KISAH SUFI, SANG KYAI [9]
KISAH SUFI, SANG KYAI [9]
Kisah Hidup, Kisah Nyata
AFIFAH Gadis Sunti Nan Cantik Lagi Menawan
FORTUNA MEDIA - Setelah Sholat Subuh, Aku membuat sketsa lukisan dinding, sambil menyelesaikan wirid. Dingin masih menusuk tulang, teman-temanku habis wirid Subuh semua kembali ke dalam selimut sarung. Kamarku terasa dingin apalagi ketika angin masuk dari sela-sela papan kayu dinding kamar, yang pemasangannya asal-asalan.
“Mas…! tak sarapan?” suara Hanafi santri dari Cilacap, berdiri di pintu kamar.
“Lha, kamu tak puasa to Fi?” Tanyaku balik.
“Wah mutung kang,”
“Halah Fi… Fi… Lha gimana to, apa kamu mahu terus di pondok sampai tua? Masuk aja Fi, gak dikunci kok…” kataku sambil terus membuat sketsa gambar
“Lagi bikin apa Mas?” tanya Hanafi setelah masuk ke dalam kamar geladakku, yaitu kamar yang beralaskan papan kayu.
“Ah, ini Fi lagi bikin sket, buat lukisan di aula belakang, duduk, tunggu bentar, entar cari sarapan bersama.” kataku.
Related Post
KISAH SUFI, SANG KYAI [6]
KISAH SUFI, SANG KYAI [7]
KISAH SUFI, SANG KYAI [8]
Hari makin beranjak siang, dingin pun kian hilang, meninggalkan titik embun di rerumputan, suara burung ramai bercicit, menyambut matahari yang telah mulai menyembul dari puncak Gunung Putri. Seakan dunia ini betapa damainya, tak ada problem, tak ada dendam iri-dengki, tak ada pembunuh4n, kematian hanya terjadi kerana kewajaran, seperti daun yang berguguran, seperti matahari yang terbit kemudian tenggelam. Angin pun mengalir dengan kasih sayang, alam dan manusia seperti keselarasan yang saling melengkapi, tak ada kejahatan manusia, atau Jin, tapi dunia di luar tak sesempit harapan setiap orang. Aku pun selesai membuat sketsa, ketika jam tangan butut telah menunjukkan jam 7 pagi.
“Ayolah Fi, kalau mahu cari sarapan…” Kataku setelah selesai memberesi buku.
Dan kami pun beranjak untuk pergi ke tempat cari makan diwarung Bu' Enur, biasa makan nasi uduk, tak mahal cuma 1500 sudah bisa mengganjal perut, plus teh pahit gratis.
Sebenarnya di warung Bu' Enur, sudah jadi rahasia umum, bahwa setiap pemuda yang datang bukan hanya yang dituju makannya tapi anak gadis Bu' Enur yang cantik, manis dan centil, itu juga tak ketinggalan si Hanafi, dan Aku ujung-ujungnya juga ikut ngelirik.
Ah, memang syaitan paling gampang menularkan penyakit menular, yang paling mudah yaitu nafsu. Melewati got-got aliran darah, dan menghangatkan hati yang kasmaran dengan bisikan-bisikan menghanyutkan. Dan membumbui sesuatu yang sepele jadi besar, bahkan jadi gunung yang siap meletus. Kerana jaraknya cuma seratus meteran dari pondok, maka kami berdua pun cepat sampai, tapi rupanya teman-temanku yang kukira mendengkur di bawah selimut ternyata sudah pada nongkrong di warung, sembari menggoda Afifah, anak gadis Bu' Enur yang tak bosan-bosannya melempar senyum termanis
“Oalah, kalian sudah pada di sini toh?” Tanyaku dijawab dengan cengengas-cengenges si Kolil, Udin, Tarsan, Majid, dan yang lain. Mereka tak segera beranjak padahal semua nasi di piring sudah tak ada sebijipun. Heran!
“Ah, mbok ya gantian toj!” Kataku agak jengkel, kerana kursi penuh sudah tak ada tempat duduk.Teman-temanku pun segera beranjak,
“Sudah deh Mas, dienak-enakin aja, ku tinggal dulu.” Kata Udin mewakili yang lain. Aku dan Hanafi segera memesan nasi uduk, yang segera dibawa keluar oleh Afifah, biasa Hanafi pun mengeluarkan jurus menggoda,
“Aduh ini nasinya apa orangnya ya, yang baunya harum?”
“Iihh, mas Hanafi bisa aja…” Jawab Afifah dengan nada kenes.
“Mas Ian, tolong dilukis Afif dong…” Katanya manja sambil duduk di sebelahku.
“Kamu minta dilukis?”
“Heeh…”
“Memang kuat kamu musti duduk seharian?”
“Jangankan seharian, bertahun-tahun duduk di depan mas Ian pun aku kuat.” Jawabnya makin kenes dan manja.
Wah, bisa membuatku tak bisa tidur. Sementara Hanafi makin mbesengut melihat Afifah dekat di sampingku. Afifah memang cantik, wajahnya mirip Bunga Citra Lestari, malah mungkin lebih cantik, kecantikan yang alami tanpa polesan, sebenarnya beberapa hari yang lalu, ketika Aku belanja sendiri kewarung Bu' Enur dan Afifah yang melayaniku membeli menanyaiku,
“Mas Ian ini dari Jawa Timur ya?” Kata Bu' Enur.
“Iya bu…” jawabku singkat.
“Belum punya Istri kan Mas?” tanya ibu Enu19pxr lagi.
“Apa Bu"?” Kataku pura-pura tak mendengar.
“Enggak, kalau Mas Ian belum punya Istri, cari saja di sini…” Wah, gelagatnya makin tak baik.
“Afifah ini anak Ibu juga sudah besar dan sudah pantas bersuami,” kata Ibu Enur tanpa basa-basi
“Wah, saya ini sudah punya Istri tiga Bu'…” kataku berbohong,
“Ah tak mungkin itu, masak masih muda, sudah punya istri tiga,” Kata Bu Enur sambil tertawa.
“Lha, mau bilang apa Bu, kenyataannya memang begitu, kalau saya punya istri 3 lalu bilang masih perjaka, la nanti kalau ketahuan kan berabe. Mending jujur aja,” Kataku meyakinkan.
“Wah kalau tiga tentu masih bisa tambah satu, mahukan Fah jadi istri yang ke empat?” kata Bu Nur ditujukan pada Afifah yang sedang ngupas bawang merah, dan Afifah manggut. Edan, Aku jadi melongo, salah tingkah, ibu sama anak kompak banget ngerjain orang.
“Gimana Mas Ian? Afifah sudah mau itu,”
“Wah harus ngasih makan empat orang Bu, tiga orang saja mumet, apa kuat ya, kalau ditambah satu?” Kataku seakan-akan perkawinan itu akan benar-benar terjadi.
“Mas, Ifah ini makannya sama tempe aja sudah mahu, tak perlu yang mewah.” kata Bu Enur, seakan memojokkanku
“Sudah jangan terlalu difikir, dijalani aja.” katanya.
Sementara itu Afifah yang masuk ke dalam, tiba- tiba menjerit,
“Aduh tanganku terbakar…!” Bu Nur pun lari ke dalam. Dan keluar lagi dengan Afifah sambil ngomel-ngomel.
“Kenapa tak hati-hati, sudah tau panci panas, malah dipegang.”
“Dikasih pasta gigi aja Fah, biar adem. Dan tak melembung.” kataku menyarankan. Afifah pun kedalam dan keluar lagi sambil membawa pasta gigi yang disodorkan padaku.
“Oleskan…!” Katanya manja, kulihat jarinya memang melepuh, dia mengulurkan jemarinya kearahku dan Aku pun mengoleskan pasta gigi perlahan. Mata bening Afifah menatapku, yang sedang tekun mengoleskan pasta gigi, lama ditatapnya, Aku jadi jengah.
“Mas, sayang aku enggak.?” Tanyanya bergetar.
“Ya jelas Aku sayang kamu, Aku sayang semua manusia, walau kafir sekalipun, walau jahat sekalipun, kalau kafir, ya upayakan jadi Muslim kalau jahat ya upayakan untuk sadar, bukankah itu yang diperjuangkan Nabi Muhammad SAW, kalau tak bisa ya didoakan, bukankah Allah Ta'ala menciptakan manusia atau hewan pasti ada maksud dan tujuannya. Kalau orang jahat dan kafir, itulah ladang amal yang harus digarap.” kataku panjang lebar.
“Allah menjadikan ada yang Muslim, ada yang kafir, ada kaya ada miskin, dan sebagainya, Allah Ta'ala mampu menjadikan manusia Muslim semua, tapi kenapa dia juga menjadikan garis manusia kafir. Allah juga menjadikan kambing, tapi juga menjadikan serigala, kala jengking, macan.” kataku lagi.
“Wah, Mas maksudku bukan itu….” sela Afifah,
“Terus apa?” tatapku heran.
“Maksudku sayang antara lelaki dan perempuan?” kata Afifah menunduk.
“Kalau kamu gimana?” Tanyaku balik, menutupi kebingunganku menjawab.
“Aku,” Katanya sambil menunjuk hidung mancungnya yang mungil
“Ah, masak tak ngerti selama ini sikapku terhadapmu.” Aku menerawang, memang Afifah selama ini sikapnya terhadapku teramat beda, cuma Aku saja yang membutakan mata, tiap Aku belanja di tokonya selalu dikasih apa-apa yang tak ku beli. Kadang dia sempat-sempatkan datang ke pondokku untuk memberi cemilan atau makanan.
Ku pandang wajah Afifah, mata nan jeli, dan bening, bulu mata lentik, alis melengkung dan tertata rapi, seperti ditanam satu-satu, hidung mancung nan mungil, pipi putih seperti susu yang ditetesi setetes perasa strawberi, bibir yang tipis dan terbentuk seperti mudah pecah memerah tanpa gincu. Diatas bibir bulu kumis halus tumbuh seakan seperti polesan madu pada ujung ais krim, dagu lancip tercetak penuh kehati-hatian, menunjukkan kekerasan hati.
“Bagaimana Mas? Sayang enggak sama aku?”
“Siapa sih lelaki yang melihat bunga mekar sepertimu yang tak merasa sayang? Termasuk Aku, Aku lelaki normal,” Kataku satu-satu.
“Makasih Mas….” Afifah memotong ucapanku dan lari ke dalam rumah, dan sampai di pintu berhenti dan mengerling padaku, Ah hancur-hancur kalau kayak gini…. bisa yang enggak-enggak, desah batinku, dan ku ambil belanjaan lalu pergi ke pesantren.
“Mas Ian, Aku benar dilukis ya…!” Suara manja Afifah memecah lamunanku. Ah, kenapa perempuan lagi-perempuan lagi, yang akan memecah konsentrasi wiridku.
“Iya deh, kapan-kapan Aku lukis,” Jawabku daripada urusan jadi panjang dan bertele-tele.
“Berapa lama sih untuk menyelesaikan lukisannya?” Tanya Afifah lagi.
“Ya tergantung media, dan cara melukisnya, kalau pakai pencil ya, seperempat jam pun jadi, Ya, kalau pakai air brush ya, setengah jam jadi, kalau pakai kuas-brush, ya, sehari jadi. Kamu mahunya pakai apa?” Jelasku lengkap, kayak mau jual beli.
“Terus kalau air brush, itu melukis apaan Mas?” tanya Afifah serius.
“Ya kalau air brush, itu melukis pakai pena brush, pakai tekanan angin compresor, sebenarnya biasanya dipakai melukis di motor atau mobil pernah lihat kan bus yang dilukisin kuda lagi lari?” Afifah manggut.
“Nah, itu melukisnya pakai air brush,” Kataku sambil melihat Afifah yang melongo.
“Wah, berarti wajahku mau dilukis di mobil ya Mas?” tanya Afifah.
“Ya enggak lah, di media apa aja kan bisa, maunya kamu di mana, apa di viber?”
“Wah, itu apa lagi Mas, kok kayak nama susu?”
“Viber ya plastik akrilik, aduh susah deh menjelaskannya….” kataku agak jengkel.
“Ya, sudah deh terserah Mas Ian aja dech.” Katanya menatapku jidatnya mengkerut.
“Wah, Aku malah tak kebagian…” celetuk Hanafi. Yang sejak tadi diam aja mengunyah nasi uduk.
“Ini nanti kesiangan, ayo balik dulu…” kataku seperti diingatkan. Kulihat jam tangan sudah menunjukkan jam sembilan lebih. Kami pun pergi meninggalkan warung, seperti biasa Aku dibekali, kali ini krupuk jengkol sekresek. Lumayan buat cemilan.
Sampai di pondok Aku segera mengajak Hanafi membuat adukan semen dicampur alkasit untuk memperlambat pengeringan semen, guna membuat ukiran kaligrafi semen.
Hari berlalu begitu cepat, kebetulan malam nanti Jum’at kliwon, tiap Jumat kliwon di pesantren diadakan acara Jamiyah khataman Thoreqah Qodiriyah Wa Naqshabandiyah. Sejak sore, tamu yang akan mengikuti khataman sudah pada datang. Selepas magrib mobil-mobil telah mulai memenuhi tempat parkir. Para santri sibuk menata dan mengarahkan parkir mobil agar mudah kalau mau masuk arena parkir.
Sementara santri yang lain menerima tamu, mengumpulkannya di Majlis, Majlis zikir yang terbuat dari bambu. Berdinding kerai, dan beralaskan bambu yang dipecahkan dan dibentang.
Yah, orang-orang yang datang dengan mobil mewah, dan yang datang dengan angkot, duduk bersama tanpa membedakan jabatan, atasan dan bawahan. Semua datang dengan niat masing-masing. Banyak yang membawa air botol aqua, juga berbagai macam senjata tajam semua ditumpuk di tengah-tengah majlis zikir.
Kyai tak pernah menolak bagaimanapun orang yang datang, bahkan ada juga orang beragama Hindu dan Budha atau Kristian yang datang, walau ujung-ujungnya juga masuk Islam. Tapi Kyai tak pernah memusuhi mereka, semua patut diajak ke jalan kebenaran dengan kehalusan budi, dengan kasih sayang, belum tentu yang sekarang jahat, yang sekarang kafir, nantinya malah meninggal dalam Islam. Dan sekarang yangIslam juga tak sulit bisa saja nanti mati dalam kekafiran.
Jam masih menunjukkan jam 9 malam, tamu sudah berjubel sampai jalan, padahal biasanya wirid dan zikir dimulai pukul 11 malam. Aku masih di dalam kamarku, di depan kamar telah penuh orang, kunyalakan sebatang DjarumSuper, dan kunikmati secangkir kopi Kapal Api Duo Susu. Saat seperti ini apa-apa berlimpah, para tamu banyak yang membawa rokok berpak-pak, juga kopi dan makanan, kami anak pesantren yang jarang makan enak tentu seperti ketibaan rezeki. Walau itu tetap kami anggap biasa.
Kamarku dipakai nongkrong teman-temanku, sampai penuh sambil menunggu saat wirid dimulai, dan semuanya merok0k, sampai asap memenuhi ruangan, kalau sudah begini pakaianku yang kugantung di gantungan baju, yang nantinya baunya kayak baju dukun lepus. Nampak pak Made kepalanya nongol di pintu, PakMade adalah wartawan RCTI.
“Halaah penuh.” katanya pendek.
“Iya pak, penuh asap,” kataku.
“Masuk pak?”
“Enggak lah aku di depan sini aja.”
Aku ingat waktu Pak Made pertama ke pesantren rombongan empat orang, Pak Made asalnya beragama Hindu. Saat itu setelah menghadap Kyai. Semua orang dikupas satu-satu, semua melongo kerana Kyai tahu mereka habis berzina dengan wanita panggilan di salah satu hotel. Semua wajah menunduk seperti dihadapkan pada pengadilan Tuhan.
“Aku saja tahu dengan apa yang kalian lakukan apalagi Allah, apa kalian berani menghadapi azabNya?” kata Kyai walau masih dengan nada lembut.
Besoknya Pak Made disuruh membersihkan diri di laut Pantai Carita, dan setelah pulang dari pantai, maka Pak Made dituntun membaca dua kalimat syahadah untuk masuk Islam, sejak itu Pak Made aktif mengikuti jamaah Thareqoh Qodiriyyah Wa Nakshabandiyyah, aktif mengikuti jamiyah setiap bulan melakukan khataman.
Jam telah menunjukkan pukul 11 malam, dan zikir berjamaah pun dimulai dipimpin langsung oleh Kyai. Para santri termasuk Aku duduk disekitar Kyai, dan para jamaah memenuhi majlis. Keadaan teramat khusuk. Semua mengalir pelan, namun penuh ketenangan, sampai jam 3 dini hari zikir pun selesai. Kami makan bersama dengan nasi yang dibawa dari rumah makan NIKKI dari Subang. Dan orang yang ingin menyampaikan keluhan menghadap Kyai, antri satu-satu.
Masih ada waktu sebelum Subuh datang, Aku pun pergi ke kamar, menyelonjorkan tubuh dan melafazkan ilmu melepas sukma. Sukmaku pun melesat, melintasi ruang dan waktu, ke arah sekolah angker di Desaku, mungkin cuma lima menitan Aku telah sampai, keadaan sepi, Aku segera masuk ke dalam, tiba-tiba ku dengar suara
“Nah, ini orangnya sudah datang,” Suara itu dari 2 arwah yang kemaren berantem denganku. Tapi dari pintu melompat dua bayangan tinggi besar menghadangku,
“Lho, kok sampean Kang?” Kata bayangan satu ke bayangan yang lain. Seorang berkumis tebal melintang dengan pakaian ala Madura. [hsz]
To be Continued.....
Ilustrasi Image; Doc, Fortuna Media
#indonesia, #misterinusantara, #KisahKyaiLentik #KyaiLentik, #KisahSangKyai, #KisahSufi, #SangKyai,
No comments
Post a Comment