MISTERI KUNCEN Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 28]


<img src="fazryan87.blogspot.com.jpg" alt=" MISTERI KUNCEN Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 28]">

MISTERI KUNCEN Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 28]
 

Cerbung (Cerita Bersambung) Horor, Humor, Komedi, Lucu, untuk hiburan para Sahabat

WAITING FOR GAMA

NYARIS...

Hujan menderas seperti dituang dari langit saat saya pulang dari hik Maido. Mana tak bawa payung pula. Apes-(basah kuyup) lagi, begitu menyeberangi perempatan Tugu Cembengan, mak pet... lettrik oglangan! Puhh...

Gelap-pekat dan kuyup membuat langkahku terhenti di emperan rumah Om Taruno. Sambil njedhidhil kedinginan, Saya memepetkan tubuh ke tembok. Tempias air yang terhembus angin terasa menampar-nampar muka. 

Ah, enak benar kawan-kawan yang sedang "sibuk skripsi" sehingga tak harus basah thili-thili seperti ini. Tahu begitu, tadi Aku ikut sibuk juga, he he... Eh, tapi lapar je, ndes!

Kilat cahaya petir membiaskan bayangan besi bekas yang pating crongat. Ada banyak barang logam tak terawat teronggok di situ. Kotak-kotak besi, pintu, potongan rail, hingga serpihan bumper mobil. Kumuh dan kotor.

Tidak seperti biasanya yang aman damai jika lewat di situ, saat ngeyup di malam hujan begini, tiba-tiba bulu lenganku berdiri. Wah, pertanda apa ini?

Saya tengok sekeliling, tetap sunyi sepi. Hanya suara detak-detak air hujan yang menetes di plat seng-(zing) terasa mendominasi. Tapi Saya yakin, Saya sedang tidak sendiri...

Saat kilat menyambar sangat dekat, Saya melihat sesosok tubuh berdiri ngejejer di pojok. Tingginya seukuran tubuh manusia. Ah, sayang cahaya itu begitu cepat berpendar, sehingga mata saya tak sempat menangkap objek itu seutuhnya.

Kilat menyambar lagi, dan lewat cahaya sekilas itu mata saya langsung mengenali bahwa sosok yang berdiri di pojok adalah lelaki berbaju putih. Sosok yang sudah empat tahun lenyap dari ingatan saya!

Jindul ik, kok dia masih ada? Bukankah cincin batu putih bernoktah merah itu sudah hancur dilas dan digodam Om Taruno? Kenapa dia tidak ikut hancur?

"Hei laknatullah! Kenapa kamu masih mengganggu kehidupanku!
Pergi kau!! Kembali ke alam kelanggengan sana!!" 
bentakku menukil kalimat yang pernah diucapkan Eyange.


Tapi saat kilat berpendar lagi, Saya lihat makhluk itu masih berdiri di tempatnya! Wah, ini mantranya yang tak manjur-(mujarab) kerana yang mengucapkan kebanyakan dosa, atau lelembutnya yang memang bandel? (bandel-degil)

Sedang tegang-tegangnya meneroka, tiba-tiba Om Taruno muncul begitu saja dari balik pintu. "Hei.. siapa malam-malam teliak-teliak haa?!" tanyanya sambil menyorotkan senter.

"Saya, Gun."


"Hayyaa.. Mas Gun kehujanan lupanya. Ini Owe pinjami payung lhaa..,"
katanya sambil mengulungkan payung hitam besar.


Saya sambut pinjaman payung dari si Om itu dengan sukacita. Sambil mengucapkan terima kasih, saya buru-buru berlalu.

Saat melintasi pojokan, tiba-tiba kurasakan ada benda jatuh menimpa payung. Pegangan payung terasa bergetar dan berat, seperti ada sesuatu yang nempel di atasnya! Astaghfirullah.. Apa ini? Apakah hanya perasaanku saja?

Nyatanya saat payung saya tangkupkan di emperan kos, tidak ada secuilpun benda yang menempel di atasnya, selain selembar daun jambu yang luruh terbawa hujan.

READ MORE, 
Misteri Nusantara
MISTERI KUNCEN Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 27]



Sampai di dalam kamar saya masih dheleg-dheleg. Hati saya galau. Kok dia menampakkan diri lagi di depanku? Jangan-jangan dia masih ingin mengikutiku?

Ah, semoga kejadian tadi just accidental, kebetulan belaka. Tapi apa iya di dunia lelembut juga ada kebetulan? Apa bukan sengaja ia menghadangku di pojokan. Menungguku terlena agar bisa nempel lagi di tubuhku?

Membayangkan itu, hatiku tiba-tiba terasa kecut sendiri. Bagaimana tidak, di injury-time masa studi seperti ini, saya benar-benar perlu ketenangan. Jangan sampai makhluk laknat itu datang lagi dan memporandakan jadwal hidupku yang memang sudah acakadut.

Dulu, di awal semester, Saya nyaris gagal total kerana alasan non-teknis terkait dia. Tentu harus kujaga benar agar kejadian yang sama tak terulang lagi. Bagaimanapun, kewaspadaan tingkat tinggi harus kuterapkan.

Tak ingin kecolongan, malam itu saya sengaja mengajak Tekek untuk tidur di kamarku. Segeblek-gebleknya Tekek, dia adalah satu-satunya di antara para gondes yang mata batinnya paling tajam. 

"Kok aneh, ujug-ujug minta Aku menemani tidurmu? Sejak kapan kamu jadi penakut, ndes?"


"Sejak malam ini. Eh, Kek, kamu masih ingat orangtua baju putih yang dulu sering kamu bilang mengikutiku?"

"Ya. Kan sudah modar didheplok Om Taruno," potong Meyek.

"Iya. Seharusnya. Masalahnya, Aku barusan ketemu dia.."

"Hah? Di mana?"


Saya ceritakan kejadian di emperan rumah Om Taruno, mulai dari saat lelembut itu menampakkan diri sampai kejadian sesuatu menempel di payung. Tekek hanya geleng-geleng kepala.

"Sepertinya dia masih ingin bersamamu," simpul Tekek.

"Itulah kekhawatiranku. Felling saya dia sekarang ada di kos ini. Makanya aku minta dirimu menemaniku," sambungku.

"Waduuhh...!"


Tak pelak malam itu saya tidak bisa tidur. Kebalikannya, Tekek malah menguap melulu. Matanya merah dan wajahnya seperti orang lesu darah.

"Ya sudah, kamu tidur saja, ndes! Nanti kalau ada apa-apa, saya bangunin," perintahku.

Tekek mengangguk. Hanya dalam hitungan menit, ia sudah ngorok. Deep-sleep. Kok aneh? Padahal biasanya ia paling betah melek.

Saya tunggu hingga jam 02.00 tidak ada kejadian apapun. Perasaan saya pun mulai berangsur lega. Mungkin apa yang terjadi tadi malam sekadar fatamorgana, bayangan yang muncul akibat kecemasan berlebihan.

Saya pun menarik sarung, berusaha memejamkan mata. Belum lagi terpicing, tiba-tiba Tekek menggeram sambil memegang lehernya. Tubuhnya mengejang. Dadanya tersentak-sentak seperti orang sesak nafas.

Secepat kilat tangan Tekek Saya singkirkan dari lehernya. Saya tiupkan bacaan Surah Al-Falaq dan An-Nas ke telinganya, namun Tekek malah berontak makin keras. Ia menggeram-geram sambil berusaha mencakar saya. Tangannya saya pithing sekuat tenaga, namun sekali sentak ia berhasil lepas.

Merasa tak mampu menangani sendiri, saya berteriak memanggil Eyange. "Eyaaanng! Eyaaang!!" Toloong!!" Tekek kesurupan!"
(kesurupan-kerasukan,editor)


Tak berapa lama Eyange sudah berdiri di depan pintu dengan membawa senjata andalannya, sapu gerang. Melihat kondisi Tekek, bibir Eyange langsung merapal-(melafaz) doa entah apa.

Diangkatnya sapu gerang tinggi-tinggi. Sekali sabet, tubuh Tekek mengejang sambil berteriak keras. Masya Allah.. ternyata suaranya tinggi melengking, bukan suara dia! 

Eyange masih terus menyabet-nyabetkan sapu ke setiap sudut kamar, sambil meminta agar makhluk halus yang mengganggu segera pergi. 

Berbarengan dengan berhentinya ayunan sapu Eyange, tubuh Tekek melunglai. Nafasnya berangsur teratur. Sesaat kemudian ia melek, lalu memeluk tubuh Eyange sambil nangis ngguguk.

"Aku nyaris mati, Eyang. Aku nyaris mati, Eyang.." isaknya.

"Tidak! Manusia tidak bakal kalah sama lelembut. Tenang, brekasakan itu telah pergi jauh!" kata Eyange menenangkan.

Setelah reda, Eyange bercerita bahwa makhluk baju putih itu sudah beberapa kali datang ke kos dan beberapa kali pula berhadapan dengan Eyange. 

"Yang sering saya sabeti dan teriaki agar pergi ya, si putih itu."

Woalah...


"Dia sebenarnya ngincer Mas Gun. Tapi tidak bisa masuk, kerana dari bayi sudah terlahir kulitnya tebal. Akibatnya nyasar ke Mas Teguh. Untung tadi langsung saya tangani," terang Eyange.

Kulit tebal? Mungkin itu kata kiasan. Ah, entahlah. Saya sendiri tidak tahu maksud Eyange apa. Cuma saya sangat menyesal, gara-gara kulit tebalku malah Tekek yang akhirnya jadi korban.

"Maaf ya, Kek, jadi ikut ribet," kataku saat menyambangi Tekek di kamarnya esok paginya.

"Tak apa-apa kok. Asal jangan sering-sering!" jawab Tekek sambil mrenges.

"Hahaha.. ya wis mengko tak ijoli Maido paket komplit!" (Nantik, Saya belanja komplit di Maido)

"Wah, kayaknya gak impas kalau Maido!"

"Lha, mintamu apa?"

"Timlo Solo Jalan Slamet Riyadi."

"Ya wis, beres!"


Pulang dari nraktir Tekek, Mitro sudah menghadang di lobi kos dengan wajah njegadhul.

"Nraktir kok gak ajak-ajak, sentimen tenan!" (Traktir itu artinya Belanja Makan)

"Lha kamu pengin ditraktir makan timlo po?" tanya Tekek.

"Tentu dong!" potong Mitro.

"Syaratnya gampang. Kesurupan dulu!"


Mendengar saran Tekek. Mitro tolah-toleh, lalu ngibrit lari ke kamarnya..
[hsz] 

To be Continued...

Untuk Anda yang belum baca siri cerbung yang sebelumnya,
Anda boleh lihat disini linknya;
  Misteri Nusantara  

Courtesy and Adaptation of Articles by, Nursodik Gunarjo
Kredit Ilustrasi Image; pinterest.com

VIDEO; TAMAK REBUT HARTA WARISAN, SANGGUP BAYAR TUKANG SIHIR RIBU² RINGGIT

No comments