Menelusuri Stigma Negatif Budaya "Carok"Etnik Madura
Ilustrasi Foto;Pencak Silat
Jadi kalaupun dalam suatu peristiwa carok lantaran wanita hal itu telah merupakan kenyataan yang tak mungkin dihindarkan. Demikian pula masalah hak. Permasalahan ini erat kaitannya dengan permasalahan lingkungan yang dijajah atau diganggu oleh pihak lain. Dalam wujud ini, biasanya banyak dikaitkan dengan permasalahan irigasi(pengairan) yang merupakan penentu kelangsungan hidup bagi masyarakat setempat. Kerana hanya air yang menjadikan mereka dapat bertahan.
Pada prinsipnya, para suami Madura biasanya bersikap keras dan tegas dalam membela kehormatan dan kesudian istrinya. Dan umumnya pangkal utama timbulnya perselisihan dari kaum wanita. Sehingga tak hairan timbulnya carok, kadang hanya masalah sepele, yaitu lantaran bekas istri dilamar atau berkawin dengan leaki lain.
Ironisnya, pada gilirannya masyarakat luar Madura memandang Madura sebagai wujud berindentik kekerasan dan Carok. Padahal bila ditelusuri lebih jauh, justru di Madura banyak terkandung nilai-nilai luhur. Baik dari segi sosial budaya, sosial masyarakat maupun sosial ekonomi. Dengan demikian, prospek masyarakat Madura bak mutiara dalam bukit tanah kapur.
Prolog;
Sekitar awal tahun awal 50an hingga 90an Semenanjung Malaysia(Malaya waktu itu),kedatangan para penghijrah,pedagang dan pencari kerja dari Negeri-negeri di Pulau Sumatera,Pulau Jawa,Pulau Kalimantan,Pulau Madura,Pulau Bawean(Di Malaysia disebut Boyan)Pulau Sulawsi,Pulau Lombok Hingga dari Pulau Flores.
Dan kedatangan penghijrah tersebut waktu itu bagaikan penghijrah antar pulau di Nusantara melalui laut.Dimana sangat kurang yang menggunakan pasport.Apalagi waktu itu penjajah British sangat memerlukan pekerja/buruh dipelbagai sektor selain pekerja yang di import dari benua kecil India.
Baca; 5 Keistimewaan Wanita Madura yang Membuat Para Lelaki Bertekuk Lutut
Dan setelah Malaysia Merdeka penghijrah dari Pulau Sumatera,Pulau Jawa,Kalimantan(etnik Banjar)Pulau Madura dan Pulau Bawean sangat mendominasi populasi pendatang waktu itu.
Maka bermunculanlah waktu itu apa yang disebut sebagai perkampungan "Setinggan" yaitu para pendatang dari Madura dan Bawean membina perumahan/perkampungan sesama etnik mereka di tanah-tanah kerajaan.Yang sangat mencolok waktu itu di sekitar daerah Kuala Lumpur,Negeri Selangor dan Negeri Pahang.
Dan waktu itulah di daerah pemukiman "setinggan" ataupun di rumah-rumah kongsi(rumah penempatan pekerja/buruh).Masyarakat Malaysia dikejutkan apa yang dinamakan "Carok",pembunuhan kejam yang berlaku akibat dendam lama dari persoalan perempuan sama ada punca yang berlaku di Malaysia ataupun "dendam lama" yang dibawa dari Madura.
Alhamdulillah,sekitar awal 90an,dengan kesigapan dan kecekapan Polis DiRaja Malaysia(PDRM),bagian Siasatan Jenayah Bukit Aman dapat membanteras gejala Carok tersebut untuk meluas dan berkembang kepada etnik/suku pendatang lainnya.PDRM,melakukan berbagai cara pendekatan musyawarah dengan ketua-ketua masyarakat tersebut dan mana -mana pelaku pembunuhan di hukum setimpal dengan jenayah yang dilakukan.
Ilustrasi Foto;Wanita Madura
Dan kedatangan penghijrah tersebut waktu itu bagaikan penghijrah antar pulau di Nusantara melalui laut.Dimana sangat kurang yang menggunakan pasport.Apalagi waktu itu penjajah British sangat memerlukan pekerja/buruh dipelbagai sektor selain pekerja yang di import dari benua kecil India.
Baca; 5 Keistimewaan Wanita Madura yang Membuat Para Lelaki Bertekuk Lutut
Dan setelah Malaysia Merdeka penghijrah dari Pulau Sumatera,Pulau Jawa,Kalimantan(etnik Banjar)Pulau Madura dan Pulau Bawean sangat mendominasi populasi pendatang waktu itu.
Maka bermunculanlah waktu itu apa yang disebut sebagai perkampungan "Setinggan" yaitu para pendatang dari Madura dan Bawean membina perumahan/perkampungan sesama etnik mereka di tanah-tanah kerajaan.Yang sangat mencolok waktu itu di sekitar daerah Kuala Lumpur,Negeri Selangor dan Negeri Pahang.
Dan waktu itulah di daerah pemukiman "setinggan" ataupun di rumah-rumah kongsi(rumah penempatan pekerja/buruh).Masyarakat Malaysia dikejutkan apa yang dinamakan "Carok",pembunuhan kejam yang berlaku akibat dendam lama dari persoalan perempuan sama ada punca yang berlaku di Malaysia ataupun "dendam lama" yang dibawa dari Madura.
Alhamdulillah,sekitar awal 90an,dengan kesigapan dan kecekapan Polis DiRaja Malaysia(PDRM),bagian Siasatan Jenayah Bukit Aman dapat membanteras gejala Carok tersebut untuk meluas dan berkembang kepada etnik/suku pendatang lainnya.PDRM,melakukan berbagai cara pendekatan musyawarah dengan ketua-ketua masyarakat tersebut dan mana -mana pelaku pembunuhan di hukum setimpal dengan jenayah yang dilakukan.
Ilustrasi Foto;Wanita Madura
Budaya Carok: Hak, Harga Diri dan Wanita
Dr. A. Latief Wiyata menyatakan bahwa budaya Madura sesungguhnya memang sarat dengan nilai-nilai sosial budaya yang positif. Hanya saja kemudian nilai-nilai positif tersebut tertutupi perilaku negatif sebagian orang Madura sendiri, sehingga muncul stereotype tentang orang Madura, dan lahir citra yang tidak menguntungkan. Lebih daripada itu, pandangan mereka terhadap masyarakat dan kebudayaan Madura selalu cenderung negatif.
Dan
tentang wanita sendiri, bagi lelaki Madura mendapat tempat
tertinggi, kerana dari wanitalah kaum lelaki di Madura menjadi lebih
bersemangat, dan dari kaum wanita pula dapat menimbulkan berlakunya pembunuhan.
Kerana tingginya kedudukan wanita Madura, maka kaum wanita khususnya
para gadis dikonotasikan dengan 'perlambang melati'. Maka tak hairan
falsafah 'melati' menjadi pujian bagi orang-orang tua Madura dengan ucapan
“duh tang malate ta’ geggher polana ojhen, ban ta’ elop polana panas are”, artinya; "oh, melatiku, yang tak gugur kerana hujan dan tak layu kerana panas matahari".
Jadi kalaupun dalam suatu peristiwa carok lantaran wanita hal itu telah merupakan kenyataan yang tak mungkin dihindarkan. Demikian pula masalah hak. Permasalahan ini erat kaitannya dengan permasalahan lingkungan yang dijajah atau diganggu oleh pihak lain. Dalam wujud ini, biasanya banyak dikaitkan dengan permasalahan irigasi(pengairan) yang merupakan penentu kelangsungan hidup bagi masyarakat setempat. Kerana hanya air yang menjadikan mereka dapat bertahan.
Tapi
dalam kondisi yang lain, peranan wanita Madura dibandingkan dengan kaum
lelaki belum seluas sebagaimana peran-peran yang dilakukan wanita-wanita
kota besar, meskipun pada dasarnya wanita Madura telah mengenal
persamaan hak dan kewajiban dengan suami. Atau dengan kata lain bisa
disebut semacam emansipasi pembawaan naluri.
Seorang istri mampunyai peranan dan tanggung jawab yang sangat penting untuk menegakkan martabat dan kehidupan rumah tangga. Mereka bersama-sama turun ke ladang membanting tulang dan memerah keringat hingga “ agili pello koneng “ (mengalir keringat kuning), maksudnya "bekerja keras sampai tuntas". Rasa kebersamaan kerja ini juga berlaku dipasar, dilaut, atau juga dimana saja sang suami membanting tulang.
Seorang istri mampunyai peranan dan tanggung jawab yang sangat penting untuk menegakkan martabat dan kehidupan rumah tangga. Mereka bersama-sama turun ke ladang membanting tulang dan memerah keringat hingga “ agili pello koneng “ (mengalir keringat kuning), maksudnya "bekerja keras sampai tuntas". Rasa kebersamaan kerja ini juga berlaku dipasar, dilaut, atau juga dimana saja sang suami membanting tulang.
Namun
demikian satu kelebihan wanita Madura, tugas-tugas yang lain, baik
sebagai ibu dari anak-anaknya maupun sebagai pendamping suami dari
menyiapkan makan dan minum maupun tetek bengek lainnya, sang istri akan
selalu setia melayani. Tetapi didalam persamaan hak tersebut, wanita
Madura menurut tradisi harus selalu hidup dibawah kekuasaan lelaki
(suami). Artinya wanita Madura harus tunduk, patuh, taat dan menyerah
pada kemauan suami dan tidak dibenarkan untuk menolak maupun membantah.
Bahkan untuk menentukan perkawinan diteruskan atau diputuskan. Dan
apabila suami tidak mampu memberikan keturunan, biasanya sang suami
mengambil inisiatif untuk mentalaq atau kawin lagi dengan alasan demi
meneruskan keturunan.
Demikian pula
sebaliknya sang suami tidak akan merestui bila istri berkehendak minta
cerai. Kecuali bila suami melepaskan dengan suka rela.
Tapi hal itu jarang dan sulit terjadi, kerana menyangkut prestige dan harga diri sebagai lelaki yang harus dipertahankan. Kalaupun sampai terjadi, maka akan berakibat buruk dan berkepanjangan, terutama kalau perkawinan terjadi antar keluarga. Hubungan keluarga akan menjadi retak. Akibat yang lain bila suatu ketika bekas istrinya kawin lagi dengan lelaki lain, maka tak ayal akan terjadi dan timbul permusuhan, cemburu dan sakit hati bekas suaminya.
Apalagi dikemudian hari bekas istri menemukan kebahagiaan lain.
Tapi hal itu jarang dan sulit terjadi, kerana menyangkut prestige dan harga diri sebagai lelaki yang harus dipertahankan. Kalaupun sampai terjadi, maka akan berakibat buruk dan berkepanjangan, terutama kalau perkawinan terjadi antar keluarga. Hubungan keluarga akan menjadi retak. Akibat yang lain bila suatu ketika bekas istrinya kawin lagi dengan lelaki lain, maka tak ayal akan terjadi dan timbul permusuhan, cemburu dan sakit hati bekas suaminya.
Apalagi dikemudian hari bekas istri menemukan kebahagiaan lain.
Pada prinsipnya, para suami Madura biasanya bersikap keras dan tegas dalam membela kehormatan dan kesudian istrinya. Dan umumnya pangkal utama timbulnya perselisihan dari kaum wanita. Sehingga tak hairan timbulnya carok, kadang hanya masalah sepele, yaitu lantaran bekas istri dilamar atau berkawin dengan leaki lain.
Terkadang konflik
antara dua orang biasanya merembet melibatkan orang lain, antar
keluarga, kerabat bahkan sampai melibatkan semua penduduk kampung.
Peristiwa carok antar kampung yang cukup mengerikan pernah terjadi beberapa tahun lampau, tepatnya di Bangkalan. 'Carok massal' itu terjadi antara penduduk desa Bilaporah dengan penduduk Jodih saling berhadapan dengan clurit ditangan. Dan akibatnya 5 orang maut serta beberapa puluh lainnya luka-luka parah. Kejadian ini sempat menggegerkan masyarakat Bangkalan khususnya, hingga membuat Bupati, Polisi, Tentara dan para Ulama prihatin dan turun tangan.
Dan banyak contoh-contoh lain yang kerap terjadi peristiwa carok di Pulau Madura maupun daerah-daerah lain di Jawa yang kebanyakan dilatar-belakangi oleh adat istiadat yang dibawa dari Madura.
Peristiwa carok antar kampung yang cukup mengerikan pernah terjadi beberapa tahun lampau, tepatnya di Bangkalan. 'Carok massal' itu terjadi antara penduduk desa Bilaporah dengan penduduk Jodih saling berhadapan dengan clurit ditangan. Dan akibatnya 5 orang maut serta beberapa puluh lainnya luka-luka parah. Kejadian ini sempat menggegerkan masyarakat Bangkalan khususnya, hingga membuat Bupati, Polisi, Tentara dan para Ulama prihatin dan turun tangan.
Dan banyak contoh-contoh lain yang kerap terjadi peristiwa carok di Pulau Madura maupun daerah-daerah lain di Jawa yang kebanyakan dilatar-belakangi oleh adat istiadat yang dibawa dari Madura.
Beberapa
pendapat mengatakan, pengertian carok sebenarnya duel antara satu
melawan satu. Itupun dilakukan dengan unsur sengaja. Artinya kemampuan
dan ketinggian ilmu yang dimiliki seseorang tidak akan diketahui bila
tanpa dibuktikan dilapangan. Jadi bila seseorang telah memungkinkan
untuk menjajal/mempamerkan ketinggian ilmunya, maka biasanya ia dengan sengaja
mengganggu ketentraman orang lain, baik mengganggu keluarga maupun istri
seseorang yang dianggap memiliki kemampuan dan ilmu yang setara. Bila
tak hairan akan memancing dan merangsang emosi pihak yang keluarganya
diganggu untuk menantang carok.
Nah saat itu pula mereka mengadakan perjanjian menetukan waktu dan tempat bertarung dengan disaksikan beberapa orang/tokoh yang lain.
Nah saat itu pula mereka mengadakan perjanjian menetukan waktu dan tempat bertarung dengan disaksikan beberapa orang/tokoh yang lain.
Sementara
pendapat yang lain mengatakan, carok pada awalnya merupakan suatu
bentuk permainan pentas yang dilakukan masyarakat Madura tradisional.
Menurut cerita, pentas semacam itu tiap-tiap daerah mempunyai nama
tersendiri. Di daerah Sampang menyebut “karja” di Pamekasan menyebut “ salabadhan”, sedang di Sumenep disebut “pojhian”.
Pentas
semacam tersebut digelar dalam bentuk teater arena (semacam Lenong
Rumpi). Jadi antara pelaku dan penonton tidak ada jarak, mereka
bergantian tampil sesuai dengan karakter masing-masing dengan diiringi “saronen”,
yaitu sejenis tabuhan yang biasa dialunkan sebagai pengiring karapan
sapi (lumba lembu) atau hajat lainnya, merupakan jenis musik tradisional Madura.
Dalam event tersebut biasanya menampilkan nama-nama tokoh artificial sebagai
pengantar cerita kepahlawanan yang menggambarkan tokoh-tokoh Madura
seperti Sakerah, Ke’ Lesap dan sebagainya. Dalam babak tersebut
diperagakan suatu bentuk perkelahian sebagai klimaks cerita.
Bahkan
pernah sampai terjadi perkelahian sungguhan, dan mengakibatkan salah
seorang diantaranya maut. Melihat latar belakang peristiwa tersebut,
kerana orang-orang Madura telah terlanjur diklaim sebagai orang yang
berwatak keras, bringas dan “mbalelo”. Maka setiap perkelahian dan menjatuhkan korban yang dilakukan orang Madura, dianggap sebagai perkelahian carok.
Ironisnya, pada gilirannya masyarakat luar Madura memandang Madura sebagai wujud berindentik kekerasan dan Carok. Padahal bila ditelusuri lebih jauh, justru di Madura banyak terkandung nilai-nilai luhur. Baik dari segi sosial budaya, sosial masyarakat maupun sosial ekonomi. Dengan demikian, prospek masyarakat Madura bak mutiara dalam bukit tanah kapur.
Dan dibalik itu untuk membangun kembali citra
positif,tentang stigma negatif etnik Madura memang tidak bisa serta merta, perlu proses, akan tetapi bukan
sesuatu yang mustahil. Itupun harus dimulai sekarang juga, agar keadaan
tidak semakin parah. Hal yang sangat penting adalah adanya kesadaran
bahwa membangun citra positif harus dilakukan sendiri oleh Orang Madura,
sebagaimana semboyan kelompok Pakem Maddhu, Pamekasan yang berbunyi:
“Coma reng Madhura se bisa merte bhasa Madhura” (Cuma orang Madura yang
mengerti bahasa Madura).
Semangat
untuk memajukan Madura ini harus terus diperjuangkan seperti yang
tercermin dalam sajak D.Zawawi Imrom dalam kumpulan puisi Celurit
Emas-nya:
“Bila musim melabuh hujan
tak turun.
Kubasahi kau dengan denyutku.
Bila dadamu kerontang.
Kubajak kau dengan tanduk logamku.
Di atas bukit garam kunyalakan otakku.
Lantaran aku tahu.
Akulah anak sulung yang sekaligus anak bungsumu.
Aku berani mengejar ombak.
Aku terbang memeluk bulan.
Dan memetik bintang gemintang di ranting-ranting roh nenek moyangku.
Di bubung langit ku-ucapkan sumpah. Madura, akulah darahmu”.
Kubasahi kau dengan denyutku.
Bila dadamu kerontang.
Kubajak kau dengan tanduk logamku.
Di atas bukit garam kunyalakan otakku.
Lantaran aku tahu.
Akulah anak sulung yang sekaligus anak bungsumu.
Aku berani mengejar ombak.
Aku terbang memeluk bulan.
Dan memetik bintang gemintang di ranting-ranting roh nenek moyangku.
Di bubung langit ku-ucapkan sumpah. Madura, akulah darahmu”.
No comments
Post a Comment