MISTERI KUNCEN Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 27]
MISTERI KUNCEN Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 27]
SIBUK SKRIPSI
Sebuah Mobil Mitsubishi Colt T mata belok Plat R ... D berhenti di depan kos. Seorang lelaki berumur 60-an berkopiah hitam turun dan langsung mencium tangan Eyange.Tak salah lagi, itu pasti Mbah Sudin, yang disebut-sebut Bu Sri bakal mengambil kotak pusaka. Asyik. Beliau datang, artinya saya bakal dapat nunutan (ikutan) gratis sampai ke Wonosobo!
Saking girangnya, Saya langsung masuk kamar untuk packing. Siapa tahu Mbah Sudin tergesa. Kalau sudah siap kan tinggal mak nyeng ... angkat tas/beg langsung ikut tancap gas. "Pung nak pung no.. mumpung enak mumpung ono". Itu nama ajiannya (manteranya).
Rampung packing saya sengaja nyamperi Mbah Sudin. Intinya sih mahu kenalan, sambil menyampaikan maksud utama ... menunutkan diri itu tadi.
"Nah, ini Mas Gun!" kata Bu Sri begitu saya nongol di ruang tamu.
Saya langsung salim-cium tangan Mbah Sudin, namanya juga anak kos yang baik budi.
"Wooh ... sampeyan, toh. Saya dulu susah-payah jauh-jauh dari Banjar nyari alamat sampeyan di Jalan Stasiun Wonosobo untuk ambil pusaka. Eh, malah rumahnya kosong. Belakangan saya dapat kabar dari Sri, ternyata barang itu tak sampeyan bawa!" sambut Mbah Sudin dengan wajah keruh.
Sruuutt ... hati saya yang tadinya sudah mekrok (mekar) berbunga-bunga langsung ciut. Yungalaahh ... kok malah kena omel? Mimpi apa saya semalam?
"Maaf, Mbah. Saya sudah berusaha membawa kotak itu ke jalan, tapi tak ada bus yang mahu berhenti. Jadi, ya saya kembalikan ke sini ...," jelas saya kikuk, kerana tak menduga bakal kena semprot dadakan.
"Halaah ... alasan saja Mas nya, ini. Mana ada bus tak mahu ngangkut penumpang. Mas nya saja yang ogah kerepotan. Jujur saja, Mas ..." tudingnya.
Hancuriit ..! Kalau bukan kerabat Ibu, pasti sudah tak jindul-jindulke tenan Mbahe iki. Kenal aja belum kok sudah nembak pakai kata-kata setajam silet! Tapi mahu bela diri bagaimana, wong fakta yang saya alami begitu, kok!
Tidak pakai senyum, saya langsung balik lagi ke kamar dengan langkah tegap. Marah, Ndes! Tas isi baju yang sudah siap di dekat pintu, saya tendang sekerasnya.
READ MORE; MISTERI KUNCEN Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 26]
"Wiiikk ... ngopo to, kuwi?" komen Jes heran.(mengapa tuh kamu)
"Latihan bal-balan!" jawab saya sekenanya.
"Memangnya mahu tanding lawan mana?"
"PSOTW!"
"Singkatan kesebelasan opo kuwi?"
"Please Silent, Ojo Takon Wae!!" bentak saya sambil melotot.
(Silakan Diam, Jangan tanya saja)
Jes terdiam sambil menelan ludah. Kapokmu kapan! Ada orang esmoci malah dicerocosi, ya begitu akibatnya!
Tapi sumpah, melihat wajah Mbah Sudin tadi itu, sekonyong-konyong minat untuk nunut langsung hanyut ke laut. Wis, gak nunut sampeyan gak patheken, Mbah. Aku isih iso bali dhewe ora ketang hutang-hutang!
Maka ketika Bu Sri memanggil saya untuk membantu mengangkat kotak ke mobil, saya cuma nyeplos dingin dari dalam kamar, "Ngapunten Bu, saya sedang sibuk skripsi!" ' (Apanya Bu, saya sibuk bikin skripsi')
Well, saya kuping dari dalam kamar, tampaknya terpaksa Mbah Sudin mengangkat sendiri kotak kuno itu. Tapi berkali-kali diangkat, digeser, dijungkit, kotak itu tak bergeming (bergerak).
"Lhah ... deneng koh abot nemen kiyeh, Sri! (Dialek ngapak: Kok berat sekali ini, Sri)"
"Tapi kemarin Mas Gun bisa ngangkat ke jalan dari sini bolak-balik, kok?" timpal Bu Sri heran.
"Wah, jajal Mase kon mreneh, kon ngangkat maning! (Coba mas-nya suruh ke sini, suruh ngangkat lagi)"
Berhubung Bu Sri sudah melakukan panggilan kedua, sebentar lagi last call, terpaksa saya turun tangan. Sambil lewat saya tatap mata Mbah Sudin. Ia tampak gelisah, menghindar dari sirobok mata saya sambil agak menunduk. Hihihi ... Gondes dilawan! Bisik saya dalam batin.
Tanpa kesulitan, kotak saya naikkan ke dalam mobil. Biasa saja, beratnya persis seperti ketika saya angkat ke tepi Jalan Kolonel Sutarto dulu. Plus minus ya, 20 kilo lah.
Ah, saya curiga ... jangan-jangan Mbah Sudin pura-pura keberatan agar bebas dari urusan angkat-junjung ini? Wah, kalau benar begitu, kalah pokil saya!
Setelah pamitan ke Eyange dan Bu Sri, Mbah Sudin menghampiri saya dan menyalami saya dengan erat.
"Ampuh sampeyan, Mas. Itu tadi saya gak kuat sungguhan. Maafkan saya!" celetuknya sopan.
Saya terlongong-longong. Horoookk!! Gak kuat sungguhan? Sebelum sempat menjawab, Mbah Sudin sudah bergegas naik ke si mata belok.
"Gak pulang sekalian, Mas, kan bisa ikut saya sampai Wonosobo?" tawarnya.
'Eh, nganu ... maaf, saya sedang sibuk skripsi," jawab saya.
Entahlah, kok kalimat itu keluar lagi ... Padahal kerana saya kadung ilfil dengan sikapnya.
Baru saja Mbah Sudin mahu memutar kunci kontak mobil, tiba-tiba ... Duaaarrr!!! Ban-Tayar belakang mobil meletus.
"Wah, deneng si njeblug?? (kok meletus). Padahal masih gres, bane!" seru Mbah Sudin keheranan sambil turun memijit-mijit ban. Terang aja kempes, wong barusan meletus! (Hayo siapa yang suka mijit ban kempes kayak Mbah Sudin? Hehehe ...)
Ia langsung mengeluarkan dongkrak dan ban cadangan. Bu Sri memandang saya. Saya tahu, maksudnya nyuruh agar membantu Mbah Sudin mengganti ban. Tapi melihat ekspresi saya yang dingin, amar itu tak kunjung terucap.
Ah, biar sajalah si Mbahe olahraga dikit, biar agak langsing!
Seperempat jam kemudian, proses ganti ban selesai. Kembali Mbah Sudin memutar kunci kontak. Tapi starter mobil cuma "tertawa", hie ... hie ... hie ... gak mau greng menyala. Diputar lagi berkali-kali, yang kedengaran hanya ketawa mengejek si penyetarter.
"Montor bodhol!" maki Mbah Sudin sambil menggebuk kap mobil.
Dalam batin saya menyahut, "Betul sekali!"
Tidak sabar, busi-plug langsung dicopot dan dipasang lagi. Pompa bensin-petrol disedot pakai mulut, lalu dipasang kembali. Sekali lagi, dan lagi, kunci kontak diputar. Hasilnya nihil. Mesin cap Tiga Berlian itu tak kunjung mahu hidup.
Mbah Sudin ndeprok di bawah pohon jambu. Kasihan juga si Embah ini. Nafasnya ngos-ngosan. Keringatnya bercucuran sejagung-jagung. Wajahnya tampak kesal dan putus asa.
Diam-diam saya berfikir, apa ada hubungannya macetnya mesin dengan kotak pusaka itu ya? Soalnya dulu juga bikin gara-gara saat saya bawa nyegat -stop bus?
Iseng-iseng kotak pusaka saya turunkan. "Coba Mbah, distarter lagi," usul saya.
Mbah Sudin memutar kontak. Dan... greng! Tokcer, mesin langsung menyala. Tanpa menunda waktu, kotak saya naikkan lagi. Eh, mesin tiba-tiba mbrebet dan ... mati lagi. Distarter ngadat lagi.
Saya coba turunkan lagi kotaknya. Distarter nyala, tapi begitu kotak dinaikkan, mesin mati lagi. Begitu terus berulang-ulang.
Wah, pripun niki (gimana ini), Yang?" Mbah Sudin memohon pertimbangan Eyange.
"Ini pusakanya gak mau ikut kamu, Din. Maunya ikut Sri. Ya sudah, kamu tinggal saja, biar nanti dimasukkan lagi ke senthong sama Mas Gun," kata Eyange sareh.
Mbah Sudin merengut. Tampak sekali wajahnya sangat ngarepdotcom. Tapi ternyata yang diarep gak mau kompromi. Yah, namanya juga milih juragan, ya suka-suka yang milih. Saya sendiri kalau suruh ngikut si Mbahe yang pemarah ya mikir ping pitulikur jaran!
Jadilah Mbah Sudin siang itu pulang ke Banjarnegara dengan tangan kosong. Dan mobil kosong tentunya, kerana saya gak jadi nunut, hihi ...
Tapi sepeninggal Mbah Sudin ada tugas besar menghadang saya. Tugas dari Eyange, yang seumur hidup tak pernah saya bayangkan, bahkan dalam mimpi sekalipun: ngopeni pusaka!
"Saya minta Mas Gun menjamasi (memandikan) dan membersihkan pusaka ini tiap bulan Suro. Kerana Sri dan saya perempuan, gak mungkin melakukan itu. Apalagi tampaknya yang di dalam pusaka itu sudah kenal Njenengan," titah Eyange.
(Njenengan-Kamu dalam bahasa Jawa halus)
"Waduh ... maaf, Yang. Bukan saya menolak, tapi saya sekarang sedang sibuk ngurus skripsi," elak saya.
"Skripsi itu apa butuh (perlu) dijamasi juga?" tanya Eyange dengan wajah serius.
Hampir saja tawa saya meledak mendengar pertanyaan polos Eyange. Tapi kerana beliau nanyanya serius, ya harus dijawab serius pula.
"Inggih, Yang. Njamasinya sehari dua kali. Minimal ya sekali lah ..."
"Wah, ya sibuk betul kalau begitu. Ya sudah, nanti saya minta tolong Pak Tio (suaminya Bu Pang ibu kosnya si Meyek)."
Legaaaa rasanya. Gak bisa mbayangin kalau benar-benar harus njamasi pusaka yang baru bukak kotaknya saja sudah bikin bulurah, eh ... bulu kuduk berdiri.
Baru semenit menikmati masa kebebasan, Tekek muncul di hadapan saya membawa guntingan iklan koran-suratkabar dengan wajah sumringah.
"Ndul, ada tawaran menarik jadi surveyor. Sehari gajinya Rp1.000. Cepet daftar, terakhir hari ini!"
"Gak, Kek. Aku sedang sibuk skripsi!" jawab saya singkat.
Mendengar jawaban saya, Tekek seperti sadar akan sesuatu. Ia memandang saya tajam. Lalu menunduk. Sejenak kemudian membuang kertas di tangannya ke udara.
"Aku juga sedang sibuk skripsiiii!!" serunya sambil ngacir balik ke kamar.
Saya garuk-garuk kepala.
Malamnya saya tunggu sampai jam 23;00, tak sebiji pun Gondeser nongol. Aneh ini! Biasanya jam segitu semua sudah berkotek-kotek ngajak ke Maido. Kok, tumben?
Saya pun keluar kamar. Mencontongkan telapak tangan ke mulut dan berteriak ala Tarzan. "Arep do neng Maido ora, Ndess?!!"
('Mau ke Maido tak Ndess?')
"Sorii ... prei! Lagi sibuk skripsi!!" jawab para Gondes bersahutan.
Bwahaha ... top markotop tenan! [hsz]
To be Continued...
Untuk Anda yang belum baca siri cerbung yang sebelumnya, Anda boleh lihat disini linknya; Misteri Nusantara
Courtesy and Adaptation of Articles by, Nursodik Gunarjo
Editor; Romy Mantovani
Kredit Ilustrasi Image; pinterest.com_____
VIDEO; #EpisodeAkhir, Dilarikan Bangsa Jin Bunian Saat Bertapa Di Gunung Jerai, Negeri Kedah #TrueStory
No comments
Post a Comment