Kenapa Orang Madura Sering Dapat Stigma?
![]() |
| Illustrasi Image: Doc; CAKRAWALA NEWS |
Kenapa Orang Madura Sering Dapat Stigma?
👉“Bukan orang Madura yang perlu senantiasa menjelaskan diri mereka. Yang perlu belajar adalah masyarakat yang terbiasa menilai manusia dari cerita separuh didengar.”
- Stigma tidak pernah lahir dari kebenaran. Ia lahir dari cerita yang diulang-ulang sampai terdengar seperti fakta.
- Nama “Madura” di banyak kota besar Indonesia sering dipanggil lebih dulu daripada nama manusianya. Sekali disebut, yang muncul di kepala bukan wajah keluarga, bukan kerja keras, bukan do'a, melainkan gambaran kasar yang diwariskan dari obrolan warung, judul berita, dan pengalaman sepihak.
- Masalahnya bukan pada orang Madura.
-
Masalahnya pada cara masyarakat membentuk kesimpulan kolektif.

Tugu perdamaian / rekonsiliasi Dayak–Madura di Kalimantan.
Dibangun pasca rangkaian konflik etnik besar di Kalimantan, yang puncaknya memang dikenal publik lewat Tragedi Sampit (2001) di Kalimantan Tengah / Illustrasi Image: Doc; CAKRAWALA NEWS
CAKRAWALA NEWS l Negara Pernah Percaya, Masyarakat Kemudian Curiga
Sejarah mencatat ironi yang jarang diingat.
Pada masa awal republik, Negara Indonesia justru mempercayai keberanian dan loyalitas / kesetiaan orang Madura. Banyak dari mereka masuk ke barisan militer dan keamanan negara. Pada era Presiden Soekarno, Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa diisi oleh prajurit pilihan dari berbagai daerah, termasuk Madura.
Sifat yang hari ini dicap “keras” dulu adalah pengawal presiden negara.
Namun ketika konteks berubah, ketika kota menjadi sesak dan ekonomi makin kejam, sifat yang sama dipelintir menjadi stigma.
Yang berubah bukan manusianya, tetapi cara negara dan masyarakat memperlakukan mereka.

Foto anggota Cakrabirawa saat bertugas — pasukan elit pengawal Presiden Soekarno.
Illustrasi Image: Doc; CAKRAWALA NEWS
👉“Orang Madura memang cukup menonjol dalam pasukan pengamanan Presiden Soekarno, tetapi mereka adalah bagian dari struktur militer nasional, bukan pasukan etnik.”
Kota Besar dan Kerja-kerja Kotor yang Tak Mau Diakui
Di Jakarta dan kota besar lain, orang Madura sering hadir di sektor yang paling berisiko: sebagai penjaga malam, buruh kasar, keamanan informal, pekerjaan yang tidak memberi ruang aman untuk lemah.
Ketika konflik muncul di ruang-ruang ini, yang terlihat adalah otot, bukan latar belakang.
Nama suku lalu disebut. Narasi selesai.
Budaya Dijadikan Kambing Hitam
Setiap kali konflik melibatkan orang Madura, kata “budaya” langsung muncul seolah ia penyebab tunggal. Seakan kemiskinan, tekanan hidup, diskriminasi kota, dan pengabaian undang-undang tidak pernah wujud.
Budaya dijadikan penutup diskusi.
Begitu kata itu disebut, orang berhenti bertanya.
Ini cara paling efisien untuk tidak berfikir.
Illustrasi Image: Doc; CAKRAWALA NEWS
Stigma yang Sengaja Dipelihara
Stigma bertahan bukan kerana ia benar, tetapi kerana ia berguna.
Ia memudahkan pengawasan.
Ia membenarkan kekerasan.
Ia mengalihkan perhatian dari kegagalan kebijakan pemerintah.
Selama satu kelompok bisa terus disalahkan, tidak ada yang perlu bertanggung jawab lebih jauh.
BACA JUGA:
5 Keistimewaan Wanita Madura yang Membuat Para Lelaki Bertekuk Lutut
Siapa yang Sebenarnya Bermasalah?
Jika satu suku / etnik terus diminta membuktikan bahwa mereka “tidak seperti yang dikatakan orang”, maka masalahnya bukan pada suku itu, tetapi pada masyarakat yang nyaman hidup dari prasangka.
Orang Madura tidak memerlukan pembelaan romantik.
Yang diperlukan adalah kejujuran berfikir.
Kerana pada akhirnya, stigma tidak pernah menceritakan siapa mereka.
Stigma hanya membongkar siapa kita yang senang menghakimi dari jauh.
BACA JUGA:
Inilah Keistimewaan Wanita Madura yang Perkasa, Mandiri dan Pekerja Keras
Suku Madura (Bahasa Madura: Orèng Madhurâ) merupakan salah satu etnis dengan populasi besar di Indonesia, jumlahnya sekitar 7.179.356 juta jiwa (census data 2010). Mereka berasal dari Pulau Madura dan pulau-pulau sekitarnya (Pulau Puteran, Pulau Gili Iyang, Pulau Sapudi, Pulau Gili Raja, Pulau Giligenting, Pulau Raas, dan lain-lain). Walaupun berada dalam wilayah Provinsi Jawa Timur, orang Madura punya bahasa sendiri dan tradisi yang berbeza dari masyarakat Jawa.
Dan sama seperti Suku Minangkabau ataupun Etnik Cina. Suku Madura adalah suku perantau yang banyak tersebar di beberapa wilayah-wilayah Indonesia. Selain di Indonesia, beberapa orang Madura perantauan juga dapat ditemui di negara tetangga seperti Australia, Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Timur Tengah dan lainnya.
Indonesia itu luas dan super beragam, jadi gesekan antar-etnik bukan hal baru. Suku Madura juga sering dapat label negatif yang sebenarnya muncul dari kecemburuan sosial. Orang Madura dikenal pekerja keras, ulet, dan tidak mudah menyerah. Di banyak daerah rantau, mereka justru lebih cepat berhasil daripada penduduk tempatan, dan di situlah rasa tidak nyaman atau iri bisa muncul.
Cara bicara orang Madura yang tegas dan berintonasi tinggi kadang dianggap kasar oleh etnik lain. Ditambah lagi karakter sebagian orang Madura yang kuat pendirian dan tidak mudah mundur, sehingga mudah disalahfahami. Padahal, di balik itu semua, mereka dikenal sebagai masyarakat yang ramah, kompak, dan religius. Banyak ulama besar di Indonesia juga berasal dari Madura.
Soal Stereotype “Kasar”, Tidak Berlaku untuk Semua
Bagi orang Madura, harga diri itu nombor satu. Ada pepatah terkenal, "Lebbi Bagus Pote Tollang, Atembang Pote Mata", yang maknanya kurang lebih “lebih baik mati (putih tulang) daripada menanggung malu (putih mata).” Prinsip ini pernah melahirkan tradisi Carok, sebuah pertarungan untuk mempertahankan kehormatan.
Tapi zaman sudah berubah. Banyak generasi muda Madura yang kini lebih terdidik, lebih tenang menyikapi masalah, dan sudah meninggalkan tradisi kekerasan. Yang sering tidak disadari, karakter orang Madura juga berbeda-beda tergantung daerahnya.
BACA JUGA:
Menelusuri Stigma Negatif Budaya "Carok" Etnik Madura
Madura Timur Lebih Halus, Madura Barat Lebih Tegas
Pulau Madura bukan satu warna. Masyarakat Madura Timur—seperti Daerah Sumenep dan Pamekasan—cenderung lebih halus dalam bahasa, sikap, dan tata krama.
Sementara Madura Barat—Daerah Sampang dan Bangkalan—lebih terkenal dengan gaya bicara yang tegas dan cepat.
Kerana para perantau lebih banyak berasal dari Madura Barat, karakter mereka yang cenderung lebih keras akhirnya dianggap sebagai gambaran seluruh orang Madura. Padahal kenyataannya tidak sesederhana itu.
Kesimpulan:
Stereotype terhadap etnik mana pun sebenarnya lahir dari pengalaman terbatas, salah faham, atau sekadar cerita turun-temurun. Orang Madura, sama seperti kelompok etnik lain di Indonesia, punya keberagaman karakter, budaya, dan cara hidup. Yang keras ada, yang halus juga banyak. Yang jelas, mereka termasuk kelompok paling ulet dan pekerja keras di Negeri Nusantara ini. [HSZ}
Author: Helmy El-Syamza
Ilustrasi Image: Doc; CAKRAWALA NEWS
Follow me at;⭐
facebook.com/helmyzainuddin
CAKRAWALA NEWS:
https://t.me/cakranews
www.tiktok.com/@romymantovani
twitter.com/romymantovani



No comments
Post a Comment