MY HUSBAND IS PARLIN [Part 53]
MY HUSBAND IS PARLIN [Part 53]
- Part 53
- Nia, tertipu beli buah Salak
" Biar Suami Jadul, Yang Penting Duit Ngumpul "
FORTUNA MEDIA - Pagi harinya, kami sudah sampai di Kota buah Salak @Padang Sidempuan. Kami singgah di rumah makan khas Tapanuli Selatan untuk sarapan pagi. Begitu kami turun dari mobil, kami didatangi dua orang lelaki memegang buah Salak.
"Salak sibakkua, dipangan sada mangido dua," Katanya seraya memberikan buah Salak untukku.
Kuterima dan ...
"Coba saja dulu, Bu," Kata lelaki tersebut.
Kukupas dan kumakan. Waw! Enak, manis dan sedikit kelat.
"Sini, Bu", sini, Ini Salaknya," Kata lelaki itu lagi.
Kuikuti saja, seraya menggendong si Butet. Sementara Bang Parlindungan bawa si Ucok ke kamar mandi.
"Berapa, Pak?" Kanyaku kemudian.
"Satu sumpit dua puluh ribu, beli tiga lima puluh ribu," Jawabnya.
"Satu sumpit itu berapa?"
"Oh, ini, Bu, ini sumpitnya," Kata lelaki itu seraya menujukkan wadah anyaman.
"Aku ambil tiga," Kataku.
Dengan cekatan lelaki itu membungkus tiga sumpit. Kubayar dan membawanya ke mobil.
"Aku beli buah salak, Bang, manis salaknya," Laporku pada Suami ketika kami sudah di meja makan.
"Oh, ya," Kata Suami.
"Kenapa, Bang, macam tidak percaya saja Abang salaknya manis," Kataku lagi.
"Percaya, Dek, percaya saja, nanti Adek ngomel," Kata Suami lagi.
RELATED POST
Welcome To The Underwater World Langkawi Largest Aquarium In Southeast Asia
Pesona Pantai Kolbano Pulau Timor,Tidak Berpasir Tapi Ditaburi Kerikil Warna-Warni
Kami sarapan nasi pulut pakai ikan teri/bilis sambal, Bang Parlin bilang namanya "kotan". Sehabis sarapan Aku ke mobil, mengambil satu sumpit salak tadi, untuk cuci mulut sekaligus ingin kutunjukkan pada Bang Parlin rasa salak ini.
"Ini, Bang, rasakan, dulu, Salaknya beda dengan yang biasa dijual orang di Medan," Kataku seraya memberikan sebuah salak padanya, dan kuambil juga satu untukku.
Akan tetapi rasanya kok lain, tidak sama dengan yang kumakan tadi, rasanya kelat, batunya juga tidak hitam seperti tadi. Bang Parlin pun kulihat sampai memejamkan mata makan salak tersebut. Astagha, Aku ditipu, pasti penjual itu kasih contoh buah Salak yang enak. Kulihat Bang Parlin justru tertawa. Sebel.
Kuambil lagi salaknya, mahu kukembalikan ke penjual tadi. Akan tetapi Bang Parlin justru mencegah.
"Tidak usah, Dek," Begitu kata Bang Parlin.
"Nggakkk, Bang, harus diberi pelajaran itu tukang jual buah salak, merusak citra Padang Sidempuan Kota Buah Salak," Kataku sok peduli.
Aku datangi penjual itu, Bang Parlin mengikuti dari belakang. Bang Parlin justru menarik tanganku dia yang bicara dengan tukang salak tersebut. Mereka bicara dalam bahasa Batak Angkola.
"Penipu, kasih contoh yang enak, jualnya yang tidak enak," Kataku sengit.
"Begini saja, silakan pilih salaknya, ganti yang tadi, kalau dikembalikan tidak bisa," Kata penjual buah salak itu.
Aku jadi bingung, bagaimana cara pilih buah salak yang manis, Tidak mungkin juga Aku cicipi satu-satu. Lagi-lagi Bang Parlin punya solusi.
"Kami ambil yang itu saja," Kata Bang Parlin seraya menunjuk buah salak satu karung di bawah meja mereka.
Wajah penjual itu tampak kesal, dia angkat karungnya. "Ini salak pilihan ya," katanya kemudian.
"Ya, yang kalian kasih contoh juga pilihan," Kata Bang Parlin.
"Bagaimana perasaan kalian kalau Istri atau anak kalian ditipu begini, ini penipuan namanya," Kata Bang Parlin lagi.
"Ya, sudah, ambil saja tiga sumpit, tidak usah ceramah segala," Kata penjual tersebut.
"Kami beli satu karung ini," Kata Bang Parlin seraya mengangkat karung tersebut. "Tolong bungkus pakai ini," Sambung Bang Parlin seraya menunjuk sumpit.
Akhirnya kami memborong buah salak pilihan, ada sepuluh sumpit semuanya.
"Bang, ingat keperhan sama keinginan," Kataku pada Suami ketika kami sudah dijalan.
"Itu untuk memberikan pelajaran untuk mereka, terpaksa mereka tak jualan lagi hari ini, kerana buah Salak contoh sudah kita bawa semua," Kata Suami.
Menjelang siang, kami tiba di kota Panyabungan, Ibukota kabupaten Mandailing Natal.
"Kita singgah sebentar ya, beli toge," Kata supir kami.
Dalam hati aku berfikir, "buat apa dia toge?" Akan tetapi mobil bukan singgah di pasar sayur, melainkan di warung. Ternyata toge itu minuman cendol khas Panyabungan. Cendol campur pulut dan tapi ubi, segar juga rasanya.
Jam satu siang baru kami tiba di kebun Bang Parlin, ternyata mobil belum bisa masuk ke kebun, Ria dan kakakku justru di sekolah. Bang Parlin membagikan salak yang kami borong tadi. Para karyawan tampak senang sekali.
Aku ditinggal di bangunan sekolah tersebut, Bang Parlin dan beberapa karyawan pergi ke kebun dengan berjalan kaki.
"Habis semua, Nia, habis, Aku menyesal sekali, pernah Aku salah omong/bicara," Kata Kakakku sambil menitikkan air mata.
"Salah omong bagaimana, Kak?"
"Itu Abangmu kusuruh belanja ke kota, tapi Abangmu tidak mahu, alasannya tidak bisa tinggalkan sapinya, Aku terpaksa pergi sendiri, sebel, kan, jauhnya lagi kota terdekat, lebih sayang dia sapi dari pada Istrinya." Kata Kakakku.
"Terus?"
"Terus kubilang begini, " Makan tu sapi, Mudah-mudahan mati semua sapimu, Istri dibiarkan pergi sendiri, sapi malah ditemani," Kataku kerana kesal."
"Duh, kok ngomong gitu sih, Kak?"
"Itulah, Nia, mulut ember ini," Kata Kakakku seraya menampar mulutnya sendiri.
Ucapan itu memang do'a, kita tidak tahu do'a kita yang mana yang akan cepat terkabul. Jadi Hati-hatilah bicara. Kakakku sudah merasakan sendiri, dua hari setelah dia ngomong begitu, sapi mereka mati tenggelam, hanya dua yang bisa diselamatkan.
Bang Parlin sudah kembali, dia bilang sapinya selamat semua, kini sudah berada di tempat yang lebih tinggi. Akan tetapi kebun sawit masih banyak yang tergenang air.
Ketika kumpul di sekolah Abang -Iparku lebih banyak diam, dua sapinya diikat di halaman sekolah.
"Bagaimana, Bang?" Tanya Bang Parlin.
"Ya, mahu bagaimana lagi, terima nasib saja. Ini pelajaran bagiku, nanti sudah tahu bagaimana menghadapi bencana, juga pelajaran buat Kakakmu," Kata Abang ipar seraya menunjuk kakakku yang menundukkan wajah.
"Kenapa dengan kakak?" tanya Bang Parlin.
Aku lalu menceritakan semua, Bang Parlin tampak senyum.
"Wang sekolah memang mahal," kata Bang Parlin.
"Sekolah ini gratis ya, Parlin, tidak pernah Aku kutip wang sekolah satu rupiah pun, sesuai amanah kalian, semua gratis, gaji kami dari hasil sawit kalian." Kata Kakakku.
Duh, Kakakku sudah salah mengerti, Aku tahu yang dimaksud Bang Parlin.
"Hei, belum jera juga mulutmu itu ya, jaga itu mulut, Aku saja mengerti maksud perkataan Parlin," Abang iparku tampak marah.
"Apa lagi, mengapa singgung sekolah mahal, kerana Aku kepala sekolah ini kan?"
"Begini, Kak, pengalaman itu guru yang paling berharga, berguru tentunya sekolah, pengalaman kalian ini tentu sudah jadi guru bagi kalian, Ya, bayarnya sapi mati, kan mahal, itu maksudku, Kak," Bang Parlin akhirnya menerangkan.
"Aduh, mulut ini, Aku jadi malu, Aku yang sarjana sudah dikuliahi tamatan SD," Kata Kakakku seraya pergi keluar.
Sepeninggal Kakakku, Abang-Ipar lalu bercerita kronologi banjir tersebut, dia sudah berusaha menggiring sapi keluar, akan tetapi sapi tidak mahu, hanya dua yang bisa dia seret. Maksudnya dia mahu keluarkan sapinya satu persatu. Akan tetapi air besar keburu datang. Hanya dua sapi yang selamat, sembilan belas sapi jadi bangkai. Kerana dikurung di kandang.
Menurut Abang -Ipar dia sudah kubur semua sapi tersebut. Sedih mendengar cerita Abangku.
"Bang, begini aaja, Bang, kalau Abang mahu ya, itu sawit kan sudah saatnya panen. Tapi masih banjir, jadi begini, Bang, kalau Abang bisa panen sendiri, wangnya untuk Abang semua. Untuk modal beli sapi baru." Kata Bang Parlin.
"Benar, Parlin?"
"Iya, Bang, hanya begitu yang bisa kubantu, ajak karyawan kita, gaji bagi lebih dari yang biasa," Kata Bang Parlin lagi.
"Terima kasih, Parlin," Kata Abang iparku. Dia memegang matanya, Aku tahu dia menangis.
Kami juga sebenarnya rugi banyak, tiga truk rusak kerana terendam air. Sapi juga musti diobati. Selama dua hari Bang Parlin sibuk membersihkan kebun dan mengurus sapi, sementara Abang ipar sibuk memanen. Setelah tiga hari baru bisa kami ke rumah panggung yang di tengah kebun. Rumah itu tidak rusak. Biarpun terbuat dari kayu akan tetapi tahan juga.
"Kita akan lama di sini, Dek," Kata Bang Parlin di suatu malam.
"Iya, Bang, tidak apa-apa, Aku Istri yang ikut Suami, jangankan di sini, di tempat gersang pun Abang ajak Aku mahu," Kucoba menenangkan Suami. Aku tahu dia lelah mengurus sapi tersebut. Rumput harus dicari kerana baru habis banjir. Ada satu truk sehari rumput untuk pakan semua sapi.
"Hmmm, tumben,"
"Tumben apanya, Bang,"
"Biasanya manja,"
"Tidak lah, Bang, Abang capek, sini Adek urut," Kataku seraya memegang tengkuknya.
"Hihihi,"😁 Bang Parlin justru tertawa.
"Kenapa, Bang?"
"Geli, tenagamu tak ada, Dek,"
"Hmmm, kalau tak kupijak-pijak saja, Bang,"
"Jangan, bisa pecah nanti perutku,"
"Abang hina badanku, ya, kerana Aku gemuk,"
"Lho, kok menghina?"
"Abang gitu, ya,"
"Tidak lah, Dek, Abang sangat bersyukur lho punya Istri seperti Adek,"
"Hmm, oh, ya,"
"Iya, Dek, tidak perlu beli kasur lagi, ini sudah empuk," Kata Suami seraya membaringkan kepalanya di dadaku.
"Ihs, Abang."
"Dek, bila kita punya bayi lagi?"
"Ya, ampun, Bang, si Butet masih tujuh bulan itu,"
"Memang tujuh bulan, Dek, tapi dia sudah minta adek,"
"Tidak, ogah,"
"Ogah apaan?"
"Ogah, tidak mau,".
" Wah, sepertinya harus cari Nunung baru ini,"
"Nunung apaan, Bang? Mahu kawin lagi, ya, kepotong ini nanti,"
"Ampun, Dek, ampun, Nunung sapi indukan kok, Dek, Abang mahu cari sapi indukan yang baru,"
"Hmmm, jangan bercanda soal poligami, Bang, Adek tidak suka,"
Wah..wah.. Bang Parlin sudah mulai tidak jadul nih...😄 [HSZ]
To be Continued...
Untuk Anda yang belum baca siri cerbung yang sebelumnya,
Anda boleh baca disini ; Novel Collection
Ilustrasi Image; Doc, Romy Mantovani
#indonesia, #Novel, #NovelKomedi, #CeritaBersambung, #Cerbung, #SuamikuJadul,
VIDEO :
No comments
Post a Comment