MISTERI KUNCEN. Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 4 Part 56]

<img src=https://fazryan87.blogspot.com".jpg" alt="MISTERI KUNCEN. Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 4 Part 56]">

MISTERI KUNCEN. Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 4 Part 56]

(56) Cerbung Horor Humor Komedi Lucu Untuk Hiburan para Sahabat

WAITING FOR GAMA
LANJUTAN CERBUNG KUNCEN

[Chapter 4 Part 56]
  • Pada siri Chapter 4 Part 55  Dikisahkan Hantu Mukamu-rata mula menampakkan diri. Sekitar pukul 00.00, saya mulai memonitor berita online dan membuat resume. Sementara Syahril mer0kok di pojokan. Pintu sengaja diganjal pakai kursi agar tetap terbuka dan asap rokok keluar.

  • Saat saya sedang membuat grafik sentimen dan tone isu. Sekonyong-konyong kursi beroda yang ada di sebelah saya bergerak seperti ada yang mendorong lalu melesat cepat ke arah pintu. 
  • Sebelum sadar apa yang terjadi, kursi itu menghantam kursi ganjal pintu hingga terpental ke luar. Pintu langsung terkatup diikuti suara berdebum. Bersamaan dengan itu, suara cekikik tertawa terdengar di kejauhan. Jelas itu tawa si Mukamurata!
  • "Paaak!!"  teriak Syahril panik.
  • Saya berdiri sambil menatap tak percaya apa yang baru terjadi. Bukan hanya aneh, tapi juga tak masuk akal. Siapa yang mendorong kursi? Mengapa sensor bulu halus di lengan saya tidak bisa menangkap kehadiran lelembut di situ?
  • Apakah ini gejala fisika, bukan metafisika? Wallahu a'lam. Tapi jika gejala fisika, benda bergerak pasti butuh energi. Sementara jelas-jelas kursi beroda itu tidak ada yang menggerakkannya?

TKO

FORTUNA MEDIA -  Jiaan.. nganyelke tenan! Kalau sengaja saya tongkrongi, pasti dia tidak muncul. Tapi kalau saya lagi tidak ada, dia merajalela. Ada saja laporan staf yang ketakutan ditongoli si Mukamurata.

Kucing-kucinganku sama lelembut tidak berwajah itu sampai seperti lagu Kusuka Kamu-nya Iwan Fals, "Kucari engkau lari, ku diam kau hampiri."  Tetapi ya itu tadi, tlisipan terus, tidak pernah bersirobok babar blas!

Yang saya hairan, menghadapi si Mukamurata ini, sensor bulu halusku yang biasanya sangat peka, mendadak seperti nir-guna. Dia lewat di depan mata, saya tidak merasa. Bahkan saat dia meniup kuping/telinga pun, saya tidak ngeh posisinya. Ini siluman cap apa ya, kok tidak terdetek (detected) radar indera?

Duuhh, hingga saat ini, saya hanya berhasil mendengar suara ngikiknya yang jelek itu. Tapi soal wujud kerataan wajahnya, saya gagal jadi saksi. Meski saya sudah berusaha berkeliling ke setiap pojok untuk mencari oknum ngikik itu, tapi hasilnya nol besar.

Sumpah, saya kepo level dewa. Juga iri setengah mati pada si Kembar dan Wasi yang mengaku sudah memergoki Mukamurata dua kali. Iki sakjane inderaku yang sedang error. Apa lelembutnya yang ketinggian level?

"Mungkin dia takut sama wajah bapak,"  kata Wasi.

"Semprul.. yang medeni itu dia, bukan saya! Lagian kalau takut, kok berani niup kupingku. Itu sih kurangajar namanya!"  jawabku.

"Atau, maaf, sekali lagi maaf, mungkin kerana mata bapak sudah tidak semurni dulu,"  kata Sujiran.

"Maksud sampean?"

"Yah, mungkin sekarang terlalu banyak lihat yang halus-halus di internet gitu, sehingga tidak peka lagi pada halus yang lain."

"Jindul ik. Lha, sampean sama Wasi kerjaannya mantengin bravo foxtrot, kok masih bisa lihat si Mukamurata?"

Sujiran nyengir kuda. "Wah, ketahuan niih," gumamnya dengan muka memerah.

"Begini aja, gimana kalau nantik malam Juma'at kita tongkrongi bersama?"  usulku.

"Mmm.. kalau bertiga kayaknya berani deh. Ya kan, Syafaat?" tanya Sujiran ke kembarannya.

"Wokeeh. Asal kopi dan gorengannya mantap. Tapi.. jangan ngajak Wasi deh, pak!"  usul Syafaat.

"Memang kenapa?" tanyaku.

"Dia tidak punya banyak celana dalam cadangan."

"Lhooh, apa hubungannya nongkrongin hantu sama jaswadi?"


"Soalnya, kalau ketakutan, dia suka bocor alus bagian businya," kata Syafaat sambil melirik Wasi. Yang dilirik cuma mrenges sambil membekap bagian pribadinya.

Hua ha ha! Terpaksa deh, saya ngakak juga. Baru tahu, ternyata Wasi kalau takut suka ngomong politik..

Walhasil, malam Juma'at berikutnya, kami begadang bertiga. Sementara urusan monitoring saya serahkan penuh ke Wasi dan Syahril. Penuh tenan iki, ndes! Soalnya honor saya mereka ambil. Kata Wasi buat "ganti nyali". Ya wis ben lah..

Tepat pukul 00.00 kami menggelar tikar di koridor samping lift, sekitar 20 meter dari ujung tangga. Di tempat itulah konon si Kuntil suka menongolkan diri. 

Tidak ketinggalan, kopi dan gorengan sebagai syarat ubarampe tersaji rapi. Bukan untuk si Kuntil. Tetapi untuk si Kembar yang mengaku jika stress, mudah kena gastritis. Hhhh.. Ada-ada saja!

"Mudah-mudahan dengan bantuan sampean berdua, saya bisa melihat si Mukamurata. Syukur-syukur berhasil mengusirnya,"  ujarku.

"Ngomong-ngomong, bagaimana cara mengusirnya, pak?"  kejar Syafaat dengan wajah kepo level 4.

"Meneketehe. Setiap lelembut kan punya pengapesan sendiri-sendiri. Lha, ini lihat barangnya saja belum, bagaimana bisa deteksi cara mengusirnya,"  jelasku sok ilmiah. 

Padahal sesungguhnya saya benar-benar buta tentang si Kuntil nir-muka ( tanpa wajah) ini. Jujur, saya cuma menyiapkan tiga strategi. Pertama, maju dua langkah sambil baca do'a. Jika dia membandel, saya mundur dua langkah. Jika dia melawan, saya ambil langkah seribu alias ngibrit. 😆

Biar suasananya lebih afdhal, lampu saya matikan. Maklum, Kuntil yang "normal" biasanya tidak tahan silau. Tidak tahu kalau yang tidak punya mata, sama atau tidak tabiatnya. Suasana jadi remang-remang. Penglihatan hanya mengandalkan bias sinar lampu dari ruang monitoring.

Menunggu itu siksaan. Apalagi yang ditunggu membawa ketidakpastian. Jarum jam terasa berdetak amat perlahan. 

Entah kenapa, menjelang pukul 02.00, suasana berubah mistis. Ada angin dingin berkesiur, Tetapi tidak jelas asalnya dari mana. Sementara bunyi gemlodhag-gemeretak dan seretan benda berat mulai terdengar di ruang sebelah.

"Sudah mulai keluar penghuninya,"  bisik si kembar sambil memamah gorengan.

"Stt.. tenang. Stop, jangan makan dulu,"  bisikku.

"Tidak bisa Pak. Kami kalau takut kudu makan,"  jelas Syafaat.

Wadooh.. Ada lagi nih orang aneh di dunia. Takut kok obatnya makan? Ya wis sak-bahagiamu mbar, kembar!

Saat sedang memamah-biak itulah. Tiba-tiba dari arah lantai lima terdengar suara senggrokan babi. Ramai bersahut-sahutan, seperti di peternakan. Kontan saja si Kembar ndhepipis ketakutan.

"Diaaaamm!!"  bentakku keras sambil mendongakkan kepala ke arah lantai/tingkat lima.

Cep-klakep. Seketika suara senggrokan itu berhenti. Suasana kembali sepi. Tetapi itu hanya bertahan lima menit. Semenit kemudian keriuhan benda-benda diseret, digulingkan dan dijatuhkan kembali memenuhi gendang telinga.

Wah, ini sih bukan sekadar tempat main. Tetapi markasnya poltergeist. Mungkin kerana banyak ruang yang kelamaan tidak dihuni. Para makhluk ghaib penggerak benda itu jadi betah dan beranak-pinak di dalamnya.

Pengalaman saya sih, untuk mengalahkan poltergeist cukup dibuatkan suara tandingan yang lebih keras. Maka saya pun beranjak ke pegangan tangga yang terbuat dari besi. Dengan sekuat tenaga, besi itu saya pukul berkali-kali dengan sebatang kayu sambil berteriak sekencang-kencangnya.

"Assalamu'alaikuuuumm!! Jangan berisik! Kalau berisik saya pukul kepala kalian seperti besi ini!!"

Eh, ternyata suara keras dentang besi yang diikuti mantra ngawur itu sakti juga. Bunyi-bunyi aneh itu langsung berhenti! Suasana kembali senyap. Kali ini tidak ada lagi yang berani main-main. Sepertinya makhluk astral itu takut juga dikemplang kepalanya, he he..😄

Menjelang dinihari, suasana makin tentram dan sepi. Duo Kembar sudah liyer-liyer. Namun oknum yang saya tunggu-tunggu, si Mukamurata, tidak juga nongol/muncul. 

"Jika jam tiga tidak muncul, si Kuntil kita anggap kalah WO saja ya, Pak,"  bisik Sujiran.

"Kok gitu, memangnya kenapa?"

"Iya, soalnya gorengannya sudah habis. Nanti kalau dia muncul, tidak ada yang dikunyah." 

Saya tepok jidat. "Makanan melulu yang difikir! Tuh, masih ada sandal jepit. Krikiti saja kalau mahu," saranku gemes. Si Kembar nyengir.

Belum sempat mengunyah sandal. Tiba-tiba terdengar suara jeritan panjang perempuan. Asalnya dari lantai tiga. Reflek saya lari menuruni tangga, mengejar suara itu. 

Sampai di lantai tiga, ternyata tidak ada apa-apa. Suasana tetap sunyi-sepi seperti sediakala. Cicak melintas dan laba-laba memilin jaring pun tidak ada.

Sedang bengong di ujung bawah tangga. Tiba-tiba terdengar suara yang sangat saya nantikan, suara tertawa ngikik perempuan. Arahnya jelas dari lantai empat. Itu dia si Mukamurata!

Sigap saya lari ke atas. Sampai di dekat tikar, tampak duo kembar duduk berpelukan. Wajah mereka sangat ketakutan. Tubuh gemetaran. Tangan sraweyan menunjuk-nunjuk ruang monitoring.

"Di sana.. di sana.. Mukamurata.." 😖

Saya meloncat ke ruang monitoring. Saat saya buka pintu, bau wangi campur busuk masih menyengat hidung. Tapi sosok tanpa wajah itu sudah raib entah ke mana. 

Wah, jindul tenan! Telat-terlambat beberapa detik!

Saat saya tengok ke lantai, Ya Allah.. tubuh Syahril dan Wasi bergelimpangan. Pingsan dengan posisi sangat aneh. Di bibir Syahril masih terselip sebatang 76. Sementara di bawah bokong Wasi, sejumlah cairan kekuningan tergenang. Yaelaah.. ngompol/k3nching tenan!

"Duuh.. apes.. apes.. Tidak jadi menang WO malah kalah TKO kalau begini!" runtukku geram.

Apa boleh buat. Sepertinya sudah tertakdir saya sama si Mukamurata tak pernah dipertemukan...

Seminggu berikutnya, saya kaget saat Brontho memasang speaker aktif PMPO 7.500 Watt lengkap dengan sub-woofer-nya di ruang monitoring. Suaranya jedag-jedug, keras, dalam, menghentak sampai ke dada.

"Buat apa sound system sebesar itu?"  tanyaku hairan.

"Mengusir syaitan!"  ujarnya pendek.

"Wooh, bisa toh?"


"Lhooh, kan sampean yang mengajari. Katanya syaitan takut pada keramaian!"

"Wooh.. Iya ya!" jawabku pilon.

Tapi bener lhoh. Sejak dipasangkan speaker berkekuatan tinggi plus lampu terang, semua bunyi. Suara dan penampakan aneh berangsur lenyap. Termasuk si Mukamurata juga tidak berani muncul.

"Just simple. Kalau ada rumah banyak syaitannya, setelkan musik saja keras-keras!"  kata Brontho.

"Tapi, kenapa ya, diskotik (discotheque) yang ramai dan full music, kok malah jadi sarangnya syaitan?"  celetuk Syafaat.

Mendengar pertanyaan itu, kami hanya bisa saling pandang. Sumpah, Angel iki Njawabe, Ndesss!   [HSZ]

To be Continued...

Untuk Anda yang belum baca siri cerbung yang sebelumnya,
Anda boleh lihat disini linknya;
  Misteri Nusantara  

Courtesy and Adaptation of Novels by, Nursodik Gunarjo
Ilustrasi Image; Doc, Romy Mantovani 

#indonesia, #kuncen, #misteri, #misteri,

VIDEO;  


No comments