MISTERI KUNCEN. Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 4 Part 57]
MISTERI KUNCEN. Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 4 Part 57]
(57) Cerbung Horor Humor Komedi Lucu Untuk Hiburan para Sahabat
WAITING FOR GAMA
LANJUTAN CERBUNG KUNCEN
WAITING FOR GAMA
LANJUTAN CERBUNG KUNCEN
LANJUTAN CERBUNG KUNCEN
[Chapter 4 Part 57]
TUTOR
FORTUNA MEDIA - Mahu dibetah-betahkan seperti apapun, saya tetap tidak betah hidup di Jakarta. Panas, umyek, rungsep, macet, kumpul jadi satu. Tetapi yang bikin nyesek adalah apa-apa harus beli, dan srba mahal.Pipis (buang air kecil) saja waktu itu Rp1.000, BAB (b3rak) Rp2.000. Padahal duit segitu di kampung bisa buat beli nasi megono sak tempe kemule. Laundry sekilo Rp2.500. Dus kalau dua kilo saja, di Obosonow cukup untuk makan sehari, Ndes!
Sekali duduk di warteg (warung tegal), minimal Rp10 ribu harus keluar dari dompet. Kalau mahu kelas warung Padang ya, Rp12 -15 ribu per-porsi. Belum snack-nya, belum minumnya. Apalagi makan di restoran. Tidak bawa dua lembaran warna merah (Rp 100.000) ya, tidak berani.
Parkir raga pun tak kalah mahal. Kos di rumah petak berdinding triplek 2 x 2,5 meter di Tanah Abang I, Rp500 ribu sebulan. Dududuh.. Itu seperempat dari gaji saya lhoh. Anggaran sebesar itu cuma dapat kipas angin, kasur busa/span dan bantal tipis bergambar pulau! Tidak kebayang berapa tarif kos di kamar ber-AC. Pasti mahaal..
Pokoknya dihitung dengan kalkulator merk apapun, biaya hidup di Jakarta tetap tinggi. Bagi saya yang pernah dapat gaji dobel di Jawa Timur (Jatim), ya, seperti kena pukulan upper-cut tenan!
Boro-boro memboyong keluarga ke ibukota, untuk membiayai diri sendiri saja tekor/rugi. Maka mahu tak mahu, saya harus melakukan pengiritan/berhemat di semua sektor.
Makan misalnya, agar jatuh harganya lebih murah, saya berlangganan di warteg Tri Jaya di samping kantor Walikota Jakarta Pusat (Jakpus).
"Lagi ana promo kiyeh, Kang. Rp15 ribu dua kali makan, dengan sistem all you can eat," ujar Isah, salah satu pelayannya.
"Wow.. murah banget itu. Boleh makan apa saja kan?" celetukku takjub.
"Iya, boleh baen. Tapi dengan catatan."
Apa catatannya?"
"Tanpa daging, ikan atau ayam."
"Ra kacek, yu. Pitu setengah gur karo sayur, lawuhe milih salah siji ndhog, perkedel, tahu, tempe, gereh, peyek, krupuk, itu sih harga normal," protesku.
Isah tertawa setengah ngenyek. Tetapi y,a itulah pilihan paling rasional. Eh, bukan pilihan sih, tepatnya keterpaksaan. Jadi ya, saya ambil saja promo yang sesungguhnya bernama, all you can not eat itu, he he he..😁
Soal kos, solusi terbaik, eh.. terngirit, adalah jadi doktor, mondok di kantor. Kebetulan pekerjaan pokok saya adalah menjaga monitoring yang operasionalnya 24 jam. Apalagi di kantor disediakan ruang istirahat plus kasur dan bantalnya. Ya, wis, tumbu oleh tutup, cocog iwak endhog!
Yang asyik, kalau ada personil monitoring yang tidak hadir, bisa saya wakili. Jadi, insentif Rp50 ribu-nya bisa saya pakai untuk beli sarapan bersama. Tidak asyiknya, kudu berani bergaul dengan segala macam penghuni kantor. Akrab dengan yang kasar sekaligus yang halus.
Mengingat tidak bisa boyong/bawa Anak- Istri ke Jakarta, saya pun terpaksa menjadi karyawan PJKA: Pulang Juma'at Kembali Ahad. Juma'at sore ngacir ke Wonosobo, Minggu sore kembali ke Jakarta.
"Sampean hebat, Pak. Sudah PJKA, masih jadi tutor juga," ujar Wasi.
"Tutor?"
"Iya. Kalau Sabtu setor!"
Ha ha ha! Apanya yang disetor?"
"Ya, tabungannya, Pak!" sahut Wasi ngglewes sambil menghindari jendulan tangan saya.
Terkait tutor tadi, titik kritisnya adalah di anggaran tiket. Sebulan empat kali pergi-pulang saja, kalau naik bus perlu Rp 500 ribu. Kalau naik kereta api setidaknya Rp750 ribu harus lompat dari kantong.
Awalnya, saya selalu naik bus Sinjay Wonosobo-Rawamangun pp. Tentu kelas ekonomi yang tiketnya sekali jalan Rp5 M, Mapuluh Maribu Makan Minum Membayar dewek/sendiri.
Tiga kali naik, kapoklah saya. Ternyata bus kelas jelata itu mengandung pickpocket. Copetnya sih cuma satu, tapi temannya banyak. Masak naik tiga kali, kecopetan dua kali, kan tidak lucu blas!
Terpaksalah saya pindah naik yang RS 2-2, recleaning seat yang bangkunya dua kiri dua kanan. Nyaman sih, cuma anggarannya jadi ndedel menjadi Rp75 ribu per trip.
Ini juga tidak bertahan lama, kerana seiring dengan perbaikan jalur pantura di Subang, arah Jakarta macetnya ampun-ampunan. Sampai kantor kadang jam 10, kadang jam 11 siang. Bahkan pernah, saat yang lain pulang, saya baru tiba di gerbang.
"Sampean kan PJKA, kenapa tidak naik sepur saja!" ujar Bejo, cleaning service yang rutin nglajo KTA-JKT.
"Tiketnya mahal je," keluhku.
"Hadeeh.. sampean sih terlalu polos. Tidak usah beli tiket! Ikut rombongan saya saja.Duapuluh dah sampai PWT."
"Serius, cuma Rp20 ribu?"
Bejo mengangguk. "Koordinatornya saya, kok."
"Wooh.. Koordinator?"
Kefakiran memang mendekatkan ke kekufuran. Saya yang lagi fakir kok ya, mahu saja mengikuti saran si Bejo. Maka sejak hari itu, meski tanpa pelantikan. Jadilah saya anggota roker alias rombongan kereta bisnis SG.
Saat pertama naik dari Stasiun PS, kaget juga saya. Ternyata anggotanya buanyaaak. Majoriti para pegawai dan karyawan. Ada juga beberapa personil berseragam. Olala..
"Dua gerbong paling belakang adalah milik kita," bisik Bejo.
"Ampuh men, Bejo. Punya sepur sendiri," ujarku. Bejo cuma mrenges.
Tetapi jangan tanya soal kenyamanannya. Satu gerbong yang kapasitinya 50 tempat duduk, dipaksa dijubeli tak kurang 200 orang. Ada yang duduk di sela dan lengan kursi, ada yang di gang. Ada yang tidur di kolong, di rak barang atas. Bahkan bordes alias sambungan gerbong pun penuh manusia.
Saya sendiri dapat tempat duduk di lantai tepat di depan pintu WC. Ra umum tenan kok! Tapi ya memang ibaratnya ada harga ada rupa. Rp20 ribu kok njaluk penak, ya ra enek, ndes! Memange keretane mbahmu pa?
Lepas dari Stasiun BK, kondektur mulai memeriksa penumpang. Tetapi khusus di gerbong istimewa ini, Pak Kondektur hanya berdiri di pintu. Si Bejo yang menghampiri sambil mengangsurkan segepok wang yang sudah dikumpulkan sejak di stesen keberangkatan tadi.
Pak Kondektur menerima dengan sukacita. Memasukkan ke saku jasnya. Tidak lupa menyelipkan lima lembar duapuluhan untuk Bejo, kemudian buru-buru berlalu.
"Weh, kamu dapat bagian juga, Jo?" bisikku.
"Haruuss.. Namanya koordinator ya dapat lah. Lumayan bisa untuk tambahan orang rumah."
Saya hanya mengelus dada. Prihatin. Duuhh... rusak negara kalau begini. Kita sendiri yang merusaknya. Ironisnya, saya kok ya ikut-ikutan terlibat dosa kolosal ini!
Sampai suatu ketika ada operasi razia gabungan di Stasiuk CK. Bejo dan satu koordinator lainnya ditangkap dan dimasukkan sel. Sementara para penumpang gelap, termasuk saya, didenda bayar penalti dua kali harga tiket. Yang tidak bawa duit diturunkan paksa saat itu juga.
Kapokmu kapan, Ndes! Karepe/Harapan ngirit/berhemat malah ngorot. Karepa rapet malah repot/susah. Karepe cepat malah copot.
Yang jelas sejak itu saya pensiun dini dari roker (rombongan kereta). Wis/Sudah, mending/biar boros dikit tidak apapa, yang penting benar dan pener!
Tetapi menjadi benar di Negeri ini tidak mudah juga ternyata. Buktinya saat saya beli tiket dan duduk sesuai nombor kursi, Pak Kondektur yang memeriksa saya malah cemberut. Lambene mecucu sak meter.
"Kenapa beli tiket? Sampean kan roker. Kasih saja Rp30 ribu ke saya kan beres!" ujar pak Kondektur sewot.
"Lhooh, bukannya yang benar itu yang beli tiket, Pak?" eyelku.
"Iya. Tapi itu menyengsarakan saya!" jawabnya ketus.
Wooo, rung tau disebul kupinge sajake wong kiye!
"Terus kalau saya beli tiket, sampean mahu apa?!" tanyaku keras. Penumpang lain serentak menoleh ke arah saya.
"Eh, e, tidak apa-apa kok, Mas. Lanjutkan saja.. Beli tiket saja..." jawab si Kondektur gagap sambil tertunduk.
Dalam batin saya mesem. Heleeh.. tibake ya mung semono..
Wong durung/belum setor kok dilawan! 😎 [HSZ]
To be Continued...
Untuk Anda yang belum baca siri cerbung yang sebelumnya,
Anda boleh lihat disini linknya; Misteri Nusantara
Courtesy and Adaptation of Novels by, Nursodik Gunarjo
Editor; Romy Mantovani
Ilustrasi Image; Doc, Romy Mantovani #indonesia, #kuncen, #misterinusantara, #misterikuncen,
No comments
Post a Comment