KISAH SUFI, SANG KYAI [44]

<img src=https://fazryan87.blogspot.com".jpg" alt="KISAH SUFI, SANG KYAI [44]">
 
KISAH SUFI, SANG KYAI [44]

  • Pada siri ke - 43  Dikisahkan Sang Kyai sedang mengobati seorang wanita bernama Sundasih, yang penyakitnya tidak sembuh-sembuh. Rupanya wanita tersebut ada memakai susuk ditubuhnya.

  • “Hhmm… Ooohh, Bu' Sundasih ini memakai susuk ya?”

  • “Iya… dulu disuruh Kyai Askan.”
  • “Pasang susuk itu kan dilaknat Allah, Ya patut saja kalau penyakitnya di kepala tidak mahu hilang, kerana ada susuk di wajah, pipi, bibir, Wah.. wah… kalau tidak dilepas ya, tetap saja penyakitnya tidak hilang, susuk itu harus dibuang. Siapa yang memasang?”  tanyaku.
  •  “Dulu orang dari Magelang.”  jawab Sundasih.
  • “Ya, sekarang minta dia melepaskan susuk itu.”  kataku.

 FORTUNA MEDIA -
  Dua hari kemudian Sundasih datang lagi,

“Sudah dikeluarkan susuknya?”  tanyaku setelah berhadapan dengannya,

“Sudah, syaratnya cuma makan tiga buah pisang yang dibacakan Al-fatihah tiga kali.”

“Baik ku ambil penyakit yang di kepala.” 
kataku kemudian mendekatinya dan mengarahkan tapak tanganku ke kepalanya, lalu ku tarik penyakitnya dengan do’a.

 “Sudah…”  kataku.

“Tidak diberi air lagi Mas Kyai?” 
tanya Sundasih.

 “Itu sudah cukup, ingat syarat yang ku berikan. Kalau syarat itu dilanggar, artinya kembali berbuat yang tidak benar. Maka, Aku sudah tidak mahu mendo’akan.” 
kataku, dan Sundasih pulang.

Dan besoknya sembuh total. Tetapi memang manusia itu kadangkala diberi kesehatan tidak mahu sadar. Dan ketika diberi sakit menjerit-jerit, dan benar Sundasih tidak mahu taubat. Baru sembuh seminggu, sudah menggandeng cowok baru. Dan besoknya sudah menjerit-jerit kesakitan. Dan sampai saat ini ku tulis masih tetap saja sakit. Mungkin sakit lebih baik untuknya jadi tidak ada waktu berbuat maksiat,

Setelah waktu Isya’ Munawar datang dengan temannya, ku persilahkan duduk.

“Ini teman saya yang juga sama nasibnya sama saya Pak Kyai.” 
jelas Munawar sambil memperkenalkan temannya bernama Pak Ardi.

 “Lalu apa masalahnya Pak Ardi? Silahkan diceritakan.”  kataku.

“Begini Mas Kyai.., saya tidak menyalahkan siapa-siapa, ini memang kerana mulut saya sendiri yang kadang kalau bercanda kelewatan, sehingga saya mengalami ini.”   kata Ardi mulai bercerita.

“Lima tahun yang lalu saya itu nongkrong di warung, Ya biasalah, orang warung selalu ngomong ngalor-ngidul tidak karuan, saya juga begitu, juga kalau bercanda sering keterlepasan. Nah, selepas kami lagi nongkrong. Ada seorang Istri Kyai di Daerah saya selepas belanja, dia mahu belanja obat asma untuk Suaminya, Ya, saya tanpa sengaja ngomong, belikan saja baigon nanti asmanya akan sembuh selamanya, Ya, maksud saya juga bercanda. Dan Istri Pak Kyai itu juga ku lihat tidak marah, lha, kok besoknya saya dipanggil ke Balai Desa, dilaporkan katanya mahu 
meracun orang. Malah Istri Kyai itu bilang dia cerita kalau di warung sampai saya buat dia menangis, lha, saksinya kan banyak, dan dia tidak menanggapi juga tidak menangis. Maka teman-teman saya membela saya. Tetapi setelah hari itu, selepas di malam hari saya mimpi kalau saya ditombak Kyai itu. Sampai perut saya sakit sekali. Dan besoknya saya tidak bisa bangun. Dan tiap malam tubuh saya terbanting-banting di atas ranjang. Dan paginya saya sama sekali tidak kuasa bangun, lalu ada teman saya main, yang tahu ilmu ghaib, mengatakan saya disantet. Dan teman saya itu berusaha mengobati tapi dia sendiri tak kuat. Malah sakit dan meninggal. Dan pada suatu hari ada bola api menghantam almari dekat saya tidur, sampai lemari pun terbakar, untung ada anak lelaki saya, yang segera memadamkan dengan air. Dan saya sudah berulang kali berobat. Dan kebetulan saya bertemu seseorang yang mumpuni (berkelayakan/qualified), dan saya diobati, saya disuruh minum air, kemudian saya ingin buang air besar. Dan yang saya keluarkan dari perut isinya adalah lumpur, dan tanah, Dan Alhamdulillah saya bisa bekerja lagi, sebagai sopir mobil saya mencari omprengan. Tetapi lagi-lagi suatu hari di tempat mangkal/parkir mobil. Tiba-tiba api menghantam mobil saya, dan mobil terbakar sampai ludes. Dan orang yang mengobati saya itu meninggal sebulan setelah mengobati saya, jadi saya sakit lagi. Dan tidak ada yang mengobati, jadi saya minta Pak Kyai mendo’akan saya. Agar saya dibebaskan dari santet ini.”  Ardi menutup ceritanya.

 “Memang terkadang masalah sepele itu orang Jawa suka melakukan yang melampoi batas. Jangankan Pak Ardi yang suka tidak bisa menahan lisan, orang sini saja yang seorang Kyai, orangnya tidak banyak omong dan santun itu saja kesantet, dia disantet orang. Wajahnya dimasuki tanah kuburan.”  kataku.

“Kok Kyai tahu yang menyantet memasukkan tanah kuburan?”  tanya Ardi.

 “Lha, yang menyantet mengaku sendiri.” 
jelasku.

 “Ceritanya begini, Kyai Sidik itu tiba-tiba sakit. Di wajahnya, serasa gatal minta ampun, diobatkan kemana-mana tetap tidak sembuh. Dan diobati doktor obat gatal juga tetap gatal. Sampai wajahnya separoh rusak kayak lumer (s
eperti cair).
 kayak kena cairan asam. Dan sampai kemudian diobatkan ke Daerah Demak, baru bisa sembuh. Dan pada suatu hari, tetangganya datang minta maaf, kerana menyantetnya. Dan tetangga itu mengaku menyantet menyuruh Dukun dari Cirebon, dan dia oleh dukun diminta mengambil tanah kuburan untuk dimasukkan ke wajah Kyai Sidik. Akhirnya, sampai sekarang wajah Kyai Sidik itu rusak. Dan bicaranya juga jadi cedal. Tetangganya itu mengaku menyantet alasannya apa?”

 “Alasannya apa Pak Kyai?”  tanya Munawar.

 “Alasannya cuma tetangga Kyai Sidik itu jualan nasi. Istri Kyai Sidik juga jualan nasi, dan jualan nasinya Istri Kyai Sidik laku/laris. Sedangkan jualan tetangganya itu tidak laku. Bayangkan hanya kerana masalah yang sepele, lalu main santet, Ya,  seperti cerita Pak Ardi itu,”  kataku.

 “Iya memang Mas Kyai, kalau difikir memang hal yang sangat sepele. Tetapi kok ya, tega ya,  menyakiti orang lain?”   kata Ardi.

“Makanya itu, alangkah baiknya jika kita sendiri itu tubuh terpagar, rumah terpagar, sehingga tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.”  kataku.

 Tiba-tiba, “Daaarrr..!!”  ledakan di tembok, dan Munawar pun kesakitan perutnya. 

Aku segera bertindak, ku tarik sesuatu yang masuk di tubuh Munawar,

“Sudah tidak apa-apa.”  kataku.

“Wah, seperti ada bayangan hitam masuk ke tubuh, rasanya nyeri sekali.” 
kata Munawar.

“Sekarang bagaimana?” tanyaku.

 “Sekarang tidak apa-apa, sudah enakan.”

 “Wah, kalau saya ada yang menyantet selalu kena, ini bagaimana Pak Kyai?”  tanya Munawar.

 “Ya kalau tidak ingin disantet selalu tidak bisa kena ya selalu zikir/ingat Allah. Maka tidak akan kena, Nabi Muhammad Sallallahu 'Alaihi Wasalla bersabda: kilat/petir itu akan bisa mengenai siapa saja, termasuk orang Islam. Tetapi tidak mengenai orang yang zikir/orang yang selalu ingat Allah, santet itu mengenai siapa saja termasuk orang Islam tapi tidak mengenai orang yang zikir, kecuali orangnya memang sengaja menerima, kayak Kyaiku itu kalau disantet selalu diterima, kerana dijadikan cobaan untuk kenaikan derajatnya di sisi Allah. Kalau yang seperti itu bukan bahasan kita. Kalau kita ya kalau tidak ingin kena hujan sedia payung, sedia, 
mantel/baju hujan, Ya, kalau Aku yang lemah suka lupa tidak selalu berzikir. Maka pasti kalau disantet ya jebol. Maka, Aku memilih sedia payung sebelum hujan, sedia pagar sebelum disantet. Jadi sedia pagar kalau tidak ingin kena santet. Itu kan tanda kita masih lemah ingatan/zikir kita terhadap Allah. Dan kita harus menyadarinya. Makanya menyediakan pagar untuk diri sendiri. Ya, tidak beda orang yang mudah masuk angin kalau naik motor. Makanya pakai jaket kalau naik motor.”  kataku.

 “Ya… ya saya faham Pak Kyai, patut saja kalau saya diobati sembuh. Tetapi disantet lagi kambuh lagi. Ya, itu kerana saya tidak dipagar oleh orang sebelumnya yang mengobati saya.” 
kata Munawar.

 “Sekarang saya bagaimana Pak Kyai?”
  tanya Ardi.

 “Sini saya ambil penyakitnya.” 
kataku dan Ardi mendekat, lalu ku tarik penyakit di perutnya.

“Nanti ku buatkan pagar diri dan juga pagar rumah, tunggu sebentar,” 
kataku beranjak berdiri, dan mencari batu kerikil untuk ku isi, dan ku isi lalu, 
ku serahkan pada Ardi, sambil menjelaskan cara pakainya.

Setelah semua beres, mereka berdua pamit pulang.

***
Seperti ku kisahkan di awal. Jika urusannya soal santet. Maka anehnya urusannya soal santet melulu. Baru saja kedua tamuku berlalu, salah seorang temanku, Manaf menelefon,

“Mas bisa bantu tidak, ini soal pamanku, di Rembang, dia terkena santet.”  kata Manaf.

“Waduuh, santet lagi.”  jawabku.

“Lha, memangnya ada apa?”  tanya Manaf.

 “Ini baru saja dua orang tamuku pulang, soal santet. Ini kamu telefon soal santet lagi.” 
jawabku.

“Hahaha…, mungkin saja lagi musim, tapi ini aku serius, kerana aku dihubungi keluarga di Rembang, katanya kena santet.”

 “Lha, kok bisa disantet orang Manaf?”  tanyaku

“Anu, itu soal warisan, jadi warisan jadi rebutan, dan pamanku yang seharusnya dapat bagian. Tetapi kalau pamanku mati ada yang dapat bagian orang yang lain, dan orang itu yang kemudian berharap pamanku mati. Ini sudah seminggu tidak bangun dari ranjang. Setiap malam juga banyak ledakan di atap rumah, tolong ya Mas.”  jelas Manaf panjang.

“Hhmm… ya bisa hubungi sebentar pamanmu itu, suruh duduk menghadap ke barat, biar santetnya ku tarik dari sini.”  jawabku,

 “Ya, sebentar.” 
jawab Manaf lalu mematikan handphone-nya. Sepuluh menit kemudian Manaf telefon lagi,

“Sudah ku suruh menghadap ke Barat,”

 “Ya, sebentar ku tariknya, jangan lupa khabari Aku bagaimana perkembangannya.”  kataku, kemudian konsentrasi menarik kekuatan jahat yang ada di tubuh pamannya Manaf yang di Rembang.

***
“Terima kasih ya Mas, sudah sehat, semoga Allah membalas amalmu.”  besoknya Manaf telefon,

“Halah tidak usah kamu do’akan, malah tidak makbul, malah sebaliknya, hahha…”   candaku.

Motor sudah tidak enak dijalankan, Aku pergi kebagian servis motor, Aku pilih salah satu tempat servis. Di Daerah Preng Langu. Walau tidak di pinggir jalan besar, agak masuk ke dalam kampung, dulu sering ku lihat yang serviskan motor sampai antri, kerana servisnya lumayan bagus.

Sampai di tempat bengkel servis keadaan kok sepi, kayaknya cuma Aku yang datang. Aku jadi hairan, tukang servisnya juga hanya nongkrong saja.

 “Mahu servis Mas?” 
tanya seorang yang kelihatan malas dan lemes.

 “Iya…!”  kataku sambil menyerahkan motor, dan duduk di bangku. Orang yang tadi menanyaiku malah ikut duduk di dekatku, dan motorku diserahkan anak buahnya.

“Kok lemah Mas? Sakit ya?”  tanyaku pada tukang servis itu.

 “Iya Mas…, badan tidak ada tenaganya.” 
jawab dia. 

“Sepertinya dulu sering Aku lihat tempat servis ini ramai pengunjung, kok sekarang sepi Mas?”  tanyaku.

 “Tidak tahu Mas,” jawabnya.

 “Sejak lima bulan yang lalu Mas, tidak tahu saya jadi sakit-sakitan. Dan kok ya ndilalah tempat servis juga ikut sepi.”   jelas tukang servis.

 “Kayaknya ini ada yang tidak beres Mas. Juga Mas ini ku lihat sakitnya juga tidak beres.”  kataku.

“Lho, Mas bisa toh tahu hal seperti itu?”  tanyanya padaku.

 “Ya, tahu sedikit aja.” jawabku.

 “Ini saya sakitnya juga tidak wajar Mas.”  jelas tukang bengkel bernama Maskur.

 “Tidak wajar bagaimana Mas?”  tanyaku.

 “Selama lima bulan ini, saya sudah habis wang untuk ke doktor, tubuh rasanya lemah tidak ada semangat kerja, bahkan bangun tidur rasanya malas.”  kata Maskur.

“Lha, kata doktor sakit apa Mas?” 
tanyaku.

“Ya, doktor sendiri tak tahu, lha, semua organ tubuh saya wajar-wajar saja, makan juga doyan. Tetapi mahu bangun kerja rasanya malaas banget, kadang di perut rasanya nyerii banget. Tetapi diperiksa doktor juga di perut tidak ada penyakit apa-apa.”

 “Coba tapak kakinya saya lihat.” kataku.

Dia membalik tapak kakinya agar bisa ku lihat. Dan tapak kakinya sudah mengembung walau tidak terlalu besar.

“Kalau menurutku Mas ini kena santet hawa.”   jelasku.

“Lalu solusinya bagaimana?”

“Ya, harus disembuhkan.”
kataku.

“Mas bisa?”

 “Ya, Insya Allah sekarang juga bisa saya keluarkan penyakitnya dengan izin Allah tentunya.”  kataku.

“Lha, aku masih diobati orang Mas, bagaimana?”

 “Diobati pakai apa?” 


“Pakai telur ayam, ini sudah seminggu saya ditelateni, diobati pakai telur dijalankan di atas tubuh.”  jelasnya.

 “Ya, kalau begitu biar diselesaikan dulu pengobatannya.” kataku.

“Lha, nanti kalau sembuh ya, tidak usah ku obati. Tetapi kalau belum sembuh nanti Mas datang saja ke rumahku.”  kataku.

“Rumahnya di mana Mas?”

 “Di Daerah Bligo.” 
jawabku.

 “Ya, baik kalau begitu.” jawabnya. Selepas Servis motorku selesai. 

***
Tiga hari kemudian Maskur datang ke rumahku, diantar Istrinya.

“Bagaimana Mas, sudah selesai diobati pakai telur?” 
tanyaku.

 “Sudah Mas. Tetapi saya tetap sakit.”  
jelas Maskur.

 “Coba sini saya tarik penyakitnya, di mana saja yang dirasa sakit ?” 
tanyaku,

Lalu dia menunjuk dadanya, dan ku arahkan tapak tangan ke dada, lalu dia menunjukkan perut. Maka ku arahkan tapak tangan ke perut dan ku tarik penyakitnya, lalu ku suruh merasakan apa masih sakit.

“Sudah Mas, sudah tidak sakit.”  katanya.

 “Yang benar?”  tanyaku.

 “Iya Mas benar, masak aku bohong.”  kata Maskur dengan wajah serius.

“Masak sakit ku buat main-main toh Mas.”

 Aku lalu mengambil air aqua, dan ku tiup,

 “Ini nanti air aqua diminum dan dipakai mandi,”  kataku dan mengambil kerikil di depan rumah lalu ku tiup, “Dan kerikil ini nanti ditanam di pojok rumah, semoga sembuh dan tak sakit lagi.”  kataku.

 “Terima kasih Mas, sekarang sih sudah enakan Mas, tidak tahu nanti.”

 “Ya moga-moga sembuh total.”


Selama Aku di Arab Saudi, secara praktek menggalang jama’ah tareqat. Secara garis besar, Aku, 
termasuk vakum, Tidak membuahkan hasil. Jika diukur teman-teman seperguruanku yang sudah punya Majlis sendiri. Dan sudah banyak murid dan santri sendiri, seperti Sohib temanku di Jawa Timur yang sudah punya jama’ah ratusan. Sementara Aku masih luntang-lantung tidak karuan, pekerjaan tidak punya, punya jama’ah juga tidak, Ah, serba tanggung amat ku rasakan hidup.

Padahal dulu tahun dua ribu (2000), Aku sudah disuruh Kyaiku untuk fokus mengurusi tareqat. Tetapi Aku sendiri masih angin-anginan. Masih suka luntang-lantung tidak karuan.

Tetapi lama juga tidak mendengar khabar Sohib, bagaimana kabarnya? Pas kebetulan Abangku Abdullah main ke rumah, Aku jadi bisa tahu nombor handphone nya Sohib.

Setelah tahu nombor telefonnya, Aku segera menghubunginya.

“Siapa ini,”  suara Sohib, serak dan lemah.

“Aku.”

 “Aku siapa?” 
tanya Sohib.

 “Masak lupa sama teman satu nampan?”   kataku

“Ooo kamu Iyan…, kebetulan Iyan, kamu telpon.”

“Kebetulan bagaimana?” 
tanyaku.

“Aku sakit Iyan..”

 “Wah sakit kenapa? Memangnya penyakit masih doyan kamu, bukannya penyakitnya akan muntah membaui keringatmu, hahaha…😂”  candaku.

“Jangan bercanda Iyan, aku sakit beneran, juga semua Ketua tareqat Jawa Timur semua tidak bisa bangun. Cabang Tuban, cabang Bojonegoro juga pada sakit.”

 “Lha, kok bagi-bagi penyakit kayak bagi-bagi berkatan saja.”

“Benar kami sakit semua.”


 “Lha sakit apa?”

 “Kami kena santet semua.” 
jelas Sohib.

“Lha, kok kena santet saja kok pakai rombongan.”  kataku.

“Ya, bukannya rombongan. Tetapi kami dikeroyok orang yang santet.”  jelas Sohib

“Memang ada, santet pakai rombongan? Kayak tawuran saja?”  tanyaku setengah bercanda.

“Ya, memang ada, malah yang nyantet rumahnya di sebelah rumahku.”

 “Walah, malah aneh lagi itu.”


“Iya mereka dari jama’ah tareqat lain, tapi tareqat sesat. Semua teman-teman Ketua Cabang tidak bisa bangun semua, tinggal aku yang masih bertahan. Tetapi ku rasakan banyak jarum yang menyerang semua tubuhku, mungkin ribuan jarum.”


 “Lha, malah enak toh, bisa dijual kiloan, lha, kok punya jarum sebanyak itu, itu pasti langsung pesan ke pabrik jarum.”  kataku tetap bercanda, memang Aku suka sekali menyandai temanku Sodik.

 “Kamu mahu bantu Iyan..?”

 “Aku bantu apa? Nyarikan yang mahu pembeli untuk jarumnya?”


 “Ya bantu menolak santetnya, jarumnya ini tidak kelihatan, hanya terasa pada menancap ke tubuh.” 

“Oohh, kirain jarumnya kelihatan pada beterbangan.”

 “Ini sekarang banyak sekali ku rasakan santet mengenai tubuhku… tolong dibantu.” 
kata Sohib.

 “Jadi sekarang Aku bantunya?”

 “Ya, sekaraaang…!” 
kata Sohib kayak berusaha menahan sesuatu.

 “Ya, Aku bantu.”
kataku, lalu berkonsentrasi, menyatukan segala daya, do’a, dan konsentrasi terfokus pada Zat pemberi kekuatan. Dan ku hantamkan seluruh kekuatan yang ku himpun.

Tidak tahu bagaimana hasilnya. handphone ku bunyi dan ku lihat Sohib yang telefon.

“Kamu apain? Kok sekarang di sebelah rumahku. Tempat kumpul orang-orang itu jadi ramai, pada gedebukan, dan ada suara euk-uek… kayaknya pada muntah.”  kata Sohib.

 “Ya, tidak ku apa-apa kan, kan Aku di Pekalongan, memangnya Aku apa kan. Juga Aku bisa apa dari sini.”  kataku.

 “Aku malah lagi m3rokok.” 

“Tetapi ini masih ramai uak-uek… kayaknya muntah darah.”  jelas Sohib.

 “Ya, Aku juga tidak apa-apakan,”  bohongku.

 “Ya, terima kasih…”

 “Ya…” 
jawabku.

***
Pagi jam 10, Aku masih tidur, handphone sudah bunyi, ku angkat dengan malas, dari Sohib.

“Ada apa?” tanyaku malas, kerana masih ngantuk.

 “Tetanggaku semua rombongan ke Jombang, ke tempat guru besarnya.”

“Ya biarkan, kalau pakai wangnya sendiri.”  kataku.

 “Bukan itu maksudku,”  suara Sohib.

 “Lalu apa?”

“Ya bahaya, kita akan menghadapi yang lebih besar.”


 “Gajah maksudnya? Apa tunggangan guru besarnya gajah, kayak filem Thailand saja.”    
kataku dengan malas, tapi juga suka ngomong ngelantur (ngawur).

“Bukan itu. Ya, maksudku kalau gurunya kan lebih sakti.”  kata Sohib.

 “Sakti mana, sama Allah?”

“Ya, sakti Allah.”

“Ya, kalau begitu tidak usah takut, mati melawan kemungkaran kan juga mati syahid.”

 “Bukan masalah takut. tetapi kita harus siap.”

“Ah, Aku masih mengantuk, malas kalau disuruh siap, baris-berbaris.”


“Ya, sudah sana tidur, nantik malam ku khabari". 
 
[HSZ] 

To be Continued.....

#indonesia#misteri#KisahKyaiLentik  #KyaiLentik, #KisahSangKyai, #KisahSufi, #SangKyai,

VIDEO ; 


No comments