KISAH SUFI, SANG KYAI [45]

<img src=https://fazryan87.blogspot.com".jpg" alt="KISAH SUFI, SANG KYAI [45]">

KISAH SUFI, SANG KYAI [45]

  • Pada siri ke-44  Dikisahkan Sang Kyai mendapat telefon dari temannya bernama Sohib. Bahwa Sohib dan teman-teman dalam kumpulan tareqatnya telah di santet (santau-malay) oleh kumpulan lain yang juga tetangganya Sohib. Kita simak apa kesudahan kisah tersebut.
 FORTUNA MEDIA -  Malamnya Aku lagi santai saja, seperti biasa berzikir setelah jam 12 malam, biasanya sampai Subuh. Tetapi baru saja setengah jam Aku duduk zikir, serasa udara di kamarku tidak enak. Dan serasa hawa murniku menerobos keluar lewat punggung, Aku coba menyetop, tapi serasa seperti, punggung bagian atas berlubang. Dan hawa murni terus saja merembes keluar, seperti udara dingin, Wah, ada apa ini, kalau kayak gini Aku bisa lemas kehabisan hawa murni, ku coba menahan dengan zikir dan konsentrasi. Tetapi tetap saja tubuhku lemas, dan makin lemas, dan rasanya terserang kantuk yang dahsyat, seperti aku disirep, berulang kali sampai tanpa sadar duduk tertidur. Padahal Aku bukan orang yang seperti itu. Tetapi rasa mengantuk benar-benar tidak bisa kutahan. Terkadang tasbih yang ku pegang telah jatuh, atau kepalaku sudah menekuk hampir menyentuh lantai, lalu sadar. Dan ku kibas-kibaskan kepala, agar rasa mengantuk terusir. Tetapi tetap saja Aku mengantuk. Ah, ini tidak beres, Aku coba baca zikir penolak serangan, kerana Aku merasa ada serangan yang diarahkan kepadaku.

 Lalu ku tahan nafas, dan ku pukul lantai, sebentar serangan buyar. Dan mataku seperti seketika terbuka, dan rasa mengantuk hilang.

Tetapi itu hanya sementara, serangan yang ku buyarkan seperti asap yang berputar lalu bertaut kembali, Aku tertekan kembali. Dan tiba-tiba seperti ada gumpalan asap hitam,  melesat masuk ke tubuhku, Aku terjengkang, dan muntah, memuntahkan isi perutku.

Aku berusaha menahan muntahan yang tersisa, dan lari ke kamar mandi. Dan semua isi perut ku muntahkan, sampai perut rasanya ngilu dan nyeri, badanku rasanya seperti dilolosi, gemetar. Dan rasa tidak karuan, baru sekarang Aku terkena santet dengan telak. Sebenarnya, Aku yang terlalu menganggap ringan permasalahan. Padahal Aku sudah ditunjukkan dalam mimpi,  musuhku kali ini bukan orang sembarangan, yang melakukan lelaku memakan bayi yang digugurkan, Tetapi, Aku menganggap angin lalu, sehingga Aku terhantam. Ini juga kerana kecerobohanku.

Tiba-tiba ku rasakan di seluruh tubuh clekat-clekit, seperti ribuan jarum menyerang tubuhku, benar apa yang dikatakan Sohib. Aku tidak mahu minta tolong pada siapapun, Aku harus bersandar pada Allah Azza Wa Jalla, iman itu harus diuji, keteguhan harus dibuktikan, tawakal itu bukan cuma bicara.

Ribuan jarum yang ku rasakan merejam tidak ku perduli, Aku melangkah berpegangan tembok, dan kembali ke kamar.

Aku kembali ke kamar pelan-pelan, takutnya membangunkan Istriku, dan perlahan meletakkan diri di kasur, ku tata nafas. Semua persendian rasanya seperti lepas, Aku tidak boleh menyerah, Aku bersandar pada Allah Ta'ala, kalau pada syaitan kalah, mahu ku kemanakan imanku, keyakinanku? Aku turun di lantai ceramik, tidur, tangan ku tempelkan pada ceramik. Segala fikiran ku konsentrasikan, lalu ku sedot tenaga inti bumi….., dari keramik ku rasakan tenaga prana mengalir, memasuki tubuhku seperti menambal karet/getah yang berlubang, mengalir menjejali dan menjejali, terus Aku konsentrasi, serasa tubuhku mulai enak dan menebal. Seperti ku rasakan mengeras setiap urat-urat dan kulitku kaku seperti bumi yang mengering.

Setelah ku rasa cukup Aku bangkit. Dan duduk bersila, menyatukan segenap daya kepasrahan, pada pemilik segala kekuatan. Ku konsentrasikan total seluruh zikir, terus konsentrasi, sampai tak bergerak beberapa jam, lalu ku rasakan seluruh kekuatan telah melingkupi diriku, seperti kekuatan atom.
 

Ku lontarkan kekuatan yang mengeram. Mengembalikan semua santet yang dikirimkan padaku kembali pada pengirimnya, dengan mengucap takbir yang mengendap seperti endapan kekuatan memecah berhamburan, ja’al haq, wazahaqol batil, datang kebenaran pasti kemungkaran akan musnah, sebab kebatilan itu pasti musnah.

Aku tidak tahu yang terjadi selanjutnya, yang penting Aku tidak merasakan lagi santet yang mencoba menyerangku.

Segala anasir jahat semua musnah, musnah tanpa bekas.

“Hallo…!”  suara Sohib menghubungi.

 “Ada apa?”  tanyaku.

 “Kok tetanggaku banyak yang mati ya…?”  tanya Sohib.

 “Ya, kalau sudah sampai kontraknya habis di dunia, ya pasti mati.”  kataku bercanda.

“Ini yang mati, orang yang suka menyantetku kok..”  kata Sohib

“Lha, memang kalau suka menyantetmu tidak boleh mati?  Ya kalau sudah pada waktunya ya, tetap akan mati.”  jawabku.

“Ya, yang aneh kok yang mati yang pada menyantetku, apa tidak aneh?”

 “Ya, tidak aneh, lya tidak santet kamu, rombongan se-Bus bisa mati kok kalau kecelakaan nyemplung jurang. itu tandanya kadang orang mati juga bisa rombongan, heheheh…” 😀
 Aku berteori ngawur sambil mentertawakan Sohib.

 “Eh, ingin ketemu Kyai tidak?”  tanya Sohib.

“Aku tidak tahu sekarang Kyai di mana, Ya, jelas ingin ketemu, Aku kan juga muridnya, memang kamu saja, mentang-mentang kamu sudah punya Majelis. Dan sudah punya murid dan jama’ah banyak, dan Aku belum punya.”

 “Ayo kalau ingin ketemu, nanti bersama ke Jakarta.”
  kata Sohib.

 “Memang Kyai di Jakarta?”

 “Iya.”

 “Di mana?” 

“Di bengkel Macan.”  jawab Sohib.

 “Ya, Aku nanti malam berangkat.”
  kataku.

 Aku segera menyiapkan tas, rasa rinduku pada Kyai tidak tertahan, Aku minta izin pada Istri malam itu berangkat.

Ini di tahun 2010 dan cerita masih berlanjut 2012 masih panjang.


Jam sembilan malam Aku berangkat ke Ponolawen, perempatan biasa kalau mahu ke Jakarta. Tetapi bus yang berkarcis/ bertiket sudah pada berangkat. Ah, terpaksa harus menyetop/menahan bus dari arah Semarang. Biasanya, terkadang lagi sial dapat bus yang sudah sesak penumpang, atau dapat bus yang jelek, suka mogok di jalan dan tidak layak jalan, Ya Indonesia seperti itu memang kenyataannya.

Jakarta-Pekalongan harga tiket biasanya 45 ribu. Ada bus berhenti, dan menawarkan arah Jakarta. Sebenarnya, baiknya kalau Aku turun terminal Kampung Rambutan. Tetapi kerana adanya terminal Kalideres juga tidak apa-apa. Memang kalau ke tempat Macan di Bambu Apus, baiknya ke terminal Kampung Rambutan. Tetapi tidak apa-apalah, 
dari pada nanti makin malam malah tidak mendapat bus.

Aku dapat tempat duduk di tengah, semua kursi banyak yang kosong. Dan bus lumayan jelek sangat, tidak ber-AC, suaranya berisik/bising, kerana kacanya sudah banyak yang lepas. Jadi membayangkan kalau seandainya orang Indonesia itu punya jiwa bisnis seperti di luar Negeri, pelayanan konsumen itu diutamakan, untuk mendapatkan pelanggan. Tetapi jiwa orang yang santun telak membalik, seperti nasi kuning yang dibalik dari tumplek di tanah, semuanya kembali ke HATI, orang komunis saja bisa baik hati, kalau hatinya baik. Dan orang Islam sekalipun akan jahat kalau hatinya nifak atau munafik.

Sebenarnya untuk berbudi pekerti yang baik itu manusia tidak perduli Islam atau bukan Islam, asal dia mengukur dengan dirinya sendiri. Maka pasti berakhlak baik. Jika suatu perbuatan tingkah laku. Jika akan sakit dirinya dibegitukan orang lain. Maka pasti orang lain juga sama akan sakit jika dibegitukan. Maka tidak mahu melakukan itu pada orang lain. Maka pasti orang akan menjadi baik budi pekertinya,

Kerana semua manusia itu sama porsinya, dalam rasa sakit dan kecewanya.

Jika kita itu digigit orang lain, merasa sakit. Maka orang lain juga akan sakit jika kita gigit. Maka jangan dilakukan pada orang lain, kalau kita ditipu orang lain, tidak mahu. Maka jangan menipu orang lain.

Kalau menggigit mahu, digigit tidak mahu, Ya tidak beda kita dengan anjing. Kalau memakan mahu dan dimakan tidak mahu, sama dengan Harimau.

Manusia itu juga mudah ditebak, selalu suka menutupi kekurangan, dengan menunjukkan apa yang dia dalam kekurangan itu. Orang yang keringatnya bau, akan suka memakai pewangi berlebih. Orang yang pendek akan suka memakai sepatu berhak tinggi. Orang yang minim bahasa Arabnya akan suka bicara memakai istilah banyak bahasa Arab. Orang yang ilmunya cetek, setiap bicara akan mengait-ngaitkan dengan Ilmu Syari’at. Orang yang kefahamannya dangkal akan suka manggut-manggut (mengngguk) dan suka tertawa bila, 
teman bicaranya tertawa. Orang miskin akan bergaya sok kaya.

Sebab orang yang tinggi itu tidak akan menunjukkan ketinggian tubuhnya. Orang yang faham bahasa Arab itu tidak perlu menunjukkan kefahamannya. Orang yang pintar agama, tidak usah bicara juga orang akan tahu dari perbuatan wira’inya, menjaga dari melanggar hukum agama.

Jadi mudah saja sebenarnya mengetahui karakter kekurangan seseorang itu di bidang apa.

Kondektur menghampiriku, ku berikan wang 45 ribu.

 “Kurang Mas…”  kata kondektur itu.

 “Lha, berapa?”
  tanyaku

. “75 ribu.” jawabnya.

 “Lho, apa sesuai dengan nilai kerusakannya?”

 “Kerusakan apa Mas..?”
tanya kondektur.

“Ah, tidak apa-apa.”  kataku lalu memberikan wang 30 ribu lagi,

Kondektur berlalu. Dan, Aku mengukur, jika terjadi tabrakan Aku juga bertempat di tengah, tidak apa-apa,fpikirku.

Lalu menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, dan memilih tidur. Sampai di tol Cikampek. Aku terbangun seperti ada yang membangunkan, lalu Aku duduk agak merendahkan kepala, dan “DAAARRR..!, DAARRR..!”  suara tabrakan bus, dengan truk di depan. Jadi bus menabrak belakang truk, benturan keras sampai 5 kali, kaca depan semua habis, berhamburan, ku dengar kaca beterbangan di atas kepalaku.

Kurasa wang 30 ribuku tidak akan cukup menutupi kerusakan bus. Dan kondektur yang menarik wang padaku yang terjepit, tidak tahu bagaimana kakinya.

Aku sih tidak apa-apa jika ditipu atau dizalimi, Allah Ta'ala itu Maha Melihat. Maha cepat azabnya. Sekian waktu menjalani proses perjalanan kok masih belum bisa membuatku legowo jika dipukul orang. Maka, Aku harus kembali jadi orang gila yang harus mengelilingi Tanah Jawa.

Jadi ingat, Aku di rumah jualan bensin/petrol eceran. Ada orang beli bensin, Aku menuang. Dan ada, 
setetes dua tetes yang jatuh, pembeli bilang,

 “Ya. aku rugi Mas kalau bensinnya diteteskan gitu.”  katanya.

“Ya, tidak apa-apa Aku ganti.”
  jawabku, lalu mengambil bensin seliter dan ku tuang, sebagai ganti setetes dua tetes yang dia keluhkan.

 Anehnya tiga hari orang itu sudah tidak bawa mobil, katanya mobilnya hilang ketika diparkir. Ya, kalau dia tahu mobilnya akan ditukar dengan seliter bensin. Pasti dia akan menolak mati-matian waktu ku beri seliter bensin.

Semua penumpang turun, dan sopir sama kondektur yang terjepit menjerit-jerit, Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Apalagi Aku kalau melihat darah suka mahu pingsan.

Kenderaan penarik mobil jalan tol datang. Dan bagian depan bus ditarik baru kondektur bisa dikeluarkan, dan keluar dari bus dalam keadaan dipapah, kaki satunya tidak tahu patah apa tidak. Aku hanya melihat dari jauh saja.

 Lalu penumpang disuruh naik bus lagi, dan bus jalan dengan ditarek mobil derek. 

Kami diturunkan di pintu tol, bagusnya selepas ada bus jurusan Kampung Rambutan, Aku segera naik.

 Sampai di Kampung Rambutan langsung naik angkot ke arah Ciracas. Dan sampai di Ciracas dijemput santri ke Bambu Apus, kata murid-murid internetku yang tinggal di dekat situ mahu datang menemuiku. Ada Budi, Joe, Asenk, dan entah siapa lagi, Aku lupa namanya.

Sampai di Bengkel, Kyai memanggilku ke kamar pribadinya. Dan Aku diajak makan, diberi nasehat dan diajak makan, juga ditalkin. Sejak sepuluh tahun, Aku sudah dibai’at lama. Tetapi sesudah sepuluh tahun baru ditalkin. Aku itu murid mahu diapakan atau digimanakan Kyaiku. Maka, Aku tidak pernah sekalipun mempermasalahkannya. Dan tidak pernah memikirkan. Tidak mengejar apa-apa, dan menjalani saja apa yang ada. Tidak pernah meminta ilmu ini atau itu. Dan tidak pernah meminta amalan ini atau itu. Apapun yang diberikan Kyaiku, akan aku jalankan berulang kali, tidak pernah bosan. Bukan orang yang suka meminta amalan baru dan amalan lama dilupakan,

Sebab menurutku ilmu itu bernilai kalau kita benar-benar menguasai, mengistiqomahkan.

“Mas Iyan buka tareqat ya..!”  kata Kyai.

“Siap kyai, saya siapkan Majlisnya dulu.”  kataku.

 Kyai banyak memberikan petuah yang bersifat isyarat. Dan Aku selalu tidak mahu menterjemahkan apa yang Kyai katakan padaku dengan seketika, ku biarkan saja mengendap di fikiran dan hatiku, ku simpan dan biar jika saatnya Aku akan mengerti sendiri, bukan menterjemahkan dengan akal dan akal-akalan.

Iman dipandang dari sudut ma’rifat itu bisa diperoleh dari dua jalan, yaitu jalan fikiran dan jalan hati.

 Jalan fikiran kita, dipakai menterjemahkan apa yang terbaca indera, seperti orang melihat gumpalan kecil lalu fikiran membacanya dan mengatakan penterjemahan apa yang tertangkap oleh indera mata. Dan mengatakan itu garam, lalu tangan meraba, dan lidah menjilat sebagai penguat apa yang diterjemahkan akal, ternyata masin.

Tapi siapa yang tahu warna masin. Tidak ada yang bisa menjelaskan, masin warnanya bagaimana, dan ekpresi orang berbeda-beda jika merasakan warna asin. Orang berekpresi merem (tutup mata) ketika merasakan rasa asin. Tidak bisa orang lain mengatakan ekpresi itu salah, sebab itu hak setiap manusia. Yang jelas yang diperlukan oleh manusia itu bentuk putihnya garam, atau rasa masin untuk membuat masin makanan, yang diperlukan adalah rasa masin, bukan bentuk butiran garam, buktinya bukan bentuk garam yang dimakan manusia. Tetapi rasa masin yang sudah tidak ada bentuknya garam, kerana sudah menyatu dengan makanan.

 Tapi keringat juga kan rasanya masin. Apa ada mahu orang makanannya kurang masin, lalu ditetesi keringat biar masin?

Pasti tidak akan ada yang mahu. Berarti sekalipun rasa masin. Maka yang diperlukan manusia itu bukan asal rasa masin saja. Tetapi penterjemahan indra diyakini kalau yang dicampur makanan itu benar-benar asli garam, bentuk syare’atnya garam, yang dikeringkan dari air laut, dan mengkristal, berbentuk garam. Tetak ada hakikatnya semua, 
alam ini, sebab hakikatnya alam ciptaan ini adalah menunjukkan hakikatnya Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

 Seperti pabrik mobil menunjukkan hakikatnya perusahaan mobil.

Garam itu rasa masin. Tetapi, rasa masin belum tentu garam. Jadi sifat masin bukan hakikatnya garam. Tapi menjadi sifat, seperti batu itu keras, agar-agar itu lembek.

Jadi akal itu bisa menguraikan apa yang ditangkap indra. Dan penterjemahan akal orang yang berilmu itu akan menguraikan dan menterjemahkan apa yang asalnya cuma sifat menjadi zat, atau di setiap ada zat atau jisim, badan kasar ada badan halus, atau inti, dan di balik inti ada intisari, dan di balik intisari ada saripati.

Di umpamakan ada seekor semut yang melihat seseorang memilih-milih jeruk. Sang semut bertanya-tanya apa yang dilakukan orang tersebut, lalu sang semut tahu setelah orang itu memilih jeruk yang matang, ooohh, ternyata mahu membeli jeruk yang berwarna kuning. Jadi dipilih yang berkulit kuning, semut menyangka bahwa, 
orang tersebut mahu memanfaatkan kulit jeruk, buktinya kulit jeruk sangat menentukan jatuhnya pilihan orang tersebut. Lalu jeruk dikupas, sang semut hairan kerana kulit yang susah-susah dipilih warnanya itu ternyata hanya dibuang ke tempat sampah. Dan isinya diambil, semut mengira, kalau ternyata yang mahu dimanfaatkan itu daging buahnya.

Tapi lagi-lagi semut hairan, dengan sebab daging buah itu ternyata diperas airnya, ampasnya dibuang. Dan airnya ditaruh di gelas, baru san semut faham kalau yang diambil manfaat ternyata airnya. Tetapi semut lagi-lagi hairan, sebab air jeruk itu diminum orang itu. Dan semut mengikuti ke dalam tubuh, di mana vitamin C diambil dari air jeruk itu dan dimanfaatkan tubuh. Sementara yang tidak berguna dibuang bersama keringat dan kotoran.

Jadi proses panjang, dari intisari yang terdapat pada sebuah jeruk, hanya diambil tubuh bagian terkecilnya. Dan mampunya akal itu hanya menguraikan yang terlihat, dan bisa diakal oleh ketajaman akal. Sehingga kejadian itu diketahui telah dirancang sedemikian rupa. 


Dalam setiap kejadian dan posisi suatu benda itu tidak lepas dari kehendak yang mengatur, dan ketentuan yang tertanam.

 Atau sering disebut qudrah-iradah. Dan qudrah iradah atau qada’- qadar itu harus kita imani keberadaannya, seperti kita imani adanya Allah dan Malaikat.

Tapi itu semua tidak terlihat, siapa orang yang tahu taqdirnya? Maka tidak ada yang tahu, sebab tidak terlihat atau disebut ghaib.

Untuk mengimani hal yang ghaib manusia perlu membuka mata hatinya, yang kasar itu bisa dilihat dengan mata dan yang ghaib itu bisa dilihat dengan mata hati.

Daging jeruk itu bukan ghaib, kerana jika dikelupas kulitnya, maka itu bisa dilihat dengan mata telanjang.

Yang ghaib itu, apa yang tidak bisa diuraikan dengan jisim atau dalam bentuk zat padat, kecuali dengan pentakbiran, atau pemisalan, kerana tidak bisanya akal menterjemahkan kecuali membuat perumpamaan,

Seperti ketika Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam, ditunjukkan tentang bumi dalam keutuhan sifat. Maka bumi itu seperti nenek tua yang jompo, sakit-sakitan dan memakai bedak yang tebal, juga perhiasan yang berlebihan.

Penggambaran itu akan mewakili suatu keadaan, kerana tidak ada bentuk untuk menjelaskannya, kecuali membuat permisalan untuk menjelaskannya.

 Jika ghaib itu bisa diceritakan dengan menunjukkan zatnya. Maka tidak ghaib namanya. Makanya penceritaannya itu memakai perumpamaan, atau kata-kata penyerupaan.

Dan akal harus dibendung ditutup dari menterjemahkan dengan logika akal. Jika dilogikakan akal, akal fikiran akan terjebak dengan keraguan dan kemandekan/kebuntuan pada batas logikanya akal. Maka yang ghaib itu hanya bisa diuraikan oleh yang ghaib, yaitu ruh, alam hati dan mata hati.

Sebagaimana mata zahir kita yang tidak bisa melihat, kerana kemasukan benda. Maka mata hati juga akan tidak bisa melihat jika dimasuki, 
berbagai kepentingan, dan keinginan, seperti semut yang melihat keinginan orang memilih jeruk, dia berprasangka keinginan seseorang itu memilih warna jeruk itulah yang menjadi tujuan utama dari proses pencarian, kerana keterperangkapannya akal, menilai mendahulukan logika.

Dan logika itu selalu mencari yang dekat dalam penilaian dan yang termudah dilakukan. Itu sifat akal, selalu mencari solusi termudah untuk menyelesaikan masalah.

Sedang yang ghaib itu perlu kejernihan hati untuk membaca. Sehingga yang benar tidak asal dibaca dengan akal-akalan, tapi dengan pemahaman. Seperti seorang perempuan yang memoleskan lipstik di bibir, kenapa tidak di telinga, juga kenapa warnanya merah, tidak coklat atau hijau, tujuan perempuan itu tidak akan terlihat disaat memoleskan lipstik di bibir. Padahal tujuan atau kehendak itu terjadi sebelum kejadian.

Murid yang lain selalu menterjemahkan dengan fikiran masing-masing. Apa yang disampaikan Kyaiku, atau anak-anak sering menyebutnya seloka, Aku sendiri tidak berani menterjemahkan 
apa yang disampaikan Kyai. Dan menunggu Allah Ta'ala  memberi ilham kefahaman padaku. Dan Aku akan menerima kefahaman itu dengan kejernihan mata batin, sejernih Aku mampu menjernihkan, kerana Aku sendiri yang masih bergelimang dosa dan keinginan.

Sepulang dari Jakarta, Aku merancang pembangunan Majlis dari dana yang ada, ku jualkan tiga sapi dan wang tabungan. Maka terbangunlah majlis sederhana, sampai saat ini yang ditempati untuk berzikir.

***
Setelah hari raya Idhul fitri, seperti orang lain, Aku juga mudik (pulang kampung), Tetapi menunggu tamuku di Pekalongan sepi, Setelah sepi baru Aku, Istri dan Anakku ke Jawa Timur. Biasa kalau di Jawa Timur, langsung biasanya akan banyak orang yang datang ke rumahku, ada yang minta amalan, atau minta diobati penyakitnya.
 

Di Daerah Tuban sendiri, kerana pernah ada kebakaran, sebelum kebakaran terjadi masa sebulan sebelumnya Aku memperingatkan yang punya rumah. Agar hati-hati akan terjadi kebakaran sebulan lagi, hati-hati dengan api.

Tapi takdir Allah terjadi juga, dan terjadi kebakaran. Walau hanya dua rumah yang terbakar dan api bisa dipadamkan. Setelah kejadian itu setiap Aku ke Jawa Timur, akan banyak orang datang minta amalan atau diobati penyakitnya.

Juga hari itu, Aku belum sampai rumah, orang-orang sudah menunggu. Sehingga Aku tidak sempat istirahat.

Ada beberapa orang, yang datang. Satu-persatu ku layani setelah sholat Maghrib, kursi penuh dan yang lain duduk di lantai, yang menghadapku pertama orang yang dari luar kecamatan, biar segera bisa pulang.

Yang menarik perhatianku ada seorang lelaki bernama Muhadi,

“Apa Pak keluhannya?”  tanyaku pada Muhadi lelaki jangkung kurus berumur 50 tahunan,

“Ini Iyan aku sakit di kaki,”  katanya menunjukkan 18px kakinya yang dari pergelangan sampai lutut membusuk.

 “Wah, kok sampai begitu Pak, apa tidak dibawa ke doktor?” tanyaku.

“Ya, sudah ku bawa ke doktor Iyan. Ini sama lukanya dengan luka yang dialami Istriku.” 
katanya.

“Lha, Istrinya di mana, kok tidak dibawa kesini sekalian?”  tanyaku.

 “Istriku sudah meninggal.” 
katanya sedih.

 “Oo maaf.”

 “Ini wong lukanya tidak wajar kok Iyan..”
jelas Muhadi.

 “Iya, saya juga lihat tidak wajar,” 
kataku.

 “Awalnya bagaimana itu Pak?”


“Ini sebenarnya awalnya adalah hal yang sepele, Saya dan Istri itu jual beli beras. Nah ada salah seorang yang selalu berhutang beras kami, Ya kami kasih, sampai banyak, kami tagih hutangnya, kan wajar toh tagih hutang, Eehh, dia marah. Dan.
mengatakan jangan dikira kami tidak mampu bayar hutang, hutang akan kami bayar. Tetapi setahun kemudian tidak juga dibayar, Ya, kami tagih lagi hutangnya, Eehh, malah mereka marah-marah. Dan mengatakan mahu santet. Dan kok malamnya rumah kami seperti ditaburi pasir, lalu ada ledakan. Dan besoknya Istriku kakinya gatal sekali, lalu terjadi pembusukan, terus membusuk. Pernah kami obatkan ke doktor juga percuma tidk sembuh. Juga ku obatkan ke dukun. Malah dukun yang lumayan bisa datang ke rumah. Dan di dalam tanah rumahku disuruh gali. Ternyata di dalam tanah ada seperti bungkusan pocong kecil sepanjang 35 cm, tapi lha kok aneh.”

“Anehnya bagaimana pak?”

 “Anehnya bungkusan itu hidup, jadi lari masuk di dalam tanah, bentuknya kayak pocong-pocongan gitu. Maka, Aku disuruh menggali tanah lain, untuk menghadang arah larinya.”

“Tetapi, setiap ku hadang, maka pocong-pocongan itu membelok ke arah lain, dan itu tidak lewat lubang larinya. Tetapi masuk dalam tanah gitu. Setelah seharian usaha, pocong-pocongan dapat di tangkap semuanya ada tuju". 

“Wah, di dalamnya apa ada tikusnya? Kok bisa lari dalam tanah?”  tanyaku yang terus terang merasa hairan.

“Ya aku sendiri tidak tahu Iyan, lha, setiap ada yang tertangkap maka langsung dimasukkan kendil tanah liat. Tetapi menurut penjelasan dukun, dia cuma bisa mengeluarkan yang di tanah, sementara yang di udara masih ada,”


“Ada juga yang di udara? ” 
tanyaku.

 “Iya ada.”


 “Lhah, lalu bagaimana bisa? Kalau Aku tidak tahu ilmu seperti itu, ilmu kok ya aneh-aneh.”  kataku geleng-geleng kepala

 “Tapi dukun itu menyarankanku meminta dukun yang lain, yang bisa mengeluarkan yang di udara, aku diberi alamatnya. Maka akupun segera mencari dukun itu, dan ku mintai tolong, dan dukun itu juga mahu, lalu ke rumahku. Dia bersemadi di tengah rumahku, sambil bakar kemenyan, dan membuat sesaji kembang tujuh rupa, dan kelapa hijau, serta kopi pahit. Lalu dukun itu selama satu jam bersemedi, kemudian berdiri dan menarik sesuatu dari tengah udara. D
an yang ditarik itu kain mori orang mati, sampai pengerjaan selesai. Tetapi Iyan, Istriku ya, tetap tidak sembuh, dan akhirnya meninggal dunia. Sekarang Aku yang terkena penyakit yang pernah dialami Istriku. Setiiap malam di rumahku selalu ada ledakan dan seperti ada pasir atau tanah kering ditaburkan, suaranya seperti gerimis sebentar gitu. Nah bagaimana Iyan, aku minta kau do’akan, supaya penyakit yang ku derita ini sembuh dan penyakit aku tak kambuh lagi.”

 “Ini sekarang ku kasih air saja dulu ya Pak, besok ke sini waktu sore gitu, biar Aku bikinkan pagar rumah, dari kerikil yang ditanam di pojok rumah, biar tidak kena santet lagi, kalau sekarang sudah malam.”

 “Iya InsyaAllah aku besok akan datang lagi.”

 Lalu ku berikan air untuk penyembuh dengan media do’a dan pagar badannya. 

Berikut datang seorang lagi.

Menemuiku lagi seorang tua, berjalan tertatih-tatih, dengan tongkat, yang ku tahu bernama Mbah Mulyono,

“Ada apa mbah…?” kataku pada kakek berusia 70 tahunan itu.

 “Ini Iyan, kakiku sakit sekali, tidak bisa dipakai sholat jama’ah di Masjid, tolong kau obati.”  kata mbah Mulyono sambil membuka sarungnya.

 “Coba saya pegangnya ya mbah…! Coba ditekuk Mbah, diluruskan, ditekuk.”  kataku berulang-ulang sambil ku salurkan tenaga prana ke sela lutut Mbah Mulyono.
Terdengar suara kletuk.

 “Wadow. ringan sekali.” kata Mbah Mul.

Lalu ku lakukan pada kaki satunya, sampai terdengar suara kluthuk, pertanda pergeseran tulang telah kembali ke semula.

 “Bagaimana, rasa enakan Mbah?”

“Iya enak.”


 “Coba dipakai berdiri Mbah.”

Mbah Mulyono pun berdiri, awalnya takut-takut. Tetapi setelah merasa tidak sakit dia mulai berjalan wira-wiri.

 “Aku pulang dulu ya Iyan, terimakasih.” 

“Iya Mbah silahkan, lha, ini tongkatnya tidak dibawa Mbah?”

 “Sudah tidak usah, untukmu saja.” 
kata Mbah Mulyono.

“Hehehe… Terimakasih Mbah, jangan lupa rajin jama’ahnya.”  kataku mengantar kepergian Mbah Mulyono.

Seorang lagi masuk, dia ku tahu bernama Kang Darwis. Dia orang terkaya di kampungnya yang Aku tahu Dulu waktu Aku kecil sering dibelikan layangan sama dia.

 “Ada apa Pak Darwis?”  tanyaku.

“Ya, seperti yang lain Iyan, mahu minta tolong padamu.”

 “Apa masalahnya Pak?”

 “Nanti dulu Iyan…”

“Kenapa Pak?”


 “Aku hanya ingin menatapmu lama-lama.”

 “Memangnya kenapa Pak?” 


“Aku hanya ingat di waktu kecilmu, dulu aku sudah mengira kamu ini akan menjadi orang linuwih. Malah aku bilang ke Ibumu, tetapi Ibumu mana mahu percaya.”

 “Ah, biasa saja toh Pak.”

“Ah, tidak kau waktu kecil itu aneh.”

“Aneh bagaimana Pak?” 
tanyaku hairan.

 “Lho, apa Ibumu tidak cerita soal masa kecilmu.”

 “Tidak itu pak, lha, masa kecilku bagaimana?”

“Kamu tahu? Dulu masa kecilmu, kamu kan diasuh Sarminten yang gila itu.”

 “Walah, masak bisa begitu Pak, kalau itu bukan suatu prestasi lah, namanya aib.”

 “Eehh, nanti dulu, Sarminten itu pasti jadi orang waras kalau sudah momong/dukung kamu, diajak jalan kesana kemari, kalau sudah gendong kamu, pasti jadi waras edannya, Apa tidak aneh, makanya Ibumu tidak keberatan kamu diurus Sarminten.”

 “Memang ada cerita seperti itu?”

“Ya, kamu kan bisa tanya ke orang tua-tua.”
 

“Terus semua orang gila Desa kita ini, setiap hari bergantian mengisi kolah kamar mandimu. Anehnya mereka semua gantian mengisi kamar mandimu. Jadi harinya seperti terjadwal. Padahal kan rumah mereka berjauhan. Apa itu tidak aneh?”

 “Ya, itu kan masa lalu toh Pak Darwis, masalahnya panjenengan kenapan?”  tanyaku, kerana masih ada beberapa orang yang menunggu ku selesaikan masalahnya. Walau tubuh penat, dan sudah mengantuk. Tetap saja hati harus legowo menerima siapa saja, menjadi orang yang dijadikan pengaduan masyarakat, Dan kita diminta mengadukan kepada Allah Ta'ala, itu kudu lebih beberapa kali sabar. Tetapi, Aku juga sama sekali tidak mempermasalahkan Pak Darwis yang mahunya mengenang masa lalu.

 “Iyan kamu tahu tidak kalau aku sekarang ini sudah miskin. Dan sudah tidak punya apa-apa, semua harta kekayaanku ludes. Tidak tahu ini kifarahku atau bagaimana.”

“Masak kekayaan panjenengan yang sebegitu banyaknya bisa ludes, belum lagi burung walet yang menghasilkan jutaan tiap bulan itu semua ludes?” 

“Iya, semua ludes.”

 “Lha, masalahnya apa? Apa panjenengan punya hutang sama Bank?”
tanyaku.

 “Bukan, bukan masalah itu,”

 “Lalu masalah apa?”

“Awalnya, kamu ingat dengan Laila anak perempuanku?” 
tanya Pak Darwis.

“Ya, ingat.”

 “Laila itu pernah diminta oleh Pak Rudin.”

 “Maksudnya Pak Rudin yang jadi dukun itu?” 
tanyaku.

 “Iya yang sudah tua itu. Awalnya Laila dikasih ini itu, setiap di jalan diberi ini-itu, lalu sama Pak Rudin yang sudah umur 50 an itu. Ternyata mahu dinikahi, Ya, Aku sendiri saja lebih tua dari Pak Rudin, Ya, persangkaannya Laila, dia diberi apa-apa, Pak Rudin tidak punya maksud apa-apa, jadi diterima. Ternyata malah mahu menikahi Lalila, Ya, Laila gilo, jeleh (bahasa Pekalongan), Ya, aku sendiri jelas menolak, lha, kerana ku tolak itu kok malah dia mengancam akan menghancurkanku. Ya, 
perkirakanku maksudnya menghancurkan, menghancurkan apa. Lha, kok ternyata semua bisnisku hancur, semua ayam mati. Semua usahaku macet. Dan aku bangkrut, bahkan semua burung waletku pada kabur. Hanya dalam dua bulan setelah aku diancam, setelah itu semuanya ludes. Memang tetangga, sering melihat Pak Rudin mengitari rumahku di malam hari. Menyebarkan beras kuning dan kembang/bunga. Dan aku diberitahu tetangga. Tetapi tidak ku perduli. Tetapi sekarang pun aku sudah berusaha bangkit. Tetapi sampai setelah semua habis. Sampai saat ini semua order kontraktor semua belum ada yang berhasil, sampai-sampai temanku mengajak memakai dukun untuk melancarkan bisnis kami, bahkan aku pernah di ajak temanku mencari dukun terkenal di Daerah Batang, dekat Pekalongan itu, aku dan temanku diberi syarat untuk bertapa semalam di tepi air tempuran, kata dukunnya,  jangan sampai gagal, kalau ada gangguan apapun kok gagal. Maka usahanya tidak akan berhasil. Lha, kebetulan temanku itu pemberani. Dia bertapa di tepi sungai tempuran (pertemuan empat jalur sungai), Mungkin disengaja, sengaja tempat yang dipakai temanku bertapa diolesi (disapu) terasi (belacan), agar datang para biawak. Tetapi temanku itu pemberani walau dikepung biawak, sampai waktu pagi temanku itu masih kuat.”

“Lalu apa berhasil cara itu?” tanyaku.

“Sama sekali tidak.” jawab Darwis.

“Pak… sebenarnya bisnis apa saja. Jika disertai masuk tareqat, Insya Allah akan lancar, kerana antara lahir dan batin saling melengkapi.”  jelasku.

 “Ya, nanti itu mudah masuk tareqat. Tetapi mbok sekarang aku kamu do’akan agar bisnisku gol. Aku sekarang lagi tawar-menawar harga soal menguruk sepanjang rel kereta api dari Babat sampai Bojonegoro, diuruk pakai batu koral, Nah,  itu kamu do’akan berhasil, nanti kamu tak kasih komisyen.”

“Heheh… komisyennya untuk panjenengan, panjenengan kan yang lebih memerlukan.”  kataku.

 “Insya Allah saya do’akan.”


“Oh, ya kalau kamu memberi amalan biar temanku saja yang mengamalkan, temanku ini sudah pakarnya menjalankan puasa, mau puasa mutih, 
ngebleng, bahkan pernah seminggu tidur miring di makamnya Sunan Bonang.”

 “Walah tidur miring, apa maksudnya?” 
tanyaku hairan.

 “Ya, tidur miring, menjalankan lelaku-tirakat.”  jawab Darwis.

 “Walah kok sampai gitu, lha, Aku saja belum pernah, Ya tentu dia lebih sakti, Aku jadi malu kalau memberi amalan dia.”

 “Ya bukan begitu, walau dia sudah menjalankan amalan macam-macam, juga pernah dalail selama tiga tahun setengah. Tetapi, tidak ada yang menempel ilmunya, jadi semua amalannya tidak mangsah apa-apa.”  jelas Darwis.

 “Ya, kalau memberi amalan sih Aku senang saja.”
jelasku.

 “Man…, Wagiman sini…!” 
panggil pak Darwis, kepada salah seorang pemuda kurus, di antara tamu yang sedang ngobrol di kursi tamu. Yang dipanggil Wagiman pun mendekat.

“Ini Man mahu diberi amalan.”  kata pak Darwis,

Aku masuk sebentar untuk mengambil lembaran amalan, dan ku serahkan pada Wagiman.

“Itu amalannya cara mengamalkannya sudah tertulis. Tetapi akan ku jelaskan.” 
kataku pada Wagiman yang sedang memegangi catatan amalan puasa dariku.

 “Tidak usah diterangkan, saya sudah faham, puasanya juga hanya puasa biasa, pasti saya amalkan.”  kata Wagiman seperti meremehkan amalan yang ku beri. Mungkin tak seberat amalan dia yang ngebleng (puasa sehari semalam).

“Ini juga puasanya ringan, saya akan jalankan.”
kata Wagiman.

 Lalu Pak Darwis dan Wagiman minta diri.

Setelah hari itu Aku tak bertemu lagi dengan Pak Darwis. Cuma dia pernah telefon setelah beberapa bulan, mengatakan kalau ordernya menguruk rel sedang dijalani, dan Aku bertanya soal Wagiman, apa amalanku sudah dijalankan.

“Wagiman waktu itu besoknya langsung puasa. Tetapi langsung pingsan, dan lumpuh sampai 
sekarang, ku suruh meminta obat pada Mas Iyan. Tetapi dia malu, jadi sampai sekarang masih lumpuh.”  cerita pak Darwis,

Aku hanya menarik nafas gegetun. Amalan yang ikhlas kerana Allah Ta'ala, dengan amalan yang kerana Jin, tentu beda. Dan yang ikhlas biarpun kelihatannya sepele, sebenarnya lebih berat, kerana berkaitan dengan kebersihan hati. 
 [HSZ] 

To be Continued.....

#indonesia#misteri#KisahKyaiLentik  #KyaiLentik, #KisahSangKyai, #KisahSufi, #SangKyai,

VIDEO ; 



No comments