saya sangat berharap kotak yang sementara ini dikembalikan ke tempat semula di kamar Bapak, segera dievakuasi ke Banjarnegara.

Kenapa? Kerana jika Mbah Sudin ngambil kotak itu, saya bisa ngikut mobilnya pulang ke Wonosobo. Rutenya keliwatan. Hehehe ...

Pagi itu, saya sedang nglaras di teras rumah ketika tiba-tiba terdengar bisikan, "Bali (pulang)...bali..." seperti memerintah. Saya hafal betul, itu suara sosok baju putih yang kemarin menolong saya.

Tapi kenapa menyuruh saya pulang? Entah mengapa keinginan saya untuk pulang seperti tidak bisa dicegah.

Apalagi bisikan itu terus saja menggelitik telinga saya. Feeling saya, pasti ada sesuatu yang tidak beres di rumah. Tapi apa?

Daripada tidak tenang, saya memutuskan untuk mengikuti bisikan halus itu. Saat pamitan ke Ibu kos, ia bilang mahu titip sesuatu.

"Tolong bawakan kotak pusaka itu ke Wonosobo, Mas. Biar nanti Mbah Sudin mengambil di rumah Mas Gun saja. Kan Banjar-Wonosobo dekat,"
kata Bu Sri sambil mengibaskan selembar wang sepuluh ribuan gambar Kartini.

Wow... Saya hanya bisa garuk-garuk kepala. Tak tahu ini musibah, apa berkah namanya. Yah, jadi kuli angkut bentar tak apa-apa lah. Toh gajinya uhuiiyy..

Untuk ongkos tambang  Solo-Wonosobo pulang-pergi saja masihada bakinya. Kotak pun saya gotong ke pinggir jalan Kol. Sutarto, cegat bus arah ke Terminal Tirtonadi.

Bus pertama lewat. Melintasi saya, bukannya berhenti, malah ngegas. Bus kedua lewat. Juga ngegas. Bus ketiga, keempat, dan seterusnya juga demikian. Semua lewat begitu saja seperti tidak melihat saya. Padahal saya sudah ngawe-awe sampai loncat-loncat ... Aneh!

Putus asa dua jam tidak dapat bus, kotak akhirnya saya bawa kembali ke kos. Wang gambar Kartini saya kembalikan ke Bu Sri. "Lho...Mas?" tanya Bu Sri hairan.

Tapi saya hanya memberi isyarat penolakan dengan tangan, lalu lari lagi mencegat bus ke jalan. Wis kawanen iki, Ndess!

ROAD RACE


Laju benar bus Peni yang saya naiki membelah jalan menuju Yogya. Woh, ternyata di belakangnya diuber bus Suharno. Mungkin kerana Peni ogah-tak mahu digebet-dipotong bas Suharno, maka pilih nggendring-lari laju secepat angin. Tak peduli para penumpang pada menekan dada, takut jantungnya jatuh tercecer.

Sudah tenar se-dunia dan akhirat, kalau dua PO(Perusahaan Otomobil)  Bus itu lagi saingan nge-race di jalanan, balap-racing nascar di sirkuit Indianapolis pun kalah pamor. Mungkin tak secepat nascar sih, tapi yang dheg-dhegan jauh lebih banyak. Takut almarhum ...Hihihi ...

Saya sih senang saja, meski ikut ngeri-ngeri sedap. Malah kebetulan, bisa cepat sampai rumah. Keburu ingin tahu, apa sebenarnya yang sedang terjadi di Wonosobo sana.

Moga saja road-race ini tidak diselingi adegan senggol-bacok antar sopir dan konduktornya.

Menjelang sub-terminal Kartasura... eh, tiba-tiba muncul Bas Srimulyo menyalip di tikungan. Bas Suharno tampaknya patah arang, lalu mundur jauh ke belakang. Sementara Peni tetap tancap full gas, wuuuss... tanpa memperdulikan calon penumpang yang telantar di tepi jalan. Mbois tenan, Ndess!

Di simpang Ketandan, kondektur mulai menarik sewa jok. Saya siapkan seribuan rupiah, kerana ongkos Solo-Yogya waktu itu Rp600. Ketika kondektur lewat, wang saya kibaskan sambil bilang, "Yogya.” Tapi ia hanya memandang saya, lalu beringsut menarik ongkos penumpang di belakang.

Weh, kok aneh. Mosok tak mau dibayar? Memangnya saya siapa, kok diberi privilage naik bus secara prodeo?

Tidak percaya, waktu Mas Kondek balik ke depan, saya cegat. Kembali wang saya sodorkan sambil mengucap, "Yogya satu." Mas Kondek cuma tersenyum, menatap tajam, sambil menggeleng- gelengkan kepalanya tanda menolak.

Astaghfirullah, apa yang sedang terjadi pada saya? Belum lagi setengah hari sudah mengalami dua keanehan dengan bus? Yang pertama tidak mau disetop. Yang ini tidak mahu dibayar.

Padahal pacakan (dandanan) saya ya, tidak tampak kere-kere (miskin/melarat) amat. Tidak mungkin lah orang jatuh hiba kerana melihat penampilan.

Sungguh, saya sama sekali tidak mirip anggota partai kay-pang (pengemis). Atau... mereka keder(gerun) melihat wajah saya yang mirip Juragan Bakpao?

Baca disini; SERIAL CERITA SILAT 'LAM BONG PEK SINKANG

Entah, Ndess ... yang jelas kejadian yang sama terulang ketika saya naik bus Ramayana dari Yogya ke Magelang. Kondektur juga ogah dibayar. Bahkan dari sikapnya, ia tampak menaruh hormat yang amat sangat kepada saya!

Gindul ik...saya jadi kepo sendiri. Sampai saat ngetem di terminal Muntilan, saya sempatkan turun dan pergi ngaca di toilet. Perasaan, tak ada yang berubah. Tetap konsisten... jeleknya.

Cuma sekarang agak lebih hitam dikit ...wkwkwk! Ya,sudahlah. Ngapain juga harus mbebeki, wong dikasih gratis kok bingung.

Yang harus difikirkan justru ini sudah jam tiga sore. Kalau jam empat nanti belum sampai terminal Magelang, alamat tertinggal bus terakhir menuju Wonosobo.

Harak tenan! Sampai terminal Magelang, bus Padi Daya laste (terakhir) sudah take off dari lajur pemberangkatan. Duuhh...lemahlah saya...Kucing plastik tenan!

Gara-gara mengurusi kotak wasiat itu, saya jadi telat. Tahu begitu, tadi tak usah terbujuk rayuan gambar Kartini. Tapi gimana lagi, nasi sudah menjadi bubur, jadi ya...dimakan saja, Ndes!

Sedang bingung bagaimana caranya bisa sampai rumah, tiba-tiba seseorang yang wajahnya sangat saya kenal menyapa saya.

Ternyata Oki, teman saya, SMA 1 Wonosobo.
"Gun, seka ngendi?" (Gun, mahu kemana?)
"Wah, Oki! Anu, seka Solo. Ki arep balik Sobo tapi kehabisan bus!"
"Woh, ikut aku saja. Aku sekarang nyopir irengan (omprengan plat hitam-semacam grab now)," ujarnya.

"Loh ... kamu tak kuliah toh, Ki?"
"Mahunya masuk UGM, tapi tak lolos Sipenmaru. Ini ngompreng dulu ngumpulin sangu-modal buat ndaftar UGM tahun depan," sambungnya sambil meringis.

Nyooss... Dengar kata UGM, mendadak kesumat saya tersulut. Bayangan kuliah di Bulaksumur kembali bergelora dalam kepala saya. Yoh... besok saya temankan ngrebut kursi UGM, Ki! Aku tak melu-ikut  Sipenmaru nih tahun ngarep-depan!

Bayang-bayang saya buyar bersama derak roda Suzuki trunthung yang melesat seperti kesetanan. Wah, ternyata cara nyopir Oki jauh lebih ugal-ugalan dari Tinton Suprapto (pembalap terkenal Indonesia era 80an).

Jalan ia sasak tanpa pilah-pilih. Tak pelak; nyaris seluruh penumpang muntah- muntah dengan suksesnya, termasuk saya.

Tak sampai dua jam, mobil sudah sampai di rumah Paklik saya di kampung Stasiun Wonosobo. Saat saya ulungkan selembar lima ribuan, Oki menggeleng keras..."Aku sekarang sudah kaya, Gun. Jangan menghinaku dengan recehan itu,” celetuknya sambil ngakak.
Gapleekk! Saya cuma bisa nggablok punggung dia sekeras-kerasnya.

Baru mahu masuk gerbang, tiba-tiba Paklik dan Bulik keluar membawa tas mbriyut seperti mahu bepergian. "Loohh... kamu pulang! Siapa yang ngabari kalau Simbah seda (meninggal dunia)?" tanya Paklik terhairan-hairan.

"Innalillahi, Wa inna ilaihiroji'uun," 
menggeletar, bibir saya Saat Paklik bertanya lagi siapa yang memberi khabar saya tentang sedanya (meninggal dunia) Simbah (Nenek), saya cuma menggeleng. Tapi batin saya bergumam.

“Ooh... ini toh, maksudnya mengapa sosok putih itu menyuruh saya pulang.” "Ya, wis ayo sekalian ikut ke Wadaslintang!" ajak Paklik.
Saya cuma bisa nginthil tanpa bisa berkata apa-apa.

Saat naik mobil charteran pun, saya lebih banyak membisu.Jujur, berpulangnya Simbah sangat membuat saya sedih. Kerana sejak balita(bawah lima tahun) saya sudah diasuh Simbah. Beliau pula yang sering menasihati saya tentang hakikat hidup dan kehidupan.

Usai pemakaman Simbah, saya masih tercenung di teras ketika Mbah Kyai Soleh, Imam Masjid kampung, mendekati saya..."Mas Gun...mulai saat ini kamu harus sangat hati-hati. Ada yang mencoba mengaturmu. Tolong menjauh dari itu".

"Jangan sampai tinggalkan sholat. Ingat, jangan sampai tinggalkan sholat!"
"Nggih Mbah, InsyaAllah mboten (tidak)".
Stop sabar ya Ndeess, disambung lagi besok di nomor 16.
To be Continued...

Courtesy and Adaptation of articles by Nursodik Gunarjo
Rep, Editor; Romy Mantovani
Kredit Ilustrasi Image; pinterest.com

No comments