KISAH SUFI, SANG KYAI [10]

<img src=https://fazryan87.blogspot.com".jpg" alt="KISAH SUFI, SANG KYAI [10]">

KISAH SUFI, SANG KYAI [10]

Kisah Hidup, Kisah Nyata

Laila Aulya Gadis Cantik Puterinya Kyai Ghofur

FORTUNA MEDIA -  “Aku dipanggil muridku untuk menghadapi pengganggu ketenangan tempatnya,”  
 Kata 
bayangan satunya berpakaian besar ala warok Ponorogo.

“Lha, sampean dulu meninggalnya kenapa Kang?”  Tanya orang yang berpakaian warok.

“Aku menemukan lawan yang tangguh di, dan dia melukai punggungku sampai sobek melintang, yang mengakibatkan kematianku.”  Jawab orang yang berpakaian Adat ala Madura sambil menunjukkan luka menganga tanpa darah dipunggungnya.

“Lha, kamu matinya bagaimana di..? Bukannya kamu punya ilmu kebal senjata?” tanya orang yang berpakaian warok,

“Ah, Kang, ilmu kebalku ternyata ada yang mampu menembusnya, lihat ini perutku…”  Orang yang berpakaian ala Madura itu menyingkap pakaian penutup perutnya dan luka menganga menyobek perutnya sehingga ususnya terburai.

“Ya udah lah Kang, sekarang kita membereskan orang yang mengganggu murid kita.”

“Duar….!”  Suara letupan pecut hampir saja merobek telingaku, pecut tambang yang sebelumnya mengikat kepala warok Wiro Gubras, si Madura itu memanggil, tiba-tiba dilolos dari kepalanya dan dihantamkan ke arahku yang sedang berdiri mengawang di atas meja, untung Aku terpeleset, sehingga lecutan cambuk tak mengenaiku. tapi Aku terjengkang di lantai. Tanpa daya. Aryo Lincang nama orang berpakaian Madura itu melompat menebaskan cluritnya, Aku benar-benar tak berdaya, tubuh kaku dan tak bisa digerakkan sama sekali. Aku sudah berusaha menggerakkan tubuhku tapi rasanya tubuhku seperti terhipnotis.

Aku hanya bisa 
mendelikkan mata, ketika clurit Aryo Lincang menderu ke arah dadaku.

Dan “wuuut….!”  Begitu 
saja Aryo Lincang terlempar seperti daun yang diterbangkan angin. Dan bau harum tapi lembut kuhirup seperti melepas kelumpuhanku. Nampak orang berpakaian jubah putih membelakangiku, orangnya tinggi besar, dengan serban pengikat kepala ala Mesir, juga berwarna putih. Singo Gubras dan Aryo Lincang juga kedua muridnya segera melompat dari jendela, saat mengetahui orang yang datang. Dan segera lenyap ditelan kegelapan.

Orang yang datang dan membelakangiku itupun membalik tubuhnya, ketika Aku tahu itu siapa, Aku pun bersimpuh takzim, Ya, Syeikh Abdul Qodir Al-Jailani, ketiga kali ini mendatangiku, dengan izin Allah Ta'ala menolongku, Aku segera menyalaminya tanpa berani menatap agung wajahnya.

“Nah inilah ngger, maksudku, kenapa dulu Aku menyuruhmu untuk segera berbai’at Thariqohku…”  Katanya dengan penuh berwibawa yang sulit diceritakan dengan kata-kata. Aku masih menyucup tangannya ketika Syeikh telah pergi dari hadapanku.

   Related Post

KISAH SUFI, SANG KYAI [7]

 KISAH SUFI, SANG KYAI [8]

KISAH SUFI, SANG KYAI [9]


Perlahan Aku bangkit, dalam benakku timbul semangat untuk lebih banyak melakukan amaliyah, agar Aku tak tertaklukkan oleh Syaitan dan Jin yang durjana. Aku pun segera melesat pulang. Sampai di Pesantren telah Subuh, Aku segera mengambil air wudhu dan Sholat Subuh, habis Sholat Aku wirid wajib. Dan kemudian berangkat tidur. Jam 11 siang pergi ke sungai mandi, setelah mandi Aku kembali ke Pesantren, Ada Macan dan Pak Abdullah tamu Kyai. Aku segera menyalami, Pak Abdullah bertanya,

“Orang mana ni?”  Tanyanya singkat sambil tertawa.

“Orang Tuban Pak.”  Jawabku juga singkat.

Kami
pun ngobrol panjang lebar, kerana ternyata kamia dalah tetangga Desa, satu Kecamatan. Sehingga seperti ketemu saudara. Setelah lama kami ngobrol tiba-tiba Pak Abdullah berkata ditujukan pada Macan.

“Can, Ian ini dikawinkan sama adikku, cocok tak Can?”  Kata Pak Abdullah yang membuatku kaget.

Aku kaget, bukan apa-apa, terus terang walau Aku tak pernah merasa rendah diri kerana kemelaratanku, tapi melihat pak Abdullah yang kaya raya, punya banyak perusahaan, mobil mewah berderet-deret, masak menghendaki Aku jadi adiknya, Ah. Aku bukan tipe orang yang matrialistis, Aku tipe orang yang bahagia dalam kemiskinan, susah dan suntuk kalau kaya, mimpipun jadi kaya tak pernah terbayang dalam benakku, kerana bukan cita-citaku, cita-citaku sepele, bahagia di jalan Allah, ini ditawari kawin jutawan, Ah enggak lah…! 

“Wah cocok sekali Pak,” kata Macan mengerling penuh arti.

“Alah jangan bercanda ah, nanti jadi beneran.”  Kataku rikuh.

“Bercanda bagaimana? Ini serius.”  Kata Pak Abdullah.

“Wah, saya belum berani kawin Pak,”

“Jangan-jangan kamu mandul, tak bermutu, tak berfungsi, cckakaka…” Macan ngakak.

“Eehh, jangan kira…. paling kamu yang lembek, harus dibantu pakai lidi….”  Kataku jengkel.

Memang Macan kalau bercanda suka kelewatan, walau kuakui tak ada temanku sebaik Macan

“Bagaimana, mau enggak?”  Tanya pak Abdul mendesak.

“Wah, nanti dulu lah Pak, Aku fikir-fikir dulu, lagian pak Abdullah kan belum tahu siapa Aku?”

“Halaah, jangan banyakan mikir, keburu karatan.”Macan ngakak lagi.


Setelah Macan dan Pak Abdullah pergi Aku pun berfikir, Ah, mungkin Allah lagi mencobaku, sejauh mana Aku tahan oleh godaan. Aku makin serius dalam wiridku, tak ada waktu tanpa wirid sampai-sampai semua wirid yang dibebankan oleh Kyai selesai semua. Malam itu Aku dipanggil Kyai menghadap,

“Ada apa Kyai?”  Kataku, setelah ada di depan Kyai.

“Ini ada yang nawari,”  Kata Kyai sambil ketawa.

“Nawari apa Kyai?”

“Nawari nikah, Mas Ian ikut saja, nanti dilihat cocok apa enggak, kalau cocok, ya bagus, biar Mas Ian jadi orang sini aja,  biar dekat sama Kyai.”  lagi orang nawari nikah, Aku jadi berfikir. Apa Aku ini sudah saatnya nikah? Ataukah ini cuma ujian dari Allah? Entahlah.

Malam itu pun Aku, mengikuti Kyai naik mobil kijang hidrolik meluncur ke tempat yang dituju, kesebuah Pesantren Salafiyah, tak jauh amat dari Pesantrenku, sekitar 10 kiloan, kami disambut oleh Kyai Pesantren bernama Kyai Ghofur, orangnya sudah tua sekali, jenggotnya putih sampai ke dada, wajahnya putih kemerahan penuh wibawa.

Pesantren yang ku datangi, lumayan banyak dan tempat pemondokan dari bambu beratap daun alang-alang, dan yang lebih mengesankan pesantren sama sekali tak berletrik, kerana di pesantren ini memang tidak boleh memakai letrik, jadi penerangan memakai lampu minyak, Aku, Kyai dan sopir segera dipersilahkan. Setelah duduk, Laila Aulya gadis yang dijodohkan denganku keluar, membawa makanan 
dan minuman, Kyai mencolek lenganku,

“Bagaimana cantik tak?”  kata Kyai dengan nada berbisik.

Aku pun tanpa sadar menatap gadis yang meletakkan minuman di depan. Mak deg! Aku terpana melihat kilauan bintang gemintang ditengah telaga mata Laila. Wah, kecantikan yang sempurna, hidung ala artis India. Membuatku tak sengaja mengelus pipi, karena membayangkan andai pipiku dicium olehnya Aku lebih takut hidungku Akan terluka oleh lancip mancung hidungnya. Bibir yang seperti dibentuk dengan kehati-hatian ranum dan seakan menyimpan berbagai rasa buah, Ah, Aku jadi ngelantur,

“Sudah jangan lama-lama memandangnya.”  Bisik Kyai.

Mak deg! Ketika mata Laila mengerling padaku, untung Aku duduk di atas kursi, kalau berdiri mungkin Aku langsung terjengkang pingsan, Aku lelaki biasa, yang masih punya perasaan sebagaimana lelaki pada umumnya. Tapi, Aku juga Febrian lelaki kerdil dengan segudang kekurangan, salah satu kekerdilanku adalah tak berani beristri terlampau cantik, takut nanti rusak bila ku sentuh dengan tangan kasarku. Laila bagiku terlampau cantik dan mahal, Ah, Aku ingin yang biasa, Aku tak mahu nanti terlalu jatuh cinta dan mengenyampingkan Allah, Aku tak mahu menduakan Allah, lebih baik tak Aku terima, sebelum cinta ini terhunjam dalam. menawan seumur hidupku. Melupa
kan siapa Aku,

 “Cantik sekali, Kyai.” bisikku.

“Ya. kalau begitu tak usah,”  Bisik Kyai seakan telah membaca galau hatiku. Dan terasa Aku dibebaskan dari himpitan gunung. Mak plong. Kami pun ngobrol dengan Kyai Ghofur sampai larut malam, dan kembali pulang ke Pesantren Pacung dengan perasaan lega.

Pagi baru saja beranjak, Aku memasukkan baju dan keperluan ke dalam tas punggung butut andalanku, untuk pergi ke Jakarta mencari wang untuk keperluanku hidup di Pesantren. Yah, beginilah hidupku, hidup di pesantren kalau wang ada, kalau wang habis, Ya, Aku harus cari lagi, walau makan sudah dijatah Kyai, tapi Aku orang yang tak suka terus-terusan jadi benalu, hidupku adalah Aku yang harus menjalani dan membiayai. Untung masih ada wang untuk ke Jakarta, ke tempat temanku, Macan atau tempat temanku Karim di Cipinang Muara.

Setelah pamitan kepada Kyai Aku pun beranjak, baru seratus meteran berjalan ada mobil di belakangku. Pak Jahru. Bos barang bekas, tamunya Kyai mengklaksonku. Aku berhenti, dan mobil kijang warna biru berhenti di sampingku, kaca pintu terbuka,

“Ayo naik…!” kata pak Jahru, dengan tawa khasnya.

“Mahu kemana Mas?” tanyanya setelah Aku duduk di kursi jok.

“Ke Jakarta pak.” jawabku enteng.
 
“Wah, kalau begitu Mas Ian tak antar aja, Jakartanya mana?”
 
“Ke Cipinang Muara pak.” Mobil pun jalan, lumayan ada nunutan, jadi tak usah keluar wang.

Pak Jahru, adalah pengusaha sukses barang bekas, orangnya pendiam tak banyak bicara, menurut ceritanya dulu dia orang miskin, sekolah saja mungkin sampai kelas 4 SD. Lalu merantau ke Jakarta dan menjadi pemulung, suatu hari tengah ia memulung didatangi pemilik pabrik besi untuk membersihkan besi bekas, Nah, disaat yang hampir bersamaan datang juga orang minta dipulungkan besi. Maka pak Jahru pun tinggal mensuplay. Itulah awal karir pemulungnya menanjak, sekarang yang dipulungnya sudah alat berat kayak buldozer.

Dalam perjalanan sampai Jakarta Aku tak banyak ngomong dengan Pak Jahru, Aku diantar sampai ke Cipinang Muara. sebelumnya diajak ke tempat Pak Jahru menginap semalam dan besoknya Aku dihantar kekontrakan Karim, teman sekolahku waktu di MI. Di tempat kontrakan kumpul teman-teman se-Desaku. Ada Sengkle, Renges, Tro, Klewer, Ah, memang nama panggilan semua, sampai nama aslinya kami sudah lupa, dan nama-nama itu jadi simbol keakraban, satu nasib sepenanggungan.

“Wah, kamu di sini juga Nges.”  Tanyaku ketika teman sepermainanku di kampung ini menyalamiku, Renges, pemuda seumuranku 24 tahun, hidung pesek habis, lubang hidung melebar, kerana sering dicongkel-congkel pakai jari, untuk mengambil kotoran hidung, kadang dia mencongkel hidung ngotot sambil berpegangan pada tiang, kayak sesuatu yang teramat susah diambil dan memerlukan tenaga extra, rambutnya panjang sebahu, wajahnya lebih mirip Kaka personel grup band SLANK.

“Iya Ian, dah datang sebulan yang lalu, kamu sendiri kesini ngapain?”
 
“Wah, Aku mau nyari wang saku untuk di pondok.” kataku

“Eh Ian, dah lama datangnya.” Karim masuk kontrakan, langsung menyapaku, dia baru datang, kerjanya di kantor miliknya pak Abdullah.

“Baru saja Rim.” jawabku.
 
“Terus ada perlu apa?”
 
“Biasa cari tambahan modal untuk di pondok alias mencari kerjaan.”
 
“Iyalah besok aku cari’in kerjaan.”

 Begitulah dialog-dialog ringan di antara kami. Tapi setelah itu sampai seminggu pun Aku belum dapat kerjaan, makan nebeng, Ah, jadi tambah susah.

“Wah, sudah ku carikan pekerjaan, tapi susah tak dapat-dapat tuh Ian, gimana?” tanya Karim pada suatu sore.

“Wah, gimana ya Rim, lha, Aku kalau balik ya lebih susah lagi,” jawabku prihatin.
 
“Kenapa gak bikin lukisan sendiri aja Ian?”  Sela Renges.

“Nanti tak bantu jualin deh.”

“Wah, kalau itu perlu modal Nges…”
 
“Biar aku yang modalin, kamu anggep beres aja, perlu berapa?” kata Karim mantap.
 
“Ya, paling perlu 4 ratusan ribu,”  Kataku.
 
“Ya, udahlah besok beli barang keperluanmu.”  kata Karim.

Maka besoknya Aku pun beli barang keperluan, Aku membuat lukisan kaca, yaitu lukisan kebalik. Melukis dari dalam, jadi bisa dilihat dari luar. Kelihatan bagus, tiga hari kuselesaikan lukisan besar, enam buah lukisan pemandangan. Setelah selesai dibingkai, Aku dan Renges mulai menawarkan lukisan dari pintu kepintu, dari gang ke gang, banyak yang melihat lukisan, dan menawar tapi tak ada yang mahu beli setelah ku kasih tahu harganya, satu lukisan kutawarkan dengan harga 2 ratus ribu. Untuk mengejar isi perut yang keroncongan.

“Nges, perasaan kita mutar-mutar di jalan ini-ini saja?”  Kataku pada Renges sebagai penunjuk jalan.

“Maksudmu kita bingung?”  Kata Renges, seakanA ku tak percaya atas kefasihannya menghafal jalan Jakarta

“Iya.” jawabku, dari pada mutar-mutar lagi. Kerana perut belum keisi dan pegelnya kaki minta ampun.

“Aku ini sudah hafal jalan di Jakarta, lebih hafal jalan dari pada mata pelajaran di sekolah.” kata Renges sambil nepuk dada.

“Hafal jalan aja bingung, apalagi tak hafal jalan?” kataku jengkel.

“Kamu itu yang bingung, kerana lukisannya tak laku.” kata Renges juga marah. 

“Sudah gini aja, kita lihat tuh ada toko Sarinah, Nah mari kita jalan, apa balik ke toko Sarinah lagi apa enggak?”  Kataku menengahi keributan kami, dan kami pun melanjutkan perjalanan. Dan memang sesuai dengan apa yang Aku bilang, kami kembali ke toko Sarinah.

“Heran, kenapa bisa bingung gini ya?” kata Renges sambil duduk di regol.

“Sudah Nges, mending kita cari Masjid, ini waktu zuhur hampir habis.”  Kataku sambil lalu pergi tanya pada orang arah Masjid, dan kami pun ditunjukkan Masjid yang jaraknya 300 meteran.

Kami pun segera pergi ke Masjid dan menjalankan sholat zuhur. Selesai sholat kami memajang lukisan di depan Masjid, yang kebetulan pertigaan jalan yang ada pohon mahoni tua. Tapi sampai jam menunjukkan jam setengah lima, tak juga ada yang beli, walau banyak yang menawar, tapi sebatas nawar, kalau harus pulang kekontrakan dengan tanpa lukisan terjual sama sekali, Ah, betapa jauhnya, kami berdua harus berjalan, belum lagi perut yang lapar kerana dari pagi kami belum makan. Ah, kami lebih parah dari pada tentara yang kalah perang, pulang memanggul senjata, setidaknya mereka punya wang.

“Bagaimana Ian?” kata Renges, wajahnya yang bertampang suntuk, makin suntuk aja.

“Aku tak kuat, kalau gini, sudah jauh, perut lapar, bisa klenger beneran nih,”  Tambahnya, makin menambah beban masalah saja keluhnya.

“Ya, mau gimana lagi Nges, la memang tak laku,”

“Satu saja dijual 50 ribu aja deh, buat naik angkot. Dan untuk beli nasi bungkus”  Katanya menghiba.

“Ya, sudahlah nanti kalau ada yang nawar, kasihkan saja,”  Kataku agak berat, kerana kefikiran untuk mengembalikan wangnya Karim. Selang beberapa menit, ada sepeda motor menghampiri kami dan menanyakan harga lukisan, eeh, sudah dikasih harga 50 ribu rugi harga produksi, masih tak laku juga, mahunya 30 ribu, Ya, jelas Aku tak mahu, memangnya kacang goreng, semurah itu, orang bermotor itupun pergi, meninggalkan harapan kami yang tercabik-cabik.

“Wah..! Udah Ian aku tak kuat lagi, mending sekarang pulang saja, daripada nanti kemalaman.”  Kata Renges, kayak mahu menangis, rupanya keuletandan kesabarannya telah memasuki batas toleransi.

“Begini saja, biar Aku wirid di dalam Masjid sebentar, siapa tahu masih bisa laku, kita masih punya Allah, Aku akan meminta supaya lukisan kita terjual.”  Kataku masih sabar.

“Ah, Jakarta ini keras Ian, tak ada Allah, Allah-an, di sini itu siapa kuat maka jaya.” kata Renges masgul.

“Tapi ndak salah kan dicoba?”

“Ya, sudahlah sana, biar Aku nunggu di sini, jangan lama-lama…!”

“Setengah jam saja.”  Kataku sambil berjalan ke dalam Masjid. [hsz]

To be Continued.....

Editor; Helmy Network

Ilustrasi Image; Doc, Fortuna Media

#indonesia, #misteri, #KisahKyaiLentik #KyaiLentik, #KisahSangKyai, #KisahSufi, #SangKyai,

VIDEO ;   

DATOK LOKMAN ADAM BONGKAR PENIPUAN WANITA PKR TENTANG SUBSIDI MINYAK MASAK

No comments