MISTERI KUNCEN Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 3 Part 43]
MISTERI KUNCEN Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 3 Part 43]
Cerbung (Cerita Bersambung) Horor, Humor, Komedi, Lucu, untuk hiburan para SahabatWAITING FOR GAMA
LANJUTAN CERBUNG KUNCEN
[Chapter 3 Part 43]
YANG PENTING SAHUR..FORTUNA MEDIA - Surabaya kota Pahlawan, sekaligus kota panganan (kuliner). Maka semboyannya selain "merdeka atau mati" juga "mangan atau wareg." He he he...😂
"Ke Surabaya jika tak mencincipi kulinernya, ya seperti orang akad nikah tapi tak jadi kawin," ujar Pak Bas.
"Artinya?" kejarku.
"Mbujuki thok, alias bohong!"
Wadoo.. daripada dituduh mbujuki, ya mending sekali-sekali keliling kota, angon lambe, ngumbar selera.
"Hambok gitu. Masak tahunya cuma SS," komentar Silikon.
"Apa itu SS?"
"Sega Salam!"
"Wakaka.. lha itu yang paling MM je!"
"Apa itu MM?" Silikon balik bertanya.
"Murah Mengenyangkan!"
"Huuuh.. Kalau itu sih Merga Mlarat," ejeknya.
Saya cuma nyengir.😖
BACA JUGA; MISTERI KUNCEN Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 3 Part 42]
Panganan-Kuliner khas terkenal pertama yang saya jajal adalah "Rujak Cingur". Kata kawan-kawan PS sih rasanya, "Muanteeep, kayak diambung/dicium perawan!" Ha ha ha.. onok ae!
Begitu antri di warung RC Mak Um, saya terbelalak. Di atas nyiru terlihat ada moncong sapi utuh sak hidungnya yang baru direbus!
"Itu untuk apa?" tanyaku ke Cak Bambang sambil menuding moncong yang masih kebul-kebul.
"Ya itu bahan bakunya, cingur!"
"Hah.. itu kan lambe dan hidung sapi?"
"Lha prasa-mu apa? Cingur itu ya congor alias lambe sapi (hidung lembu)! Makanya kawan-kawan menyebut rasanya seperti dicium perawan, kerana saat makan lambe ketemu lambe!" jelas Cak Bam panjang lebar.
"Wiiiiik! Lha kalau yang mau nyium lambene segede itu, ya mending pamit mulih, Cak!" keluhku.
"Cobak-en sik talah.. enak koen! Lek gak enak, dibayar kreweng ae!"
Walhasil, siang itu saya terpaksa makan Rujak Cingur, tapi.. maaf.. dipisah! Rujaknya saya makan, cingurnya saya kasihkan Cak Bam. Yang dikasih tertawa gembira penuh sukacita.
Meski sudah nir-cingur, tetap saja sayuran dan tahu-tempe yang diguyur bumbu pedas berwarna abu-abu dan beraroma udang itu sulit masuk kerongkonganku. Soalnya ya itu tadi, ada bibir besar nan sensual melambai-lambai di sebelah sana...
Paginya, saya diare berat. Gak tahu, perut saya kontra dengan pedas yang kebangeten, atau tidak "tawar" dengan petis udang yang menjadi bumbu utama RC? Atau tersugesti cingur yang seksi itu? Kalau iya.. bacingur tenan... he he he..
Yang jelas, itulah kali pertama dan terakhir saya makan RC! Iwak kakap kecemplung santen disiram es, cekap semanten, ndes!
Menu kedua, adalah lontong balap. Disebut "Lontong Balap", kerana dulu sesama penjualnya harus "balapan"(lumba), lari memikul tempayan dari Kutisari atau Kendangsari ke pasar Wonokromo untuk rebutan pelanggan.
Mungkin kalau sekarang balapannya pakai ojek, namanya jadi Lontong Ojek.
Yang aneh, meski namanya lontong, bagian terbesar dari makanan ini justru tauge atau kecambah kacang hijau. Sedangkan lontong hanya menjadi pelengkap saja, bersama dengan lentho (parutan singkong/ubikayu yang dicampur dengan kacang merah dan digoreng), serta bawang goreng, sambal dan kecap.
Kalau soal rasanya, gurih dan manis. Cocok dengan lidah Kulonan saya. Yang agak saya pertanyakan, mengapa api pemanas tempayan selalu dari arang dan dibuat berasap?
"Luuk.. itu disengaja. Agar menimbulkan kesangitan dan menyebabkan kegurihan," terang Pak Jeglek yang siang itu menemani saya makan LB
(Lontong Balap) di belakang Polsek (Polis Sektor-Balai Polis) Bubutan.
Aneh, makanan kok sengaja dibuat sangit-hangit? Tapi setelah saya rasakan secara tumakninah, benar juga kata Pak Jeglek. Saya merasa kegurihan sampai keimbuhan, dan akhirnya malah ketumanan makan LB!
Sore itu cuaca mendung. Cucok meong untuk ngopi disambi makan kudapan. Kebetulan di depan rumah KP5 ada suara tik tok tik tok dan teriakan,"Bakwaann Malaaaang!"
"Kate tuku-a, gawe anget-anget?" tanya Fadil.
Tanpa menjawab, saya langsung menyambar piring ceper. Tanpa mengindahkan tatapan mata Fadil yang agak gimana, saya langsung menemui penjual yang berisik itu.
"Beli, Cak. Pokoke cukup untuk tiga orang ya. Iki wadhahe!" kataku sambil mengulurkan piring.
"Tiga porsi gak muat, Cak. Pakai wadah sini saja ya?" kata si penjual.
Saya manggut.
Eh, dia mengeluarkan mangkuk tiga biji. Setelah itu meracik mie, pangsit dan bulatan daging ke dalam mangkuk. Saat sedang menciduk kuah, saya bertanya heran.
"Lhooh.. sampean jualan bakwan kan?"
"Iya. Lha ini kan bakwan!" ujarnya sambil mengulurkan nampan.
Saya membawa tiga porsi "bakwan" itu ke ruang tamu dengan perasaan tak yakin.
"Kenapa, kok wajahmu seperti habis kunduran sepur tumbuk begitu?" tanya Silikon.
"Aku beli bakwan, kok dapatnya bakso?" ujarku bingung.
Seketika dua sejoli itu mrenges together. "Bakwan Malang ya begini ini, seperti bakso, cuma ada pangsitnya!" jelas Fadil yang asli kera Ngalam.
"Wooh.. lha kalau yang dari gandum isi sayuran, digoreng?"
"Oo.. itu namanya ote-ote!"
Gantian saya yang mrenges. Kerana di republik gondes, ote-ote artinya.. tidak pakai baju!
"Sudahlah.. dinikmati saja, yang penting panas!" kata Silikon.
"Kalau cuma butuh panas, kenapa gak ngemut kompor saja koen!" kataku sewot, kerana gagal nyakot bakwan..
Ada lagi kuliner yang namanya 'tahu thek dan tahu campur'. Ini makanan yang pinter banget, kerana isinya tahu semua. Ha ha ha..
Tahu thek, sebenarnya tahu-telur bumbu kacang. Disebut tahu thek kerana memotongnya tidak pakai pisau, melainkan gunting yang berbunyi thek thek thek!😅
Sedangkan tahu campur adalah tahu, lentho dan tauge yang dicui-cuil dan dibumbui petis dan kuah kaldu daging.
Kalau tahu thek, okelah, perut saya masih bisa menerima. Tapi kalau tahu campur, besoknya langsung rajin ke toilet! Penyebabnya apa lagi kalau bukan... petis!
Ada lagi makanan unik yang bernama "Sate Laler". Iya, laler! Bukan kerana satenya dirubung lalat, tapi kerana dagingnya dipotong-potong sangat kecil seperti laler. Meski sekadar nama, bagi saya sangat sugestif. Yang langsung terbayang bukan satenya, tapi lalernya..
Masih buuanyaaak kuliner lain di Surabaya yang rasanya mak-nyoos (keraa semua pedas) dengan harga anak kos (anak asrama). Atau rasa bintang lima harga kaki lima. Intine, enak dan murah.. wis ngono ae rek!
Asal sebut saja: "Soto Madura", "Sate Madura", "Sate Ponorogo", "Kupang Sidoarjo", "Sega Krawu Gresik", :Soto Lamongan", "Penyetan Lamongan", "Ayam Bumbu Bali", "Rawon Nguling", "Roti Maryam".. Stop! Lho.. kok impor dari tetangga sebelah semua?!
Santai.. ojok ngegas, rek! Surabaya itu daerah melting pot. Tempat berbagai budaya saling bertemu dan berakulturasi. Kalau gak campur aduk, ya bukan Surabaya namanya!
Sayangnya, saat Bulan Puasa Ramadhan, semua tetek-bebek kuliner yang akehe-banyaknya sak ndhayak itu tiba-tiba lenyap entah ke mana. Sewaktu berbuka masih ada satu-dua yang jualan. Tapi saat sahur, pleng.. ilang kabeh. Tak pelak, kami warga KP5 pun kelabakan.. eh, kelaparan..
Di Pasar Genteng, kosong. Ade oreng juwelen (tak ada orang jualan). Di pasar Blauran yang notabene kalau siang menjadi pusat kuliner, kosong juga. Pasar Keputran, sami mawon (sama saja).
Strateginya agar tidak kelaparan, pas buka puasa beli nasi goreng dua bungkus. Satu dimakan langsung, satunya lagi untuk sahur. Masalahnya cuma satu, di bulan puasa, Cak Min penjualnya lebih banyak titip absen!
Terpaksalah kami antri sahur di Yuk Sri, warung templek 24 jam di Kedungdoro yang jaraknya sekitar satu kilo jalan kaki dari KP5. Tapi ya amplop.. yang antri panjangnya sak embuh. Apesnya-sialnya lagi, sampai giliran kami, nasinya habis!
"Ya wis gak papa, Ning. Beli lauknya saja," kata Cak Bam sambil pesan empat biji telur bumbu Bali.
Sambil berjalan pulang, kami tolah-toleh cari warung yang jualan nasi. Alhamdulillah.. kok ya gak ada!
"Dhuuhh.. wis mepet waktunya, mahu imsak," kata Fadil sambil menepuk-nepuk perut.
"Ya wis, dimakan sambil jalan saja lauknya. Sing penting sahur!" usul Cak Bam.
Yup. Telur bumbu Bali yang barusan dibeli pun kami bagi. Masing-masing dapat satu. Langsung lebb.. sambil kesereten dikit-dikit.. he he he..
Sampai di rumah kami kaget. Di atas meja ada nasi sebakul kecil. Nasi doang alias iwak kosongan. Wah, sepertinya Bu Bas tadi yang mengirim untuk kami.
"Masih ada waktu empat menit!" ujar Silikon.
Tanpa banyak bicara, ia mengambil piring, menyiduk nasi, langsung diemplok dengan tangan. Fadil ikut-ikutan. Eh, Cak Bam juga ikutan latah mengganyang nasi putih itu dengan sangat cepat.
"Gak athik iwak?" tanyaku.
"Kan telur Balinya sudah dimakan duluan!" jawab Silikon.
"Hooh. Nasinya nyusul. Toh nanti di dalam mereka akan bertemu juga!" celetuk Cak Bam.
Bwa ha ha ha ha! 😂😁
Sambil ngakak saya pun ikut mencomot nasi itu. Tepat lima suapan, waktu imsyak datang.
Baru kali ini, makan sahur nasinya dipisah!
Sing penting sahur, ndesss!! [hsz]
To be Continued...
Untuk Anda yang belum baca siri cerbung yang sebelumnya,
Anda boleh lihat disini linknya; Misteri Nusantara
Courtesy and Adaptation of Novels by, Nursodik Gunarjo
Editor; Romy Mantovani
Kredit Ilustrasi Image; Doc, Romy Mantovani #indonesia, #kuncen, #misterinusantara, #misterikuncen
VIDEO:
No comments
Post a Comment