KISAH SUFI, SANG KYAI [15 ]

<img src=https://fazryan87.blogspot.com".jpg" alt="KISAH SUFI, SANG KYAI [15 ]">

KISAH SUFI, SANG KYAI [15 ]

  • Pada siri Sang Kyai 14 Sang Kyai terus melanjutkan perjalanannya, setelah Sang Kyai dibawa Eka Damayanti jumpa Ibu-Bapanya.

  • Dan Eka memberinya wang untuk bekalan perjalanana wang. "Aku kaget ternyata yang ku serahkan wang seratusan ribu. Aku terima kembali wang dari kondektur itu, lalu kembali merogoh ke dalam amplop, tapi tiap ku keluarkan ternyata semua seratusan ribu, Wah, jadi Eka memberikan wang padaku 1 juta",
  •  Di Bojonegoro kembali Aku turun di stesyen kereta api.

 FORTUNA MEDIA - Malam itu kembali Aku menginap di stesyen kereta api. Besoknya Aku naik kereta api KRD ke Surabaya. Setelah dapat tempat duduk, Aku pun tenggelam dalam wiridku. Kereta api belum juga berangkat, walau jam telah melewati waktu jadwal keberangkatan.

Di sebelahku ada kursi kosong, datang seorang pemuda kurus ceking dan duduk di sebelahku, “Assalamualaikum Mas…”  Sapa pemuda kurus di sebelahku.

 “Wa'alaikum salam….”  Jawabku acuh, kerana masih tenggelam menulis lafaz Allah di kalbuku.

“Maaf Mas, mengganggu….”  Katanya.

“Tak apa-apa, wong tempat duduk ini disediakan untuk penumpang.”  Kataku tak acuh.

“Bukan itu Mas, maksudku Mas itukan yang gila di stesyen Bojonegoro?  Sebab tadi saya tanya para pedagang asong, kalau yang selama ini jadi orang gila di stesyen itu Mas.” 
Kata lelaki ceking itu, dan membuatku terperanjat.

 “Ada apa sampean mencari saya?”
Tanyaku heran.

“Anu Mas, biar saya ceritakan saja diri saya, saya dari keluarga berbagai macam agama, di keluarga saya ada yang Hindu, Budha, Kristian, dan saya bingung mahu milih agama apa? Saya pernah mencoba berbagai agama, selain Islam, tapi saya tak pernah merasa sreg dan cocok. Nurani saya mengatakan semua tak benar, Nah seminggu yang lalu saya ke salah-satu Kyai di Kediri minta petunjuk, lhoh, kok dia malah menyuruhku minta petunjuk pada orang gila yang masih muda, berambut gondrong yang ada di stesyen Bojonegoro. Kemaren saya sudah datang di stesyen, tapi orang gila yang dicirikan oleh Kyai Kediri itu tidak ada di stesyen Bojonegoro, Lalu saya malamnya menginap di rumah seorang kenalan. Lalu tadi pagi saya datang lagi ke stesyen, saya cari-cari, juga tak ada. Lalu saya tanya pada penjual asongan ciri-ciri orang gila yang ada di stesyen, pasti mereka pernah melihat, Lalu mereka pada menunjukkan Mas, yang saat itu tengah duduk di bangku, saya ragu, sebab Mas tak seperti orang gila. Maaf, pakaian, tubuh, juga tampang bersih, jadi saya ragu, Lalu Mas naik kereta api jurusan Surabaya. Ya, daripada pencarian saya tak mendapatkan hasil. Maka saya samperin saja mas, dan inilah yang terjadi".

 “Siapa namamu?” 
Tanyaku.

 “Saya, Arifin, Mas, dari Jombang. ” jawabnya.

 “Lalu apa yang kau inginkan dariku?”

“Aku minta petunjuk dari Mas, apa yang harusnya ku lakukan?”  Katanya, sementara keretaapi mulai jalan.

“Kau sudah mendapat hidayah dari Allah, memeluk agama Islam. Adalah hidayah yang lebih mahal dari nyawa, kerana apa gunanya amaliyah segunung, kalau tidak Muslim. Maka tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali kebaikan di dunia. Di akhirat hanya menerima rentetan siksa demi siksa tanpa ujung dan perhentian, Maka jika kamu bisa menjadi Islam, sungguh suatu karunia yang tiada terkira. Di suatu Daerah Aku pernah melihat anak kecil seorang anak keluarga Kristian. Tetapi aneh. walau anak itu baru berumur 10 tahun, dia telah masuk Islam. Tanpa ada yang mengajak. Waktu ulang tahunnya yang diminta ke orang tuanya apa? Peci, baju taqwa, dan sajadah. Lalu dia ikut jamaah di Masjid, orang tuanya tahu 
itu kemudian marah, dia dipukul sampai babak belur, disiksa. Tetapi tetap saja dia ke Masjid. Nah itulah hidayah dari Allah Ta'ala,”

 “Aku jadi merinding Mas, lalu apa yang harus ku lakukan Mas…?”

“Pergilah ke Kyai Maimun Zubair, Sarang Rembang. Ceritakan keadaanmu, dan mintalah di Islamkan.”


 “Prak… bug… prak..!”  Tiba-tiba terjadi keributan  dalam keretaapi. Tepat di depanku dua preman berantam, dan terjadi pergumulan yang seru, kerana entah merebutkan apa. Nampak pemuda yang satu sudah benjol wajahnya karena dipukul. Para penumpang menjerit. Tiba-tiba pemuda yang benjol mencabut pisau dan dihujamkan ke pemuda musuhnya.

Sepersekian-detik, Aku tak sadar begitu saja melompat, tanganku menangkis pisau. Hingga pisau mental. Dan otomatik Aku di tengah jadi sasaran pukulan kedua preman yang telah gelap mata. Kedua tanganku ku bentang menangkis kedua pergelangan dua pemuda itu, “krak..!”  Kedua pemuda itu mengaduh dan mundur memegangi pergelangan masing-masing, keduanya menatapku, heran dan ada pandangan 
takut. Padahal body keduanya besar jauh di atasku,

“Kalau bikin ribut dalam kereta, ku lempar kalian keluar…!” Bentakku.

“Enggak Mas…! Enggak.,”  Jawab mereka berdua mundur-mundur, dan sebentar datang kondektur menenangkan suasana, dan Aku pun duduk di tempat dudukku semula.

“Wah, Mas berani, Aku sudah takut kalau sampai ada yang terluka,”  Kata Arifin.

 “Ah tak apa-apa, cuma anak berandalan.”  Kataku tenang.

“Lalu bagaimana Mas, tentang saya?”


“Iya kamu pergi saja ke Pesantren Sarang Rembang.”  Kataku menerangkan agak keras, kerana suara rem/brek kereta api yang berderit keras, dan kereta perlahan berhenti di stesyen Babat.

 “Aku turun sini saja.” 
Kataku pada Arifin.

“Lho, ndak ke Surabaya toh Mas?”  Tanya Arifin.

“Enggak.”  Jawabku sambil lalu berdesakan dengan para penumpang yang mahu naik kereta. 


Setelah turun kereta api, Aku pun mencari warung untuk sarapan pagi, ku masuk sebuah warung dan memesan pecel khas Lamongan, makan dan sambil memandang orang yang lalu lalang. Seharian tak ada aktiviti yang ku lakukan, kecuali diam di Mushola stesyen menjalankan wirid sampai tertidur. Lalu sholat Zuhur dan wirid lagi, tenggelam di dasar suara hati. Malam itu, sekitar pukul 3 dini hari, Aku tidur sendiri di Musholla stesyen. Tiba-tiba serasa ada yang membangunkanku. Aku terperanjat dan bangun, tengak-tengok tak ada siapa-siapa, Aku hairan, lalu siapa yang membangunkanku?

Aku bangkit dan keluar dari Mushola, di luar segera angin dingin berhembus, menebar bau minyak pelumas roda kereta yang tercecer, suasana teramat hening, tak ada seorangpun berkeliaran, ku berjalan ke salah satu kursi tunggu, duduk dan mengeluarkan rokOk Djarum dan menyalakan dengan korek. Belum sampai lima menit Aku duduk di kursi tunggu, kereta api barang tiba dari Surabaya, suara rodanya beradu dengan rel menjerit memekakkan telinga, kereta berhenti perlahan.

Beberapa penumpang gelap melompat dari sambungan gerbong, turun, Aku tetap santai menikmati hisapan demi hisapan rokok. Tiga penumpang, yang turun dari sambungan gerbong ternyata pemuda-pemuda, dan ketiganya menghampiriku, dan Aku kaget, ternyata salah satunya adalah pemuda yang kemarin siang ku tangkis pisaunya,

“Benar ini orangnya.”  Kata pemuda yang kemarin ku tangkis pisaunya.

 “Wiiit… wiiiet..!” 
Pemuda yang lain bersiul nyaring. Dan dari setiap gerbong melompat pemuda, dan banyak sekali, dan membuatku tergetar juga. Mungkin sebanyak 20 orang atau bahkan lebih, dan kilauan pedang di setiap genggaman mereka.

“Apa mahu kalian?”  Kataku berdiri dari kursi, dan menikmati sedotan terakhir dari puntung rokok yang ku pegang. Ah mati aku, tentu mereka akan mengeroyokku, Aku membayangkan tubuhku dicacah pedang dan dibiarkan tergeletak dirubung lalat, dan kemudian dibungkus tikar, lalu tercatat di surat khabar, seorang 
gelandangan dibunuh di stesyen. Dan Ayah-Ibuku menangisi kematianku, Ah betapa pendeknya usia, berdesir darahku, suara jantungku bledag-bledug tak karuan, Aku manusia biasa, yang tak tahu bila akan mati, dan akan mati yang bagaimana?

Ah, benar-benar membuat keberanianku kuncup, terbang atau entah kemana? Aku jadi ingat waktu jadi ketua genk dan dikeroyok 20 orang. Dulu Aku nekad, tapi sekarang, hidup dengan iman begitu nikmat dan mengasyikkan. Andai disuruh memilih mati yang bagaimana? Aku lebih memilih mati dalam keadaan sholat, tidak mati dikeroyok, tapi apa dayaku, Aku coba tenang dan membangkitkan tenaga yang selama ini mengeram di pusarku. Walau ku lihat sudah tidak keburu/sempat, kerana kulihat semua orang telah merangsek maju, memburu menikam dan membacok tubuhku, Aku hanya sempat mengucap takbir, melompat maju, membuat perlawanan sekenanya…. Berkelit kesana sini dan melepas bogem, sekenanya, tanpa memilih mana dan siapa yang kupukul, yang jelas perlawanan kerana

ditimbulkan dalam kepanikan. Tetapi hatiku yang telah tiap hari ku gantungkan padaNya tak lupa berdoa, “Wahai Dzat, Wahai Kekasih…, Apakah Engkau biarkan Aku teraniaya mati di sini? Engkau yang lebih kuasa dari segala sesuatu….”

Mungkin baru 2 orang yang kupukul, dan dalam kengerian dan kepengecutanku Aku memukul dengan mata terpejam teramat rapat. Suasana sepi, Aku belum membuka mata, Apakah aku telah mati? Membuka mata ku rasa lebih menakutkan. Tanganku masih mengepal gemetar, mata masih terpejam, suara kereta api barang telah tak ada, bau minyak rem, terbawa desir angin. Apakah Aku yang telah mati dan beginikah rasanya. Tetapi kenapa tak kurasakan sakit sama sekali. Sakitnya nyawa dibetot/direnggut dari badan. Nyawa yang dibetot dan kerana telah terikat dengan urat-urat maka akan menyisakan sakit di sekujur badan, kerana urat-urat semua akan putus. Dan rasa sakitnya akan sampai kiamat masih terasakan. Setidaknya begitu yang kubaca tentang ruh dari kitab kitab kuning.

Tetapi ini Aku tak merasakan sakit sama sekali, perlahan ku buka mataku sebelah, memicing. Sebab begitu takutnya Aku andai menyaksikan kenyataan yang pahit, yaitu Aku telah mati. Ah, Aku masih berdiri, dan tak ada orang lain yang berdiri kecuali Aku, lalu kemana semua penyerangku? Aku heran ku lihat semua terkapar, bukan hanya 3 langkah di depanku saja, tapi ada juga yang kelihatannya baru mahu berlari ke arahku juga nyungsep tak bergerak, perlahan ku teliti satu persatu, semua pingsan. Hairan? Jelas Aku haian, dalam angan anganku yang terkapar harusnya Aku, mengapa malah para pengeroyokku?

Sambil ku seret tubuh pemudapemuda yang pada pingsan itu dan kukumpulkan menjauhi rel kereta api, takut kalau ada kereta yang lewat, dan terlindas, Aku memikirkan siapa orang yang telah membantuku, menundukkan semua pengeroyokku? Tapi andai manusia dan punya ilmu yang teramat tinggi, dan bisa bergerak demikian cepat, tentu Aku masih merasa kehadirannya, tapi ini kehadirannya tidak kurasakan, Ah entahlah mungkin 
pertolongan Allah Ta'ala, Membuat pingsan orang satu negara saja bisa, apalagi cuma beberapa segelintir orang, biarlah semua jadi misteri. Ku kumpulkan beraneka macam senjata yang akan dibuat menyerangku, ada pisau, golok, pedang, pentungan, semua ku buang ke tempat sampah di pojok stesyen. Lalu Aku mengambil air wudhu' dan melakukan sholat malam, terdengar sayup azan pertama, dari Masjid Muhamadiyyah. Aku wirid sambil menunggu saat memasuki waktu Subuh.

Dua hari Aku masih di stesyen Babat. Dan malam berikutnya, mungkin musim kemarau, udara terasa panas, sehingga Aku duduk sendiri, mencari udara yang agak tak terasa gersang di perasaan. Malam telah menunjukkan jam 2 dini hari, sambil memutar tasbih, Aku duduk di kursi peron, kulihat seorang wanita tua tidur mendengkur di pojok dekat pintu. Menunggu dagangan pecel, yang akan dijual besok hari,

Ah,  kejamnya dunia, bagaimana orang setua itu masih menanggung kepahitan hidup, kadang anak-anaknya, menunggu di rumah, untuk meminta uang dengan marah-marah, lalu dibuat 
hura-hura, Aku ingat tetanggaku si ZUHDI yang selalu mengejar-ngejar orang tuanya dengan parang hanya untuk minta wang buat mabuk-mabukan. Salah siapa sebenarnya, kegetiran hidup dirasakan hampir seluruh lapisan bawah, Rakyat Negeri Indonesia ini? Jerit rakyat, tindihan keluarga, keadilan yang diputar balikkan, seperti mengikuti tangan penguasa kemana mengarahkan,

Ah entahlah, terlalu rumit, kenyataan dan terlalu pahit untuk dirasakan. Moga-moga saja mereka masuk syurga. Walau di dunia tak dapat kebahagiaan, setidaknya di akhirat masih ada harapan, ku teruskan wiridku, sambil kaki selonjoran di kursi, Malam mulai membawa angin segar angin pagi… , udara sejuk, mengalir menghembus tubuhku. Kulihat seorang pemuda berjalan kearahku dari depan stesyen, Aku menengok, ketika langkah kakinya terdengar di telingaku, kemudian dia duduk di kursi, dari dua kursi yang ku duduki, mungkin umur pemuda itu dua tahun lebih tua dariku, wajahnya mengguratkan keresahan hati, duduknya serba tak tenang, setidaknya di  
penglihatanku.

Saat malam makin mendesirkan kesunyian yang rindu akan suara, geseran tubuh pemuda itu terdengar jelas, seperti mengganggu ketentraman, dan konsentrasi wiridku. Tiba-tiba dia berjalan ke arahku, dan berdiri di depanku.
 “Sendiri mas?” Tanyanya sekedar basa basi, atau ngomong sembarangan dari pada tidak ada yang diomongkan,

“Iya, ”  Jawabku singkat, tanpa nada suara yang meledak.

“Apa ndak khawatir Mas sendirian?” Tanyanya lagi.

“Khawatir kenapa?”  Aku balik bertanya.

“Ya, kalau-kalau dirampok orang.”

“Apa yang harus dirampok dariku? Lha, wang seripis saja ndak punya.”  Jawabku dengan tertawa, walau tidak tertawa getir.

“Menginap saja di tempatku…!”
Katanya, dengan nada yang Aku mencium, entah apa terasa di telingaku, kurang berkenan,

“Ah ndak lah, Aku biasa tidur di sini, kemaren juga tidur di sini…."


“Nggak Mas, di tempatku juga ndak ada orang, jadi kalau mahu, menginap dan tidur sepuasnya juga tidak ada yang akan menyalahkan…”

Setelah dibujuk-bujuk akhirnya Akupun mahu, kami berjalan menyelusuri lorong-lorong dekat pasar Babat. Dan dalam perjalanan pun kami saling ngobrol, dan ku kenal, pemuda itu bernama Hendra. Rumah Hendra tak terlalu besar, walau tidak bisa dikatakan kecil, cat rumah juga sudah banyak yang terkelupas, ada kesan rumah yang tak terurus, atau orangnya yang malas ngurus, segala macam pakaian tergantung, dan menumpuk di sana-sini, Yah, mungkin Hendra ini, terlalu malas, setidaknya seukuran orang yang tak punya Istri, Aku disuruh duduk di kursi, yang teramat apek, mungkin lebih nyaman di stesyen, Aku pun mendudukkan p4ntat di kursi, yang busanya sudah pada bolong, mungkin dimakan tikus yang mencari makan sudah tidak ada yang lain, jadi busa juga dimakan. Mungkin dibayangkan sebagai roti, Ah apakah tikus juga berkhayal seperti manusia.

Hendra keluar dari kamar, dan mengajakku masuk,
“Ayo Mas masuk, Maaf, kamarnya berantakan banget.”  Ah, ndak usah dia bilang berantakan, Aku juga sudah tahu. Ah. kamarnya juga gelap sekali, lampu bohlamp, cuma 5 watt, dan sudah banyak dihinggapi sarang laba-laba, benar-benar tak ada nyamannya sama sekali. Mestinya kalau tahu begini, Aku tadi tidak mahu untuk diajak ke rumahnya, kulihat tape recorder dan amplifier terletak begitu saja di tanah, dekil, dan kelihatan jarang disentuh, atau yang bersih cuma pencetan/tombol playnya, Entahlah Aku seperti merasakan suntuk yang teramat sangat, kok kerasan Hendra tinggal di rumah, dan kamar yang seperti ini….,

“Ayo tidur, atau mahu ngobrol aja?”  Katanya mengagetkanku. Aku tak menjawab, tapi langsung merebahkan diri, ke atas kasur, yang tak berkapuk lagi, mungkin telah teramat tipis, setipis triplek…, rasanya makin penat saja, tapi ke relakan urat-uratku, yang sebetulnya tak pegal…, Hendra pun ikut naik ke atas ranjang, sehingga Aku yang mepet- ke tembok. 

Tiba-tiba tangan Hendra memelukku, Aku menepiskan,
 “Apa-apaan sih Ndra…!”  Kataku agak jengkel dan risih.

 “Ah masak nggak ngerti..” 
Kata Hendra sambil tangannya berusaha didekapkan ke arahku. Ah dah gila ini orang, kembali kutepiskan tangannya,
“Ayolah Mas, kita kan sama-sama dewasa, masak Mas ndak ngerti….”  Katanya dengan nada merajuk.

“Sialan kamu jangan macam-macam..”  Kataku jijik.😫


 “Apakah Aku harus main paksa…?”  Kata Hendra dengan tangannya cepat memelukku. Tetapi tangan itu segera ku tangkap pergelangan tangannya, dan untung dulu pernah tahu ilmu gunting, yang melatihnya dengan menjepit besi sampai gepeng, begitu tangan Hendra dalam genggamanku, rapal pun ku ucap, Hendra menjerit, “Aduuuh sakit Masss…!”

“Jika Aku ingin mematahkan tanganmu, sama mudahnya mematahkan roti kering…”
  Kataku 
bukan sekedar mengancam, dan mempererat cengkeraman, sehingga Hendra menjerit kencang.

 “Apa mahu ku patahkan?” 
Tanyaku, sementara Hendra telah memelintir, melintirkan tubuh menahan sakit yang teramat sangat.

“Ampuuun-ampuun Mas…, Taubat…!”  Katanya, matanya mulai basah, entah kerana rasa sakit yang di rasakan atau kerana memang dia menyesali dengan apa yang telah diperbuat, dan Hendra pun benar-benar menangis…., Akupun melepaskan cengkeraman tanganku, di pergelangan tangannya, ku lihat pergelangan tangan Hendra membiru,

“Maafkan Aku… masss…. Aku ndak tahu kalau Mas orang ada isi…”


 “Memang kalau Aku tidak berisi, kamu akan berbuat sekehendak hatimu?”

 “Aku ndak berani Mas,.. maafkan..”  Suaranya disela isak tangisnya


“Aku jadi begini juga kerana ada sebabnya Mas…, bukan kerana kelainan, tapi lebih kerana kekecewaan….”

“Apa maksudmu?”  Tanyaku yang mulai mengendap kemarahanku.

“Sudah nangisnya…!” 
Bentakku kerana melihatnya sesenggukan menangis. “Kamu itu lelaki, masak menangis.” Hendra terdiam, dan menghapus air matanya…

“Aku orang yang malang Mas…”  Katanya.

“Malang bagaimana… Apa kamu kejatuhan bom yang mahu dijatuhkan di Iraq sana…, kulihat tubuhmu juga masih utuh, ya kalau kamu kejatuhan bom, berarti kamu masih termasuk orang yang selamat, kerana seluruh tubuhmu ndak terluka,” jengekku/perliku.

“Mas jangan bercanda..” 
Kata Hendra.

“Bercanda gimana? Kan katamu kamu ini orang yang malang, lha malang saja, tubuh kamu masih utuh, sehat wal afiat tak kurang suatu apa… gimana Aku tak hairan, yang malang sebelah mana?” 


“Yang malang hatiku Mas…”

“Wah, kalau yang malang hatimu, itu pasti kerana polah tingkahmu sendiri, dan tak siapnya kamu menghadapi kenyataan.” “Ndra…! setiap orang itu mempunyai kadar rasa yang sama, rasa sakit, rasa senang, duka, kecewa, enak nikmat, pahit getir, semua mempunyai kadar yang sama, semua diberi keadilan untuk mengecap rasa itu, tergantung kita sendiri menyikapi, dan membuat ukuran kadar dalam peluapannya, ada orang mahu disuntik dokter, semua pasti merasakan yang sama, jarum menusuk kulit, tapi ada yang cuma njengkit kaget. Ada juga yang teriak, bahkan ada juga belum kena jarum sudah teriak-teriak, Jadi tergantung bagaimana, menyikapinya. Semua kembali pada diri masing-masing.”   Hendra cuma mantuk-mantuk, tak tahu faham apa enggak dengan keteranganku, wong Aku yang menerangkan sendiri saja bingung apa lagi yang mendengar, Ya dari pada tidak memberi solusi, lebih baik ngasih solusi, setidaknya untuk pengalih perhatian

“Sebenarnya masalah apa yang kamu hadapi?” Tanyaku menyelidik. Hendra menarik nafas panjang lalu berkata,

 “Begini Mas, aku pernah mencintai wanita, selama ini dia yang selalu aku idam-idamkan, selama ini dia yang selalu dalam angan dan fikiranku, selalu aku pikirkan, siang malam…”

“Terus bagaimana?”  Kataku tak sabar, mendengar kata muluk berbumbu tumpahan perasaan.

“Ya itu Mas … aku mencintai dia, menyayangi dia, bahkan sering memberinya hadiah-hadiah, kerana sayangku padanya.”  kata Hendra makin muluk-muluk.

 “Iya apa kamu sudah nyampaikan atau mengutarakan cintamu padanya?” Kataku tak sabaran.

“Itulah mas…”

“Itulah gimana maksudmu?”


 “Dah beberapa tahun itu pengutaraan cinta ku tunggu-tunggu, sampai ada waktu yang cocok…”

“Ah njlimet amat, masak mengutarakan cinta pakai waktu yang cocok? Jangan-jangan pakai hitungan 
Jawa, pakai hitungan weton, Kenapa tak langsung diutarakan…?”

 “Ya itu mas susah cari waktu yang pas…”

 “Lha kenapa gak pakai surat? Jadi waktu pengutaraannya tak usah banyak waktu plintat-plintut, tulis to the point I LOVE YOU, kan sudah, kenapa susah amat?”

 “Ya tak tahulah mas, yang jelas saya nunggu setahun sampai bisa mengutarakannya.”

“Lalu bagaimana?”

 “Ya saya utarakan… mas..”

 “Iya kelanjutannya bagaimana, maksudmu, kamu diterima atau ditolak?”

 “Aku ditolak mas…”  Jawab Hendra lemes, Aku cuma ketawa.😂

“Kenapa ketawa mas?” Tanya Hendra.

“Lha bagaimana tak ketawa, la cuma ditolak sekali saja sudah lemah, mutung, frustasi, hidup itu perjuangan Ndra, la orang bikin anak sampai jadi cewek yang kamu demeni(cintai) itu saja tak sehari-dua hari, la ditolak sekali, agak jual mahal, agak  
jinak-jinak merpati, la itu kan sudah sifatnya cewek, la kalau cewek nyeruduk saja, kayaknya kok tak ada seninya, kurang ada nilai lebih, Tidak ada gregetnya, ya tak?”

 “Tapi penolakannya itu langsung telak mas, aku dilarang datang, aku dilarang dekat-dekat dengannya.”

“Wah, itu mah wajar,”

 “Tapi dia bilang malu mas, kalau aku ada di dekatnya.”

 “Ah, alasan kan boleh saja dibuat, mahu alasan malu-mau alasan kamu bau… ckikikik…, lha wong alasan kok diributkan, dia mahu bikin alasan apa saja, kalau kamu gigih, ku kira juga dia akan takluk.” 
Kataku memberi semangat, sebenarnya maksudku, hanya menarik kembali Hendra dari jalan yang salah, jalan kepada penyimpangan s3x.

“Lalu apa yang harus ku lakukan mas?”

“Wah itu urusanmu sendiri, tapi kalau kamu mahu, aku akan memberimu amalan, supaya cewek itu kau dapatkan, kamu mahu?”

“Wah mahu-mahu mas…," 

“Tapi syaratnya berat Ndra…!”  Kataku, memancing kesungguhannya.

“Syaratnya apa mas? Apa mengambil tanah dalam kuburan?”


“Wah, ndak seberat itu Ndra, malah juga dibilang ini juga berat bagi orang tertentu…”

 “Terus apa syaratnya mas?”


“Syaratnya kamu jangan meninggalkan sholat, jangan minum-minuman keras, dan jangan kau pakai perempuan itu barang permainan…, bagaimana kamu sanggup?”

 “Cuma itu saja mas syaratnya?” kata Hendra,

“Lha, kamu sanggup tidak? Kan selama ini sholatmu jarang-jarang…,”

 “Lha kok mas tahu?”

“Wah, itu mudah ditebak Ndra..!”

“Aku sanggup mas…”

“Benar sanggup?”  Tanyaku meyakinknnya,

“Sanggup sekali mas…” 


“Baiklah, sini Aku minta pena sama kertas, biar ku tuliskan amalannya..”  Kataku yang segera dicarikan oleh Hendra dan tak sampai lima menit dia datang membawa pena dan kertas, dan amalan mahabbah pun ku tulis. Setelah menyerahkan amalan, dan memberikan pesan cara kerja dan bagaimana pakainya, Aku pun minta diri kerana hari telah menjelang Subuh.

Setelah sholat Subuh, Aku ikut kereta barang ke arah Surabaya. Jam satu siang sampai di stesen Pasar Turi, Aku tak bingung, walau tak pernah ke Surabaya, Yah,  bagaimana harus bingung, kerana bingung adalah hak bagi orang yang punya tujuan, sedang Aku tak punya tujuan sama sekali. Jadi Aku sama sekali tak mencari alasan untuk bingung, Aku duduk saja di kursi peron. Tidak seperti orang linglung, walau tak ada wang serupiah pun di kantongku, Aku tak takut, akan dapat makan dari mana. Walau aku juga manusia biasa, kalau boleh bilang Aku teramat lapar, Walau itu tak jadi beban fikiranku, Aku tekuni saja berzikir, tanpa henti dan tanpa bosan, kerana hanya Robku saja sandaranku. Dan yang Aku kenal sekarang ini, Aku yakin, kasih sayang-Nya 
melebihi kasih sayang Ibuku, perhatian-Nya melebihi siapa pun di muka bumi ini, Aku kemudian berjalan keluar stesen.., Tetapi baru keluar dari pintu seorang perempuan memanggilku,

 “Mas sini Mas…!”  Panggilnya. Aku segera mendekat, ku lihat dia membawa banyak jualan, yang ditenteng, yang dijinjing, juga yang digendong di punggung, tapi mulai diturunkan, Ibu itu mungkin seumur empat puluh tahun.

 “Ada apa Bu'?”  Tanyaku sambil mendekat, mungkin Aku diminta membantu barang bawaannya, fikirku. Dia membuka makanan dan meramu pecal, dan meletakkan satu paha ayam di bungkusan yang dipegangnya,

 “Ini makan…!”  Katanya menyodorkan sebungkus pecal yang diraciknya,

“Ah, ndak Bu'…”  Kataku mundur.

“Ndak mahu gimana? Sudah ini dimakan…!”  katanya berdiri dan menyodorkan bungkusan padaku

“Saya ndak punya wang Bu… Maaf…”  Kataku terus terang,

 “Yang menyuruh anak ini bayar siapa? Ibu hanya minta anak makan ini…”


 “Tapi Bu'…?”  Kataku masih belum menerima nasi bungkus pemberiannya.

“Sudah ini dimakan dulu.”  Katanya, yang tak bisa ku tolak, lalu Ibu itu mengeluarkan kursi dari dalam keranjang dagangannya dan menyuruhku duduk. Dan setelah menyatakan terimakasih, Aku pun makan dengan lahap,

“Tambah?” 
Tanyanya sambil menyodorkan segelas teh di dekatku.

“Ah, sudah Bu…, sudah kenyang sekali,”  Kataku.

 “Ibu bikinin lagi ya…” 
Tawarnya dengan pandangan kasih nan lembut.

“Sudah Bu'.., benar nih, sudah kenyang sekali,” 
Kataku, sambil meminum teh manis, tapi ku lihat Ibu itu masih membuat racikan pecal juga, dan membungkusnya dalam kresek, lalu disodorkan padaku.

“Ini, untuk bekal dalam perjalanan…”  Katanya sambil mengansurkan kresek ke arahku, dan memaksaku menerimanya.

 “Kenapa Ibu baik padaku?”  Tanyaku hairan.

“Nak… Ibu hanya minta kamu mendoakan Ibu..,”  Katanya menatapku dengan serius.

 “Mendoakan?”
Tanyaku hairan.

“Ah Ibu ini, saya ini dosanya terlalu menumpuk Bu, masak disuruh mendoakan? Ya apa diperduli oleh Allah, lihatlah pakaianku ini Bu kotor banget, dekil, kumal, jarang mandi,” Kataku sambil menunjukkan pakaian yang kupakai.

“Kalau begitu, kamu tak mahu ya mendoakan Ibu..?”  
katanya sambil air matanya mulai menetes…

“Oh.., mahu… mahu, Bu, mahu..”  Kataku gelagapaan melihat ibu itu mulai menangis, “Iya.., iya Bu.., kan ku dokan, ibu minta didoakan supaya apa?”  Tanyaku cepat-cepat supaya dia tak keburu menangis.

“Ya, Ibu minta didoakan supaya mati husnul khatimah.”  Katanya sambil mengusap air matanya dengan selendang, untuk menggendong jualan.

“Baik Ibu yang mengamini ya…, biar Aku yang berdoa,”  Kataku, kemudian mulai berdoa, Aku tak perduli setiap orang yang lewat menatap aneh padaku. Memang sejak pertama, Aku tak pernah perduli dengan orang lain, selesai berdoa, Ibu itu menggenggam tanganku, dan mengucapkan terimakasih, Aku juga mengucapkan terimakasih, dan pamit untuk melanjutkan perjalanan. Kemudian meneruskan mengayunkan kaki tanpa arah dan tujuan pasti, kerana memang Aku tak mahu disibukkan oleh arah, tak mahu dirisaukan oleh tujuan. Aku hanya ingin mengenal gerak gerik Allah Ta'ala dalam membimbingku. Menuju pencarian tanpa berkesudahan.  Melatih cinta dan tak menduakannya. Melatih tawakkal. Dan meresapi sunyinya bercumbu dengan kesunyian denganNya sendiri.  Walau dalam keramaian, tenggelam dalam samudra kepasrahan. Tanpa ingin ditolong oleh siapa saja, kecuali oleh rengkuhan kasih-Nya, tanpa embel-embel balas budi. 


Melangkah, melangkah, dan melangkah, Surabaya begitu luas. Aku kadang menyeberang, kadang berhenti di tepi jalan. Tidak terasa sandal jepit yang selama ini menemaniku telah tembus. Sehingga telapak kakiku berdarah, kerana sering tergores aspal panas jalan, juga mungkin tersandung batu. Sehingga tak ku fikir dan perhatikan, itu ku ketahui. Ketika sandalku telah putus, sehingga ku buang, Aku kaget, Oh Allah maafkan Aku, kalau hatiku sekejap melupakanMu kerana tersita oleh rasa sakit di kakiku, setelah sandal ku buang Aku pun berjalan lagi. Tidak ku perdulikan sudah lecet di kaki.

DI GEBUKI PENJAGA MASJID

Aku sampai di Tunjungan Plaza, di tahun 1994 Plaza Tunjungan mungkin yang terkenal di Surabaya, setidaknya itu menurut pandanganku, Aku duduk saja di sekitar plaza. Kalau malam kadang nongkrong dengan para pelukis jalanan, yang menggelar lukisan di sekitar plaza, kalau hari telah larut malam, Aku pun tidur di emperan toko, menggeletak saja tanpa perduli apa-apa. Untuk makan Aku kadang mengorek tempat sampah. Ada saja yang ku temukan, entah nasi bungkus, Entah roti berjamur, sekedar untuk mengganjal perut. Lalu kalau untuk Sholat Aku cari Musholla atau Masjid di sekitar, itu sampai beberapa hari.

Sampai suatu siang Aku jalan, Tanpa satu tujuan, dan sampai di Jembatan merah, plazanya baru dibikin, lalu ada truk/lory  berhenti, Aku pun naik, dalam fikirku, tak tahu Aku akan di bawa ke mana, yang penting truk ini berhenti. Maka Aku turun, lalu Aku tiduran dalam truk, sampai terbangun dan truk pun sudah berhenti, Aku turun, masih dengan kaki telanjang, hari telah beranjak malam, Aku berjalan, Setelah melihat tulisan yang terpampang di depan toko. Maka Aku pun tahu kalau Aku ada di Daerah Sidoharjo, Aku pun berjalan. Sampai kakiku menendang sesuatu, kerana gelap Aku teliti, ternyata sebuah sandal, sandal carvil, lumayan bagus untuk menjadi ganjalan kakiku yang telah lecet. Aku cepat-cepat mencari pasangan sandal, kerana yang ku temukan tinggal satu, ku cari kesana ke mari, kerana gelap lumayan susah juga. Walau akhirnya ku temukan, dan ternyata sudah putus jepitannya, lalu aku pun punya inisiatif untuk menusuk bawah jepitan dengan

paku, setelah mencari paku dan menusuk belakang jepitan dengan palu dari batu, sandal pun bisa dipakai, kelihatannya lumayan masih baru, mungkin dibuang orangnya kerana putus talinya saja, lumayanlah, sehingga luka di kakiku yang lecet tak sakit lagi karena terkena kerikil, ku lanjutkan perjalanan...

Sampai juga Aku di depan Plaza, Sidoharjo, Aku duduk, Sebenarnya mahu sholat tapi tak tahu di mana ada Masjid, Aku nggelosor saja di depan plaza, yang sudah tutup kerana sudah malam sekali. Tanpa sadar, kerana teramat lelahnya Aku pun tertidur, Sampai terdengar suara azan Subuh, Dan Aku teramat hairan, kerana azan Subuh terdengar dekat sekali, Lalu Aku menuju arah suara azan, Dan Masjid ternyata cuma di belakang plaza saja, Aku pun segera masuk Masjid, Dan meng-qadha Sholat yang ku tinggal, dan mengikuti jamaah Subuh. Selesai Sholat Aku pun keluar Masjid dan nongkrong saja di pinggir jalan, sambil wirid dan melihat orang yang lalu lalang, kelaparan perutku Aku isi dengan air yang tadi ku bawa dari Masjid, dan itu setidaknya sudah menipu nafsu makan cacing yang ada dalam perutku, dan tidak berontak lagi.

Hari Juma’at, Ah, sampai tidak berfikir kalau ini hariJjuma’at, orang berbondong-bondong ke Masjid, Aku pun melangkah dengan pelan ke Masjid, Pertama yang ku lakukan adalah mengisi perut dengan air sebanyak-banyaknya, Lalu wudhu' dan masuk Masjid. Melakukan Sholat Tahiyatul Masjid, lalu duduk di pojok, Aku tak mahu mengganggu orang lain, Yah pakaian yang kumal, gelandangan sholat di Masjid, Tentu banyak orang yang memandang dengan pandangan mengucilkan, dan sedikit ada unsur hina, di setiap percikan mata mereka, bahkan di hati mereka, tapi Aku mencoba tenggelam dalam zikir.

Setelah Sholat Juma’at, dan melakukan zikir sebentar, lalu Aku keluar Masjid, memakai sandal dan melangkah pergi. Tetapi tiba-tiba, sebuah tangan menarik baju belakangku, dan Aku di seret begitu saja, “Pencuri sandal…!”  Bentak orang yang menyeretku, ke kantor pengurus Masjid, ku lihat orang itu tinggi dan berkumis tebal garang. Dia menyeretku, terus ke dalam kantor. Dan di dalam ada beberapa orang, Aku segera dibanting ke lantai, terduduk...

Kau, maling sandal hina…!”  Bentaknya lagi.

“Ah…, sampean salah…”  Kataku, tenang.

“Salah bagaimana, sudah jelas-jelas mencuri sandal.”
  Bentaknya.

“Ayo ngaku…!”
Aku diam saja. Dan tiba-tiba orang itu menarik sabuk yang dipakai, dan 'wuuut' sabuk dihantamkan ke punggungku. Aku hanya memejamkan mata, ketika sabuk itu mengenai punggungku. Dan tanpa mengeluh, kerana entah kenapa Aku tak merasakan sakit. Tetapi itu malah membuat orang yang menyeretku itu makin beringas mencambukiku....
.[HSZ] 

To be Continued.....

Untuk Anda yang belum baca siri ini yang sebelumnya,

Anda boleh baca disini ; KISAH SUFI, SANG KYAI

Editor; Helmy Network

Ilustrasi Image; Doc, Fortuna Media

#indonesia#misteri#KisahKyaiLentik  #KyaiLentik, #KisahSangKyai, #KisahSufi, #SangKyai,  

No comments