MY HUSBAND IS PARLIN [Part 47]

<img src=https://fazryan87.blogspot.com".jpg" alt="MY HUSBAND IS PARLIN [Part 47]">

MY HUSBAND IS PARLIN [Part 47]

  • Part 47
  • Aku sudah jadi pahlawan, tapi masih saja disebut Nunung. Nasib ...😅

" Biar Suami Jadul, Yang Penting Duit Ngumpul "

FORTUNA MEDIA - Tak kuberitahu pada Bang Parlin, kenapa Ustaz itu tiba-tiba berubah, tak juga dia bertanya, ingin juga rasanya Aku menyombongkan diri, kalau saja gini-gini, Aku juga bisa jadi pahlawan. 

Ustaz itu sampai beberapa kali menelepon Suami, ingin juga Aku, Suami periksa isi inbox, akan tetapi tidak dia periksa juga. Si ustaz pun mungkin tidak memberi tahu kerana malu. 

"Ustaz itu padahal teman Abang, kami besar bersama, sekolah di pesantren yang sama, bedanya dia sampai tamat, Abang tidak,"  Kata Suami di suatu sore. Saat itu kami lagi berjalan sore-sore sambil bawa si Ucok. 

"Mungkin maksudnya baik, Bang, dia kira mungkin Amang Boru benar ditelantarkan,"  Jawabku kemudian. 

"Kok adek gitu sekarang?" 

"Gitu kayak mana, Bang?"

"Tumben berprasangka baik, biasanya Adek yang duluan marah?"

   RELATED POST

Kisah Tragic Kerabat Diraja daripada Kesultanan Kerajaan Temasek
Tragedi 'Revolusi Sosial 1946'. 'Ketuanan Rakyat' Yang Menjadi Detik Hitam Sejarah Melayu Nusantara

Ah, Suamiku ini tak tahu saja, Ustaz itu sudah habis kumarahi di inbox, kerana kumarahilah makanya dia berubah, minta maaf pada Bang Parlin. Bahkan buat status di Facebook, isinya tentang memuji anak yang rebutan hak asuh orang tua, akan tetapi orang tua malah memilihmu tinggal sendiri. 

"Ada yang aneh, Dek, lihat ini status ustaz itu,"  Kata Bang Parlin. Kubaca statusnya. 

(Ada keluarga rebutan, bahkan hampir saja perkara ke pengadilan, tapi bukan rebutan harta, akan tetapi rebutan hak asuh orang tua, saya sampai meneteskan air mata mendengar cerita itu, apalagi mereka masih satu Desa dengan saya, bahkan masih saudara saya. Ya, Allah, semoga anak-anakku begitu kelak,) 

"Apanya yang aneh, Bang?"  Tanyaku. 

"Ini, dari mana dia tahu tentang rebutan itu, kami tak pernah cerita ke orang lain?"

"Periksa akaunnya, Bang, kali aja ada yang beritahukan dia?"  Kataku akhirnya. Seraya berharap Suami memeriksa inbox tersebut. Ingin juga Aku dipuji Suami. 

Sial, dia sudah ubek-ubek akaun, akan tetapi tak periksa inboxnya, Ah, biar sajalah, biar saja Aku jadi pahlawan tanpa tanda jasa.

Hari raya "Idul fitri tinggal sebentar lagi, kami akan pulang kampung, menurut Bang Parlin, semua keluarganya akan berkumpul. Sesuatu yang jarang terjadi. Seminggu sebelum kebaran, kami sudah pulang, Bang Nyatan dan Bang Parta sudah di Desa, tinggal kami yang belum datang bersama Dame. Hamilku sudah tujuh bulan. Mungkin benar juga ini rezeki anakku, selalu sering jalan ketika di kandungan. 

Suasana bulan puasa di kampung benar-benar beda, tak ada warung yang buka sama sekali, tidak seperti di kota yang masih banyak warung yang tertutup gorden/langsir. Di sini, tak ada yang buka. 

Selama di Desa, Istri Bang Nyatan jadi koki utama kami, Kak Sofie dan Aku serta Rina hanya membantu, semua itu dilakukan untuk menyenangkan Ayah mertua yang hanya suka makan masakan resipi Batak Angkola. 

"Ini ada ikan mas, carikan dulu kulit balakka biar masak holat kita," kata Bang Nyatan di suatu pagi, dia baru pulang dari pasar. 

Bang Parlin langsung berdiri dan mengambil parang, Aku minta ikut karena penasaran. Apa itu balakka, kenapa diambil kulitnya? 

Kami berjalan kaki agak jauh juga, sampai kami bertemu batang pohon balakka itu. 

"Ini pohon hanya ada di Daerah sini," kata Bang Parlin. 

"Ah, mana mungkin, Bang,"  Jawabku. Rasanya mustahil pohon hanya ada di Daerah ini, sementara dunia ini luas. 

"Memang begitulah, Dek, tanya Bang Nyatan, dia sudah jauh merantau, tapi buah ini hanya ada di sini,"  Kata Bang Parlin seraya mengiris kulit pohon. 

"Aku mau buahnya, Bang,"  Kataku seraya menunjuk ke atas. Buah berwarna hijau mirip anggur itu sepertinya enak. 

"Rasanya gak enak, Dek, pertama rasanya kelat, lama-lama manis, setelah kita makan itu, kita minum air putih, rasa air putih itu pun ikut manis". 

"Ah, gak mungkin, Bang,"  kataku tak percaya. Difikir-fikir mana ada buah begitu, dimakan kelat, lama-lama manis, apa mungkin rasa kelat bisa berubah jadi manis tanpa dikasih gula? Ingin Aku rasakan makan buah itu, kebetulan Aku tak puasa karena hamil. 

Bang Parlin lalu memanjat pohon tersebut, dia seperti ahli sekali dalam urusan panjat-memanjat ini. Dalam sekejap dia sudah sampai di atas, mengambil buah balakka satu tangkai dan menjatuhkannya. Dengan sigap Aku tangkap. 

Kuambil satu, coba masukkan ke mulut, Waw, benar-benar kelat, wajahku mungkin sudah berubah kerana buah ini. Akan tetapi makin lama justru manis, benar juga kata Bang Parlin. Baru kali ini kurasakan buah seperti ini. Aku masih penasaran dengan rasa air putih setelahnya. Begitu kami pulang, langsung kuambil segelas air, dan meminumnya. Astaga, benar ternyata. Ada rasa manis di air, akan tetapi Aku yakin bukan air yang manisnya, tapi lidah bekas makan buah balakka tersebut. 

Dan ternyata kulit pohon balakka itu untuk bumbu masak. Aneh memang. 

Buka puasa tiba, makan bersama keluarga besar pakai ikan mas holat. Ternyata enak, Aku sampai tambah makan.

Sehari menjelang "Idul fitri, tak disangka Adikku datang, Risda dan Suaminya datang, makin ramailah rumah mertua. 

Ada acara salaman yang sangat mengharukan, semua berkumpul di ruang tamu. Pertama kami para Istri menyalami Suami masing-masing. Baru menyalami orang tua. Menyalami pun banyak aturan ternyata. Dame salim ke kami dan Abang yang lain. Baru kami salim ke Abang Parta, dan Bang Parta ke Bang Nyatan. Harus sesuai urutan. Yang tua duduk yang muda mengalami dan salim. Aku sampai kena tegur kerana menyalami Rina. Seharusnya dia yang salim padaku. 

Ketika Adikku berdiri bersama Istrinya untuk salim ke Bang Nyatan, Bang Nyatan tak menerima uluran tangan Adikku." Nanti saja" begitu kata Bang Nyatan. Ada apa ini?  Adikku itu terus salim ke Bang Partai, Bang Parta juga menolak, Aku jadi merasa tak enak, Apa kerana Adikku bukan anggota keluarga ini. 

Tiba giliran ke Bang Parlin, Ya, Allah, Bang Parlin ikut-ikutan menolak, dia sembunyikan tangannya di belakang. Ada apa ini?  Adikku itu jadi seperti malu, dia kembali ke tempat duduknya. 

Ayah mertua lalu menyuruh Adikku duduk di tengah, di atas tikar yang paling bagus, Aku makin heran baru satu persatu Bang Nyatan, dan Bang Parta mendatangi Adikku, dan menyalami lalu minta maaf, diikuti Bang Parlin dan Dame. 

"Tunggu, kenapa dia harus begitu, dia salam tidak kalian terima, terus baru minta maaf, dia Adikku, masih lebih tua Abang semua dari dia, wajar dia salam ke kalian," Aku tak tahan juga Adikku diperlakukan begitu. 

"Apanya kau ini Parlin?" kata Bang Nyatan. Lho, malah Bang Parlin yang dimarahi? 

"Jelaskan sama Nia, Parlin," kata Bang Parta. 

"Dek, kau itu bikin malu Abang saja, kan sudah sering Abang bilang, keluarga lelaki Istri itu orang yang sangat dihormati dalam Adat kami, posisinya Mora dalam Adat, Kamilah yang mendatangi dan salam, bukan dia. Dia harus duduk di tengah, tempat terbaik, tak boleh ke dapur, tak boleh kerja, kami yang datangi dia lalu minta maaf, bukan sebaliknya, biarpun dia muda, Mora tetap Mora, dia pengganti orang tuamu, orang yang sangat kami hormati."   Kata Bang Parlin panjang lebar. 

Duh, malunya Aku, sudah pernah ini diterangkan Bang Parlin, Aku masih bingung juga, ternyata salam- salaman di hari raya pun ada Adatnya. Kulihat Adikku, dia justru menitikkan air mata.

Kami makan pagi bersama, lauknya daging kerbau, ada yang direndang, ada yang disup. Setelah itu mulai berdatangan tetamu, Tetamu kami seakan tak habis-habis, ada saja yang datang, setiap yang datang, Anak-anak akan dapat wang dari Bang Nyatan, Bang Parta juga Suamiku. Mungkin ini penyebab banyak tamu. 

"Kalau kita kaya saudara kita akan banyak, itu hukum tak tertulis di masyarakat, yang sabar ya,"  begitu kata Ayah mertua ketika Aku sudah lelah buat minum untuk tamu. 

Yang dikatakan Ayah mertua itu benar, bukan hanya di Desa, bahkan di kota pun seperti itu, kalau kita kaya banyak yang mengaku saudara, giliran kita susah, saudara pun mengaku tak kenal. 

Seorang tetamu datang lagi, lelaki berlobe itu datang dan langsung salim ke Ayah mertua, baru ke para anak-anaknya. 

"Yang mana di sini orang rumahnya si Parlin?" Tanya lelaki itu. Semua mata memandang ke arahku. 

"Terima kasih, Ito, Ito membuka mataku, untung saja ada Ito, kalau tidak Aku akan makin berdosa, niatku ingin menyadarkan kalian, justru Aku yang disadarkan dari kesalahan."  Kata lelaki berlobe itu. 

Aku langsung tahu, inilah Ustaz Desa itu, yang ku maki lewat inbox, Kulirik Bang Parlin, dia justru balik melihat ke arahku. 

"Sama-sama, tapi namaku Nia, bukan Ito,"  Kataku. Sebenarnya Aku tahu Ito itu panggilan tutur sapa, Aku hanya masih kesal pada ustaz ini. 

"Ada apa ini?" tanya Bang Parta. 

"Ito ini kirim inbox padaku, tulisannya memang agak kasar, tapi Aku sangat terpukul sekali, dan langsung menyadari kesalahanku, minta maaf pada kalian,"  Jawab lelaki itu. 

"Oh, begitu, ternyata biarpun kayak Nunung bisa juga Adek jadi pahlawan ya, pahlawan sebenarnya, yang tak bilang-bilang jasanya," kata Bang Parlin. 

Pujian sekaligus hinaan. Aku sudah jadi pahlawan, tapi masih saja disebut Nunung. Nasib ...😅  [hsz]

To be Continued...

Untuk Anda yang belum baca siri cerbung yang sebelumnya,
Anda boleh baca disini ; Novel Collection

Ilustrasi Image; Doc, Romy Mantovani 

#indonesia, #Novel, #NovelKomedi, #CeritaBersambung, #Cerbung,  #SuamikuJadul, 

VIDEO : 

MEMBONGKAR GONJANG- GANJING PEMILIHAN PRESIDEN INDONESIA 2024 - USTAZ ANDRI KURNIAWAN

No comments