MY HUSBAND IS PARLIN [Part 52]

<img src=https://fazryan87.blogspot.com".jpg" alt="MY HUSBAND IS PARLIN [Part 52]">

MY HUSBAND IS PARLIN [Part 52]

  • Part 52
  • Niyet dan Parlin pulang kampung lagi

" Biar Suami Jadul, Yang Penting Duit Ngumpul "

FORTUNA MEDIA - "Setelah berusaha, selanjutnya kita berdoa dan terus bertawakkal." begitu kata Suami ketika kutanya amalan apa yang dia lakukan semalaman. Dia hampir tak tidur, baru kali ini kulihat Suami segelisah itu. 

"Kasihan Kakak, sapinya mati tenggelam,"  Kataku dengan raut wajah sedih. 

"Iya, Dek, Abang lupa kasih tahu, Abang jadi ikut merasa bersalah, seharusnya dikasih tahu juga sapinya jangan dikandangkan atau diikat jika ada bencana. Bencana banjir atau kebakaran, sapi tak boleh diikat, kaerana binatang juga punya naluri bertahan hidup."  Kata Suami. 

"Mungkin kerana Kakak tak ikhlas yang pelihara sapi itu, Bang, sudah sering dia bilang muak dengan kotoran sapi,"  Kataku lagi. 

"Jangan bicara begitu, Dek, tidak boleh gitu," 

Ah, tidak asyik bangett ini Suami, tak bisa diajak ghibah atau gosip. Padahal menurutku benar begitu. Kakak sudah berulangkali bilang capek urus sapi. Tiba-tiba handphone-ku bergetar, ada panggilan dari kakakku. 

"Mahu laporan keadaan sekolah, sekolah kita berlumpur semua, mungkin harus diliburkan dulu atau tiga hari."  kata Kakaku. 

"Iya, Kak, bagaimana sapi kakak, adakah yang bisa diselamatkan?"  Tanyaku. 

"Ada, dua ekor digiring Abangmu waktu mahu mengungsi,"

"Kenapa tidak digiring semua, Kak?"

"Mana bisa, Nia, mahu ditarok di mana, tempat terbuka sudah banjir semua,"

"Seharusnya Kakak lepas sapinya, baru sapi itu menyelamatkan diri sendiri,"  Kataku lagi. 

"Iya, sih, tapi panik, mahu bagaimana lagi, kata mereka banjir seperti ini hanya terjadi sepuluh tahun sekali,"

"Iya, Kak, Bang Parlin juga bilang begitu, Jadi bagaimana, Kak?"

"Ya, mahu bagaimana lagi, ikhlaskan saja, Aku belajar dari Parlin, dia ikhlas ketika sapinya dicuri orang, kami akan mulai dari nol lagi," kata kakakku. 

Kasihan juga Kakakku ini, mereka belum sempat dapat hasil dari sapi, baru modal yang kembali, ketika mahu untung, datanglah musibah begini.Ternyata Abang iparku tak patah semangat, menurut kakakku dia akan mulai dari nol/zero lagi. Aku jadi kasihan juga. 

"Bang, orang yang tertimpa musibah itu berhak dapat zakat tak?"  Tanyaku pada Suami. 

"Iya, Dek, itu termasuk fakir, kerana mereka sudah tak punya apa-apa,"

"Kasihkan lah Bang zakat kita untuk Kakakku, kasihan dia,"  Kataku kemudian. 

"Iya, Dek, Abang mahu pulang kampung dulu nanti sore,"  Jawab Suami. 

"Aku ikut, Bang,"  Kataku. Kerana semenjak menikah kami belum pernah berpisah, kemana saja Aku selalu ikut. 

"Tidak bisa, Dek, habis banjir begini, medannya berat, kasihan si Butet."

"Tapi, Bang," 

"Sudah, Dek, tinggal dulu sekali ini, ya, kan ada Bu Ratna, Abang akan bilang Bu Ratna untuk tidur di sini saja dulu."  Kata Suami. 

   RELATED POST

5 Tips Untuk Mencari Penerbangan Paling Murah

Aku akhirnya mengalah, berat rasanya melepas Suami, akan tetapi selalu ada pertama kali untuk semua. Betul juga kata Bang Parlin, Aku ikut pun akan jadi beban untuk Bang Parlin. 

"Bang, cepat pulang ya,"  Kataku ketika melepas Bang Parlin pergi. Dia pergi bersama seorang sopir. Bawa obat untuk peternakan dan pertanian. 

"Iya, Dek, jaga si Ucok ya,"  Kata Suami. 

"Iya, Bang,"  Kataku dengan wajah sedih. Seakan mahu pisah selamanya saja. 

"Bang, Aku ikut kenapa, janji, Bang, Aku tak rewel, tak minta naik kerbau,"  Kataku lagi. Entah kenapa berat rasanya perpisahan ini. 

"Aduh, Dek, jalannya saja belum tahu apa bisa dilalui,"  Kata Suami. 

"Ya, sudahlah, Bang, telepon Adek ya, Bang,"  Kataku akhirnya. 

Mereka berangkat juga, sedih rasanya, tak ada yang menidurkan si Ucok lagi, Aku memang Istri yang kelewat manja. Ku usap air mata seraya masuk rumah. 

"Hei, Ucok, Butet, jangan ada yang rewel ya, tidak ada lagi ya nyanyi ungut-ungut,"  Kataku pada kedua anakku. 

Si Ucok hanya bengong, si Butet tentu saja tidak mengerti, kerana baru enam bulan. Bu Ratna justru tertawa. Duh, Aku ditertawai ART-ku sendiri. 

Kulihat air kemasan galon yang belum diangkat ke tempatnya, Aku langsung teringat Suami. Duh, padahal baru lima belas menit mereka pergi. Ya, Allah, bagaimana Aku bisa melewati ini seminggu? 

Tiba-tiba mobil Mitsubishi Strada Suamiku balik lagi, terdengar klakson khasnya, ada yang tinggalkah? 

"Kenapa, Bang, ada yang ketinggalan?"  Tanyaku setelah Suami masuk rumah. 

"Iya, ada yang tertinggal,"  Jawab Suami. 

"Apa, Bang?  Handphone, charger, atau wang?"  Kataku seraya melihat sekeliling. 

"Bukan, Dek, yang tertinggal belahan jiwaku,"

"Apa'an sih, Bang?"

"Cepat bersiap, Adek ikut saja, kita hadapi bersama,"  Kata Suami. 

"Yessss,"  Reflek Aku mengepalkan tinju dan bersorak gembira. Bu Ratna hanya geleng-geleng kepala melihat tingkahku. Dia pun membantu Aku bersiap.

Suamiku seperti tahu apa yang ada dalam fikiranku, dia putar balik kerana tak bisa juga tinggalkan Aku, Duh, rasanya berbunga-bunga. Melayang terbang di awan. 

"Bang, kenapa Abang berubah fikiran, karena tidak bisa tinggalkan Aku, kan?"  Tanyaku ketika sudah dalam perjalanan. 

"Nggaklah, kalau Adek tidak ikut kurang ramai, sudah biasa diomeli, tidak ada yang omeli rasanya kurang afdhol,"  Kata Suami. 

"Ish, alasan, bilang aja Abang tidak bisa pisah denganku, walau cuma seminggu."  Kataku "pede" (confident). Padahal Akulah yang tidak bisa pisah dengan Suami. 

Telepon jadul Bang Parlin berbunyi, dia suruh Aku yang terima, ternyata dari Ria. 

"Jadi kakak ikut ya?" kata Ria begitu telepon tersambung. 

"Iya, Ria, Abangmu tidak bisa pisah denganku,"  Kataku sok ke-pedean. 

"Aku yang bilang tadi Kak, kerana jalan sudah lancar, tadi datang alat berat dari Dinas pemerintah, jalan sudah dibetulkan, sisa banjir sudah dibersihkan, Aku bilang sama Bang Parlin, kakak ikut saja, kerana Aku teriingin lihat si Butet,"  Kata Ria. 

Seketika suasana hatiku berubah, ibarat terbang di awan, tiba-tiba sayap patah, ibarat hati berbunga, tiba-tiba bunganya layu. 

"Oh, gitu ya, Ria, ya sudah, Aku datang," kataku tak bersemangat lagi. 

Kulihat Bang Parlin, dia justru tertawa cekikikan. Sebel.

Perjalanan kami lancar, kami memlih lewat Lintas Barat, yaitu melewati kabupaten Simalungun, Tapanuli Utara dengan Danau Tobanya. Di tengah jalan Aku sesak mahu buang air. Kubilang Bang Parlin, dan Bang Parlin bilang sama sopir supaya berhenti bila ada Masjid atau SPBU (stesyen minyak). Tapi mobil tak berhenti juga, sementara udara dingin membuat Aku sudah tak bisa tahan lagi. 

"Sudah, berhenti di mana saja,"  Kataku akhirnya. 

Mobil berhenti di sebuah warung, ada beberapa lelaki duduk di warung tersebut, ada yang main gitar, ada yang menyanyi. Ternyata kami berhenti di pakter/warung tuak.

"Boleh numpang kamar mandi, Pak?"  Tanya Bang Parlin. 

"Boleh, boleh, marga apa kau, biar tahu aku bertutur," kata Bapak yang punya warung. 

"Siregar, Pak, ini boru Harahap,"  Kata Bang Parlin seraya menunjukku. Kenapa sih harus perkenalan lagi? Orang sudah kebelet pipis (sesak buang air kecil)? 

"Bah, hula hula rupanya, orang rumahku boru regar, sebentar kupanggil,"  Katanya seraya berteriak memanggil Istrinya. 

Seorang perempuan datang, lalu membawa Aku ke toilet di rumah yang jauhnya sekitar dua puluh meter dari warung tersebut. Ketika Aku sudah selesai, Bang Parlin dan penjaga warung tampak berbicara akrab. Luar biasa kekerabatan orang Batak ini, baru kenalan sudah seperti saudara. Hanya kerana Istri lelaki tersebut satu marga/suku dengan Suamiku. 

Sebelum kami pergi, Ibu tersebut memberikan dua botol air mineral. 

"Ini Ito, untuk minum di jalan, Aku tahu Ito tak bisa makan di sini, mahu kuajak pun makan,"  Kata wanita itu. 

Wah, biar berbeda agama, persaudaraan tetap ada, hanya kerana satu marga. Luar biasa. 

Bang Parlindungan menerima air mineral tersebut seraya berterima kasih dalam bahasa Batak, kemudian Bang Parlindungan memberikan wang biru satu lembar ke anak wanita itu. Aku makin terkagum-kagum. Sudah seperti jumpa saudara saja. Padahal baru kenal.

Ketika memasuki wilayah Tapanuli Selatan, Aku minta sopir menghentikan mobil di warung, Aku mahu beli pampes untuk anakku. 

"Aku boru Harahap,"  Kataku memperkenalkan diri ketika beli pampes di warung. Aku juga ingin merasakan rasa persaudaraan semarga, Siapa tahu yang punya warung semarga denganku. 

"Oh, Aku boru Jawa,"  Jawabnya. 

"Boru Jawa?" Tanyaku dengan kening berkerut 

'Iya, Boru Jawa kelahiran Sumatra,"  Jelasnya lagi.

"Ohh," 

"Boru Jawa dia katanya, Bang,"  Kataku pada Bang Parlindungan ketika sudah kembali di mobil. 

Bang Parlindungan hanya tersenyum. 

"Bang, Aku jadi ingin belajar bahasa Batak, mana tahu nanti jika belanja di pasar jumpa sama teman semarga, dapat harga murah, Abang hanya kerana semarga dikasih air Aqua gratis,"  Kataku lagi. 

"Hahaha," 😂 kali ini supir/driver kami yang tertawa. 

"Kenapa, ada yang lucu?"  Tanyaku. 

"Kadang itu hanya modus, kadang memang betul tulus, tapi kebanyakan modus, orang jualan tidak mungkin kasih gratis ke orang yang lewat, dia kasih kerana dia yakin Bang Parlindungan akan bayar dengan harga lebih,"  Kata supir tersebut. 

Ooooo ....! 😎  [HSZ]

To be Continued...

Untuk Anda yang belum baca siri cerbung yang sebelumnya,
Anda boleh baca disini ; Novel Collection

Ilustrasi Image; Doc, Romy Mantovani 

#indonesia, #Novel, #NovelKomedi, #CeritaBersambung, #Cerbung,  #SuamikuJadul, 

VIDEO : 

JEJAK DIGITAL 9 MAY 2018- PRU14 SEMPENA HARI BODOH SE- MALAYSIA

No comments