MISTERI KUNCEN Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 3 Part 42]
MISTERI KUNCEN Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 3 Part 42]
Cerbung (Cerita Bersambung) Horor, Humor, Komedi, Lucu, untuk hiburan para SahabatWAITING FOR GAMA
LANJUTAN CERBUNG KUNCEN
[Chapter 3 Part 42]
MADUNESIA
FORTUNA MEDIA - Namanya Pak Timbul. Ia Pumalaya, Putra Madura Kelahiran Surabaya. Tinggal di Bangil, Pasuruan, tapi demi tugas, tiap hari 'nglajo' naik sepur (kereta api) ke PS (Kantor Majalah Panyebar Semangat).Pak Timbul orangnya dobel L, lugu dan lucu. Tugasnya sesuai dengan namanya: membuat nama dan alamat pelanggan (address band) dengan.. plat timbul!
"Saya adalah Timbul yang menimbulkan!" ujarnya saat memperkenalkan diri. He he he..
Beliau orang kuat di PS. Tiap hari yang dia hadapi adalah mesin ketik (mesin type) khusus tinggalan zaman Jepang. Disebut khusus, kerana alat ini satu-satunya di Indonesia, mungkin malah di dunia. Bodynya dari baja tebal dan berat. Saking beratnya, kelasnya jauh di atas Mike Tyson.
Beda dengan mesin ketik biasa, mestik ini 'kertas'-nya adalah plat logam setebal kaleng biskut. Patut diduga, font-nya terbuat dari baja bermata intan. Kalau tidak, mana kuat nggencet plat logam. Bisa dibayangkan betapa besar tenaga yang diperlukan untuk menunul tuts-nya(keys)
Untuk membuat address band pelanggan, plat logam yang sudah diketik dan "timbul" hurufnya diletakkan di atas pita bertinta. Kertas diletakkan di bawahnya. Setelah itu tuas alat pres (press lever) ditekan hingga terdengar bunyi.. jeglek! Taraa.. jadilah sampul berisi nama dan alamat pelanggan.
Tapi dampaknya, gara-gara bunyi jeglek itulah, nama Pak Timbul, sang operator, oleh kawan-kawan diubah menjadi Pak Jeglek!
Salah satu yang paling menonjol dari Pak Jeglek adalah bahasanya yang unik. Surabaya-an bukan, Madura pun tidak. Sehari-hari, ia malah lebih suka pakai bahasa Madura yang dicampur dengan bahasa Indonesia, atau sebut saja 'Madunesia'.
Suatu pagi Pak Timbul eh, Pak Jeglek, datang ke kantor dengan wajah letih dan keringat bercucuran.
"Lha apa, kok sampean ketok lungset koyok seweke (kainnya) Bu" Salam ngono?" tanya Iryan percetakan.
"Tadi kelelahan di kereta. Masak dari kenaikan sampek keturunan gak ada kedudukan, akhirnya kaki saya kesemutan!" keluhnya.
Mendengar bahasa Madunesia Pak Jeglek, kami yang sedang ngopi di Warsal (Warung Pak Salam) kontan terbahak-bahak sak pucungnya! Bahkan ada yang batuk-batuk keselek kopi.
Kenaikan-keturunan-kedudukan-kesemutan.. Ha ha ha, anyar iki ndess!
Pernah suatu ketika Pak Jeglek dipanggil Pak Mochtar, tapi ye-be-es gak nongol-nongol. Tak sabar, Pak Moch mendatangi bilik kerjanya di lantai dua.
"Pak Jeglek, kok lama sekali?" tanya Pak Moch.
"Aboo.. bentar pak.. saya sedang bersalin!"
Mendengar jawaban Pak Jeglek, kontan Pak Moch ngekek.
"Ha ha ha..! Bilang ganti baju kok bersalin! Gek wis metu durung kuwi bayine?" cetus Pak Moch geli.
Peristiwa mengikikkan lainnya terjadi saat Mbah Brintik, penulis perempuan produktif dari Malang, berkunjung ke PS. Ndilalahnya (apa ya bahasa Indonesianya?) Mbah Brintik kebelet pipis (sesak buang air kecil). Tanpa tanya, langsung saja njujug ke WC/toilet di gedung Selatan.
Saat masuk WC, kagetnya setengah mati saat melihat Pak Jeglek sedang asyik merapikan retsluiting celananya. Bukannya minta maaf, Pak Jeglek malah mengomeli Mbah Brintik.
"Sampean kelintu masuk. Sini bagian ke-priaan. Kalau bagian ke-wanitaan sebelah sana!" ujarnya sambil menuding WC perempuan.
Tentu Mbah Brintik hanya mesem-mesem gimana... Kewanitaan kok ditunjuk-tunjuk!
Dan kosa-kata nyeleneh akan semakin berhamburan manakala Pak Jeglek ketemu dengan Cak Salam. Maklum, keduanya sesama Puma yang juga penganut Madunesia garis lucu.
"Peno sakjane seorang karoawan (maksudnya karyawan) PS apa bukan se. Kok mengantornya lebih lama daripada saya," ujar Pak Jeglek.
"Ya, tergantung yang lihat. Kalau yang lihat bodo, ya bukan karoawan. Tapi kalau yang lihat pintar, ya karoawan. Menurut sampean?"
"Yaaa... Karoawan..," jawab Pak Jeglek lirih.
Saya yang mendengar dialog itu cuma ngikik dalam batin. Mantap jebakan betmen-e Cak Salam. Karena kalau Pak Jeglek bilang bukan karyawan, itu sama saja mengakui kalau dirinya.. bodoh. He he he..😆
Faktanya, Cak Salam memang setengah karyawan. Selain jaga warungnya sendiri, kalau malam juga diminta membantu jaga gedung PS. Tak heran di warungnya tersedia berbagai jenis senjata. Dari yang berat sampai ringan, dari yang laras panjang (tongkat) hingga laras pendek (pentungan), semua ada.
"Buat apa senjata sebanyak itu?" tanya Pak Jeglek hairan.
"Ya, kan harus di-sesuwekkan dengan penjahatnya," jawab Cak Salam. Ha ha ha.. sesuwek?
"Maksud'e?"
"Kalau penjahatnya anak kecil, cukup pakai ketapel. Remaja, ngadepinya pakai pentungan. Dewasa, pakai pedang. Kalau orang tua, cukup dijak ngopi dua gelas!"
"Cik enak'e, penjahat dijak ngopi?" potong Pak Jeglek.
"Luukk.. kenek kopine Salam rong gelas, apane gak matek ho! Jantunge kumat!"
"Heheh... Lha kalau penjahate arek wedok, jik enom, uayuuu, komes, yok apa koen?" tantang Pak Jeglek. (wedok-perempuan)
"Ya tergantung... enek-ada Bu Salam tah gak...," bisik Cak Salam sambil tolah-toleh.
"Yen enek?" (ya, ada)
"Nggawe clurit! Tapi gawe ngethok emprite cacak!" sahut Bu Salam dari balik tirai.
Mendengar suara mbleyer berfrekuensi tinggi, dua sohabat tak karib itu kontan bubar dhewe-dhewe sambil menahan tawa!
Tawa memang jadi perekat persaudaraan warga PS. Tidak pernah sehari pun terlewat tanpa tawa. Apalagi tingkah warga PS memang konyol-konyol. Tak muda, tak tua, sama saja suka celometan. Tak jarang kekonyolan itu berbuah kemaluan, eh.. kok jadi katut bahasa Madunesia ki piye, ndess! 😅
Contohnya ketika suatu hari PS kedatangan tamu dari luar negeri. Melihat ada bule (Omputih) memasuki gerbang PS, Pak Seno, cleaning service PS yang baru mengambil air, tak tahan uji. Langsung saja obral tanya penuh goda.
"Kate lapo koen nang PS, Cak? Kate sunat tah? Gak bisa. Tukang sunatnya sudah mati diewer-ewer kucing!" kata Pak Seno dengan wajah serius.
Tamunya hanya tersenyum sambil menepuk-nepuk bahu Pak Seno. Merasa ditanggapi positif, dia makin menjadi-jadi.
"Sakjane peno iku guantheng, Cak. Sumpah! Koyok Cak Noris. Cumak kulit peno itu seperti cecek-cicak, atau tokek, jadi ya nggilani. Nggih mboten, Cak?"
Bule ituh? Kok ngguyu thok ae?" (omputih itu kok ketawa saja)
"Mboten, mas. Kula tiyang jangkep, kok.." jawab bule itu tiba-tiba.
Set! Mendengar jawaban itu, seketika gerakan bibir Pak Seno terhenti. Tubuhnya terdiam kaku, seperti mummi mati berdiri. Ia kaget bukan kepalang, kerana tak menduga bule itu bisa berbahasa Jawa. Bahkan sangat halus!
"Matiik aku!!" ujarnya sambil salah tingkah dan menyembah-nyembah minta maaf. "Sepuntene, Cak. Tibake peno pinter basa Jawa.."
Saat itulah Pak Mochtar muncul dan menyambut bule itu dengan penuh hormat. Ia menjelaskan bahwa yang datang adalah Dr George Quinn, pakar bahasa dan Sastra Jawa yang juga dosen Austalian National University di Canberra. Kontan semua orang ngowoh!
"Bodong pean ancene! Ahli basa Jawa kok pean garapi nggawe basa Jawa. Ya tatal digeprek sak erine, mental kenek rai dhewe!" cerocos Iryan.
Pak Seno cuma senyum kecut dengan tubuh mengkeret sampai sekecil minion! "Walang kadung dimasak lodeh. Barang kadhung dikapakne maneh!" belanya.
Tapi rupanya "garapan' Pak Seno membekas di hati Pak Quinn. Buktinya, dua minggu kemudian ia justru mengirimkan naskah berjudul "Tresnane Kupu Sajodho" ke PS. Cerita yang menggambarkan percintaan Sam Pek Eng Tay dalam berbagai versi budaya dan bahasa.
Hebatnya, dalam surat pengantar ditulis "Salam taklim katur Bapak Seno". Hebatnya lagi, seminggu kemudian Pak Seno mendapat kiriman sebuah pulpen yang sangat bagus merk M*nt Bl*nc dari Pak Quinn. Sampai-sampai Pak Mochtar pun ngiri sak nganan-nya.
"Aku yang menerima dengan ramah-tamah saja gak dapat apa-apa, eh.. Seno yang bregejekan malah dapat rejeki," grundelnya.
"Uhuy.. Makane tah, kalo ada bule jangan dibiarkan. Goda saja. Insya Allah barokah!" saran Pak Seno kepada para karyawan sambil cengengesan.
Empat hari berikutnya, Pak Jeglek masuk ke ruang redaksi sambil menggandeng seorang bule setengah baya.
"Saya temukan di dekat warung Salam. Tubuhnya kepanasan, kringetnya derodosan, dan badannya kelemahan!" terang Pak Jeglek dengan bahasa Madunesia-nya.
"Lha, apa kok pean gawa mrene?" tanya Pak Mochtar bingung.
*pean gawa mrene-kamu bawa kesini*
"Yaa.. barangkali dia temannya Pak Jot Kuin atau Jot siapa yang kemarin itu," eyel Pak Jeglek.
Terpaksalah saya interogasi. Ternyata bule itu memang orang kesasar. Ia kehabisan wang saku, lelah dan kelaparan.
"Ngene ae Pak... Sampean ajak mangan nggone Salam kana. Pulangnya sampean sangoni seadanya!" ujarku.
"Loalaaa.. bukannya keuntungan, tapi malah kerepotan dan kegathelan," sungut Pak Jeglek sambil menepuk kepala. Ha ha ha! [hsz]
To be Continued...
Untuk Anda yang belum baca siri cerbung yang sebelumnya,
Anda boleh lihat disini linknya; Misteri Nusantara
Courtesy and Adaptation of Novels by, Nursodik Gunarjo
Editor; Romy Mantovani
Kredit Ilustrasi Image; Doc, Romy Mantovani
No comments
Post a Comment