KISAH SUFI, SANG KYAI [66]
Pada siri ke-65 Sang Kyai mengisahkan tentang pasiennya, besoknya setelah Maghrib gadis itu datang diantar lagi oleh Ayahnya. Sebenarnya aku sudah lelah sekali, kerana disamping gadis itu aku seharian harus mengeluarkan Jin yang ada di tubuh dua orang lagi tetamuku, bahkan yang satu di dalamnya ada sampai hampir seratus Jin dalam tubuhnya, energiku terkuras.
- Maka ku putuskan memanggil murid-muridku membantu, agar bebanku agak berkurang, ku suruh murid-muridku mengeluarkan Jin yang kapasitinya ringan -- sekalian mengajari mereka memakai ilmu yang ku berikan, sehingga kalau ada masalah yang sama jadi mereka sudah bisa bantu.
CAKRAWALA NEWS l Mengajak kepada kebaikan, itu tugas kepada siapa saja yang sudah ingin menjalankan keislamannya dengan sempurna, orang mengajak kepada kebaikan itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, apalagi karakter manusia itu berbeza-beza, kalau mengajak di tempat pengajian, atau gembar gembor di tempat yang orangnya sudah dikumpulkan oleh panitia, dan mendapat undangan, ya gembar gembornya mudah. Tetapi apa ada yang mahu ikut?
Sehabis diceramahi juga paling sudah lupa dengan apa yang dikatakan tukang ceramahnya, seperti menyiram air pada ceramik, ada debu menempel juga ceramiknya sudah kotor lagi, menurutku mengajak itu harus dari hati, harus dari dalam pribadi manusia, dari kedalaman jiwa mereka, buat mereka tertarik dengan hatinya, baru diberi penjelasan kalau sudah ikut.
Dan memberi penjelasan itu tidak mudah, apalagi menjelaskan kepada orang yang belum tahu sama sekali apa yang akan kita jelaskan, dan dalam fikiran orang itu lepas menuju pemahaman yang bebas, akan makin sulit menjelaskannya, bisa-bisa yang kita jelaskan akan mengalami kebingungan akhirnya setelah dijelaskan, bukannya akan jadi faham, tapi malah bingung.
Apalagi syaitan juga menghalangi kebaikan itu disampaikan, kebenaran itu dibuka, malah makin sulit lagi, yang kita jelaskan malah bikin mengantuk, dan tidak sabar mendengar penjelasan kita kerana kata-kata kita yang tak menarik dan tidak ada hadiahnya kalau mendengarkan.
Mengajak orang sampai orang itu ikut dan menjalankan yang kita arahkan, menurutku suatu keindahan dan kenikmatan tersendiri, apalagi sampai meneguhkan hati orang, dan merubah pandangan hidupnya, berubah total pada ke arah kebaikan, dan kebahagiaan kekal di sisi Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Tetapi bagiku kita mengajak saja ke arah kebaikan, orang perduli apapun tidak perduli, itu bukan urusan kita, kita lakukan saja dengan ikhlas, Allah Ta'ala pasti sudah mencatat amal ikhlas kita mengajak ke jalan kebaikan, menjadi amal ibadah, ikut atau tidak ikut orang yang kita ajak, tidak usah memaksakan kehendak wong hidayah itu miliknya Allah Subhanahu Wa Ta'ala, kita hanya menuruti saja perintah Allah Ta'ala semampunya, "wa’mur bil urfi", mengajak ke dalam kebaikan, "wanha anil mungkar", dan mencegah kemungkaran. Semampu kita.
Nyatanya makin banyak orang yang kita ajak, akan makin banyak pahala yang kita petik, seperti manager bos perusahaan yang mengajak pada orang banyak untuk ikut bekerja di pabriknya/kilangnya, makin banyak orang yang bekerja, berarti makin banyak produksi dibuat.
Pak Sutono dan anaknya yang kerasukan menginap di rumahku berhari-hari, banyak juga yang ku petik pelajaran dari orang setengah baya ini, selama bicara denganku, banyak yang diceritakan, kisahnya bermacam-macam, yah dari kisah seseorang itulah kita kadang memetik hikmah, dan pelajaran, tidak mesti kita melakukan kesalahan sendiri, untuk memahami arti hidup dan kehidupan, sekecil apapun kita jadikan pelajaran.
“Maaf Pak… apa ini musholla?” tanya pak Sutono padaku sambil menunggui anaknya yang sudah tenang setelah ku keluarkan Jinnya.
“Bukan Pak… ini majlis…” jawabku singkat.
“Dzikir apa Pak…?” tanyanya lagi.
“Bapak lihat sendiri apa yang tertulis di dinding itu?” jawabku singkat lagi sambil mengambil rokok dan ku nyalakan. Aku berusaha menghadapi tetamu senyaman mungkin, agar tetamuku juga merasa nyaman di depanku, ku tawarkan rokok pada Pak Sutono.
“Oh ya… Zikir thareqat, apa ini sama yang Suryalaya itu?” tanyanya lagi.
“Ya bisa dikatakan sama, tapi juga beza.”
“Apa kita ini perlu toh Pak berthareqat?” tanya pak Sutono.
Ku pandang wajah Pak Sutono, dan ku angan-angan selama beberapa hari di rumahku, sebab percakapanku ini setelah beberapa hari Pak Sutono ada di rumahku, jadi ku ketahui kalau Pak Sutono tidak pernah sama sekali menjalankan sholat selama tinggal di rumahku. Tetapi aku juga tidak akan memerintahkannya, sebab bisa saja dia berkeyakinan lain, atau beragama lain, aku tidak perduli,
Pertama aku menolong orang sebatas yang bisa ku tolong, entah agamanya apa, itu urusan masing-masing punya keyakinan.
Tetapi aku merasa kesulitan juga mahu menjelaskan bagaimana menjelaskannya…. setelah lama berfikir, dan rokok ku hisap berkali-kali aku buka suara. Walau sekalipun pertanyaan Pak Sutono padaku sekedar iseng saja atau bukan.
“Kalau orang Islam, bertharekat itu tidak harus, seperti sebagaimana makan, orang itu tidak harus makan. Tetapi makan akan jadi diperlukan kalau perut lapar, juga makan tidak harus makanan yang bersih. Tetapi kalau kemudian kerana makan lalu sakit, dan berbagai sakit dalam tubuhnya bersarang, dari sakit perut sampai jantung, komplikasi dll, ya menurutku akhirnya juga harus menjaga pola makan yang bersih, agar dirinya sehat wal afiat, seperti bapak ini seumuran bapak tentu punya pengalaman yang banyak.
Nah masak di pengalaman itu bapak sendiri tidak timbul pertanyaan, kenapa saya kok hidup begini, apa bapak hidup tenang di saat ini?” tanyaku.
“Ya saya memang banyak pengalaman dan berbagai warna hidup ku jalani Pak, dari pengalaman hidup saya, saya sendiri belum bisa memetik sedikitpun pelajaran.” jawab pak Sutono.
“Ya, itu bisa dilihat dari keadaan bapak yang maaf, masih ku katakan hidup kelihatannya penuh kesengsaraan dan sepertinya lelah dan penuh kekecewaan dan kegagalan.”
“Benar sekali Pak, saya memang orang yang sangat-sangat gagal… kalau boleh saya cerita…” kata pak Sutono sambil wajahnya menunggu persetujuanku.
“Ya silahkan Pak…” kataku sambil menyalakan rokok, kerana kurasa kisahnya akan lama…. “
"Dari dulu.. tahun 80an, saya sudah bekerja, sebelum saya punya Istri dan masih muda, dan saya bekerja di Pekalongan, kerja serabutan, apa saja saya jalani asal dapat bekerja, sampai saya menemukan kerja saya yang sekarang ini sebagai penjual bubur kacang hijau, di antara pekerjaan saya sebagai seorang penagih hutang, dulu, kalau menagih hutang, saya sering ke dukun, untuk minta syarat agar pekerjaan menagih hutang saya lancar tanpa kendala".
"Ada seorang dukun yang saya andalkan, namanya dalang Waskito, dipanggil Ki Waskito, memang dari syarat Ki Waskito saya sering mendapat syariat darinya sehingga waktu menagih hutang itu saya menjadi gampang, kerana sering ke rumah Ki Waskito, kami akhirnya seperti keluarga".
"Ki Waskito tinggal di daerah Krapyak, suatu malam saya dan teman saya namanya Junaidi seperti biasa meminta syariat pada Ki Waskito, dan malam itu jam baru saja habis Maghrib, sedang kami dalam keadaan ngobrol, tiba-tiba ada tetamu yang datang, seorang berpakaian hitam-hitam, Aneh Pak, saya kok merinding melihat orang itu padahal ya orangnya biasa saja, otomatis pembicaraan saya, Junaidi dan Ki Waskito terhenti, sementara Ki Waskito mempersilahkan tetamu itu untuk masuk, tapi tetamu itu tetap berdiri tak mahu duduk.”
“Ki…. sampean saya minta untuk datang, ndalang di rumah saya..” kata orang itu sambil berdiri, aku merasakan nada yang membuat bulu kuduk saya berdiri, padahal yang diucapkan kata biasa.
“Kapan?” tanya Ki Waskito.
“Malam ini.” jawab orang itu singkat.
“Wah, kok mendadak sekali?” tanya Ki Waskito.
“Ya, kerana anak perempuanku menikah, sudah ada rencana nanggap wayang, kok dalangnya sakit, sehingga pertunjukan gagal, jadi Aki ku minta menggantikan dalangnya, apa Aki bisa?” Ki Waskito menerawang, sebentar memandangi orang yang datang.
“Di mana daerahnya?” tanya Ki Waskito.
“Di Desa Keling.” “Desa Keling Kedung Ombo?”
“Di mana itu tempatnya?” tanya ki Waskito, setelah mikir-mikir desa yang disebutkan tak ada dalam ingatannya, aku saja yang wira-wiri, biasa menagih hutang juga tidak tahu di mana ada desa seperti itu di ingatanku juga tak ku temukan.
“Berapa sampean minta, akan ku bayar Ki, sebutkan saja…” kata orang itu.
“Ya… ya… saya akan siap, lalu bagaimana saya kesana, kerana kok saya asing dengan nama desa itu?” tanya Ki Waskito.
“Sekarang juga barengan saya Ki, saya antar.”
“Oh ya.. ya.. saya bersiap-siap dulu.. silahkan sampean duduk, minum dulu..” jawab ki Waskito sembari/sambil mempersilahkan tetamunya yang terus berdiri itu, ku lihat orang itu tinggi besar, dengan pakaian hitam seperti pakaian jawara orang zaman dahulu.
“Tidak Ki, biar saya menunggu di luar saja..” kata orang itu tanpa menunggu persetujuan dan berbalik keluar rumah.”
Setelah orang itu keluar rumah, Junaidi pamit ke kamar kecil (bilik air/tandas), tidak tahu kenapa dia ingin kencing, sementara tinggal Ki Waskito duduk bersama saya.
Ku lihat kerutan yang dalam di jidat/dahi Ki Waskito, dia seperti memikirkan hal yang sangat berat nampak dia mengelus-elus kumisnya dan jenggotnya yang sudah sebagian memutih.
“Pak Sutono, bagaimana ini, anak ikut saja denganku ya, untuk ikut ke orang yang sedang hajatan mantu itu.” kata Ki Waskito padaku.
“Wah, jika ramai tentu saya mahu Ki, wong saya juga tidak buru-buru, sekalian mencari hiburan.” jawabku enteng.
“Eh, tapi nanti kalau di sana kalau diberi makan, jangan dimakan..” kata Ki Waskito.
“Lhoh, kenapa pak?”
“Ya, pokoknya jangan dimakan…, aku ganti baju dulu.” kata Ki Waskito sambil beranjak dari tempat duduknya. Sebentar kemudian Junaidi telah kembali dari kamar kecil, Junaidi adalah teman akrabku kemana aku berada selalu saja ada dia menemaniku.
“Jun… ini Ki Waskito mengajak kita untuk ikut menemaninya ndalang di daerah Keling Kedung Ombo, bagaimana Jun?” tanyaku pada Junaidi yang menyalakan rokoknya.
“Wah kebetulan kang, kita ada hiburan gratis, siapa tahu di desa itu ada ceweknya yang cantik, dan nyantol ke kita, heheheh… ” jawab Junaidi sambil menyalakan rokoknya.
Sebentar kemudian Ki Waskito sudah keluar dari dalam rumah dengan pakaian ala dalang plus keris yang terselip di pinggangnya bagian belakang. Dan kami segera berangkat, rupanya di luar ada kereta kuda, yang di atas kaisnya sudah ada orang yang tadi menjadi tetamu, tanpa banyak bicara kami segera naik di kereta kuda, atau dokar, di Pekalongan disebut gelinding."
"Juga tidak ada yang aneh, atau saya sendiri yang tidak begitu menanggapi, yang menurut saya aneh, kok sepengetahuan saya jalan di daerahnya Ki Waskito itu tidak baik. Tetapi ini selama perjalanan seperti kereta berjalan dengan mulus tanpa ada goncangan, seperti layaknya mobil mewah saja, sebentar perjalanan sudah sampai di tempat keramaian di mana pertunjukan wayang di adakan… kami segera turun, dan berjalan di antara orang ramai untuk mencari tempat duduk".
"Sementara Ki Waskito sudah diminta maju ke depan untuk memulai tampil sebagai dalang, saya dan Junaidi duduk di antara para tetamu, di atas meja aneka makanan tersedia, sangat lazat-lazat dan mengugah selera, aku duduk terpisah dengan Junaidi kerana biasa kami berdua kan masih muda jadi mencari perempuan di area pertunjukan",
"Melihat makanan yang lazat rasanya ingin makan, tetapi saya ingat pesan Ki Waskito kalau tidak boleh makan makanan yang disajikan. Wah saya sampai lupa memberi tahu pada Junaidi, semoga saja tak terjadi apa-apa…, sampai pertunjukan wayang selesai. Mata terkantuk-kantuk, perut lapar, kerana tak boleh makan makanan yang di sajikan, akhirnya pertunjukan wayang usai, akan pulang kami dibekali aneka makanan dan juga diberi amplop berisi wang",
"Waktu mahu pulang, kami bertiga dibilangi supaya pulang sendiri, dan disuruh jalan saja lurus jangan menengok-nengok. Aneh baru beberapa langkah berjalan kami keluar dari dalam hutan Roban, bertemu dengan orang kampung yang sedang buang hajad di pinggir hutan, yang menatap kami dengan pandangan haian, apalagi melihat ki Waskito yang berpakaian dalang wayang.
“Wah, ini dari alam lelembut toh Ki? Patutlah semalam ramai dalam hutan ada suara pagelaran wayang…” kata orang itu ditujukan kepada Ki Waskito.
“Ini hutan mana?” tanya Ki Waskito.
“Ya, ini Hutan Alas Roban toh Ki...”
“Walah, benar juga perkiraanku..” dengus Ki Waskito yang segera berjalan di antara pepohonan, sambil kami berdua ikuti.
“Waduh, Ki perutku mual…!” suara Junaidi, disusul dengan muntah-muntah, dan yang dimuntahkan adalah beraneka ulat, singgat, kelabang, dan aneka binatang menjijikkan, ada cacing, kecoak/lipas. Ada yang dalam keadaan mati ada juga yang masih hidup. Saya segera membuka daun pisang pembungkus makanan yang diberikan pada saya, dan isinya tidak beza dengan yang dimuntahkan Junaidi, segera saya campakkan".
"Sementara Ki Waskito mengurut-urut punggung Juanaidi agar apa yang dimakan bisa dimuntahkan semua, wajah Junaidi pucat pasi".
“Sampean tidak ikut makan kan dek Sutono?” tanya Ki Waskito.
“Tidak Ki…, maaf Ki saya lupa mengingatkan pada Juanidi, sehingga dia makan di sana tadi, jadi semalam itu kita di alam lelembut ya Ki?”
“Ya begitulah… coba keluarkan wang yang diberikan padamu.” kata Ki Waskito. Saya segera mengeluarkan wang yang diberikan padaku, ternyata hanya daun kering, segera ku buang, sungguh pengalaman yang aneh, kami akan selalu mengingat pengalaman itu…..” Pak sutono mengakhiri ceritanya.
“Aneh juga sampean pengalamannya Pak..” kataku…
“Ya pengalaman orang itu aneh-aneh Pak Kyai..” jawab pak Sutono,
“Saya juga pernah ketika menjual bubur kacang hijau, kerana jualannya malam, jadi banyak juga bahkan sering pas jualan ada saja misal kuntilanak, yang menyerupai manusia yang ikut beli.”
“Lha, sampean tidak takut Pak, ada kuntilanak beli bubur kacang hijau yang sampean jual?”
“Ya, tidak takut lah wong saya tidak tahu..”
“Lhoh… katanya tadi ada kuntilanak yang beli, kok tidak tau?”
“Ya, tahunya kan setelah pulang, banyak wang yang jadi daun kering.”
“Ooo begitu rupanya…?”
“Ya. Pak Kyai..”
“Ya kalau dengan memedi, saya tidak begitu takut Pak Kyai, kalau lebih takut itu sama orang jahat, mereka kan bisa membvnoh orang benaran.”
“Memangnya pernah punya pengalaman itu Pak?”
“Pernah juga Pak Kyai..”
“Bagaimana itu pengalamannya?”
“Begini ceritanya, saya pernah bekerja di pengantaran barang, jadi sopir truk, Jakarta - Surabaya, untuk mengantarkan barang antaran, saat itu tahun 1986, di mana kawasan Hutan Alas Roban masih banyak bajing loncat, dan pas kebetulan mobil truk yang saya bawa diserang bajing loncat, saya tidak berdaya, dan digiring ke dalam hutan, barang kiriman saya dipindah ke truk mereka, dan saya mahu dibvnoh, akan dilemparkan ke dalam jurang, saya sudah pasrah, wong saya diikat dan diseret ke dalam hutan, ada gerombolan bajing loncat, yang ditugasi membvnoh saya, ketika saya mahu dibvnoh, kok kalau Allah belum menghendaki mati ada saja cara Allah menyelamatkan saya.”
( Bajing loncat atau Tupai melompat itu gelaran untuk penyamun yang meromp4ak kenderaan lalu dikawasan sepi, misalnya berdekatan hutan dan sebagainya- dengan cara melompat keatas kenderaan dan menyamun barangan diatas kenderaan tersebut )
“Bagaimana itu kok bapak bisa selamat?” tanyaku penasaran.
“Ya saat itu saya mahu dipenggal, dan mayat saya mahu dilempar ke dalam jurang, tapi ketika pedang mahu diayunkan ke kepala saya, ada salah seorang yang menahan.”
“Ee sebentar… sebentar dulu Jo..! Kok saya seperti pernah melihat orang ini.” kata orang itu sambil menyenterkan/menyuluhkan senter/toslight yang dibawanya ke arah saya. “Wah benar saja ini Kang Sunoto, tetanggaku Jo..” kata orang yang mengarahkan cahaya senternya ke arahku, sambil mengangkat wajahku yang menunduk pasrah.
“Dah lepaskan lepaskan…” kata bajing loncat yang mengenaliku, yang wajahnya masih tertutup dengan kain penutup wajah.
“Ini saya Kang, tetanggamu.. Wugiri.” kata pemuda di depanku yang membuka penutup wajahnya. Aku hanya bengong
“Wah, kok bisa begitu kamu Wugiri? kok jadi garong begitu?”
“Ya tuntutan hutang Kang..” jawab Wugiri.
“Ya memang kalau Allah mahu menyelamatkan orang ya akan diselamatkan, misal kok tetangganya sampean itu kok tidak jadi salah satu bajing loncatnya, mungkin nyawanya sampean juga sudah pergi ke akhirat, jadi segala sesuatu itu disyukuri saja, juga tidak perlu menyalahkan Wugiri itu, bisa saja dia awalnya menanggung banyak hutang, lantas kemudian masuk menjadi group bajing loncat. Sebenarnya maksud Allah adalah agar dia dijadikan Allah jalan waktu sampean diromp4k, maka sampean bisa diselamatkan, Allah itu mengatur segala sesuatu dengan rantai berantai, sambung menyambung.” jelasku
“Iya Kyai, saya selama ini malah menyalahkan Wugiri, kenapa kok dia jadi perompa4k begitu…. iya benar juga kata Pak Kyai, kalau Wugiri tidak jadi peromp4k, bisa saja sekarang saya sudah mati.” kata Sutono, matanya menerawang jauh, mungkin membayangkan Wugiri yang telah menolongnya.
Tetapi malah selalu dia salahkan kerana telah menjadi peromp4k.
Pak Sutono dan anaknya beberapa hari tidur di majlis, sehingga banyak waktu dia pakai mengobrol denganku, selama ku lihat di majlisku juga tidak pernah ku lihat Pak Sutono menjalankan sholat, tetapi aku biarkan saja, walau banyak komplain dari para jamaah zikirku, dan timbul antipati dari mereka, rasa kasihan yang awalnya ada perlahan-lahan terkikis, rasa simpati juga mulai tipis melihat anak bapak itu juga tidak melakukan sholat, tapi ku biarkan saja, setiap orang punya keyakinan masing masing.
“Dzikir di majlis ini dilakukan kapan saja Pak kyai?” tanya pak Sutono di sela pembicaraan kami berdua.
“Tiap hari ada, tapi kalau mahu ikut yang banyak orang ikut saja di malam minggu legi sama minggu kliwon..” jawabku dengan setengah menjelaskan.
“Kok malam minggu legi sama malam minggu kliwon? Seperti ada unsur kejawennya?” tanyanya dengan enteng.
“Itu hanya penempatan waktu, untuk mempermudah saja, sebab cabangnya yang banyak, sehingga agar tidak bertabrakan dengan jadwal zikir di cabang yang lain, dan bila dikehendaki kumpul bersama di majlis pusat, semua cabang tidak meninggalkan jadwal zikirnya.” jelasku.
“Ooo tidak berkaitan dengan hitungan penanggalan Jawa?”
“Tidak.” jawabku.
“Saya dan teman-teman saya kemaren berembug/berunding, itu teman-teman yang kemaren menghantar kami kesini, mereka ingin mengajak kita ikut majlis zikir ini, apa diperbolehkan?”
“Ya boleh saja, silahkan saja datang…, waktu ada jadwal dzikir.”
“Apa syaratnya?”
“Tidak pakai syarat, pakai saja pakaian putih kalau punya, kalau tidak punya juga tidak usah pakaian putih, pakai pakaian biasa aja asal rapi, dan bawa air untuk diisi doa, nanti untuk keperluan masing-masing.”
“Itu apa air bisa untuk keperluan kami yang kebanyakan jualan bubur kacang hijau.”
“Ya, InsyaAllah akan berkah dan laris jualannya, dipakai saja nanti dibuktikan sendiri, kalau saya bicara muluk-muluk nanti juga apa gunanya kalau ternyata tidak ada efeknya apa-apa, kan sama saja saya menipu, jadi ikut saja zikir, bawa air, nanti airnya dido’akan sendiri untuk agar jualan bubur kacang hijaunya laris, Nah, dibuktikan sendiri, nanti laris apa tidak?”
“Apa dipungut biaya?”
“Wah. tidak sama sekali, sama sekali tidk pakai biaya, malah di sini yang ikut zikir itu dijuluki BAJINGAN.”
“Lhoh, kok dijuluki bajingan Pak Kyai?”
“Iya soalnya BAr ngaJI maNGAN, itu bahasa Jawa, artinya habis mengaji langsung makan.”
“Ooo begitu…”
“Jadi boleh ya kami ikut?”
“Boleh.” jawabku singkat, ya kerana aku juga tahu, pembicaraan kami hanya basa- basi semata, seperti orang tidak ada bahan pembicaraan jadi bicara yang bisa dibicarakan, kerana Pak Sutono juga tidak pernah datang pada pertemuan pengajian sama sekali, itu hal yang wajar, dan mengajak seseorang pada kebaikan juga tidak semudah itu, hidayah itu hanya Allah Ta'ala kehendaki pada orang yang Allah kehendaki mendapatkannya, kadang jauh juga dapat kadang dekat juga tidak dapat.
Yang kadang aneh malah jamaah zikirku kadang yang datang dari Jakarta, Bogor, Sukabumi, Bandung, Purwokerto, Semarang, Jogya Solo, Surabaya, tetapi malah tetangga kanan kiri jarang ada yang mahu ikut, Nah, itu yang kadang aku sendiri merasa aneh.
“Maaf Pak Kyai, saya boleh bertanya?”
“Boleh… bukannya dari tadi kita tanya jawab?” “Ini soal Istri saya.”
“Kenapa dengan Istrinya?”
“Istri saya itu suka kerasukan juga dari dulu.”
“Maksudnya Pak?”
“Ya, Istri saya itu suka sekali kerasukan, kalau anak saya ini yang kerasukan, orang 5 masih kuat memeganginya, tapi kalau Istri saya yang kerasukan, orang 8 juga masih dilempar.”
“Kok kuat begitu..?”
“Iya kalau kerasukan itu suka menggerenggereng seperti macan.”
“Begitu ya… coba dibawa kesini.”
“Sudah saya ajak kesini Kyai, tapi tidak mau…”
“Apa istrinya punya ilmu, maksudku pernah mempelajari ilmu yang aneh?”
“Iya Kyai…. Ayah Istri saya kan dukun, yang biasa juga mengobati orang.”
“Ooo lha kok kenapa tidak mengobati anaknya sampean yang mahu dikorbankan orang yang mengambil pesugihan.”
“Sudah berusaha tapi langsung kalah, dan sakit, jadi tak berani lagi,”
“Apa yang dipelajari Istri sampean?” tanyaku.
“Itu Kyai, ini menurut Kyai benar apa salah?”
“Bagaimana itu?”
“Saya biasanya kalau sama Istri, misalkan saja kami mau pulang ke Cirebon, sedang kami sama sekali tidak punya ongkos, kami tetap saja naik bus, dan nanti di atas bus, mantra istri saya dibaca, dan anehnya kami kemana saja tak akan ditarik ongkos.”
“Wah itu ya salah, tidak benar seperti itu.”
“Tetapi kami kepepet saja, tak kami pakai tiap hari kok kyai.”
“Ya kalau tiap harinya tidak punya ongkos dan tiap hari kepepet ya kan dipakai tiap hari, malah tiap jam..”
“Iya juga ya, hehehhe..”
“Itu kan kasihan sopir busnya tidak dapat wang, la misal semua penumpang itu punya kebisaan seperti Istri sampean, la semua bus di Indonesia akhirnya gulung tikar, tidak ada yang beroperasi, sebab tidk ada yang dapat wang, padahal sopir bus itu juga kondekturnya kan juga punya anak bini yang harus dihidupi, Ini misal saja sampean, jualan bubur kacang hijau, la semua yang beli memakai ilmu kayak ilmu yang dipakai Istri sampean, apa sampean tidak bubar sehari dua hari jualan, soalnya bubur habis, tapi tidak ada sama sekali wang yang masuk, semua makan gratis.”
“Jadi tidak boleh ya pakai ilmu seperti itu?”
“Ya, boleh tidak sampean bubur kacang hijuanya dimakan banyak orang tapi gratis semua?”
“Ya tidak boleh, nanti bagaimana makan anak istri saya.”
“Nah tahu begitu, jadi sebenarnya kebaikan itu sangat mudah mempelajarinya, orang punya budi pekerti mulia dan baik itu mudah, lihat saja, kalau orang lain itu melakukan sesuatu perbuatan pada kita, kita tak mau, maka jangan lakukan perbuatan itu pada orang lain, ilmu itu bermanfaat kalau bisa bermanfaat untuk orang lain, apapun ilmu kok bermanfaat untuk banyak orang, maka itu dikatakan ilmu manfaat, kalau merugikan orang lain, sekalipun ilmu, ya tidak dikatakan bermanfaat, namanya merugikan, dan merugikan orang lain itu tetap dicatat oleh Allah Ta'ala, akan dimintai pertanggung jawaban, sekecil apapun, lha, kok mempelajari sesuatu kok yang nantinya akan menyusahkan diri sendiri, kalau mempelajari sesuatu itu kalau menurutku yang menguntungkan di dunia juga di akhirat, sekalipun menguntungkan di dunia, tapi kok merugikan di akhirat, ya tetap saja itu namanya merugikan diri sendiri, misal pintar korupsi, sampai tidak ketangkap, atau jagoan menyopet, tapi tidak pernah ketangkap, atau jago menghamili anak orang dan tidak pernah ketangkap, ya tetap saja nanti ada hukumnya Allah Azza Wa Jalla yang akan menghisap, memperhitungkan, malah di sana lebih hebat hukumannya,” jelasku panjang lebar, tak tau faham apa tidak.
Lanjutku, kerana melihat Pak Sutono terdiam, “Sebenarnya apa saja keilmuan yang bersandarnya pada selain Allah itu merugikan, misal ilmu yang memakai khodam Jin.”
“Maksudnya memakai Khodam Jin Pak? Soalnya saya pernah mengikuti gemblengan/didikan, kata gurunya itu khodamnya Malaikat.”
“Ya, memakai tidak khodam Jin bisa dilihat dari bentuk cara menjalaninya.”
“Ada berbagai ilmu, ilmu itu ada yang dipelajari ada juga yang diberikan langsung oleh Allah, ilmu yang dipelajari itu berasal dari hasil laku manusia atau warisan dari bangsa Jin, segala ilmu yang dipelajari untuk memperoleh kelebihan atau kesaktian tertentu itu semua berkhodam Jin, entah ilmu hikmah, ilmu kejawen, ilmu karuhun, aji-aji kesaktian…”
“Lhoh, masak begitu toh Pak Kyai? Apa tidak khodamnya Malaikat juga ada? Misal saya itu berdzikir dari asma Allah apa saya juga dapatnya khodam Jin, bukan Malaikat?”
“Nah, itulah yang perlu difahami dan dimengerti, bisa jadi malah syaitan yang masuk menjadi khodam kita tanpa kita sendiri tahu dan memahaminya, malah mengira syaitan itu adalah pertolongan Allah, “Sesungguhnya syaitan masuk (mengalir) ke dalam tubuh anak Adam mengikuti aliran darahnya, maka sempitkanlah jalan masuknya dengan puasa”.
”Syaitan jin menguasai manusia dengan cara mengendarai nafsu syahwatnya. Sedangkan urat darah dijadikan jalan untuk masuk dalam hati, hal itu bertujuan supaya dari hati itu syaitan dapat mengendalikan hidup manusia. Supaya manusia terhindar dari tipu daya syaitan, maka manusia harus mampu menjaga dan mengendalikan nafsu syahwatnya, padahal manusia dilarang membvnoh nafsu syahwat itu, kerana dengan nafsu syahwat manusia tumbuh dan hidup sehat, mengembangkan keturunan, bahkan menolong untuk menjalankan ibadah".
"Dengan melaksanakan ibadah puasa secara teratur dan istiqomah, di samping dapat menyempitkan jalan masuk syaitan dalam tubuh manusia, juga manusia dapat menguasai nafsu syahwatnya sendiri, sehingga manusia dapat terjaga dari tipudaya syaitan. Itulah hakikat mujahadah. Jadi mujahadah adalah perwujudan pelaksanaan pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya secara keseluruhan, baik dengan puasa, shalat maupun zikir.
"Mujahadah itu merupakan sarana yang sangat efektif bagi manusia untuk mengendalikan nafsu syahwat dan sekaligus untuk menolak syaitan. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa, bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka berdzikir kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat”. (Al-Qur'an Surah.al-A’raaf.7/201)
"Yang dimaksud dengan lafaz “Tadzakkaruu” ialah, melaksanakan zikir dan wirid-wirid yang sudah diistiqamahkan, sedangkan yang dimaksud “Mubshiruun”, adalah melihat. Maka itu berarti, ketika hijab-hijab hati manusia sudah dihapuskan sebagai buah zikir yang dijalani, maka sorot matahati manusia menjadi tajam dan tembus pandang. Jadi, berzikir kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang dilaksanakan dengan dasar Takwa kepada-Nya, di samping dapat menolak syaitan, juga bisa menjadikan hati seorang hamba cemerlang, kerana hati itu telah dipenuhi Nur-ma’rifatullah".
"Selanjutnya, ketika manusia telah berhasil menolak Syaitan dan Jin, Maka khodamnya yang asalnya Jin akan kembali berganti menjadi golongan Malaikat. “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka Malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan) “Janganlah kamu merasa takut janganlah kamu merasa sedih dan bergembiralah kamu dengan memperoleh syurga yang telah dijanjikan Allah kepadamu” (30) Kamilah pelindung-pelindungmu di dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat”. (Al-Qur'an, Surah. Fushilat; 41/30- 31)
" Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala: “Kami adalah pelindung-pelindungmu di dalam kehidupan di dunia mahupun di akhirat”, itu menunjukkan bahwa Malaikat-Malaikat yang diturunkan Allah Subhanahu Wa Ta'ala kepada orang yang istiqamah tersebut adalah untuk dijadikan khodam-khodam baginya. Jadi, bagi pengembara-pengembara di jalan Allah, kalau pengembaraan yang dilakukan benar dan benar jalannya. Maka mereka akan mendapatkan khodam-khodam Malaikat".
"Seandainya orang yang mempunyai khodam Malaikat itu disebut Wali. Maka mereka adalah Waliyullah. Adapun pengembara yang pas/mantab dengan jalan yang kedua, yaitu jalan hawa nafsunya. Maka mereka akan mendapatkan khodam Jin".
"Apabila khodam Jin itu ternyata syaitan maka pengembara itu dinamakan walinya syaitan. Jadi Wali itu ada dua (1) Auliyaaur-Rahmaan (Waliwalinya Allah), dan (2) Auliyaausy-Syayaathiin (Walinya syaitan). Allah Subhanahu Wa Ta'ala, menegaskan dengan firman-Nya: “Dan orang-orang yang tidak percaya, Wali-walinya adalah syaitan yang mengeluarkan dari Nur kepada kegelapan. Mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Al-Qur'an, Surah.al-Baqarah.2/257) “Sesungguhnya kami telah menjadikan syaitan-syaitan sebagai Wali-wali bagi orang yang tidak percaya.“ (Al-Qur'an, Surah. Al-A’raaf; 7/27).
Seorang pengembara di jalan Allah Subhanahu Wa Ta'ala, baik dengan zikir mahupun wirid, mujahadah maupun riyadhah lelaku, kadang-kadang dengan melaksanakan wirid-wirid khusus di tempat yang khusus pula, perbuatan itu mereka lakukan sekaligus dengan tujuan untuk berburu khodam-khodam yang diingini.
Khodam-khodam tersebut dicari dari rahasia ayat-ayat yang dibaca. Semisal mereka membaca ayat kursi sebanyak seratus ribu dalam sehari semalam, dengan ritual tersebut mereka berharap mendapatkan khodamnya ayat kursi. Sebagai pemburu khodam, mereka juga kadang-kadang mendatangi tempat-tempat yang terpencil, di kuburan-kuburan yang dikeramatkan, di dalam gua di tengah hutan belantara. Mereka mengira khodam itu bisa diburu di tempat-tempat seperti itu.
Kalau dengan kaedah itu ternyata mereka mendapatkan khodam yang diingini. Maka boleh jadi mereka justru terkena tipudaya syaitan Jin. Artinya, bukan Jin dan bukan Malaikat yang telah menjadi khodam mereka, akan tetapi sebaliknya, tanpa disadari sesungguhnya mereka sendiri yang menjadi khodam Jin yang sudah didapatkan itu. Akibat dari itu, bukan manusia yang dilayani Jin, tapi merekalah yang akan menjadi pelayan Jin dengan selalu setia memberikan sesaji kepadanya.
Sesaji-sesaji itu diberikan sesuai yang dikehendaki oleh khodam Jin tersebut. Memberi makan kepadanya, dengan kembang telon atau membakar kemenyan serta apa saja sesuai yang diminta oleh khodam-khodam tersebut, bahkan dengan melarungkan sesajen di tengah laut dan memberikan tumbal.
Mengapa hal tersebut harus dilakukan, kerana apabila itu tidak dilaksanakan. Maka khodam Jin itu akan pergi dan tidak mahu membantunya lagi. Apabila perbuatan seperti itu dilakukan, berarti saat itu manusia telah berbuat syirik kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala. Kita berlindung kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala dari godaan syaitan yang terkutuk.
Memang yang dimaksud khodam adalah “rahasia bacaan” dari wirid-wirid yang didawamkan manusia. Namun, apabila dengan wirid-wirid itu kemudian manusia mendapatkan khodam. Maka khodam tersebut hanya didatangkan sebagai anugerah AllahSubhanahu Wa Ta'ala dengan proses yang diatur oleh-Nya. Khodam itu didatangkan dengan izinNya, sebagai buah ibadah yang ikhlas semata-mata kerana pengabdian kepada-Nya, bukan dihasilkan kerana sengaja diusahakan untuk mendapatkan khodam.
Apabila khodam-khodam itu diburu, kemudian orang mendapatkan, yang pasti khodam itu bukan datang dari sumber yang diredhai Allah Subhanahu Wa Ta'ala, walaupun datang dengan izin-Nya pula. Sebab, tanda-tanda sesuatu yang datangnya dari redha Allah Subhanahu wa Ta'ala, di samping datang dari arah yang tidak disangka-sangka, bentuk dan kondisi pemberian itu juga tidak seperti yang diperkiraan oleh manusia.
Demikianlah yang dinyatakan Allah Subhanahu Wa Ta'ala: “Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah. Allah akan menjadikan jalan keluar baginya (untuk menyelesaikan urusannya) (2) Dan memberikan rezeki kepadanya dari arah yang tidak terduga.” (Al-Qur'an, Surah. ath-Tholaq; 65/2-3)
Khodam-khodam tersebut didatangkan Allah Subhanahu Wa Ta'ala sesuai yang dikehendaki-Nya, dalam bentuk dan keadaan yang dikehendaki-Nya pula, bukan mengikuti kehendak hamba-Nya. Bahkan juga tidak dengan sebab apa-apa, tidak sebab ibadah dan mujahadah yang dijalani seorang hamba. Tetapi semata sebab kehendakNya. Hanya saja, ketika Allah sudah menyatakan janji maka Dia tidak akan mengingkari janji-janji-Nya.
"Di luar itu, orang-orang yang dengan sengaja menjalani lelaku untuk memperolehi keilmuan itu sudah dipastikan akan mendapat khodam Jin, orang yang menjalankan lelaku dengan keikhlasan menjalani saja masih akan didatangi Jin, untuk sekedar ingin menjadi khodam, apalagi yang menjalankan lelaku yang ada kehendak maksud tujuan pada selain Allah Ta'ala, yaitu kesaktian, kelebihan dalam hal tertentu, pasti Jin sudah akan mendatangi, cuma orang yang menjalankan lelaku secara ikhlas, ketika dirinya didatangi Jin untuk menolong membantunya, lantas dia tidak perduli. Maka dirinya akan naik ke tingkatan level yang lebih tinggi, lantas para Malaikat akan didatangkan Allah Ta'ala untuk menjadi khodamnya, dengan menjalankan apa yang menjadi kehendak dan keperluan orang itu, ketika orang itu tidak perduli, maka dia akan naik ke level yang lebih tinggi lagi sampai dirinya itu diijabah langsung oleh Allah Ta'ala tanpa harus dengan perantara atau sebab yang menjadikan hal itu terjadi".
“Jadi walau misal saya menjalankan wirid atau menjalankan laku zikir itu tetap saja khodamnya adalah dari jin?”
“Ya, itulah proses yang sudah ku sebutkan.”
“Lalu bagaimana mengetahui khodam itu Jin atau bukan?”
“Kalau Jin itu jelas, mudah diketahui, sebab Jin itu juga punya nafsu, kehendak dan kepentingan, sekalipun dia itu adalah Jin Muslim.”
“Bagaimana cara mengetahuinya?”
“Ya, kan kalau amalan itu memakai ada kemenyan, kembang, sesajen, penyediaan minyak wangi atau ugo rampe persyaratan, jelas itu tak bisa dipungkiri itu adalah unsur khodam Jin.” jelasku.
“Lalu apa menulis rajah-rajah, itu juga sama?”
“Ya sama itu juga Jin, cuma bukan Jin penghuni bumi ini, tapi dari Jin penghuni tuju bintang.”
“Jadi bukan Malaikat?”
“Bukan…, Malaikat itu hanya tunduk kepada Allah Ta'ala, tidak tunduk kepada manusia manapun, jadi khodam Malaikat misal punya itu dari yang Allah anugerahkan, bukan dari belajar ilmu tertentu, dan yang jelas Malaikat itu tidak doyan makan, juga tidak doyan sesembahan, atau sesajen apapun, lha, kalau Malaikat itu doyan makan, akan terjadi cerita aneh, kerana ada Malaikat maut yang nongkrong di warung bakso, ketika mau mencabut nyawa seseorang yang rumahnya dekat warung bakso, kerana mencium bau bakso jadi ngiler, dan ingin mencicipi, tidak pernah kan mendengar cerita seperti itu?”
“Wah, Kyai bisa saja…”
“Lalu bagaimana dengan orang yang mengamalkan hizib? dan dzikir yang macam-macam, apa juga khodamnya khodam Jin?”
“Ya itu tadi, awalnya seseorang itu akan tetap didatangi khodam Jin, sekalipun orang thareqat juga sama, yang menjalankan amaliyah thareqat, juga akan didatangi khodam Jin, ya pertama untuk menjadi khodam kita, Nah, kita di saat itu kepincut tidak?”
“Wah, kalau begitu ya harus hati-hati, dan sulit juga membezakan mana yang khodam Malaikat atau khodam Jin.”
“Makanya sebaiknya menjalankan lelaku mendekatkan diri kepada Allah itu memerlukan guru pembimbing, sebagaimana orang mahu ke Jakarta naik bas perlu sopir bas yang sudah tahu jalannya, sehingga orang tidak salah jalan, dan kesasar kemana-mana, seorang sopir itu tak harus orang hebat, asal dia sudah hafal jalannya kerana sudah biasa melewatinya.
"Sekalipun seorang penumpang lebih pintar menyetir/memandu malah sebagai pilot pesawat, kalau dia tidak tahu jalan yang dituju, ya harus tetap jadi penumpang, tidak usah ngeyel jadi sopir, kerana merasa pintar nyetir/memandu".
"Jika naik bas juga harus mahu dibawa belok kanan atau ke kiri oleh sopir, jangan komplain, kerana bas dibelokkan ke kanan, atau bas dibelokkan ke kiri. Seorang guru pembimbing spiritual itu tidak perlu orang hebat atau sakti mandraguna, asal orang itu sudah hafal jalan dan biasa melewatinya. Maka sudah pantas/patut dijadikan sopir.” Ku lihat pak Sutono sudah ngantuk… ku suruh saja dia tidur. [HSZ]
To be Continued.....
Untuk Anda yang belum baca siri ini yang sebelumnya,
Anda boleh baca disini : KISAH SUFI, SANG KYAI
Editor; Helmy Network
Ilustrasi Image; Doc, Cakrawala News
#indonesia, misterinusantara, #KisahKyaiLentik KisahSangKyai, #KisahSufi, #SangKyai,
![KISAH SUFI, SANG KYAI [66] <img src=https://fazryan87.blogspot.com".jpg" alt="KISAH SUFI, SANG KYAI [66]">](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhtG3ddiBAy1JrzR5jmcl5bna35Za4MqrclQJ59g9FE5Mj7bn3Vo5wk7eoaFmxBI03UyZhArs6A0ek3UPhtTJtW6bEEHEZLU7OqIaujy5f3bsG7I8LOcKzk_e2MHU9LF-HTmEv6NKAn1_U6BCBJgigUEUHsgLJPDOr-rcMairnRpKT12MW8n-R-xw8eANEO/w268-h400/047bf1b5-ee05-484d-909b-e6aac76050b2.jpg)
No comments:
Post a Comment