KISAH SUFI, SANG KYAI [16]
KISAH SUFI, SANG KYAI [16]
- Pada siri ke-15. Sang Kyai dalam pengembaraannya sempat dipukuli oleh penjaga Masjid, kerana dituduh mencuri sandal.
- Kau, maling sandal hina…!” bentaknya lagi.
- “Ah…, sampean salah…” kataku, tenang.
- “Salah bagaimana, sudah jelas-jelas mencuri sandal.” bentaknya.
- “Ayo ngaku…!” vAku diam saja. Dan tiba-tiba orang itu menarik sabuk yang dipakai, dan 'wuuut' sabuk (ikat pinggang) dihantamkan ke punggungku. Aku hanya memejamkan mata, ketika sabuk itu mengenai punggungku. Dan tanpa mengeluh, kerana entah kenapa Aku tak merasakan sakit. Tetapi itu malah membuat orang yang menyeretku itu makin beringas mencambukiku...
FORTUNA MEDIA - Kerana tidak merasakan sakit, Aku ya tetap diam saja. Cuma suara cambuk ikat pinggang yang terus menghujaniku, bak-buk, bak-buk,
“Sudah-sudah…!” teriak orang yang ada di ruangan itu. Sementara orang yang ikut Sholat Jum’atan pun sudah pada berdatangan memenuhi jendela kaca. Menatapku, juga dari pintu, dan segala lubang yang ada, Aku seperti pencuri yang dinistakan.
“Ayo mengaku kau telah mencuri sandal.” kata orang yang memukuliku.
“Lha, saya tidak mencuri sandal, bagaimana mahu mengaku mencuri sandal.” kataku masih dengan tatapan heran.
“Benar, kamu tidak mencuri sandal?” tanya salah satu orang yang ada di dalam kantor itu.
“Tidak..!” kataku mantap.
“Gembel…, mahu mungkir, kalau sandal yang kau pakai itu bukan sandal curian. Apa ada gembel sandalnya bagus…?!” bentak orang yang memukuliku
“Ini sandalku sendiri…” kataku.
“Puih, gembel hina… mahu dihajar lagi?!” bentak orang yang memukuliku.
“Sudah-sudah…,” kata orang setengah baya yang tadi menyela, “Benar kamu tidak mencuri sandal?”
“Tidak…!” jawabku.
“Apa buktinya kalau sandal itu sandalmu sendiri?” tanya orang setengah baya itu.
Aku sebentar berfikir, lalu ku ingat,
“Sandal ini bawahnya japit ku kasih paku, kerana sudah putus.” kataku mantap.
Lalu orang yang memukuliku, menarik kedua sandal yang ku pakai, dan memandang dengan kecewa, kerana apa yang ku katakan benar adanya. Dia menunjukkan sandal pada orang setengah baya itu,
“Makanya jangan menuduh sembarangan.” kata orang setengah baya itu,
“Kalau begini…, untung tidak sampai luka parah..” kata orang setengah baya itu menggerutu. Sementra orang yang memukuliku, nampak serba salah, sandal kemudian diangsurkan padaku lagi.
“Heh… heh, ada apa ini?” Seorang pemuda tiba-tiba mendesak kerumunan di pintu dan masuk ke kantor Masjid tempatku dipukuli, seorang pemuda yang seumuran denganku, berkulit kuning dan berwajah tenang,
“Ada apa?” tanyanya lagi.
“Ini salah menangkap maling…” kata orang setengah baya yang melarang Aku dipukuli terus, sambil tangannya menunjuk padaku, dan pemuda itupun memandangku.
“Maling gimana, ini temanku, kenapa dibilang maling?!” kata pemuda yang baru masuk, dengan nada marah, lalu menggelandangku berdiri.
“Ini temanku, kenapa dibilang maling?” tanyanya lagi, kaerana tak ada yang menjawab.
“Iya kami salah sangka, Maaf…!” kata orang yang memukuliku.
“Maaf gimana? Mbok kalau ada masalah jangan langsung main pukul,” kata pemuda yang menyerobot masuk, yang terus terang Aku pun tak kenal sama sekali, Aku tetap diam saja, dan tak memperdulikan pembicaraan mereka.
Memang Aku sendiri kadang merasa aneh, semakin ditimpa musibah. Maka Aku akan semakin tenang, pasrah, atau mungkin kalau dibilang tak terlalu, Aku makin mengantuk, kalau tertimpa musibah, hati langsung terisi dengan Allah jadi ketenangan teramat dalam, sampai rasanya mata jadi mengantuk.
Aku makin tak konsentrasi dengan perdebatan mereka, sampai Aku diseret oleh pemuda sebayaku, dan diajak jalan ke dalam Matahari Plaza, Aku menurut saja… lalu diajak duduk di etalase toko sepatu.
“Mana yang sakit?” tanyanya. “
Nggak ada yang sakit.” jawabku.
“Ah masak, coba lihat punggungmu?” katanya langsung ke belakangku dan membuka baju kaos kumal-kotor yang ku pakai.
“Hairan, kok ndak luka sama sekali? Padahal ku lihat kamu dipukuli sampai hancur-hancuran.” katanya selesai melihat punggungku.
“Ndak tahu ya, Aku sendiri juga hairan, kok ndak ada yang sakit. Juga waktu dipukul ndak sakit.” kataku menimpali.
“Wah, aneh juga, padahal baru seminggu yang lalu juga ada yang ditangkap, dituduh mencuri sendal, lalu dipukuli sampai hidung dan mulutnya berdarah, dan wajahnya benjol, menjerit-njerit ndak karuan.” katanya menerangkan.
“Masak?” tanyaku hairan,
“Iya, memang itu orang yang jaga Masjid paling suka mukuli orang, sudah nggak terhitung yang dipukuli.” katanya menjelaskan lagi.
Lalu datang seorang lagi mendekat.
“Ada apa Ed?” tanya lelaki yang datang, orangnya juga seumuranku, kulitnya hitam.
“Ini tadi dipukuli penjaga Masjid.”
“Wah…, salah apa?” tanya lelaki itu.
“Dituduh mencuri sandal.”
“Wah, pasti lukanya parah…” kata pemuda yang baru datang yang ku tahu bernama Ikram,
“Malah ndak luka sama sekali..” jawab pemuda yang bernama Edi yang menolongku. Mereka berdua ramai membicarakanku, Aku tetap diam sampai Edi bertanya padaku.
“Kamu tinggal di mana?”
“Aku?” tanyaku lagi.
“Iya.., tinggal di mana?” Ulang Edi menanyakan pertanyaannya.
“Wah, Aku ndak punya tempat tinggal.” jawabku enteng.
“Lha, trus kalau tidur di mana?” tanyanya lagi.
“Ya, di mana saja…,” jawabku masih enteng.
“Di mana saja gimana?” tanya Ikram nimbrung. Ya, Aku juga tak hairan bila mendengar pertanyaan orang yang biasa tidur di rumah dengan kasur-tilam empuk, dan menyalakan musik pengantar tidur, Aku tak menyalahkan mereka, yang pasti merasa aneh dengan orang-orang yang biasa tidur sembarangan. Mungkin bayangan mereka andai digigit ular gimana? Andai dirampok orang gimana? Atau mungkin barang pertanyaan yang teramat sepele. Wah kalau digigit nyamuk apa bisa tidur. Tetapi selama ini Aku juga tidur-tidur saja. Apa mungkin nyamuknya sudah pada kenal, atau mungkin darahku yang pahit, kerana makan dari tempat sampah.
“Ya, kadang di jalan, di emperan toko, kadang di Musolla, atau bahkan kadang tidur di kuburan…” jawabku sambil melirik mereka, dan menyalakan rokOk Djisamsoe yang disodorkan padaku oleh Edi,
“Wah, berani sekali.” desah Ikram.Sementara Edi masih terbelalak.
“Yang benar, di kuburan?” tanya Edi dengan nada hairan dan kaget,
“Memangnya kenapa?” tanyaku. “Apa ndak boleh?” sambungku.
“Ya, bukan begitu, maksudku berani sekali, apa pernah didatangi pocong..?” tanya Edi.
“Pocong? Ya mungkin saja pernah, tapi kali saja pocongnya nmelihat Aku ndak punya wang jadi ndak ditakut-takuti. Mungkin dia malas menakuti Aku, Ya, mungkin bauku lebih parah dari mereka, lha, mereka mahu nyumpal hidung, tangannya diikat, jadi mending jangan mendekat..” jawabku asal aja. Yang tiap kata ngawurku pun makin membuat hubungan pertemanan kami pun makin akrab.
Dan selama perbualan itu Aku tetap di tempat penjualan sepatu tempat Edi bekerja, tentunya dengan pandangan orang yang lewat di koridor merasa aneh padaku, Tetapi Aku cuek aja, Toh pandangan mengucilkan dan menghinakan tak sekali dua kali ku terima,
Malam itu Aku diajak ke tempat tinggal Edi dan Ikram menginap di tempatnya, yaitu tempat tinggal bossnya, kerana memang mereka berdua ditampung di rumah bossnya, Aku dikenalkan, namanya pak Sugeng, orang dari Jogja, dan orangnya baik sekali, Aku ditawarkan untuk bekerja, atau lebih tepatnya dicarikan pekerjaan, Aku he-eh saja, Walau niatku bukan untuk mencari pekerjaan, sehari dua hari seminggu dua minggu Aku masih ikut jaga toko sepatunya pak Sugeng bossnya Edi dan Ikram, dan syukur penjualan meningkat beberapa kali lipat setelah ada Aku. Jadi pak Sugeng pun royal memberikan tip padaku. Di samping makanku sudah terjamin, kerana tiap hari diberi wang makan.
Pagi itu, Aku berangkat kerja, dengan Edi dan Ikram, seperti hari biasa, kami mampir ke warung makan, untuk sarapan nasi bungkus di tempat Mbak Asih, penjual nasi bungkus pojok. Tiba-tiba, Mbak Asih sudah keluar dari warung menyongsong kami, wajahnya nampak ceria sekali,
“Ayo-ayo cah bagus sini makan,” Sambil menggelandang tanganku dan tangan Edi.
“Ada apa Mbak?” tanya Edi, sementara Aku diam saja.
“Sudah ayo makan,” kata Mbak Asih sambil menyodorkan nasi bungkus spesial, dibilang spesial kerana pakai daging,
“Wah, kami ndak pesan ini Mbak..” kata Edi nolak,
“Sudah ini gratis kok ndak bayar, malah adik Iyan boleh makan di sini terus nggak usah bayar…” kata Mbak Asih dengan pandangan berbinar-binar.
“Ya ndak bisa gitu Mbak..” kataku rikuh.
“Lha, Mbak ini kan jualan, kalau Aku makan di sini ndak usah bayar, Ya Mbak Asih nanti yang bangkrut.” kataku.
“Sudah…, Ayo dimakan dulu…” kata Mbak Asih. Kami pun makan dengan lahap.
“Wah, ini pasti ada apa-apanya, kamu apain Yan, Mbak Asih?” kata Edi melirikku, Sementara, sejak tadi Ikram cuma mengsam-mengsem kayak makan permen/gula2 kecut.
Dengan cepat nasi bungkus pun telah pindah tempat di dalam perut kami, tinggal bungkusnya doang, lalu kami seruput teh manis, Mbak Asih mendekatiku dan menyodorkan rokOk Djarum sebungkus, ku terima dan ku buka lalu ngambil satu dan ku nyalakan.
“Sudah Mbak, berapa?” tanya Edi, sementara Ikram telah keluar dari warung duluan.
“Weh, dibilang gratis kok tidak percaya…” semprot Mbak Asih.
“Sudah gak usah bayar.” tambahnya.
“Lha, ada apa toh Mbak? Apa Mbak Asih syukuran?” tanya Edi sambil memasukkan wangnya kembali ke sakunya.
“He-eh..” jawab mbak Asih sambil memberesi piring dan gelas.
“Syukuran apa Mbak?” tanya Edi iseng.
“Sini duduk dulu.., tuh rokoknya diambil Dik Ian.., duduk dulu, akan Mbak ceritakan, biar nak Ikram yang buka toko.” kata mbak Asih masih dengan wajah sumringah. Kami pun duduk anteng.., lagian warung juga lagi sepi, Jadi kami bisa ngobrol. Setelah mbak Asih duduk di salah satu kursi, lalu mulai bercerita, dan matanya selalu mengawasiku, si Edi sampai kelihatan curiga,
“Begini dik Edi…, Mbak akhirnya hamil…, setelah sepuluh tahun menunggu…, Mbak akhirnya bisa hamil…” kata mbak Asih masih dengan mulutnya dipenuhi dengan senyum bahagia, kerana Mbak Asih sambil memandangku, Jadi Edi pun ikut memandangku aneh.
“Kenapa Ed…?” tanyaku hairan.
“Aku yang musti tanya kenapa.., bukan kamu…,
kamu ada apa-apa ya sama Mbak Asih?” tanya
Edi.
“Kenapa kamu prasangka begitu Ed?’ tanyaku makin
hairan.
“Eee.ee.. dengar dulu apa yang Mbak akan
katakan, kenapa kalian malah ribut,"
“Iya ini harus jelas ini ada apa?!” kata Edi sambil
menatapku curiga. Tiba-tiba dari warung muncul Suami Mbak Asih, bernama pak Wahyu… dia
langsung menyalamiku.
“Terimakasih do'anya adik Iyan…” katanya sambil air
matanya mengembang di pelupuk mata, lalu
memelukku dengan erat, jelas Edi makin bingung.
“Ini sebenarnya ada apa…?” tanya Edi setelah
pak Wahyu melepaskan pelukannya padaku, dan
kami semua duduk, Mbak Asih mulai cerita.
“Begini lho Ed..” kata mbah Asih mulai cerita,
“Kamu kan tahu, aku dan Mas Wahyu sudah
berumah tangga selama hampir 12 tahun tapi
ndak juga di karunia anak,”
“Terus?” sela Edi tidak sabaran.
“Kami juga sudah berusaha dengan berbagai
cara, ke doktor, ke dukun, ke shinshe, ke
paranormal, tapi hasilnya nihil, sampai rumah
tangga kami sudah berumur 12 tahun, tetap saja
kami tak punya anak, Nah, pada minggu yang lalu,
waktu Adik Ian kemari makan sendiri, iseng-iseng, kami minta didoakan, supaya mendapat
keturunan, lalu nak Iyan mendoakan, dan
seminggu kemudian aku mual-mual terus, lalu ku
periksakan ke doktor kemaren, Dan ternyata aku
dipastikan positif hamil, jadi kami teramat
berterimakasih sama nak Iyan,..” Edi menatapku.
“Wah, diam-diam kamu paranormal?” tanya Edi,
sambil matanya dipicingkan.
“Wah kalau berdoa., kamu juga bisa, berdoa juga
ajarannya Nabi, Apakah Nabi itu, nabinya
paranormal?” tanyaku balik, yang memang orang
kayak Edi, yang hidup bebas, pemuda yang tanpa
kendali siapa pun, Mungkin jangankan berdoa,
mungkin sholat saja, setahun bisa dihitung dengan
jari, Aku juga maklum, Maka Aku memilih tak
memperuncing masalah.
“Ooo gitu jadinya.”
“Pak Wahyu, Mbak Asih, lha, ndak usah Aku musti
makan gratis di warung ini toh, berdoa itu juga
kan ndak pakai biaya, juga belum tentu, hamilnya Mbak Asih kerana doaku yang diijabahi Allah.
Jadi ndak usah memintaku makan di sini gratis,
kayaknya kok ndak etis, rasanya juga ndak pantas kalau mendoakan minta balasan.” kataku
perlahan.
“Wah ndak bisa, pokoknya dek Ian harus makan
di sini terus…!” kata Mbak Asih sama pak Wahyu
hampir berbarengan, “ Itu sudah nazar kami…”
kata mereka.
“Wah, kalau gitu ya susah…” kataku berat.
“Sudah kalau kamu ndak mau, biar aku yang
gantiin… wong dikasih enak kok ndak mau..” kata
Edi bercanda dan menyeretku keluar warung dan
berjalan cepat ke arah plaza.
Pagi itu Aku dipanggil pak Sugeng,
“Ian, kamu
dapat kerjaan di toko sepatu Bata, mahu nggak?” tanya pak Sugeng ketika aku ada di depannya,
“Ya mahu saja pak..” jawabku.
“Tapi syaratnya kamu musti potong rambut, kamu
potong rambutmu yang panjang itu, mahu kan?”
tanya pak Sugeng lagi sambil melihat rambutku
yang panjang sepunggung dan ku ikat ke
belakang dengan karet/getah.
“Ah, kalau syaratnya itu ya tidak usah aja lah Pak.” kataku berat
“Lho kok gitu, lha apa susahnya motong rambut,
tinggal bawa ke salon, potong selesai, ndak
sakit.” kata pak Sugeng bercanda.
“Ya bukan masalah itu pak, tapi ini ada
maksudnya sendiri.” kataku berkilah.
“Maksud sendiri gimana? Lha, kalau kamu potong
dan kelihatan rapi, juga pasti tambah ganteng.”
kata pak Sugeng ngojok-ojoki,
“Sudah lah pak mending gak usah kerja aja Aku,
dari pada disuruh potong rambut.” jawabku agak
ndumel. Lha, kok syarat kok aneh-aneh, Walau dalam fikiran wajarku, ya sebenarnya sah saja kalau
kerja jadi pelayan toko itu harus rapi.
“Lagian Aku juga ndak punya baju yang rapi pak,
celana juga se blongsong ini aja, yang sudah koyak
sana-sini jadi ndak usah lah kalau syaratnya
aneh-aneh, Nanti dituruti malah syaratnya
nambah aneh lagi.” kataku membuat alasan.
“Ya, sudah kalau gitu nanti saya bagitau sama Pak
Joko, pemilik toko sepatu Bata itu..” Pak Sugeng
berlalu sambil menepuk bahuku, menyuruh
kembali ke tempat kerjaku.
“Ian dicari Mbak Lina…” kata Edi setelah Aku
sampai di tempat toko, tempat biasa Aku
nongkrong.
“Lina siapa? Aku ndak kenal.” kataku acuh.
“Itu Lina yang punya Butik sebelah sana.., “ kata
Edi lagi.
“Ah, Aku ndak kenal kok, malu ah..” jawabku
sambil duduk di kursi dan buat TTS (Teka-Teki Silang) biasa tiap
yang jaga toko untuk mengisi waktu luang biasa
dipakai mengisi TTS, dan Aku juga ikutan
keranjingan-kecanduan, kayaknya waktu tak kerasa cepat
berlalu kalau dipakai ngisi TTS.
“Kamu yang namanya Febrian?” tanya suara
merdu di belakangku.
“Aku pun menoleh, dan ku lihat gadis cantik
kuning langsat, dengan rambut sebahu, dan
aroma wangi bunga menabur. Jadi nafas sesak saja, dan wajahnya memang cantik banget, Menurut
ukuran Aku yang orang Desa, Juga kulitnya halus
mengkilat, kayak biasa mandi susu, bibirnya tipis
dipoles lipstik warna natural, alisnya tertata rapi
serasi dengan hidung yang kecil bangir dan mata
yang indah lucu. Sebentar Aku terpana, Ya, Maklum kayak melihat boneka saja, Maklum orang
desa.
“He-eh, ” jawabku tanpa ekspresi. Dia mengulurkan tangannya.
“Kenalin aku Lina…” katanya masih dengan suara
merdu. Setidaknya merdu menurut telingaku,
yang kali aja sudah diubek-ubek syaitan, ku jabat
tangannya, hm… halus banget kayak megang meg
aja. Kayak ndak kerasa, terus terang bayanganku
malah kemana-mana, Ya ndak usah munafik,
terus terang belum pernah ku jabat tangan
sehalus itu, kali ini tangan ndak pernah dipakai
kerja, dan di rendam sama handbody semalaman,
jadi halus banget, Ya, itu menurut prasangkaku.
“Yuuk main ke Butikku..” katanya tanpa basabasi, Wah kalau diserang langsung tanpa tedeng
aling-aling kayak gini Aku malah keki.
“Anu.. Mbak.. uh.. ak.. Aku lagi kerja.. nanti
dimarahi Pak Sugeng.” kataku mencari alasan
sekenanya. Lagian kalau dekat cewek terlalu
cantik Aku jadi agak keringatan dingin, Entah
kenapa kok gitu. Padahal kalau dekat sama nenek-nenek tak sampai keringatan, Ini kalau dekat cewek agak di atas takaran bayanganku tentang
cewek cantik jadi keringatan ndak karuan, gopoh,
entahlah.
“Sudah ndak apa-apa, Om Sugeng baik kok sama aku,
ndak bakalan apa-apa,” tambahnya
memojokkanku.
“Ya, sudah Yan sana aja…” kata Edi dari jauh dan
lagi melayani pembeli sepatu. Tapi Aku diam aja.
“Ehm.. bagaimana ya… nanti aja deh Aku main ke
sana Mbak…” kataku, sengaja manggil Mbak,
supaya ada tercipta jarak.
“Benar lho ya.. nanti main, awas kalau enggak..”
katanya sambil berlalu. Aku agguk saja, sambil
pura-pura sibuk menata sepatu.., Ampun jadi keki
kayak gini serba salah,
Terus terang, kalau dalam hitung-hitungan kurang + tambah, kali x bagi, grogiku kepada cewek cantik
bukan kerana kurang pedenya Aku, Tetapi lebih
dititik beratkan pada mimpi yang sama, yang
sering mendatangi dalam bawah sadarku,
seorang tua berkepala gundul dan berbadan
gemuk, dengan wajah wibawanya yang
menciutkan nyaliku, orang tua itu selalu mengingatkanku, Jangan terlalu banyak bergaul
dengan wanita cantik, kerana itu godamu yang
utama, Jangan terjerumus dalam nikmat semu
yang tak ada nilainya, yang akan meruntuhkan
tingkat yang kau buat. Itu kata orang tua itu, Aku faham apa maksudnya tapi Aku juga lelaki
biasa. Yang ditakdirkan tertarik dengan lawan
jenis, dan ketertarikan itu wajar, setidaknya
menurut fikiran pembelaan terhadap nafsuku, Aku mencari pembenaran atas jawaban
pertanyaan di sudut hati setiap lelaki sejati, heh
lelaki sejati? Sejati dinilai dari mana? Jiwaku
berdebat. Ah, ada apa dengan wanita? Kenapa
wanita cobaan? Aku bukan orang suci? Ramai
tanya jawab dalam hati. Itu dialog syaitan dan Malaikat.
Malam itu toko seperti biasa tutup jam sepuluh
malam, Aku dan dua temanku Edi sama Ikram
pun berjalan keluar dari Plaza, tapi sampai di
halaman, sebuah mobil Avanza berhenti di depan
kami,
“Mbak Lina..” kata Edi perlahan di sampingku,
memang kaca mobil terbuka, dan muncul seraut
wajah ayu, yang sudah bikin aku was-was aja.
“Ayo masuk..!” katanya enteng dan merdu, kami
bertiga diam, Tidak ada yang menyahut, Ya, mungkin
kami ini orang yang terlalu miskin. Jangankan
naik mobil mewah, menyentuhnya saja tidak
berani, kerana mungkin sering melihat mobil
mewah yang kalau disentuh terus jadi bunyi tit-tit-tit, ribut banget, Jangan-jangan kami sentuh
nanti bunyi, Itu mungkin fikiran terlalu ndeso ya?
Ya, setidaknya itu mungkin salah satu pikiran dari
700 fikiran yang melintas di otak kami bertiga, Aku, dua temanku ini berfikir lain, Aku juga tidak
tahu, Tetapi, Aku lebih memilih fikiran yang simpel saja, Aku tak mahu mencari masalah, atau mencari pintu
menuju kesuntukan jalan fikiran, Menambah beban,
mungkin dari orang yang paling berfikir simpel, Aku mungkin adalah orang yang paling mencari fikiran yang paling mudah dan paling tidak ada
unsur rumit, bukan takut terbeban dengan fikiran, Tetapi takut membuang waktu percuma, Dan di akhirat nanti setiap tarikan nafasku
dipertanyakan, lalu Aku harus menjelaskan setiap
waktu yang Aku lewati, Ah betapa rumit, dan
lamanya. Simpel kan jalan fikiranku, kalau
menurut orang lain njlimet/rumit ya, Aku mahu bilang
apa?
“Ayo…!” kata Lina lagi.
“Kok malah pada bengong.” si Edi garuk-garuk
kepala, si Ikram ku lirik dlengeh senyum dikit saja, membuka bibirnya yang memang hitam sejak
dari sononya, Aku mahu bergaya apa, juga tidak
ingin, juga ku fikir tak ada gunanya, Maka. Aku manyun saja, Tersenyum enggak, Apalagi garuk-garuk, kerana tidak punya alasan untuk
menggaruk, lha, tidak ada yang gatal, terpaksa
diam manyun aja, atau tidak terpaksa, Tetapi
memang itu pembawaan orokku, cuwek, tidak
perduli, Tetapi akhirnya kami pun masuk ke dalam
mobil juga, Tidak tahu siapa yang mulai masuk dan
tidak tahu siapa yang ngasih komando, Ya, yang
jelas kami bertiga sudah ada di dalam mobil, Aku
sama Ikram di jok belakang, sementara Edi
duduk di depan sama Mbak Lina.
Dan mobil pun jalan, ku lihat wajah Ikram di
sampingku nampak tegang tapi tersungging
senyum, Tetapi Aku biasa saja, Apa ketegangan
yang disemburatkan di wajah Ikram ini kerana
naik mobil mewah ini atau kerana naik mobil yang
dipandu si cewek cantik dan kayak Lina? Atau
kerana alasan lain, Aku tak bertanya, dan tak
ingin bertanya kerana itu pasti kan membuatnya
tersinggung dan tak nyaman di sampingku, Biarlah kami menyimpan alasan masing-masing,
sejahat atau sesadis alasan apapun asal masih
disimpan di dalam hati kurasa tak
membahayakan orang lain, dan masih tak
terjangkau hukum dunia manapun, Jadi andai
Ikram punya alasan yang teramat sadis Aku tak
mahu mempertanyakannya, dari pada alasan itu
kalau ku tanya jadi keluar dan teramat
berbahaya,😓
Mobil sudah jalan, mungkin Aku tak punya
bayangan punya mobil mewah, atau mungkin tak
punya keinginan seujung rambut pun untuk naik
mobil mewah, Malah punya 1 baut/nut saja tak
terbayangkan, dan tak termimpikan, Jadi, Aku
biasa-biasa naik mobil mewah, tidak geli, tidak merasa apa-apa, Juga tidak enak, Malah
menurutku enakan tidur molor di kasur yang sudah kempis kerana kapuknya sudah nipis, tidur,
dan tidur menunggu pagi.
“Mahu kemana nih?” tanya Mbak Lina membuka
pembicaraan, kayak orang pikun saja, lha wong dia, yang mengajak kok malah bertanya, Tetapi pertanyaan ini
jelas bukan pertanyaan orang yang lupa jalan.
“Lha, kemana toh Mbak, Mbak Lina kan yang ngajak
kita, ya kita mengikut saja.” ku dengar jawaban Edi,
bukan jawaban guru agama atau wakil Parlimen, Tetapi
jawabannya menurutku cukup diplomatik. Setidaknya dalam mobil yang lagi jalan ini,
kerana tidak ada suara lainnya,
“Bagaimana Mas Ian? Kemana kita?” tanya mbak
Lina lagi ditujukan ke arahku, tanpa matanya
beralih ke jalan.
“Ya kemana saja…, lha, kok malah tanya, dibawa
kemana juga kita tidak bakalan melawan.” jawabanku lebih aneh di telinga siapa pun,
bahkan di telingaku sendiri, bahkan Aku tidak
berfikir kalau jawaban itu kayaknya lebih pantas
diucapkan oleh orang yang dalam keadaan di
sandera,
“Ya, sudah ke restoran saja ya…?” tanya Mbak Lina
lagi, Aku cuma mendengus, tapi dalam fikirku, la
daripada ke Restoran mending ke Warung Bakso,
atau ke Warung Mie Ayam, Mungkin apa yang ku fikirkan tidak jauh beda amat dengan apa yang
difikirkan oleh Edi atau Ikram, Ya, mengingat
pengalamanku sendiri, Mungkin juga pengalaman
mereka, kalau di restoran itu kebanyakan
menjual gengsi saja, kalau enaknya makan ku rasa tidak mengalahikan enaknya makan bakso, panas asli,
atau mie ayam, habis makan lalu merokOk, Tetapi ini
kan dalam mobilnya Mbak Lina, kayaknya
bayangan pentol bakso harus dibuang jauh-jauh,
dasar wong Aku ini orangnya ndableg, tetap saja Aku bertanya.
“Lha, ada baksonya tidak Mbak di sana?” tanyaku
kayak anak kecil yang merasa khawatir dengan
sesuatu yang tak didapat.
“Ada kok Mas Ian, teringin bakso ya?” tanya mbak
Lina sekaligus memberi jawaban atas
pertanyaanku, Ikram mencolek tanganku, lalu
bisiknya,
“Jangan kampungan, bikin malu.” Aku cuma
mengsem, lha, orang takut dibilang kampungan, lalu
kelaparan kerana mempertahankan gengsi yang
tak ada isinya, dan tak ada nilainya. Setidaknya
menurut pandanganku, lebih baik jujur saja, dari
pada habis makan nggrundel/merungut, kerana makanan tidak enak, lha, kok tidak besyukur itu kok salah satunya muncul dari sikap yang kayak gitu, ndak
jujur, jadi yang diperoleh tidak sesuai takaran
yang diinginkan, Akibatnya nggrundel, kalau
dalam hal makanan, Ya kok kayaknya saru,
nggrundeli makanan yang sudah terlanjur
ditelan,
Tetapi, Aku rasa juga banyak orang yang
melakukan hal yang seperti itu, nggrundeli
makanan yang sudah di telan, lha, kayak makanan
yang sudah di telan itu mahu untuk tabungan saja,
atau mahu untuk membuat apa gitu, lha, kok
menurut Aku keterlaluan banget nggrundeli, Makanya Baginda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam melarang banget
nggrundeli makanan yang tak kita sukai, kerana
makanan itu hanya untuk mencetak kotoran, yang
susah-susah kita cetak juga ujung ujungnya
dibuang, Tidak ada orang yang kotorannya
dipajang di lemari sebagai hiasan, Walau kotoran
itu dari barang yang paling mahal sekalipun, yang
harga seporsi mencapai jutaan.
Tak terasa mobil berhenti, dan kami turun
semua, ku lihat restoran lumayan mewah, dan
kami masuk berendeng di belakang Mbak Lina, Nampak pelayan restoran juga sudah akrab
sekali dengan Mbak Lina, menunjukkan Mbak Lina
sering masuk ke restoran ini, kami bertiga pun duduk mojok kayak orang Asing, Yah, malah kayak
tawanan yang telah benar-benar ditaklukkan, Mbak Lina yang wira-wiri, milih makanan,
“Kamu mahu pilih makanan apa Mas Yan?” tanyanya padaku, Aku diam, Ah repot amat, Apa tidaknya, di sini nama makanan jadi aneh-aneh, lha, mahu
makan apa juga jadi repot pesannya, pesannya
harus dengan gaya gengsi yang tinggi, Mungkin
nama bakso juga jadi berubah di sini,
“Mbakso benar ada Mbak di sini?” tanyaku, cuma
dijawab mantuk oleh Mbak Lina, lalu dia
pesankan, dan penilaianku ternyata tidak jauh
meleset, baksonya tidak enak. Air kuahnya saja
dingin, lha, ini bakso apa sirap? Tetapi, Aku tidak
ngedumel ku seropot saja, Ikram sama Edi
pesan nasi goreng, Lhah. dasar orang kampung di
restoran juga tetap pesannya balik-balik nasi
goreng.😊 [HSZ]
To be Continued.....
Untuk Anda yang belum baca siri ini yang sebelumnya,
Anda boleh baca disini ; KISAH SUFI, SANG KYAI
Ilustrasi Image; Doc, Fortuna Media
VIDEO ;
No comments
Post a Comment