KISAH SUFI, SANG KYAI [51]
Ilustrasi Image by internet |
KISAH SUFI, SANG KYAI [51]
FORTUNA MEDIA -- Dalam dunia ini antara kebaikan dan keburukan itu saling ingin menguasai, kebaikan punya tentara, keburukan juga punya tentara, dan nafsu itu telah ditanamkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala di hati manusia.
Jadi sejak kecil manusia itu lebih mudah diseret oleh keinginan nafsunya, dan ditawan sekian lama, lalu kecenderungan nafsu senang kenikmatan, nama besar, pujian, itu telah
menguasai, dan menyatu sehingga antara
kebenaran dan kejahatan itu sudah sulit
dibedakan, cenderung apa yang tidak
menyenangkan nafsu maka dianggap suatu
keburukan, sekalipun itu dari Allah Ta'ala, sekian waktu
hal itu menjadi keseharian dan membatu
mengeraskan hati, maka ketika kebenaran
datang, hati lebih suka dan lebih condong pada
kejahiliahan, karena kebenaran itu sama sekali
tak menguntungkan nafsunya.
Sah-sah saja manusia itu tak mahu keluar dari nafsunya, dengan segala nikmat penjajahannya, dan boleh-boleh saja manusia itu mempertahankan kesalahan jalannya. Tetapi maut akhirnya juga datang, Malaikat maut itu tak mau disogok, dibayar sekalipun wang dunia dikumpulkan selama ini diberikan, Malaikat maut tetap akan mencabut nyawanya, dan Malaikat maut ternyata anti sogok. Dan jika setelah mati lalu menerima siksa, itu bukan salah siapa-siapa, apalagi salah Allah, Allah Subhanahu Wa Ta'ala itu tidak menzalimi hambanya.
Jika ditaqdir buruk, Allah Ta'ala telah menunjukkan cara benar berdo’a, agar ikatan taqdir buruk itu diurai ikatannya, dan dirubah menjadi baik, tapi itulah manusia. Jika sudah meninggal dan ditunjukkan pada kenyataan akan siksa lalu baru menyesal, masa yang lewat itu tak akan bisa dibeli, jika berbuat baik dan beramal baik menunggu nanti-nanti, maka kerugian itu pasti datang, maut itu pasti datang.
Sekian lama di Pekalongan, hidup dan menjadi warganya, Aku tak pernah menunjukkan bahwa aku ini orang apa, aliran apa. Sehingga banyak orang yang meminta do’a atas penyakitnya, lalu sembuh, malah aku dianggap dukun, padahal dukun itu sangat dilaknat Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, yang paling getol memusuhiku adalah Kyai Askan, aku digembar gemborkan dukun, tukang bakar kemenyan, padahal tidak pernah bakar kemenyan, tukang jual air yang ditiup, dan minta bayaran. Padahal seringnya kalau ada yang minta air do’a malah aku yang harus mengeluarkan air mineral dan cuma dapat ucapan terima kasih. Tetapi aku yakin, seyakin - yakinnya kalau Allah Ta'ala itu tahu hati siapa saja yang ikhlas, dan hati siapa saja yang ngaco (kacau).
Dan selama sepuluh tahun pun, Aku tidak pernah punya murid di Pekalongan, muridku pertama di Pekalongan bernama Nanang, Aku juga tak kenal dengan Nanang, walau dia tetanggaku, kerana memang disamping aku orangnya tak pernah nongkrong dengan tetangga. Juga Nanang itu bukan asli tetanggaku. tetapi orang yang menikah dengan tetanggaku, perkenalanku dengan Nanang, hanya kebetulan dalam tahlilan bareng (bersama).
Seperti biasa bila diundang tahlilan bareng, Aku akan memilih berangkat (datang)belakangan, kerana biasanya kalau berangkat depan (awal) dan duduk di dalam ruangan. Maka aku akan diminta memimpin tahlil, dan itu pasti akan membuat Kyai Askan marah, dan menganggapku merebut jatahnya, ya terpaksa aku memilih berangkat belakangan, dan biasanya akan bertempat di luar, la aku sendiri juga sebenarnya tidak ingin diminta memimpin tahlil, bukan apa-apa, soalnya aku tak hafal tahlil. Hahaha…😄 Bodoh ya diriku, memang Aku bukan orang pintar, sampai tahlil saja tidak hafal, biasanya kalau diminta memimpin aku baca yang ingat - ingat saja, dan kalau tidak disuruh memimpin ya aku malah senang.
“Mas ini orang thareqat ya..?” tanya Nanang yang
duduk di sampingku.
“Iya… kenapa?” tanyaku
“Saya juga ingin belajar thareqat, boleh tidak Mas saya menjadi muridnya?” tanyanya lagi,
kerana tahlilan belum dimulai, menunggu tamu
undangan lain datang.
“Hehehe, thareqat itu berat pengamalannya,
lebih baik jangan, apalagi jika masih
mengutamakan dunia.” kataku.
“Dan menjadi
muridku itu berat, makanya aku sendiri tidak
mengangkat seseorang menjadi muridku, kerana
aku tidak yakin kalau orang sini ada yang mampu,
lebih baik ku amalkan sendiri.”
“Walau berat, saya siap Mas mengamalkan,”
jawabnya.
“Fikirkan dulu masak-masak, renungkan, dan
kalau perlu meminta izin Istri, sebab bukan hanya
menjadi muridku itu cuma menjalankan amalan
dariku, tapi juga harus mahu ku perintah apapun
yang tidak melanggar syari’at agama.” jelasku.
“Baik nanti saya akan minta izin Istriku.”
“Ya baiknya begitu.” kataku dan tahlil pun telah
dimulai.
Besok malamnya Nanang sudah datang ke rumah.
“Saya siap Mas menjadi muridnya, ” kata Nanang
setelah duduk di depanku.
“Aku di Pekalongan sini sudah sepuluh tahun, tapi
belum pernah sekalipun mengangkat murid, dulu
di pesantren muridku ratusan, sekarang di
internet juga ratusan, tapi di Pekalongan sini,
kau adalah baru yang pertama, kenapa selama sepuluh
tahun aku tidak mengangkat murid di
Pekalongan, bahkan orang jarang tahu aku ini
manusia sebenarnya bagaimana, kerana memang
aku ini tidak yakin orang Pekalongan itu mampu
menjadi muridku, bukan aku merendahkan orang
Pekalongan, tapi sebab selama aku di Pekalongan
ini yang ku temui hanya orang yang kejar - kejaran sama duniawi.
Jadi aku belum pernah
melihat orang yang benar-benar tak ada hatinya
dipenuhi dengan bayangan dunia, menjadi
muridku itu berat, bukan berarti aku melarang
orang tak mengejar dunia, kaya itu boleh, punya
pesawat juga boleh, la haji saja perlu biaya, tapi
jangan kekayaan itu menutupi diri dengan Allah Ta'ala,
benar kamu siap menjadi muridku, lahir bathin?”
“Siap Mas, saya siap lahir batin.” jawab Nanang
mantap
“Masih ada waktu untuk mundur, jika memang belum siap, Aku akan memberi tenggang masa tiga
bulan, jika tak kuat, maka silahkan
mengundurkan diri, sebab menjadi murid
thareqat itu harus siap diperintah guru,
tawadhu’ pada guru, bukan soal siapa gurunya,
bukan kerana aku mulia atau ingin dimulyakan,
kalau guru thareqat kok ingin dimulyakan
manusia, maka do’anya tidak akan diijabah oleh
Allah Subhanahu Wa Ta'ala, dan tinggalkan guru palsu seperti itu.
Nah,
murid itu punya keharusan tawadhu’ dan
mengikuti taat kepada guru adalah demi murid
itu sendiri, kerana ilmu yang dititipkan Allah Ta'ala kepada guru, akan mengalir kepada murid. Jika
hati murid terbuka, dan guru senang, seperti
aliran air yang terbuka, dan murid menerima
alirannya, kerana menyenangkan guru, Saya dulu
juga begitu, dan hanya perlu waktu sebulan
untuk menimba, jika murid tak taat kepada guru,
maka diperlukan waktu seratus tahun juga
belum tentu ilmu guru akan mengalir pada murid,
kerana pintu-pintu ilmu tak dibuka oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Sebab tidak adanya keta’atan dan ketawadhu’an
murid kepada guru, jadi yang memberikan ilmu
itu bukan guru, tapi Allah Ta'ala, tapi lewat seorang guru. Ilmu thareqat itu berhubungan dengan hati
dan seluk beluknya, seorang sekalipun tak
menjalankan amalan puasa, zikir, tapi amat
ta’at pada guru, maka ilmu juga dituangkan oleh
Allah, kepada murid itu, jadi keta’atan murid
pada guru itu mutlak diperlukan.
Kenal Imam
Ghazali, Imam Ghazali itu mempunyai adik, yang
tidak mahu sholat berjama’ah menjadi makmumnya,
ya Imam Ghozali malu, kerana dia seorang Imam
besar, kok adiknya sendiri tidak mahu menjadi
makmumnya, lalu Imam Ghazali meminta Ibunya
supaya membujuk adiknya agar mahu menjadi
makmumnya.
Maka ibunya pun membujuk adiknya,
dan adiknya pun mahu menjadi makmumnya, tapi
di tengah sholat adiknya malah mufaraqah
memisahkan diri dari sholat berjama’ah, ya jelas
makin membuat Imam Ghazali makin malu, lalu
menanyakan kepada adiknya kenapa kok
mufaraqah, Adiknya menjawab kerana di hati
Imam Ghazali dipenuhi nanah dan darah, tak ada
sama sekali cahaya Ilahiyah, Imam Ghazali kaget,
kok adiknya bisa tahu soal hati, dia bertanya
kepada adiknya, ilmu seperti itu belajar kepada Kyai siapa? Dijawab adiknya ilmu itu belajar dari Kyai kampung.
Maka Imam Ghazali pun ingin berguru kepada Kyai kampung itu, sampai di
tempat Kyai kampung itu dia mengutarakan
maksudnya berguru. Tetapi sama Kyai kampung itu
ditegaskan kalau Imam Ghazali tak akan kuat
berguru kepadanya, tapi Imam Ghazali ngotot
dan mengatakan kuat apapun syaratnya. Kyai
kampung mengatakan syaratnya tak banyak,
hanya satu taat dan tunduk kepada perintah
guru, sami’na wa ato’na, mendengar dan
menta’ati, Imam Ghazali menyatakan sanggup
dan siap menerima perintah.
Lalu Kyai kampung
itu memerintah pada Imam Ghazali untuk
menyapu jalan, Imam Ghazali pun siap, dan
mengambil sapu, kata Imam kampung, siapa yang
menyuruhmu menyapu jalan dengan sapu, aku
meyuruhmu menyapu jalan dengan jubah
kebesaranmu, Imam Ghazali kerana keinginan
kuatnya menjadi murid, dia melepas jubah
kebesarannya lalu menyapu jalan dengan
jubahnya, menghilangkan kehormatannya dan
ego-nya sebagai seorang Imam, lalu menyapu
jalanan dan membersihkannya, dengan jubahnya,
baru berjalan beberapa meter, sudah cukup,
kata Kyai kampung, kamu sudah cukup menjadi
muridku, dan menyerap semua ilmuku, sekarang kamu pulang, maka Imam Ghazali pulang dan
kemudian menemukan rahasia-rahasia hati dan
mengarang kitab Ihya’ Ulumuddin.
Itu kisah Imam Ghazali,
tak beda dengan kisah Nabi Khaidir 'AlaihisSalam dan Nabi
Musa 'AlaihisSalam. Jadi keta’atan murid kepada guru itu mutlak dan syarat utama diperlukan seorang
murid kepada guru, sekalipun dalam lahirnya
kedudukan murid anak Presiden atau Kaisar dan
seorang gurunya seorang pengemis yang rumah
saja tak punya.
Maka jika ilmu ingin didapat
harus taat pada guru, jika tidak taat maka
jangan harap seribu tahun akan mendapat ilmu,
sebab Allah menutup sumber-sumber ilmu itu, "la
ilma lana illa ma alamtana", Jadi semua ilmu
ilahiyah itu dari Allah, seorang guru ditaati itu
bukan jasad lahirnya, tapi kerana seorang guru
menjadi guru thareqat itu diangkat oleh Allah,
dipilih dan kerana seorang guru itu seperti orang
yang pernah melewati jalan, dan seorang murid
akan melewati jalan yang sama, dan guru yang
pernah melewati jalan itu lalu memberi petunjuk,
agar murid tak salah jalan.
Nah aku sudah
menjelaskan panjang lebar, jika siap menjadi
murid, apa kamu siap taat?” tanyaku.
“Ya saya taat.” jawab Nanang
Lalu, Aku memberikan Nanang amalan dan
menjelaskan cara pengamalannya.
Beberapa hari Nanang menjalankan puasa, dia
datang ke rumahku.
“Ada apa?” tanyaku.
“Anu Mas saya ingin cerita, pertama menjalankan
puasa, saya pas jalan sama anak saya pakai
motor, lalu di jalan pas berhenti untuk beli
sesuatu. Ada seseorang berjenggot panjang,
mendekatiku dan mengatakan,
“Wahai kekasih
kecil, taatlah pada gurumu.”, dia menepuk-nepuk
pundakku, aku diam saja dan hairan, orangnya
kurus dan jenggotnya putih sedada panjangnya,
lalu pas saya di jalan ada seorang gembel yang
sepertinya gila, dia mendekatiku, dan
mengatakan, Ya habibi, kau seperti bambu kecil
yang masih kecil, taatlah pada gurumu, kau akan
menjadi bambu besar yang banyak manfaatnya.”
cerita Nanang.
“Itu siapa Mas?”
“Itu para Wali Allah yang menyamar, sudah tak
usah dihiraukan, lanjutkan saja amaliahmu
dengan ikhlas.” kataku.
Beberapa hari Nanang datang lagi, “Maaf mas,
saya kan punya saudara, saudaraku itu orang
yang mengobati orang dengan bantuan Jin,
biasanya dia mengobati orang harus makan kemenyan atau kembang (bunga), kemaren kan saya main ke
rumahnya, kok dia kepanasan kalau aku
mendekat, malah sekarang saya tidak boleh ke
rumahnya kerana dia kepanasan, itu kenapa?”
“Ya jelas kepanasan, antara ilmu dari syaitan
sama ilmu dari Allah kan berseberangan.”
“Jadi itu tidak apa-apa?”
“Tak apa-apa, lanjutkan saja menjalankan
amaliyah, oh ya, besok aku dimintai bantuan
mengecat Masjid, kamu ikut, aku mengecatnya
setelah sholat Isya, sampai jam sebelum Sholat Subuh.”
“Iya Mas saya siap.”
Malamnya aku dan Nanang selepas Isya’
mengecat Masjid dengan kompresor, sampai
waktu mendekati Subuh, berhari-hari ku jalani,
sambil melatih keikhlasannya Nanang.
Sementara orang-orang melihat kami seakan
kami orang gajian.(buruh)
“Nanang, kamu harus ikhlas, lepas, los, walau tidak
ada yang bayar, walau tak ada yang bantu, malah
lebih baik, sebab kita borong kita sendiri
pahalanya, selama Masjid ini berdiri, dan dipakai
sholat, kita akan selalu mendapat bagian
tersendiri.” jelasku.
“Iya Mas… saya ikut saja apa kata Mas.” jawab
Nanang.
“Tapi saya kalau jam 12 malam tidur
sebentar ya Mas, soalnya besok kerja di sekolah
jadi mengantuk.”
“Ooo kamu itu kerjanya di sekolah toh?” tanyaku
sambil naik turun seteger.
“Iya mas.”
“Kerja jadi guru?”
“Bukan Mas, saya cuma TU.”
“TU, wah muridku hanya seorang TU, sudah
nanti kamu jadi PENASEHAT SEKOLAH saja.”
kataku.
“Hahaha… ya tidak level toh Mas, wong saya
sekolah saja cuma sampai Tsanawiyah, tak
mungkin itu,”
“Lhoh kamu tidak percaya?”
“Heheheh…😀” Nanang cuma ketawa.
“Begini saja, kamu pegang ucapanku, setengah
tahun lagi kamu jadi penasehat sekolah, kalau
tak jadi penasehat sekolah, sudah kamu anggap
saja aku ini orang yang cuma asbun alias asal
bunyi, tak bisa dipegang ucapannya.”
“Tapi rasanya tak mungkin,”
“Lha, kalau Allah menghendaki terjadi memangnya
siapa yang bisa menolak?” kataku meyakinkan.
“Oh ya mungkin di sekolahmu, sekolah mana itu?”
“Sekolah SMP Islam,”
“Ya, di sekolah SMP Islam itu akan banyak
kerasukan.”
“Apa benar?”
“Iya benar, Nah ini ku kasih tahu cara
membereskan kerasukan itu.”
“Bagaimana Mas caranya?”
“Ini ikuti kata-kataku…..(rahasian)…., sudah faham?”
Aku mengulang beberapa kali kata, agar Nanang
hafal apa yang ku ajarkan.
“Lalu mengambilnya bagaimana?”
“Ya kayak mengambil barang saja, diambil lalu
dibuang, nanti langsung sadar.” jelasku.
“Cuma begitu? Kok kalau di tv pakai jurus
segala?” tanya Nanang.
“Ah, itu akting.”
Besoknya Nanang ke rumahku lagi.
“Benar kata Mas, di sekolah ada kerasukan
masal, dan semua orang berusaha mengobati dan
menyembuhkan, tapi tak ada yang bisa, kok aku
lakukan yang Mas ajarkan langsung mudah saja
bisa, ternyata gampang sekali, dan hanya aku
yang bisa mengeluarkan Jinnya, Wah, jadi deg - degan rasanya tak percaya.” cerita Nanang.
“Ya sekalipun kamu tak percaya kan telah
terjadi.” kataku.
“Aku sampai berfikiran, Wah saya di-tes ilmuku
sama Mas.” kata Nanang
“Sebenarnya secara teori, mengapa juga Aku ngetes
kamu lewat Jin segala.”
“Tapi Mas, guru yang lain, malah ada yang
berpendapat, kalau aku memakai ilmu Jin, soalnya
tak ada yang sanggup mengeluarkan kecuali aku
sendiri, jadi aku dikira memakaiJjin, bagaimana
ini Mas?”
“Ya biarkan saja, yang penting kamu kan tidak
melakukan, sudah lakukan saja pertolongan.”
“Iya Mas, saya siap.”
“Saya juga hairan, padahal di tempat saya kan
banyak guru yang mempunyai kelebihan, kayak
guru silat juga ada, muridnya Habib Lutfi juga
ada, tapi kok tidak bisa mengeluarkan Jin yang
merasuk ya?”
“Jangan sombong, baru bisa seperti itu sudah
sombong, manusia itu tak ada kekuatan sama
sekali, kecuali Allah mengizinkan dan menganugerahi punya kekuatan.”
“Maaf Mas, saya hanya merasa aneh saja.”
“Sudah lakukan saja petunjuk yang ku berikan,
dan kerasukan itu akan masih berlanjut.”
“Siap mas…”
Begitulah Nanang kemudian perlahan tapi pasti
kemudian menjadi kepercayaan sekolah, dia
mulai tidak diperintah apa-apa, hanya menjaga
sekolah kalau ada apa-apa.
Setengah tahun sudah berlalu, dan Nanang
menghadap kepadaku.
“Saya sudah diangkat menjadi penasehat
sekolah Mas, terimakasih atas do’anya.”
“Hehehe… bagaimana sekarang percaya?”
“Ya saya percaya Mas.”
“Semua guru ingin mengikuti pengajian di Majlis,
boleh tidak.”
“Nanti saja, kalau aku bilang boleh, baru boleh
kesini.”
“Semua kalau ingin sowan kesini boleh?”
“Jangan, nanti saja, aku masih menjalankan
amalan, tak mahu repot disibukkan tetamu.”
“Baik Mas..”
Jika seseorang itu telah dianugerahi oleh Allah Azza Wa Jalla,
suatu anugerah maka orang lain tak akan bisa
memiliki anugerah itu, dan Allah amat tahu siapa - siapa yang patut menerima anugerah, ingat
apapun yang di luar kebiasaan, atau "khorikul
adat", yang berupa kelebihan dan kebisaan
tertentu, bisa saja itu bukan dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Yang dari Allah itu bisa saja Mu’jizat yang
diberikan kepada Nabi, dan Nabi terakhir adalah
Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, dan ada yang diberikan
kepada Wali, namanya 'karomah', lalu diberikan
kepada orang yang bertaqwa, dinamakan 'ma’unah', atau pertolongan Allah.
Ada juga
istidhraj atau pengelulu, kelebihan yang diberikan
kepada orang yang suka maksiat, masih ada lagi. Ada Wali Allah. Ada Wali Syaitan, Wali Allah adalah
orang yang punya karomah. Dan orangnya juga
tekun menjalankan laku ibadah.
Dan Wali Syaitan, adalah orang yang mengajak pada kesesatan. Tetapi mempunyai kelebihan yang di luar nalar.
Ada juga ilmu dan kelebihan seseorang kerana
menjalankan ilmu hikmah, kesaktian, atau ilmu
karuhun, atau Ilmu kejawen
Setiap amalan dan ilmu itu pasti ada efek baik,
tapi juga ada efek buruk, termasuk Ilmu Kejawen, dan
ilmu yang ada unsur khadamnya. [HSZ]
To be Continued.....
Untuk Anda yang belum baca siri ini yang sebelumnya,
Anda boleh baca disini ; KISAH SUFI, SANG KYAI
Ilustrasi Image; Doc, Fortuna Media
#indonesia, #misterinusantara, #KisahKyaiLentik #KyaiLentik, #KisahSangKyai, #KisahSufi, #SangKyai,
Follow me at;⭐
twitter.com/romymantovani
facebook.com/romyschneider
linkedin.com/in/RyanSchneider
pinterest.com/helmynetwor
No comments
Post a Comment