MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 17]



<img src="fazryan87.blogspot.com.jpg" alt="MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 17]">

MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 17]

WAITING FOR GAMA  

  
Sorenya saya mencoba bertahan agar tidak tidur. Jam 15.30 saya sudah mandi, berwudhu', lalu disambung sholat Ashar. Lancar. Sambil  menunggu Maghrib, saya baring-baring sambil baca Al-Qur'an. Mendengar suara sendiri kok mendayu-dayu, menghanyutkan. Tak terasa, less ... saya tertidur.

Baru tergagap-gagap bangun saat kawan-kawan menggedor pintu, mengajak wedangan-minum ke Maido.

"Ndess!! Jangan kebanyakan tidur, nanti matamu gemuk!"
Dengan masih berseragam sholat, saya membuka pintu sambil uceg-uceg (usap) mata. "Weh, kok masih pakai sarungan sama kuplukan. Baru tahajud, ya?" celetuk Mitro. Saya menggeleng lemah.

Bagaimana mahu sholat tahajud, sholat Magrib dan Isya' saja belum! Huaduuh... ini pasti situasinya tak normal. Sepertinya saya sengaja disirep-disihir agar tidak sholat.

“Tapi siapa yang nyirep?” Pembaca jangan tanya gitu, wong saya sendiri juga tidak ngerti je, Ndes!

Walhasil, jam 01.00 saya baru sholat Maghrib, jamak sama Isya. Entah diterima apa tidak, yang penting saya tak mahu lowong sholat.

Memang sih, orang tidur tak wajib sholat. Tapi kalau keseringan itu namanya dhemen, bukan alpa (lalai,leka).

Tak mahu kecolongan, saya pinjam jam wekernya Mitro. Saya setel alarm jam 04.00. Biar berisik maksimal, weker (jam loceng) saya letakkan di kasur, tepat di atas ubun-ubun. Kalau wekernya ngerik dan saya tidak bangun, itu namanya kebacut!

Pagi itu Mitro menggedor pintu kamar saya, ngajak kuliah. Saya meloncat dari kasur. Wah, sudah jam 09.00.

Lhah, kok tadi pagi saya tidak dengar weker bunyi?
Saya cek, putaran dering weker merk Five Rams sudah kendor. Artinya, tadi pasti sudah berdentang- dentang tak karuan. Tapi sumpah, suaranya yak masuk gendang telinga saya.

"Dasar kuping ember kesumpelan lempung! Tetangga kamar saja pada bangun semua dengar wekermu, eh wekere Mitro. Lhah,  kamu malah bikin alarm sendiri dengan dengkur tenggorokan!" semprot Jes seperti mitraliur.

Saya cuma diam dengan kepala penuh tanda tanya. Saya yang biasa tengen (gampang terbangun jika mendengar sedikit suara) kok bisa sebudek-sepekak itu.

Entahlah! Yang jelas pagi itu saya (lagi-lagi) tidak sholat Subuh. Sebuah prestasi yang benar-benar tidak bisa dibanggakan!

Kurang ajar betul lelembut yang bermain enjot-enjotan di bulu mata saya, yang membuat kelopak terasa berat. Kelakuan itu sudah tergolong extraordinary crime, kejahatan luar biasa terhadap ibadah seseorang.

Saya tidak boleh tinggal diam. Pelakunya harus ditangkap dan diadili.
Harus saya prihatini malam ini. Biar jelas siapa sesungguhnya oknum yang mengintervensi hidup saya selama ini.

Berbekal rasa mendongkol itulah, malam itu saya sengaja beli kopi pahit dua gelas besar di Maido. "Kopi pahit loro-dua, Mbah, gelas gajah," ujar saya.

"Untuk bikin apa kopi pahit? Kopi itu ya manis. Tak gableg duit, toh untuk beli kopi manis? Dasar melarat, kamu!" jeplak Maido mulai kumat uring-uringannya.

Entah kenapa, mendengar kata "mlarat" kok tiba-tiba kepala saya mak prempeng.
"Urusanku lah! Aku mintanya kopi pahit dua gelas. Titik. Mahu saya pakai untuk nyuci sandal kek, mau tak pakai untuk nggebyur kucing kek, itu urusanku!" jawab saya ngegas.

Mbah Maido tampak kaget. Mungkin kerana selama ini tidak ada yang berani sama dia.
"Lhah, sing Maido kini aku. Kok malah kowe-kamu sing ..."
"Gantian! Masak saya jajan di sini setahun dipisuhi terus. Sekali-sekali boleh dong, saya yang ngroweng! Wis Mbah, iki aku lagi bludreg. Gawekna kopi pait gelas gede loro, dibungkus!" samber saya masih dengan persneling(gia) tinggi.

Klintrih-klintrih Mbah Maido mengambil gelas. Meracik kopi secepatnya, lalu memberikan pada saya. "Monggo, Mas'e „" katanya lirih.

Saya tinggalkan angkringan hik itu dengan rasa puaaass ... Meskipun malam itu tugas besar masih menghadang di depan mata ...

Baca juga; MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 16]


 SERIGALA BERBULU MARMUT

Dua gelas kopi pahit cap Maido sudah amblas ke perut. Khasiatnya sungguh nyata: saya melek total. Tapi bukan hanya mata yang saya siapkan, jiwa pun saya mantapkan. Ibaratnya, bagi saya malam itu memang malam puputan margarana.

Sekira jam 00.00, saya sengaja mandi besar. Berwudhu', lagi. Setelah itu  Sholat Sunnah, lalu duduk di sajadah sambil wirid tanpa putus. Memang cuma itulah amalan yang saya tahu. Saya berharap dengan cara itu Allah Azza Wajalla akan menolong saya dengan kuasa-Nya.

Terus terang, saya sudah tidak tahan dengan gangguan itu. Awalnya hanya meninabobokan saya pada waktu-waktu sholat, sehingga saya absen menyebut asma Allah.

Tapi belakangan ini terornya semakin menjadi-jadi, menghilangkan mushaf Al-Qur'an dari kamar saya!
Kekuatan itu juga mengiming-imingi saya dengan nombor-nombor cantik, yang selalu jitu keluar secara presisi saat pengumuman Undian Porkas atau Cap Jie Kia.

Untung saya tidak tergoda untuk menjadi Dukun nombor. Padahal jika saya lakukan, pasti sudah kaya-raya. Tapi yang paling membuat saya galau adalah saya sangat sering mimpi basah yang frekuensinya di luar nalar. Itulah yang membuat saya kelelahan sehingga penginnya molor berkepanjangan.

Saya sadar, sepertinya jeda waktu saya untuk bersabar telah usai. Jika dibiarkan, gangguan ini tidak hanya membuat ibadah saya berantakan, namun juga mengancam prestasi akademik, bahkan hidup saya.

Maka keputusan bulat sudah, kekuatan negatif ini harus saya lawan!
Dini hari itu sungguh tintrim.

Suara kesiur angin yang kemrosak di atas atap seng jelas bukan angin sebaene (biasa). Kerana pusarannya lokal-setempat saja, dan tepat midid di wuwungan kamar saya.

Wangi bunga melati yang ngambar berulang lalu hilang, menandakan ada yang wira-wiri di sekitar kamar saya. Kadang seperti ada suara rintihan kecil, gerengan tertahan, dehem-dehem, dan detak langkah tak jelas, meningkahi gerimis yang tlethik sejak sore.

Suara siapa? Saya baru ingat bahwa malam ini adalah malam tepat setahun saya membersihkan kamar Bapak rumah-kos.

Apakah para penghuni mahu ngamuk lagi dan meremuk- redamkan badan saya? ..Saya rasa tidak, kerana tintrim yang mengiris ini rasanya sangat dekat. Bahkan tak berjarak dengan saya.

Ajaibnya, saya tidak mampu memper-maknai, rasa apa yang sejatinya sedang melanda tubuh saya saat itu.

Gigrik (takut) tidak, tapi kekes. Takut tidak, tapi merinding. Jauh di lubuk sana, ada rasa semedhot seperti campuran kecewa dan khawatir.

Ya, saya khawatir gangguan yang saya hadapi ini akan abadi. Dan jika itu tak teratasi, maka sudah pasti ibadah saya akan terberai seperti jerami diterbang badai dan kuliah saya di UNS akan panen nilai D.

Maka malam itu adalah waktu ujian saya. Waktu untuk memilih pasrah bongkokan kepada yang tak kasat mata, atau berontak dengan segala risiko, termasuk mungkin saja, kehilangan nyawa...Dan saya memilih opsi kedua.

Saya ingat ketika mau berangkat ke Solo, Ibu saya meniup kepala saya tiga kali sambil berkata,.. "Suatu ketika kamu akan menghadapi semua kenyataan sendiri, dengan kekuatan sendiri. Kerana hanya kamu yang bisa. Dan hanya kamu yang tahu apa itu. Tapi Ibu yakin, kamu akan berhasil."

Saat itu saya berfikir Ibu saya nglantur. Kata-katanya absurd dan tak bisa dimengerti. Maklum, pini-sepuh yang sudah uzur kadang bicara di luar logika.

Sekarang saya tahu, bahwa saya sedang menghadapi sesuatu yang tak ter-indra, namun kekuatannya sangat terasa. Kekuatan yang membuat saya terombang-ambing dalam bimbang yang tak berkesudahan.

Di saat fikiran saya nglambrang, tiba-tiba kesiur angin yang cukup besar masuk melalui ventilasi. Saat itulah saya merasakan bulu lengan saya njegrak-berdiri maksimal. Saya tahu ada yang hadir di dekat saya, tapi mata saya tak bisa menangkap sosoknya.

Dengan segera saya berdiri untuk mengambil niat sholat dua rakaat.
Sesaat setelah takbiratul ikhram, tiba-tiba saya rasakan sesosok makhluk menyekap badan saya dengan erat. Sangat erat, sampai saya kesulitan bernafas.

Saya teruskan bacaan Al-Fatihah. Sekapan itu makin erat. Sampai saya selesai membaca surat Al-Falaq dan An Naas, sekapan itu tak kunjung mengendor. Bahkan ketika saya mahu ruku’, makhluk itu menahan saya dengan tenaga yang lebih besar.

Sepertinya dia tidak rela saya melakukan gerakan sholat. Tubuh saya dikunci, sehingga sama sekali tak bisa bergerak.
Terpaksa sholat saya teruskan dengan isyarat. Bacaan demi bacaan saya ucapkan setartil mungkin dan semua sengaja saya baca jahr (bersuara).

Toh sampai salam, tak ada tanda-tanda dia mahu melepaskan saya. Saya mencoba melepaskan diri dengan segala upaya, tapi sia-sia belaka.
Sekapannya begitu kuat. Nafas saya sampai tersengal-sengal, nyaris putus. Di tengah ketidak-berdayaan itu, saya hanya bisa memusatkan fikiran sambil berdoa,

"Ya Allah, sekuat-kuat makhluk adalah dalam kuasa-Mu. Maka hanya kepada-Mu-lah Aku memohon pertolongan. La haula wala quwwata illa billah!" begitu terus saya ulang dan saya ulang.

Saat bacaan saya semakin khusuk, saya rasakan sekapan di tubuh saya mengendor. Kesempatan itu saya gunakan untuk berontak. Saat tubuh saya lepas, saya layangkan pukulan ke kepala makhluk itu sambil berteriak...."Allahu akbar!!" Makhluk itu terpental.

Saat pandangan berjarak itulah, saya terperanjat luar biasa. Ya Allah... ternyata dia adalah lelaki tua berbaju putih yang oleh kawan-kawan dibilang sering mengikuti saya!

Berbeda dengan yang saya lihat saat menolong saya dahulu, yang wajahnya berwibawa penuh senyum. Wajah di hadapan saya itu terlihat dingin menggiriskan. Matanya menyiratkan kebencian luar biasa!

“Nduull! Nduull!! Bukak lawange! Bukak lawange!" terdengar suara orang ramai memukul-mukul pintu kamar saya.

Bersamaan dengan itu, sosok putih di depan saya hilang entah ke mana.
Ketika pintu saya buka, tampak Jes, Mitro, Meyek, Tekek, bahkan Bu'  Sri, berdiri dengan sikap siaga membawa senjata masing-masing. Ada yang bawa pentungan, potongan besi, arit kethul, dan lain-lain.

"Ada apa, Ndul, kok bengok-bengok nyebut asmane Allah?" tanya Meyek.

"Ngg ... anu... Aku ngimpi," jawab saya sekenanya. "Woo... jindul ik. Nglindur kok marbikin bangun wong se-Indonesia Raya!" cericit Meyek.

Saya hanya pura-pura mesem sambil menutup pintu. Di dalam kamar saya merasa gemas, kerana selama ini saya dibohongi oleh sosok yang sudah saya anggap sebagai dewa penolong saya.

Ternyata dia serigala berbulu marmut! Benar kata Tekek, jangan pernah percaya sama lelembut, kerana tidak konsisten!

Tapi, saya tidak habis fikir ... kok bisa-bisanya ya, dia mengikuti saya?

Bagaimana selanjutnya, tunggu besok saya datang lagi di nombor 18..
[hsz] To be Continued...

Courtesy and Adaptation of articles by Nursodik Gunarjo
Rep, Editor; Romy Mantovani
Kredit Ilustrasi Image; pinterest.com

No comments