MISTERI KUNCEN Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 3 Part 44]

<img src=https://fazryan87.blogspot.com".jpg" alt="MISTERI KUNCEN Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 3 Part 44]">

MISTERI KUNCEN Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 3 Part 44]

Cerbung (Cerita Bersambung) Horor, Humor, Komedi, Lucu, untuk hiburan para Sahabat

WAITING FOR GAMA
LANJUTAN CERBUNG KUNCEN


[Chapter 3 Part 44]

REUNIK

FORTUNA MEDIA - Entahlah. Rindu itu begitu menotol dada. Meski yang dikangeni-dirindui cuma badan-badan gering dan wajah aking, toh itu mampu membuat fikiranku gulung-koming.

Ya. Saat meluncur di atas roda menuju pulkam-pulangkampung, tiba-tiba kangen saya pada para gondes meledak. Maka tanpa rencana, saat bas Eka memasuki Kota Solo, menikung di depan Indo Moto, dan terpal biru hik Maido terlihat, bibir saya spontan berteriak, "Kirii!" 

Tentu saja Cak Nardi, sopir yang sudah saya kenal baik, ngerem mendadak sambil mengeluarkan kalimat khasnya. "Jambuuu...!! Jare kate mudhun Magelang, lagek tekan kene kok wis nyerah?"
(Katanya mau turun Magelang, lha sampai sini kok nyerah)

"Mendadak, Cak. Onok arek sing kudu takopeni ndik Solo!" jawabku sekenanya sambil melompat turun.
(
Onok arek sing kudu takopeni ndik Solo- Ada geng yang penting aku jumpa di Solo)
 

"Hati-hati jangan sampek meteng!
" goda Cak Warto kondektur dari balik kaca pintu.


Saya terkakak. Jindul ik! Arek Etanan lek nggarapi uwong ancene lekoh nemen! Masak Mitro, Meyek, Tekek, Jes, meteng? Wong setrume ae padha plus-e, gak ngira korslet, rek!

Meski yang saya tuju para gondes, tapi tentu, yang saya jujug terlebih dahulu adalah rajanya gondes, Mbah Maido! Ini pukul 02.00, siapa tahu Tegalkuniran grup sedang hang-out di sini.

Ternyata pagi itu Mbah Maido sedang sendirian. Melihat kedatanganku, ia terlihat senang. Tapi, seperti biasa, lelaki tua itu terlalu gengsi untuk mengakui. Ia hanya menjep sambil membikinkan es teh.

"Sudah kuduga, suatu saat kamu pasti ke sini," sambutnya dingin.

"Kanapa begitu yakin?" ujarku terkekeh.

"Kan kamu yang janji sendiri! Mosok baru delapan bulan kerja di Surabaya sudah pikun!" semprotnya.

"Bwa ha ha. Iya ya.. Tapi mbok jangan dibuatkan es teh, aku pengin kopi, Mbah!" protesku.

"Ora wangun, ndes! Habis pergi jauh kok minum kopi!  Kudu es teh!"

Saya cuma garuk-garuk kepala sambil tertawa. Kalau Maido sudah bertitah es, ya harus es. Suka-suka yang jual lah!

Entah kekuatan batin apa yang mengundang, saat lidah saya kelu kena minuman dingin di dini hari yang dingin, mendadak Tekek muncul naik Vespa ndhog bebek, Vespa Pak Edy.

"Jindulll, ndess!!" teriaknya dengan wajah bungah begitu melihatku. Bukannya turun, ia justru langsung putar balik ke arah Tegalkuniran. Jiahaha... apa lagi yang mahu dilakukan kalau gak manggil para gondes. Asyik!

Segera saja saya memesan empat es teh gelas gajah lagi, tapi mbah Maido bergeming. Baru bergerak meracik minuman setelah agak saya paksa. Itu pun hanya dua gelas.

"Kok cuma dua?" tanyaku.

"Hambok ben. Bakule kan aku!" eyelnya.

Saya terdiam. Antara geli campur mangkel.

Tak lama Tekek muncul lagi menggonceng Jes. Kali ini langsung turun, pisuh-pisuhan dan gablog-gablogan.

"Duo M ke mana?" tanyaku.

"Wis dha lulus, ndes! Sudah kerja semua. Mitro ikut kakaknya di Mataram. Meyek keterima di BUMN," ujar Jes.

"BUMN apa?"

"Badan Usaha Milik Neneknya."

"Alhamdulillah, pokok-e kerja," syukurku. 

Ya senang ya susah. Senang kerana si pemalas sudah pada kerja. Susah kerana saat reuni ini tidak bisa berkumpul pleno. Gondese kari loro!
(Gengnya tinggal dua)

Owalaah.. itulah mengapa Mbah Maido hanya membuat dua gelas es tambahan. Ternyata dia lebih update situasi dan kondisi para gondes daripada saya. Top tenan!

"Kamu berdua kok masih ngendon di sini?"

"Aku baru pendadaran. Masih ada revisi," cetus Jes.

"Sip. Lha kamu, Kek?"

"Aku dah lulus dua bulan lalu. Tapi mau pulang kampung gak boleh sama Susi. Ini lagi nyari kontrakan yang bisa buat berdua."

"Wow. Tapi diresmikan saja dulu. Jangan kawin sebelum nikah!" pesanku.

"Iya, ndes! Jangan kumpul kebo. Wong kawin karo nikah mung kacek S wae lho..," tandas Jes.

"Kok kacek S?"

"Iya.. kawin perlu urat, kalau nikah perlu Surat. Makane gek diurus kuwi S-e!" ujar Jes.

Tekek terkekeh. Kami juga terkekeh. Eh, Mbah Maido diam-diam juga ikut tersenyum! Wah, rekod kiye ndes, bisa membuat Maido senyum!

Sayang belum puas berkangen-kangenan, Masjid sudah mengumandangkan tarhim. Mbah Maido pun langsung mengusir kami.

"Gak perpanjangan waktu toh, Mbah?" tawar Tekek.

"Padhakna bal-balan wae! Wis, bubar! Bubar!"
semprotnya sambil menarik bangku yang kami duduki dan menaikkan ke atas rombong.


Terpaksalah kami bubar sambil tertawa-tawa.

Saat mau membayar, Mbah Maido menggeleng. Tapi dengan cepat saya pegang tangannya.

"Mbah, saya sudah kerja. Penghinaan bagi saya kalau sampean gak mau terima uang ini!" ujarku setengah memohon.

Mbah Maido menatapku. Mengangguk. Lalu memasukkan uang itu ke dalam saku bajunya. 

"Sholat sik di Mushola Indo Moto. Ben ayem atimu!" perintahnya.
(
Ben ayem atimu-biar tenang hatimu)

Saya terpana. Mbah Maido yang selama ini terkesan jauh dari agama, kini malah mengingatkanku agar sholat! Top tenan, ndes!

Usai sholat bersama, ia tampak lega. Bahkan menemaniku di pinggir jalan sampai saya mendapatkan Bas SK menuju Yogyakarta.

Pertemuan itu begitu singkat, namun menyisakan kesan yang sangat mendalam. Betapa persahabatan itu kadang mengesampingkan diri sendiri. 

Gondes-gondes yang nganyelke dan kadang saling memaki, Mbah Maido dengan pisuhannya, seolah menggambarkan kebencian merajalela. Namun pada hakikatnya semua menunjukkan, "there is no hate at all in friendship, but love". Kalau dibahasakan dengan kalimatnya Maido, "Ndlogok, aku dudu kancamu, ndes! Tapi apapun yang terjadi denganmu, aku ngerti!" He he he..😄

Kawat diuntir-untir, timbang liwat mesisan mampir. Sampai di Srago, Klaten, sekitar jam 06.00, saya kembali turun. Kali ini yang saya tuju rumah Juni, gondes KKN Dawungan.

Saat uluk salam, Juni sedang sibuk menyapu halaman. Bukannya mempersilahkan duduk, dia malah mengulurkan sebuah sapu lidi ke saya.

"Bantu nyapu dulu, sambil ngobrol, he he.."

"Bajindul! Teman datang dari jauh malah dikaryakan ki piye?" ujarku sambil ngekek.

Jadilah reuni pagi itu berubah jadi reunik. Unik kerana benar-benar 'out of box', sampai tumpah-tumpah malah! Ngobrol dengan teman lama sambil makan, sudah biasa. Tapi ngobrol nostalgia sambil menyapu, itu sungguh luar biasa! Keringet, ndes!

Ganjarannya cukup lumayan sih, nasi goreng jeroan hangat dan kopi nasgithel. Plus habis mandi saya dijanjikan mau diantar keliling menemui Widi dan Ranti yang kebetulan keduanya rumahnya di Klaten.

"Motormu apa, Jun? Bukan GL Pro kan?"

Mendengar pertanyaanku, Juni ngakak sampai terbungkuk-bungkuk. 

Ya, kami ingat waktu mencoba menghidupkan motor tuanya Polo Sarmin dulu. Digenjot malah tuas starternya mencelat sampai ke kebon. Maka kami menamai motornya GL Pro, Genjot Langsung Prothol!

"Ha ha ha.. jangan khawatir. Punyaku ada tiga kok, Yamaha, Yahonda, Yasuzuki, tinggal pilih!"

"Wk wk wk... Piye yen Yagrobak wae!"

Tapi nasib kami sedang kurang mujur. Saat kami datangi, rumah Widi di dekat Pabrik Karung Delanggu kosong. Rumah Ranti di Cawas juga kosong. Kata Ibunya, master anggur Jebemete itu sedang ke pasar. Tapi kami tongkrongi sampai satu jam orangnya gak nongol juga.

"Wah, pasare nang Jatisrono dekat lokasi KKN paling!" celetuk Juni.

Saya hanya meringis.😓 

  BACA JUGA:
Smartphone iPhone SE 3 Mungkin Akan Dijual Dengan Harga Sale Cheap

Toh perjalanan itu gak rugi juga, kerana pulangnya kami disangoni "karak" (krupuk nasi) mentah satu plastik besar oleh Ibunya Ranti. Benar-benar besar plastiknya, sampai saat goncengan sulit memeganginya!

"Indahnya silaturahmi. Berangkat kosong, pulang nggotong," kata Juni sambil membleyer Yahondanya.


Saat itulah saya rasakan motor liyat-liyut ke kanan dan ke kiri kerana plastik karak membuat kendaraan menjadi tidak aerodinamis.

"Ojok banter-banter, ndes! Karak'e mabur!" teriakku.

Juni tertawa sambil melambatkan motornya. Kali ini sangat pelan.

"Dhuuh... ojok alon-alon juga, ndes!" teriakku lagi.

"Lhaah.. kenapa?"

"Takut karaknya ditawar emak-emak," seruku sambil ngikik.

Juni ikut ngikik.😀

"Halah, mbok ben. Malah keren, dikiranya kita ini juragan karak sedang mensurvei pelanggan!" ujarnya pede.

Setiap berpapasan dengan rombongan emak-emak, Juni sengaja membunyikan klakson berkali-kali sambil makin memperlahankan motornya. Wasyem tenan owg!

Di pertigaan Ngaran Mlese, lampu lalin sedang menyala merah. Melihat ada cewek naik Astrea di depan, langsung saja Juni than, thin, than, thin, mengklakson.(horn)

Cewek itu menoleh. Dan langsung berteriak, "Mas Juniii.. mas Guun!". Wealah.. ternyata Ranti!

"Dari rumahku ya?" tanya Ranti kaget sambil meminggirkan motor.

"Kok tahu?" 

"Itu.. plastiknya aku hafal. Dhuh.. simbok.. kok nggak dikerdusin-dikotakkan sih karaknya, kan malu-maluin!" kata Ranti sambil garuk-garuk kepala.

Tapi segera ucapannya saya potong. "Tidak ada yang memalukan. Sesederhana apapun yang kita berikan, jika ikhlas, pahalanya jauh lebih besar daripada memberikan sesuatu dengan pamrih."

"Wiik.. Mas Gundul wis pinter tauziah ik. Meguru neng ndi, Mas?" tanya Ranti

"Maido!" jawabku mantap.

Kontan kami tergelak-gelak.😂 Maido memang the best. Guru of guru!  [hsz] 

To be Continued...

Untuk Anda yang belum baca siri cerbung yang sebelumnya,
Anda boleh lihat disini linknya;
  Misteri Nusantara  

Courtesy and Adaptation of Novels by, Nursodik Gunarjo
Kredit Ilustrasi Image; Doc, Romy Mantovani 

#indonesia, #kuncen, #misteri#misteri

VIDEO: 

SUPERBIKES BRABUS 1300 R - NEW 2022 || FIRST LOOK- Productstory - ENGLISH & MALAY VERSION


No comments